Menyoal Ambang Batas Calon Pegawai Negeri Sipil oleh Nurmalita Ayuningtyas, S.H., M.H.

Menyoal Ambang Batas Calon Pegawai Negeri Sipil

Penyelenggaraan proses seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) 2018 baik di Pusat maupun di daerah yang masih berjalan hingga bukan tanpa kendala. Pasalnya terdapat problem ambang batas atau “Passing Grade” dalam tahapan Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) yang dinilai terlalu tinggi untuk para peserta ujian seleksi CPNS. Terutama untuk penerimaan CPNS di Daerah.

Sejumlah Instansi Pemerintahan di daerah terpaksa menunggu kebijakan dari Pemerintah untuk mengisi formasi yang kosong, dikarenakan banyak yang tidak dapat melewati ambang batas yang telah ditentukan dalam tahapan SKD tersebut. Perlu diketahui, yaitu terdapat ketentuan mengenai ambang batas yang sudah diatur melalui Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 37 Tahun 2018 Tentang Nilai Ambang Batas Seleksi Kompetensi Dasar Pengadaan Calon Pegawai Negeri Sipil Tahun 2018. Ketentuan ambang batas mengenai Seleksi Kompetensi Dasar ini diatur dalam Pasal 3 di Peraturan Menteri tersebut. Dinyatakan bahwa nilai ambang batas terdiri dari tiga komponen Tes Karakteristik Pribadi, Tes Intelegensia Umum, dan Tes Wawasan Kebangsaan.

Pembobotan yang tercantum dalam Peraturan Menteri tersebut pastinya merupakan hasil analisis penyelenggara yang sudah mempunyai dasar tersendiri, namun beberapa faktor lain yang harus diperhatikan pemerintah atau penyelenggara untuk mengatasi carut marut permasalahan tentang ambang batas ini tentunya diperlukan sekaligus dapat menjadi catatan bagi pemerintah sendiri dalam memperbaiki sistem manajemen, dikarenakan betapa pentingnya tahapan rekrutmen dalam manajemen Sumber Daya Manusia, yang dalam tahapan ini penyaringan kualitas pelamar agar nantinya dapat menjadi PNS yang berkualitas dilakukan.

Dapat menjadi kajian penyelenggara atau pemerintah, yaitu pertama, dalam penggunaan ambang batas dapat ditentukan dahulu formasi atau jabatan apa yang akan diisi nantinya sesuai dengan menggunakan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Menurut Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No.5 Tahun 2014 dinyatakan bahwa, setiap instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan ASN berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Analisis jabatan mensyaratkan bahwa organisasi harus memilih orang yang tepat, yang memiliki tugas dan anggung jawab bagi pencapaian tugas pokok dan fungsi dari unit-unit dimana dibutuhkan setiap posisi yang harus diemban oleh pegawai, dimana terdapat asas yang harus dipakai oleh pimpinan organisasi adalah the right man on the right place. Sedang analisis beban kerja adalah menyangkut jumlah pegawai yang harus direkrut oleh organisasi agar tugas, pokok, dan fungsi (tupoksi) dari suatu organisasi dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk itu, maka pimpinan organisasi yang baik harus mengetahui beban kerja yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pegawai pada organisasi yang dipimpinnya. (Miftah Thoha: Manajemen Kepegawaian Sipil di Indonesia: 2014).

Oleh karena itu, merujuk kepada orang yang tepat untuk mengisi suatu jabatan, maka ambang batas bisa saja hanya diberlakukan untuk beberapa komponen. Misalnya diberlakukan TIU dan TKP yang diperlukan untuk jabatan tertentu saja yang memang membutuhkan keahlian penuh, misalnya dalam jabatan yang memerlukan keahlian dalam penalaran dan ketelitian dalam menghitung, yang kemudian dari situ dapat pula diadakan perangkingan untuk menentukan berapa jumlah yang akan menempati jumlah formasi yang kosong, yang mana jal ini terkait dengan analisis beban kerja. Hal ini perlu menjadi kajian kembali dikarenakan banyak peserta yang jatuh hanya pada satu komponen penilaian saja, oleh karena itu yang kedua, terkait dengan ambang batas ini maka perlunya pembenahan pula antara alokasi waktu dan soal, terutama untuk soal yang memerlukan analisis yang cukup lama.

Ketiga, dalam hal penentuan bobot penilaian pemetaan sumber daya manusia di daerah yang khususnya masih memiliki tingkat pendidikan beserta sarana prasarana yang kurang memadai dan terbatas perlu diperhatikan benar, karena terdapat kemungkinan kompetensi yang di miliki akan jauh berbeda dengan penduduk yang bertempat tinggal di kota besar. Maka, seperti pada kenyataanya banyak pula formasi di daerah-daerah yang mengalami kekosongan. Terlepas dari semua itu upaya pemerintah untuk mencari seorang aparatur negara yang berkualitas harus terus dilakukan dengan adanya perbaikan pintu masuk, yaitu rekrutmen.

OPINI KR, 21 November 2018

Nurmalita Ayuningtyas, S,H., M.H.

Dosen Muda Fakultas Hukum UII

 

Tulisan ini telah dimuat di Surat Kabar Kedaulatan Rakyat