Politik atau Politisasi? oleh Ahmad Sadzali, Lc., M.H.

Politik atau Politisasi?

Jakarta -Kata “politisasi” kerap mengandung konotasi negatif. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan cara-cara berpolitik yang tidak etis dan sangat pragmatis. Dan, seolah ada kesepakatan umum, termasuk para politisi, untuk memusuhi kata “politisasi”. Padahal tidak ada jaminan juga semua politisi benar-benar bebas dari politisasi.

Politik akhirnya diupayakan untuk membersihkan diri dari kotoran-kotoran politisasi. Setidaknya, untuk mewujudkan politik yang beretika dan santun. Tapi, upaya ini sangat tidak mudah dilakukan. Problemnya, bagaimana bisa mengetahui dan membedakan suatu hal itu murni politik, ataukah ia sebenarnya hanya politisasi?
Wacana tentang dana kelurahan yang belakangan hangat diperbincangkan adalah contoh bagaimana politik dan politisasi berada di persimpangan jalan. Meski masih berbentuk wacana, tapi isu ini sudah sangat liar dan ditarik ke segala arah yang memiliki kepentingan-kepentingan setidaknya untuk pemilihan umum serentak tahun depan. Lalu, ramailah diskusi di media apakah ini merupakan politisasi kebijakan ataukah murni kebijakan politik.
Dilema untuk membedakan antara kebijakan politik dan politisasi kebijakan itu sama beratnya dengan dilema dalam isu politik agama dan politisasi agama. Misalnya, untuk membedakan kapan mimbar masjid boleh digunakan untuk kepentingan politik agama, dan kapan ia harus bersih dari politisasi. Sementara, penyalahgunaan simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan politik praktis saat ini terlihat cukup masif dilakukan.
Memaknai Politisasi

Secara bahasa, politik adalah segala urusan dan tindakan, baik berbentuk kebijakan, siasat, ataupun yang lain. Secara teoritis definisi politik sangat beragam dan banyak aspeknya. Misalnya, seperti yang dikemukakan oleh Deliar Noer (1983) dan Miriam Budiardjo (1982), politik berarti aktivitas atau kegiatan yang berhubungan dengan kekuasaan, baik untuk mempengaruhi, mengubah atau mempertahankan, atau pun proses penentuan dan pelaksanaan suatu tujuan dalam suatu negara.
Sedangkan, definisi politisasi secara bahasa berarti hal membuat keadaan bersifat politis. Atau, menjadikan hal suatu hal bersangkutan dengan politik. Menurut Deutsch seperti yang dikutip oleh Kartini Kartono (1989), politisasi berarti membuat segala sesuatu menjadi politik (politicization is making things political). Sepintas, tidak ada konotasi negatif dari makna politisasi. Bahkan, politisasi bisa saja dianggap sebagai bagian dari proses politik.
Politisasi mulai dapat dimaknai sebagai sesuatu yang kotor dalam politik ketika dibenturkan dengan hukum atau peraturan kampanye dalam politik. Dalam hal ini misalnya Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau dengan Peraturan KPU No. 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum.
Di dalam aturan tersebut, ada hal-hal yang dilarang dalam kampanye politik. Selain itu juga ada hal-hal yang seharusnya netral dari politik praktis. Maka di sinilah politisasi mendapatkan tempatnya untuk disematkan stigma negatif. Sebab untuk meyakinkan pemilih di dalam kampanye politik semestinya dilakukan dengan menawarkan visi, misi, program, maupun citra diri peserta pemilu. Bukan malah dengan mempolitisasi sesuatu yang mestinya netral untuk menarik simpati.
Misalnya di dalam Undang-Undang Pemilu diatur bahwa kampanye pemilu dilarang menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan. Kemudian juga ada larangan mengikutsertakan beberapa perangkat negara seperti aparatur sipil negara, polisi, TNI, perangkat desa, dan lainnya dalam kampanye. Ketika aturan tersebut dilangggar, maka dapat dikatakan sebagai politisasi atas objek-objek larangan tersebut.
Pelanggaran terhadap aturan kampanye itu dapat dikategorikan sebagai politisasi yang jelas. Untuk mengetahui dan mengidentifikasinya cukup mudah, karena sudah dipositifkan dalam peraturan. Bahkan ada lembaga yang bertugas khusus untuk mengawasi pelanggaran-pelanggaran tersebut, yaitu Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Misalnya, salah satu tugas Bawaslu adalah mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota TNI dan Polri.
Namun, ada politisasi jenis lain yang saya sebut dengan politisasi yang samar-samar. Politisasi jenis ini cukup sulit untuk dibuktikan, sebab ia berada pada zona abu-abu. Sebut saja politisasi agama sebagai contoh. Politisasi agama hampir selalu muncul di setiap pemilu. Ranah politisasi agama sangatlah luas sekali. Bisa dengan menggunakan dalil-dalil agama, pemanfaatan kegiataan keagamaan, penggunaan simbol-simbol keagamaan, dan lain sebagainya. Sementara, di dalam aturan kampanye hanya ada larangan penggunaan tempat ibadah saja. Padahal politisasi agama dapat dilakukan di mana saja, tidak hanya di tempat ibadah.
Bahkan politisasi yang samar-samar ini bisa berada pada zona di luar larangan-larangan dalam aturan kampanye. Misalnya politisasi simbol-simbol kebangsaan dan nasionalisme. Saya mencatat, politisasi ini pernah terjadi setidaknya ketika pemilu kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017 lalu, untuk melawan politisasi agama.
Di titik inilah dinding tipis pemisah antara politik dan politisasi. Dan, di sini jugalah tantangan terberat untuk membedakan antara politik dan politisasi. Mungkin tidak ada hukum yang melarangnya. Tapi, kewarasan etika politik kita yang bekerja untuk mencap politisasi ini pantas ataukah tidak.
Manafsirkan Pesan Politis

Sebenarnya letak pembeda antara politik dan politisasi samar-samar adalah pada niat si pelaku atau si pembuat pesan. Inilah yang menyebabkan sulitnya mengungkapkan politisasi yang samar-samar. Misalnya, sebenarnya yang paling tahu bahwa kebijakan dana kelurahan—jika nantinya jadi terealisasi di tahun politik—itu murni kebijakan politik ataukan ada unsur politisasi adalah Presiden selaku pemegang kebijakan. Atau, yang paling tahu bahwa dalil yang dibawakan seorang penceramah agama dalam suasana politis termasuk politisasi agama ataukah murni politik agama adalah si penceramah itu sendiri.
Namun demikian, bukan berarti kita yang menerima pesan (politik ataukah politisasi) tersebut tidak dapat melakukan penilaian. Posisi adalah penafsir. Maka, sebenarnya cukup banyak metode penafsiran yang dapat kita gunakan dalam melihat fakta pesan yang dikirimkan oleh pejabat, politisi, atau siapa saja yang pesannya bernuansa politis.
Misalnya, kita dapat meminjam seni memahami atau hermeneutikanya Friedrich Schleiermacher, dengan mencoba masuk ke dunia si pengirim pesan. Salah satu cara dengan memahami psikologis si pengirim pesan tersebut (interpretasi psikologis). Cara ini mungkin cukup mudah digunakan untuk mengungkap jenis politisasi yang samar-samar. Kondisi psikologis si pengirim pesan politis tersebut misalnya bisa dilihat dari posisi dia ketika pesan itu dikirimkan, seperti sebagai anggota partai, calon politik, simpatisan, kerabat politisi, dan lainnya.
Peluang munculnya politisasi dari kondisi psikologis yang paralel dengan kepentingan politik sangatlah besar sekali. Tentu berbeda dengan suatu kondisi psikologis yang memang netral dari kepentingan politik. Namun demikian, hal ini bukan juga berarti bahwa seluruh politisi atau simpatisannya pasti melakukan politisasi, sehingga seakan tidak ada ruang sama sekali bagi politik yang objektif.
Ruang objektivitas politik itu sebenarnya tetap ada bagi para politisi atau simpatisan politik. Maka, untuk mengungkap ini misalnya kita juga dapat meminjam hermeneutikanya Martin Heidegger (hermeneutika faktisitas), yang terpengaruh dengan fenomenologi Edmund Husserl. Biarkanlah fakta pesan politis itu memunculkan dirinya sendiri tanpa dipengaruhi oleh prasangka apapun, hingga pada akhirnya benar-benar tampak apakah ia murni politik ataukah politisasi.

Namun, apapun metode penafsiran yang kita gunakan dalam mengungkap politisasi, kita tetap berharap agar politisasi itu tidak ada. Sebab, politik yang bermartabat adalah politik tanpa politisasi.Ahmad Sadzali dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Diterbitkan oleh online new.detik.com, Selasa 06 November 2018, 13:29 WIB