Masa Depan Calon Tunggal oleh Allan

Masa Depan Calon Tunggal

Baru saja kita melaksanakan Pilkada serentak di 171 daerah. Ada 16 daerah yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon alias calon tunggal. Daerah-daerah tersebut yaitu Kabupaten Enrekang, Mamasa, Puncak, Padang Lawas Utara, Pasuruan, Tangerang, Lebak, Minahasa Tenggara, Tapin, Prabumulih, Jayawijaya, Deli Serdang, Bone, Mamberamo Tengah, Kota Tangerang dan Kota Makassar.

Pilkada 2018 ini menarik terlebih jika melihat fenomena calon tunggal. Pertama, jumlah calon tunggal dalam Pilkada kemarin meningkat signifikan dibandingkan dengan pilkada tahun 2015 dan 2017. Dalam pilkada serentak tahun 2015 terdapat 3 daerah dengan calon tunggal, sedangkan pilkada tahun 2017 terdapat 9 daerah dengan calon tunggal. Menariknya, semua calon tunggal dalam pilkada tahun 2015 dan tahun 2017 akhirnya dilantik menjadi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Kedua, berdasarkan rekapitulasi sementara, untuk pertama kalinya dalam sejarah pilkada serentak, kotak kosong menang melawan calon tunggal. Ini terjadi di Kota Makassar dimana pasangan Munafri Arifuddin dan Rachmatika Dewi kalah dengan mendapatkan suara 46,83% sedangkan yang memilih kotak kosong 53,17%.

Ketiga, berdasarkan hasil rekapitulasi sementara pula bahwa perolehan suara kemarin menunjukkan kecenderungan ada “perlawanan rakyat” melalui kotak kosong. Setidaknya di Kabupaten Mamasa, Enrekang, dan Bone kotak kosong mendapatkan suara di atas 30%. Sedangkan di Pasuruan, Prabumulih, Padang Lawas Utara, dan Lebak kotak kosong mendapatkan suara di atas 20%, sementara sisanya di atas 10% kecuali di Kabupaten Jayawijaya dimana calon tunggal disana menang 95,18%.

            Dengan naiknya jumlah calon tunggal dan terdapat fenomena kemenangan kotak kosong, lantas bagaimana keberadaan calon tunggal ke depan? Sementara pilkada serentak berikutnya akan dilaksanakan tahun 2020.

Disatu sisi keberadaan calon tunggal harus disediakan ‘tempat’ untuk berkontestasi meski lawannya hanya kotak kosong. Namun disisi yang lain, keberadaan calon tunggal yang semakin banyak justru berpotensi mengancam ‘kemeriahan’ pilkada. Selain itu juga akan menutup kesempatan rakyat untuk diberikan alternatif pilihan pemimpin. Tidak adanya alternatif pilihan terkesan kurang seru dan menarik.

Didukung Aturan

            Secara yuridis, keberadaan calon tunggal berpijak pada Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015 dan UU 10/2016 tentang Pilkada. Sebelum adanya putusan MK tersebut,  instrumen hukum saat itu tidak memberikan peluang sama sekali terhadap daerah yang pilkada dengan calon tunggal. Kalaupun ada calon tunggal, pilkadanya ditunda ke tahun berikutnya. Lantas MK memberikan jalan keluar melalui Putusan MK Nomor 100/PUU-XIII/2015, bahwa jika di suatu daerah terdapat calon tunggal, maka pilkada tetap di gelar dengan catatan telah diusahakan dengan sungguh-sungguh untuk terpenuhi syarat paling sedikit dua pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah (yang dimaksud diusahakan dengan sungguh-sungguh ialah adanya perpanjangan pendaftaran).

Putusan MK itu kemudian diadopsi ke dalam UU 10/2016 terutama dalam Pasal 54C yang menyatakan bahwa KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan 1 (satu) pasangan calon jika mendapatkan suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari suara sah. Jika perolehan suara pasangan calon kurang dari 50%, pasangan calon yang kalah dalam Pemilihan boleh mencalonkan lagi dalam Pemilihan berikutnya.

Sediakan Alternatif

Meski keberdaan calon tunggal punya landasan hukum, tetap saja kontestasi pilkada harus didorong untuk menyediakan banyak alternatif pilihan. Ada dua solusi. Pertama, selama ini dalam pengajuan calon, Parpol/gabungan parpol harus memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DRPD di daerah yang bersangkutan. Ke depan perlu  diatur klausul ambang batas maksimal syarat pengajuan calon yaitu misalkan sebesar 30%. Apabila sudah mencapai batas maksimal, maka tidak dapat ditambah lagi dan parpol lain harus membentuk poros baru. Ketentuan ini sekaligus menjadi stimulus bagi parpol untuk menyiapkan alternatif calon pemimpin daerah melalui sistem rekrutmen yang jelas. Selain itu, adanya klausul tersebut juga untuk menghindari adanya kartel pencalonan.

Kedua, menurunkan prosentase syarat minimal dukungan bagi calon perseorangan. Selama ini prosentase pengajuan untuk calon perseorangan terlalu besar. Dengan diturunkan prosentasenya, maka kemungkinan besar calon perseorangan dapat maju dan menjadi alternatif untuk bersaing dengan calon dari parpol.

Solusi di atas merupakan upaya untuk menghadirkan pilkada yang sesuai dengan spirit Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 dimana Kepala daerah harus dipilih secara demokratis. Kata “dipilih” dalam pasal tersebut menunjukkan adanya kontestasi yang diselenggarakan secara demokratis. Ke depan, penyelenggaraan pilkada harus menjamin tersedianya ruang atau peluang bagi rakyat untuk memanifestasikan kedaulatannya untuk memilih pemimpin melalui alternatif-alternatif yang disediakan oleh partai politik.

Telah diterbitkan di Detik, 25 Juni 2018