Integritas Pemilu oleh Allan Fatchan Gani Wardhana, S.H., M.H.

Integritas Pemilu

Penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (pilpres) dan pemilihan umum legislatif (pileg) memasuki tahapan masa kampanye. Berdasarkan jadwal, masa kampanye ini akan berlangsung hingga 13 April 2019 nanti. Di masa kampanye, pembahasan mengenai integritas pemilu (electoral integrity) menjadi isu sentral dan terus diupayakan seiring dengan cita-cita untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan akuntabel sesuai dengan kehendak rakyat.

Adrian Gostick dan Dana Telford dalam “The Advantage of Integrity”, mendefinisikan integritas sebagai ketaatan yang kuat pada sebuah kode, khususnya nilai moral atau nilai artistik tertentu. Senada dengan itu, Kofi A. Annan dalam salah satu karyanya yang berjudul “Deepening Democracy: A Strategy for Improving the Integrity of Election Worldwide” mendefinisikan integritas sebagai kepatuhan yang kukuh pada nilai moral dan etika.  Dikaitkan dengan pemilu,  bahwa integritas pemilu itu menghendaki seluruh elemen yang terlibat di dalamnya baik penyelenggara maupun peserta tunduk dan patuh pada nilai-nilai moral dan etika kepemiluan. Integritas pemilu pada akhirnya merupakan konsep penyelenggaraan pemilu yang tidak hanya didasarkan pada aturan (rule of law) saja, tetapi juga etika (rule of ethics).

Adapun pentingnya mewujudkan integritas pemilu didasari pada pandangan bahwa pemilu diselenggarakan untuk menjunjung tinggi sekaligus menegakkan hak asasi manusia dan prinsip demokrasi. Apabila pemilu tidak dilaksanakan dengan basis integritas, maka berpotensi melahirkan penyelenggara pemilu yang tidak bertanggungjawab yang berimplikasi pada minimnya partisipasi politik dan hilangnya kepercayaan publik pada proses demokrasi (Nasef: 2012).

Kelembagaan & Aturan

Saat ini, kita telah memiliki instrumen kelembagaan dan aturan yang memang sudah dirancang sedemikian rupa untuk mewujudkan apa yang disebut dengan integritas pemilu itu. Pertama, soal kelembagaan (institution). Kita telah memiliki 3 (tiga) lembaga kepemiluan yang saling berhubungan kaitannya dengan penegakan integritas pemilu. Disamping Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang mempunyai tugas menyelenggarakan pemilu, terdapat lembaga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bawaslu dalam salah tugasnya ialah menegakkan integritas pemilu. Sedangkan DKPP dibentuk dalam rangka untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Hadirnya Bawaslu dan DKPP tersebut sekaligus menjadi salah satu bukti bahwa Indonesia telah berkomitmen untuk menerapkan integritas pemilu.

Kedua, terkait aturan (rules). Sudah begitu banyak dan ketat aturan soal bagaimana integritas pemilu itu harus diwujudkan. Dari mulai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 hingga Peraturan teknis lainnya (seperti Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu) mengatur detail terkait apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan baik bagi komisioner penyelenggara maupun kepada peserta pemilu. Berbagai aturan yang sudah ada tersebut menggenapi langkah Indonesia untuk menghadirkan pemilu yang berintegritas.

Tiga Upaya

Meski kelembagaan dan aturan kita sudah cukup memadai dalam mewujudkan integritas pemilu, namun perjalanan demokrasi kita tidaklah berjalan di ruang hampa. Maraknya politik uang, tidak netralnya birokrasi dan penyelenggara pemilu, mahar politik, penyebaran hoax dalam kampanye, masih menjadi tantangan yang serius. Agar integritas pemilu itu tetap terjaga (ditengah gempuran berbagai tantangan), terdapat beberapa upaya yang harus dilakukan.

Pertama, bahwa KPU dan Bawaslu harus konsisten memegang teguh profesionalitas dan integritas dalam menjalankan tugas. Proses penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan aturan. Baik KPU dan Bawaslu dapat secara sinergis mendorong partai-partai, para calon, dan media untuk menjalankan code of conduct kampanye Pemilu hingga pemungutan suara nantinya. Sementara DKPP harus sigap manakala terdapat komisioner KPU dan Bawaslu yang lalai dalam menjalankan prosedur serta mengesampingkan integritas.

Kedua, memaksimalkan pengawasan partisipatif. Konsep dasar pengawasan partisipatif ini merupakan pengawasan yang berbasis pada keterlibatan rakyat dalam mengawal maupun mengawasi jalannya tahapan pemilu. Aktifnya rakyat dalam pengawasan sekaligus dapat menutup dalih “adanya keterbatasan jumlah anggota pengawas pemilu dibandingkan persoalan pemilu yang terus berkembang”.

Ketiga, memaksimalkan peranan pers dalam mengawasi jalannya pelaksanaan pemilu. Pasal 6 UU No.40 tahun 1999 tentang pers menegaskan bahwa Pers berperan menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi serta melakukan pengawasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Yang dapat dilakukan pers kaitannya dengan integritas pemilu ialah meliput seluruh kegiatan kampanye pemilu. Dari sini akan diketahui mana saja peserta pemilu yang berkampanye dengan visi- misi serta program dan mana yang melakukan kampanye negatif serta hal-hal lain yang berpotensi merusak integritas pemilu. Tujuannya agar publik mengetahui dan menjadi pertimbangan dalam memilih.

Demi terwujudnya pemilu yang demokratis dan berintegritas, upaya-upaya diatas harus konsisten dilakukan. Demokrasi akan terjaga kesantunannya jika seluruh komponen setia menggandeng etika dan budaya politik yang sehat dan menyehatkan.

Allan Fatchan Gani Wardhana, Dosen Muda FH UII

Telah diterbitkan di Koran Sindo, 15 Oktober 2018