Misinterpretasi terhadap Putusan MK RI tentang LGBT dan Zina oleh Muhammad Teguh Pangestu

Putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016 bukanlah melegalkan LGBT dan kumpul kebo sebab MK tidak berwenang untuk memidanakan pelaku LGBT dan kumpul kebo.

 

Beberapa hari yang lalu, Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan uji materi Pasal 284, 285, dan 292 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang dimohonkan oleh Euis Sunarti dan sebelas Pemohon lainnya. Ketiga Pasal tersebut mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Dalam judicial review tersebut, seluruh Pemohon meminta agar MK memperluas ruang lingkup delik kejahatan terhadap kesusilaan.

 

Para Pemohon dalam permohonanya meminta agar Pasal 284 KUHP tidak perlu memiliki unsur salah satu orang berbuat zina sedang dalam ikatan perkawinan dan tidak perlu ada aduan.

 

Kemudian, Pemohon memohon agar MK mengatakan bahwa pemerkosaan mencakup semua kekerasan atau ancaman kekerasan untuk bersetubuh, baik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan maupun yang dilakukan oleh perempuan terhadap lak-laki.

 

Lebih lanjut, Para Pemohon meminta frasa “belum dewasa” yang terdapat dalam Pasal 292 KUHP dihapuskan sehingga semua perbuatan seksual sesama jenis dapat dipidana. Selain itu, homoseksual harus dilarang tanpa membedakan batasan usia korban, baik belum dewasa maupun telah dewasa.

 

Dengan ditolaknya permohonan uji materi tersebut, banyak dari kita yang mengatakan “rezim ini melegalkan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) dan zina!” Dengan adanya pernyataan yang dilontarkan dari pihak tersebut, sekiranya mereka terlebih dahulu memahami fungsi dan kewenangan MK sehingga mereka tidak beranggapan MK telah melegalkan LGBT dan perzinahan.

 

Salah satu kewenangan yang dimiliki MK yakni melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”. Dari bunyi Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada 4 (empat) kewenangan MK.

 

Kewenangan MK untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 tidak hanya ditemukan dalam UUD 1945. Namun, regulasi yang memberikan MK kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dapat kita temukan dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5076) (selanjutnya disebut UU KK).

 

Dimana, dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, …”

 

Kemudian, Pasal 29 ayat (1) UU KK yang berbunyi, “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945”.

 

Adapun maksud dari MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 adalah, ketika ada pihak yang merasa sebuah undang-undang bertentangan dengan UUD 1945, maka ia dapat mengajukan permohonan ke MK untuk membatalkannya. Apabila MK menyatakan bahwa undang-undang tersebut melanggar UD 1945 (baca: ‘inkonstitusional’), maka undang-undang tersebut (sebagian atau seluruh pasalnya) bisa dibatalkan.

 

Apabila kita membaca putusan MK Nomor 46/PUU-XIV/2016, tidak ditemukan kalimat yang menyatakan MK melegalkan LGBT dan zina. Pihak yang menyatakan bahwa MK telah melegalkan LGBT dan zina itu merupakan kesalahan fatal. Sebab, mengacu pada kewenangan MK yang telah penulis jelaskan di atas tersebut, MK tidak berwenang untuk mengubah undang-undang dan membuat norma baru. Pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan undang-undang yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tidak ada pihak yang berwenang melakukan perubahan undang-undang selain DPR.

 

Permohonan yang diajukan oleh Pemohon agar MK mengkriminalisasi LGBT dan zina merupakan memperluas pasal sehingga membentuk rumusan pidana yang baru. Oleh karena itu, sudah bukan lagi kewenangan MK tapi itu merupakan kewenangan legislator (DPR).

Apalagi, ini merupakan ranah hukum pidana. Dalam disiplin hukum pidana dikenal asas legalitas atau dalam bahasa Latin disebut Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Artinya, seseorang tidak dapat dipidana kecuali ada undang-undang yang mengatur sebelum perbuatan dilakukan. Asas legalitas ini dapat kita temukan dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

 

Secara akademis, penulis menilai bahwa putusan MK di atas tersebut sudah tepat. Sebab, MK tidak berwenang untuk mengubah undang-undang. MK hanya berwenang melakukan pengkajian apabila ada undang-undang yang bertentangan dengan UUD 1945 (konstitusi).

 

Tapi, dikalangan masyarakat luas, putusan MK ini bisa menimbulkan misinterpretasi dan berujung menghadirkan polemik di masyarakat.

 

Dengan demikian, dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa putusan MK ini bukanlah melegalkan LGBT dan kumpul kebo. Tapi, hanya mengembalikan apa yang sudah ada di dalam KUHP. MK tidak berwenang untuk memidanakan pelaku LGBT dan kumpul kebo. Apabila ada pihak yang ingin pelaku LGBT dan kumpul kebo dipidana, maka silahkan mengajukan permohonan kepada DPR untuk mengubah pasal yang mengatur tentang kejahatan terhadap kesusilaan.

 

Penulis berpesan kepada MK agar dalam hasil putusan lainnya jangan sampai ditafsirkan berbeda di masyarakat. Jangan sampai masyarakat memahami seoalah-olah LGBT dan kumpul kebo merupakan tindakan yang legal. Jadi, pihak yang melihat putusan MK seolah-olah melegalkan LGBT dan kumpul kebo itu salah besar.

Muhammad Teguh Pangestu Alumni FH UII
Penulis adalah Pengamat Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia.
*) Tulisan ini sudah diterbitkan di Waspada, Rabu 20 Des 2017