Banyak cara untuk mendesak Ketua Mahkamah Konstitusi mundur dan ini cara Ali Rido lewat tulisannya

Dalam lanskap sejarah keislaman, para ulama banyak yang menolak untuk menjadi hakim. Misalnya Imam Hanafi, seorang ulama besar yang sangat terkenal ketinggian ilmu dan akhlaknya menolak diangkat menjadi hakim dan memilih untuk dihukum oleh penguasa kala itu. Tanggungjawab yang harus dipikul bukan hanya di dunia melainkan juga di akhirat, menjadi alasan penolakan fundamen bagi sang imam. Maka kita terhenyak ketika Arief Hidayat seorang hakim konstitusi yang telah melanggar etika sebanyak dua kali enggan meninggalkan jabatannya. Apa yang dilakukan sang hakim, tentu menandakan keteladanan ulama terdahulu tidak dijadikan cermin untuk berintrospeksi melainkan hanya menjadi cerita untuk dikoleksi.

Sebelumnya, Arief Hidayat dikenakan sanksi oleh Dewan Etik atas pelanggaran etik karena mengirimkan katebelece kepada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung untuk membina salah seorang kerabatnya yang menjadi jaksa. Terakhir, Dewan Etik memberikan sanksi kepada Arief karena menemui anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berkaitan dengan pemilihan hakim konstitusi jalur DPR RI dan pemilihan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

Tiadanya sensibilitas etika yang arif dalam diri seorang Arief Hidayat, seakan membuka tabir betapa nyamannya duduk sebagai ketua MK sehingga hanya sekedar mundur dari jabatan ketua pun enggan. Dalam korpus yang lebih ekstrem, itu mengesankan ia telah terseret oleh arus hedonisme kekuasaan yang nyaris tanpa tepi. Padahal dalam konstitusi, syarat untuk menjadi hakim konstitusi salah satunya adalah negarawan (Pasal 24C ayat (5) UUD 1945). Jika dilacak di dalam pasal lainnya, maka hanya jabatan hakim konstitusi yang mengharuskan syarat negarawan. Bahkan jabatan seperti Presiden, DPR dan DPD sekalipun tidak mensyaratkan harus memiliki sikap negarawan.

Negarawan itu memiliki makna yang bersifat esotoris. Dalam pandangan penulis, konstruksi makna negarawan salah satunya dapat dicirikan sebagai pribadi yang konsisten menjaga etika, sehingga melakukan perbuatan yang tak etis maka sama halnya telah menegasikan sikap kenegarawanan dalam diri hakim. Bahkan, sebagai hakim penegak konstitusi, maka Arief dapat disebut sebagai penegak konstitusi yang justru melanggar konstitusi.

“Keengganan” mundur dari Arief, sesungguhnya telah menjadi bukti lain bahwa Arief memang ingin menempatkan diri di sebrang konstitusi dan regulasi. Karenanya, meskipun telah dua kali dikenai sanksi etik tidak menjadikannya malu untuk tetap duduk sebagai ketua sekaligus hakim MK. Arief bisa saja berapologi sanksi etik yang diberikan hanya sanksi ringan, namun hakikat sanksi etik tidak boleh dilihat dari gradasinya.

Memang kadang kita terperangah dengan berbagai jargon filosofis yang keluar dari mulut setiap calon hakim konstitusi, sehingga kita sering dininabobokan karena jargon yang didedahkannya itu. Akibatnya, ketika terjadi fakta seperti di atas maka baru tersadar bahwa pelanggar konstitusi justru muncul dari kalangan elite itu sendiri. Peristiwa itu pun mengaburkan makna reformasi, karena sudah tidak ada lagi hubungan moral antara gerakan reformasi dengan aktor yang dihasilkannya. Inilah yang kemudian dikhawatirkan akan melahirkan pesimisme tegaknya konstitusi.

Terlepas dari itu semua, maka dalam diri Arief lah kita perlu menanyakan apakah etika masih bersemayam atau justru telah sirna dicengkeram kekuasaan?. Jika masih bersemayam, maka mundur -minimal dari ketua MK- dapat menjadi langkah yang arif bagi seorang Arief. Mengundurkan diri tentu tidak akan menjadikannya ia malu, justru ia telah sadar diri sebagai hakim konstitusi yang memiliki tanggungjawab untuk menengakkan nilai-nilai konstitusi. Akan tetapi, jika yang dipilih tetap keukeuh duduk sebagai ketua atau hakim MK maka kekhawatiran Gus Dur bahwa negeri ini tidak akan hancur karena bencana atau perbedaan, tetapi karena moral dan etika bejat dapat segera menjadi kenyataan.

Sejatinya, memilih mundur dapat menjadi cara dia untuk memuliakan diri dan institusi. Hal itu, juga menjadi bukti, bahwa ia bukan lah pribadi yang memiliki hasrat tinggi terhadap kekuasaan. Ia sadar bahwa tidak ada jabatan di dunia ini yang perlu dipertahankan matian-matian. Semoga.
*) Ali Ridho adalah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) UII, Yogyakarta.