Hukuman Cambuk di Aceh dalam Perspektif HAM

Hukuman Cambuk di Aceh dalam Perspektif HAM

Investasi dijadikan alasan untuk mengubah pelaksanaan hukuman cambuk. Jika semula dilaksanakan secara terbuka, ke depan hukuman cambuk dilaksanakan secara tertutup. Kebijakan ini adalah kebijakan kompromi namun tetap bermasalah. Akan jauh lebih baik jika hukuman cambuk diganti dengan jenis hukuman lain yang sesuai dengan spirit kemanusiaan modern. 

Pelaksanaan hukum cambuk di ruang terbuka atau tertutup, sebenarnya sama saja bermasalahnya jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia (HAM). Secara normatif, pemberlakuan hukuman cambuk di Aceh adalah kebijakan hukum yang kontroversial dan layak diperdebatkan. Perdebatan itu harus didasarkan pada kaidah-kaidah hukum dengan mendudukkan hukuman cambuk di tengah-tengah ketentuan normatif peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Indonesia menganut sistem unifikasi hukum–penerapan hukum pidana harus mengacu pada hukum yang sama. Indonesia juga telah memiliki ketentuan lengkap mengenai hukum HAM, yaitu Pasal 28 UUD 1945 dan UU Nomor 39 Tahun 1999 yang pada intinya keduanya menyatakan bahwa hak untuk tidak disiksa dan kebebasan dari perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable rights). (Baca Pasal 28I ayat (1) UUD 1945).

Selain itu, Indonesia juga sudah meratifikasi hampir seluruh instrumen HAM internasional, mulai dari ICCPR, ICESCR, CAT, CEDAW, CRC, CERD, CMW, CMW, CED (hanya CED yang belum diratifikasi). Artinya pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menyusun peraturan perundang-undangan yang memenuhi (comply) dengan hukum HAM internasional tersebut.

Pada konteks hukuman cambuk di Aceh, larangan penerapan hukuman dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat dapat dilihat pada hampir semua instrumen, namun yang paling dekat adalah ICCPR dan CAT. Pada dua instrumen tersebut, ditegaskan bahwa hak untuk tidak disiksa merupakan non derogable rights. Bahkan berdasarkan doktrin dan international customary law, bebas dari penyiksaan masuk kategori hak yang absolut yang terkategori ius cogens (peremptory norm).

Bagaimana dengan hukuman cambuk? Hukum cambuk masuk kategori hukuman yang tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia. Oleh karena itu, jenis hukuman semacam ini harus diubah dengan hukuman lain yang berkemanusiaan.

Bukankah hukuman cambuk didasarkan pada Perjanjian Helsinki dan Undang-Undang Keistimewaan Aceh? Benar, namun menurut Konvensi Wina, pertimbangan nasional (kultural, politik) tidak dapat dijadikan alasan oleh suatu negara guna menghindari kewajiban internasionalnya. Artinya, sepanjang Aceh adalah bagian dari Indonesia, maka ia harus tunduk pada hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.

Dimuat ulang dari situs online watyutink