Persentuhan Hukum Administrasi Dan Hukum Pidana oleh Despan Heryansyah

Persentuhan Hukum Administrasi Dan Hukum Pidana

Setelah menunggu selama lebih dari 10 tahun, akhirnya UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan lahir, meskipun secara substansial jauh bergeser dari rancangan pertama kemunculan undang-undang ini. Hal ini dapat dimaklumi mengingat perubahan komposisi tim ahli yang menyusunnya. UU ini tidak saja menjadi dasar materil Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dalam memeriksa perkara di persidangan, namun juga menjadi landasan bagi aparatur pemerintahan dalam bertindak dan mengeluarkan keputusan.

Sayangnya menjelang empat tahun disahkannya undang-undang ini muncul beberapa persoalan yang mengindikasikan lahirnya UU Nomor 30 Tahun 2014 ini tidak melalui sistematisasi dan harmonisasi yang baik. Persoalan itu menyangkut persoalan teoritis hingga menyangkut praktek peradilan.

Persoalan teoritis misalnya menyangkut pengklasifikasian keputusan dan tindakan yang berada pada satu jengjang aktifitas pemerintahan yang sejajar. Padahal sebelumnya, dalam ilmu hukum administrasi negara, tindakan adalah genus dari keputusan dalam artian keduanya tidak berada dalam posisi yang sejajar. Persoalan lain misalnya terkait kewenangan  PTUN menguji keputusan dan/atau tindakan Mahkamah Agung, bagi banyak pihak ketentuan ini melanggar asas nemo judex in caus sua yaitu larangan menguji lembaganya sendiri. Namun demikian, sayangnya persoalan teoritik ini hanya selesai pada ranah akademik, artinya tidak memiliki dampak apa-apa terhadap putusan pengadilan.

Persoalan berikutnya yang menarik untuk dibicarakan lebih jauh adalah persoalan hukum yang menyangkut praktek peradilan. Salah satu yang akan penulis bahas adalah terkait dengan persentuhan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana khususnya menyangkut pidana korupsi, atau antara UU Nomor 30 Tahun 2014 dan UU Nomor 31 Tahun 1999. Di mana kedua undang-undang ini mengatur mengenai tindakan penyalahgunaan wewenang namun dengan sanksi yang berbeda serta penyelesaian yang juga berbeda.

Pasal 3 UU Korupsi menyatakan bahwa penyalahgunaan wewenang yang dapat berujung pada kerugian uang negara adalah termasuk korupsi dipidana dengan hukuman maksimal penjara seumur hidup atau paling singkat selama satu  (1) tahun, sedangkan rumusan di dalam Pasal 17 UU No 30 Tahun 2014 dinyatakan badan dan/atau pejabat pemerintahan dilarang menyalagunakan wewenang. Cukup menarik karena satu perkara hukum (penyalahgunaan wewenang) diatur di dalam dua norma undang-undang yang berbeda, satu undang-undang memasukkannya sebagai pelanggaran pidana sedangkan satu undang-undang memasukkanya sebagai pelanggaran administrasi. Permasalahan muncul ketika perkara yang sama diajukan secara bersamaan di dua pengadilan tersebut, MA memang sudah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma), yang mangatur bahwa perkara pidana harus lebih dahulu diselesaikan dan mengenyampingkan perkara administrasi, meskipun secara teoritis aturan tersebut sedikit bermasalah karena asas hukum mengatur “Lex specialis de rogad lex generalis”.

Masalah berikutnya muncul ketika suatu perkara sudah diperiksa dan diputus oleh PTUN yang menyatakan tidak ada penyalahgunaan wewenang. Lalu perkara tersebut diajukan kembali ke pengadilan tindak pidana korupsi, pertanyaannya sejauh mana putusan PTUN mengikat hakim di pengadilan tindak pidana korupsi? Terlebih jika dalam perkara itu jelas terdapat pelanggaran hukum yang merugikan keuangan negara?. Akal sehat tentu saja mengarahkan agar perkara tersebut harus dibawa kepersidangan dengan mengenyampingkan putusan PTUN. Namun sampai hari ini tidak ada norma yang mengatur tentang hal ini dan para hakim pun berbeda pendapat. Sebagian hakim PTUN justru mengatakan perkara itu bukan korupsi karena tidak ada penyalahgunaan wewenang, sehingga terdakwa seharusnya cukup mengembalikan saja kerugian uang negara.

Dinamika persinggungan hukum administrasi dan hukum pidana ini tentu harus segera dicarikan solusinya. Jangan sampai celah administrasi justeru dimanfaatkan oleh kalangan tertentu untuk melakukan korupsi, dengan dalih kalau tertanggap ia hanya melakukan pelanggaran administrasi. Terlebih pada negara yang realitas penegakan hukumnya masih sangat rendah, maka sekecil apapun ruang “mengelabui” hukum harus dihilangkan.

Despan Heryansyah adalah Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII Yogyakarta.