Prof. Dr. H. Rusli Muhammad, SH., MH. Dikukuhkan menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Pidana FH UII

Kahar Mudzakkir (04/05). Prof. Dr. H. Rusli Muhammad, SH., MH. Dikukuhkan menjadi Guru Besar Bidang Ilmu Hukum Pidana FH UII. Dikukuhkan oleh Sidang Senat Terbuka UIIĀ pada Kamis, 04 Mei 2017 di Gedung Prof. Dr. KaharĀ Mudzakkir Kampus Terpadu UII Jl. Kaliurang Km. 14.4 Yk. Hadir paraĀ perwakilan seluruh civitas akademika UII mulai dari unsur Badan Wakaf, rektorat, dosen, dan tenaga kependidikan sertaĀ para kerabat, sahabat, dan orang-orang terdekat beliau termasuk senior dan guru yang pernah mengajar beliau.

Sebagaimana Pidato Prof. Dr. H. Rusli Muhammad, SH., MH., dalam Sidang Senat Universitas Islam Indonesia sebagai berikut:

ABSTRAK

Dilihat dari kebijakan penegakan hukum (Law Enforcement Policy) terdapat beberapa tahap penegakan hukum pidana, yakni: Tahap Formulasi (pembentukan), tahap Implementasi (penerapan) dan terakhir tahap Eksekusi (pelaksanaan). Pada setiap tahap didukung dan dilaksanakan oleh kekuasaan. Kekuasaan inilah yang menjadi Pilar kekuatan dalam penegakan hukum pidana dengan lingkup dan wilayah masing-masing. Pilar Legislatif kekuatan pada pembentukan hukum, Pilar Yudikatif, kekuatan pada aplikasi atau implementasi hukum, Pilar Eksekutif kekuatan pada cksekusi dan Pemasyarakatan. Pilar Keempat adalah Masyarakat sebagai kekuatan kontrol dan parti sipasi.

Ke Empat Pilar, pada satu segi menjadi kekuatan yang mampu menciptakan kualitas penegakan hukum pidana, sekaligus dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Namun pada sisi lain ke empat pilar jika tidak didukung oleh moralitas yang tinggi, sarana prasarana yang memadai serta kualitas keilmuan yang dalam, maka masing-masing pilar akan berbalik menjadi kelemahan yang justru dapat merusak dan merendahkan kualitas penegakan hukum dan berakibat hilangnya kepercayaan masyarakat.

Sampai saat ini, Pilar Legislatif, Yudikatif dan Pilar Eksekutif belum mampu memperbaiki kualitas penegakan hukum pidana. Bekerjanya masing-masing pilar dalam batas kewenangannya masih menimbulkan kekecewaan, kekhawatiran dan ketidak pastian dalam masyarakat. Oleh karcna itu usaha perbaikan harus dilakukan dengan meningkatkan kualitas keilmuan baik keilmuan di bidang ilmu hukum mapun di bidang Ilmu Ketuhanan. Melakukan modernisasi atau perbaikan pada manajemen peradilan baik menyangkut administrasi peradilan maupun pembaharuan terhadap hukum acaranya, serta perbaikan sarana dan prasarananya termasuk peningkatan tingkat kesejahteraan.

Sementara Pilar Masyarakat, akan menjadi kekuatan dalam penegakan hukum jika didukung oleh adanya kepentingan bersama, misi visi bersama dan kekuatan personal serta didukung oleh adanya keyakinan dan kepercayaan terhadap kekuasaan Allah. Namun jika hal-hal tersebut tidak terpenuhi, maka Pilar masyarakat kekuatan kontrol dan partisipasinya tidak akan berdampak pada kualitas penegakan hukum.

 


Ā 

PIDATO PENGUKUHAN

EMPAT PILAR KEKUATAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA[1]

Ā 

Bismiltahirrahmanirrahim

Yang terhormat Bapak Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Rl

Yang Terhormat Bapak Koordinator Kopertis Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta

Yang terhormat Pengurus Harian Bodan Wakaf Universitas Islam Indoensia

Yang terhormat Bapak Rektor/Ketua Senat, para anggota senat Universitas Islam Indonesia,

Yang Terhormat Bapak Rektor dari berbagai Universitas lainya yong hadir pada hari ini.

Yang terhormat Wakil Rektor I dan Wakil Rektor II dan Wakil Rektor lit Universitas Islam Indoneisa

Yang terhormat Bapak Dekan dan Waklil Dekan di lingkungan Universitas Islam Indonesia

Yang terhormat para Guru Besar dan seluruh Dosen Universitas Islam Indonesia

Yang terhormat segenap Civitas Akademi Universitas Islam /ndonesia

Yang terhomat alumni dan mahsiswa Universitas Islam Indonesia

Yang terhormat para hadirin dan tamu undangan.

Ā 

Assalamu, alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT atas hidayah, taufiq serta seizinNya sehingga kami dapat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar di bidang Hukum Pidana dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Islam Indonesia. Shalawat dan salam tercurah kepada Baginda Nabi Besar Muhammad SAW yang diutus ke muka bumi untuk menyarnpaikan risalah yang agung dan sempurna, membentuk akhlak yang mulia dan menjadi suri teladan dalam hidup dan kehidupan ummat manusia.

Ketua Senat dan Hadirin yang saya hormati

Pada kesempatan ini perkenankanlah saya menyampaikan pemikiran tentang Empat Pilar Kekuatan dalam Penegakan Hukum Pidana sebagai salah satu respon atas dinarnika penegakan hukum di Indonesia yang selama ini dirasakan masih lemah sehingga selalu dan tetap menjadi pembicaraan yang tidak henti-hentinya.

Istilah empat pilar yang digunakan dalam tulisan ini, tidak dimaknai seperti istilah Empat Pilar Kebangsaan yang selama ini telah populer di pendengaran kita. Akan tetapi Istilah ernpat pilar dirnaksudkan adalah 4 komunitas yang berperan dalam penegakan hukum pidana, 3 diantaranya adalah isntitusi kenegaraan yang diberikan kekuasaan oleh konstitusi yakni Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif. Satu yang lainnya adalah komunitas masyarakat atau Rakyat. Empat pilar inilah masing-masing memiliki kekuatan sesuai dengan lingkup dan kewenangannya dalam penegakan hukum pidana. Pilar Legislatif kekuatan pada pembentukan hukum, Pilar Yudikatif, kekuatan pada aplikasi atau irnplementasi hukum, Pilar Eksekutif kekuatan pada eksekusi dan Pemasyarakatan. Sementara pilar Keempat yakni Masyarakat sebagai kekuatan kontrol dan partisipasi. Bagaimana realitas masing-masing pilar tersebut, akan diuraikan secara berurutan berikut ini.


Pertama: Pilar Legislatif Kekuatan Pembentukan Hukum Pidana

Penegakan hukum pidana tidak akan berjalan tanpa adanya hukum yang ditegakkan yang dibuat oleh lembaga yang berwenang. yakni Legislatif. Di Indonesia, kekuasaan ini dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Dalam berbagai pengalaman dan realitas yang ada, bahkan dalam dataran teoritik, Institusi Legislatif tidak dapat dipisahkan dengan penegakan hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa proses penegakan hukum juga berada dalam wilayah legislatif yakni ketika bekerjanya instsitusi ini. Sejalan dengan itu Satjipto Rahardjo menyebutkan penegakan hukum sudah dimulai pada saat peraturan hukumnya dibuat atau diciptakan. [2] Penegakan hukum di wilayah legislatif ini terlihat pada saat fungsi legislasi mulai bekerja dan keseluruhan prosess pembentukan undang-undang adalah menjadi gambaran proses penegakan hukum yang terjadi melalui Pilar Legislatif.

Proses pembentukan undang-undang dengan berpedoman pada Undang-Undang dapat diketahui melalui beberapa tahapan yakni:

Tahap Petama: Perencanaan Pembentukan Undang-undang Tahap Kedua: Persiapan dan Pengajuan Rancangan Undang- Undang. Tahap Ketiga: Pembahasan Rancangan Undang-Undang. Tahap Keempat: Pengesahan RUU dan Pengundangan

Keseluruhan tahap-tahap tersebut di atas adalah wujud dari proses penegakan hukum inabstrakto dan menjadi kewenangan Pilar Legislatif sekaligus bagian kekuatan dalam penegakan hukum. Kekuatan ini tidak hanya sekedar mampu menjalankan dan berada pada setiap tahapan-tahapannya, tetapi juga mampu menghasilkan produk-produk hukum yang berkeadilan, berdaya guna dan memiliki daya keberlakuannya. menjadi muatan/materi sekaligus menjadi sumber kekuatan dalam proses penegakan hukum berikutnya. Namun Kekuatan demikian akan terjadi jika tahapan pembentukan hukum telah dilakukan dengan memenuhi standar akademik dan kualifikasi prosedur yang benar, jika tidak kekuatan itu akan mendatangkan hasil yang berbeda.

Secara teoritik pada studi kebijakan hukum pidana, mengingatkan bahwa diperlukan dua pendekatan dalam pembentukan atau pembaharuan hukum pidana, yakni:pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy oriented approach”) dan pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach”)[3]. Kedua pendekatan inilah menjadi standar akademik dan kualifikasi prosedur dalam pembentukan hukum.

Pada pendekatan yang berorientasi pada kebijakan dapat dimaknai bahwa pembentukan hukum pidana sebagai bagian kebijakan penegakan hukum tidak sekedar melakukan perbaikan atau perubahan terhadap masalah-masalah pokok dalam hukum pidana melainkan pula menjadi suatu pilihan dalam upaya menanggulangi tingkat kejahatan dan lebih jauh lagi adalah sebagai upaya member! perlindungan masyarakat yang pada gilirannya tumbuh rasa aman dan meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Sementara itu, Pendekatan nilai dimaksudkan adalah upaya pembentukan hukum pidana harus terdapat nilai-nilai, tidak saja menjadi dasar atau latar belakang mendorong dilakukan pembentukan hukum pidana, atau menjadi muatan melainkan pula adalah menjadi tujuan yang harus dilindungi oleh hukum pidana. Pembentukan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dengan nilai, karena landasan bernegara dan menjadi sumber dari segala sumber hukum adalah Pancasila yang sarat dan kumpulan dari nilai-nilai yang digali dari Bangsa Indonesia sendiri.

Pancasila yang mengandung nilai-nilai adalah inspirasi dalam pembaharuan hukum pidana. Oleh karena itu, nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan dan Keadilan Sosial adalah nilai-nilai fundamental yang seharusnya menjadi latar belakang, muatan dan sekaligus menjadi tujuan pembentukan hukum pidana. Khusus nilai Ketuhanan mendorong Pembentukan Hukum Pidana harus dilakukan dengan pendekatan religius, dengan pendekatan ini, mengharuskan melakukan kajian komparatif dan berorientasi pada nilai-nilai hukum yang hidup yang bersumber dari hukum agama. Menurut Barda Nawawi Arif Pendekatan religius merupakan amanat dan sekaligus tuntutan BANGNAS dan BANGKUMNAS, karena pembaharuan SISKUMNAS (SIN) yang selama ini ingin dituju adalah SHN ber-Pancasila.[4]

Dengan berlandaskan pemikiran dan standar akademik tersebut di atas dapat dipahami bahwa pembentukan hukum pidana dalam berbagai tahapannya adalah suatu proses pemikiran yang rasional, memiliki orientasi yang jelas, baik menyangkut kebijakan dalam artian mikro (kebijakan pembaharuan hukum subtantif), peso (kebijakan penanggulangan kejahatan) maupun makro (kebijakan sosial). Selain itu pembentukan hukum harus memperhatikan dan berorientasi pada nilai-nila yang hidup, berkembang dan dianut oleh masyarakat yang mendasari berbagai kebijakan yang dipilih. Tanpa pendekatan dan mengadopsi hal-hal yang demikian tahapan-tahapan pembentukan hukum dibawah kendali Pilar Legislatif tidak akan menghasilkan produk hukum yang memiliki daya keberlakuan yang primer serta penegakan hukum pidana yang independen.

Dengan melihat realitas yang ada, Institusi Legislatif dengan kewenangan yang dimilikinya, telah banyak produk hukum dalam bentuk undang-undang yang dihasilkan, namun demikian apakah produk undang-undang yang telah dihasilkan itu telah memenuhi kualifikasi akademik seperti tersebut di atas sehingga hasilnya telah bernilai dan memenuhi rasa keadilan masyarakat atau hanya sekedar memenuhi permintaan kelompok yang berkepentingan semata.

Penegakan hukum telah terjadi di wilayah Legislatif, namun masih dirasakan Pilar ini belum ada keseriusan memenuhi tuntutan kualifikasi akademik dalam setiap proses pembentukan hukum, terkadang justru ditemukan proses pembentukan hukum (pidana) lebih dilandasi pikiran-pikiran yang emosional atau pikiran dari kelompok berkepentingan sehingga menghasilkan produk hukum yang memihak dan tekadang masa berlakunya hanya sesaat karena harus menghadapai gugatan Yudisaial Review. (JR)

Penegakan hukum yang berkeadilan adalah suatu keharusan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang dirancang dan dirumuskan dengan menggunakan berbagai pendekatan tersebut di atas. Selain itu dibutuhkan pula para legislator yang kompeten, berilmu, kematangan hati nurani dan memiliki kepercayaan yang tinggi. Dengan terpenuhinya berbagai persyaratan tersebut, menjadikan pilar legislatif sebagai kekuatan dalam mewujudkan penegakan hukum pidana yang berkualitas dan berkeadilan. Namun sebaliknya jika pensyaratan tersebut diabaikan, maka yang terjadi adalah penegakan hukum yang diskriminatif, sewenang-wenang, tidak berprikemanusiaan dan bahkan dholim.

 

Ketua Senat dan Hadirin yang saya hormati

Kedua: Pilar Yudikatif Kekuatan pada aplikasi atau penerapan Hukum Pidana.

Di Indonesia kekuasaan yudikatif disebut juga kekuasaan kehakiman yaitu kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan ini dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalarn lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh Mahkamah Konstitusi.

Tanpa menyimpangi makna kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman seperti tersebut di atas, pada tulisan ini akan dilihatnya dari sisi yang lain yakni ditempatkan atau dijadikan sebagai salah satu pilar kekuatan dalam penegakan hukum. Hal ini dilakukan berdasarkan pemikiran bahwa “kekuasaan kehakiman” pada dasarnya juga merupakan “kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum[5]. Dengan demikian kekuasaan yudikatif atau kehakiman tidak dibatasi pada kekuasaan mengadili yang menjadi kewenangan pengadilan, melainkan akan dipandang sebagai sistem kekuasaan menegakkan hukum pidana sehingga selain kekuasaan mengadili juga meliputi kekuasaan penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut umum dan kekuasaan penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka Pilar Yudikatif di dalamnya didukung dan dilaksanakan oleh Penyidik, Penuntut Umum dan hakim pengadilan, sekaligus masing-masing menjadi kekuatan dalam penegakan hukum pidana.

Pilar Yudikatif sesuai dengan kewenangan berdasarkan tahapan dalam penegakan hukum (tahap aplikasi) adalah menerapkan produk hukum yang dihasilkan oleh Pilar Legislatif ke dalam kasus-kasus yang nyata. Menerapkan atau mengaplikasikan hukum khususnya hukum pidana berdasarkan sistem peradilan pidana adalah melalui berbagai tahapan dengan institusi penegak hukum yang berbeda-beda. Pada tahap pertama diawali dari Lernbaga Kepolisian, berikutnya Kejaksaan, kemudian di teruskan ke Lembaga Pengadilan dan berakhir pada Lernbaga Pemasyarakatan.

Pada tahap pertama oleh Lernbaga Kepolisian yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan[6]. Tahap kedua adalah lembaga kejaksaan bertugas melakukan penuntutan yang dilakukan oleh Penuntut Umum. Tahap ketiga adalah menjadi kewenangan Pengadilan yang dipimpin oleh hakim dengan menggunakan tahapan-tahapan dan prosedur yang baku.

Dalam praktik melaksanakan atau mengimplementasikan hukum pidana tidak selamanya berjalan lancar terkadang menemukan berbagai persoalan dan hambatan. Persoalan dan hambatan ini tidak saja pada managemen peradilan, tetapi juga adanya interpensi atau pengaruh dari pihak-pihak yang bekepentingan yang terkadang sulit dihindari. Selain hal tersebut, persoalan dan hambatan ini semakin diperberat jika dihadapkan pada produk legislatif yang bermasalah yakni produk legislatif yang mengandung cacat sejak pembuatannya baik cacat secara filosofis, yuridis maupun cacat secara sosiologis sehinga hukumnya sangat sulit dilaksanakan.

Apa yang harus dilakukan oleh Penegak hukum, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim sebagai komponen Pilar Yudikatif jika dihadapkan atau berhadapan dengan berbagai persoalan dan hambatan yang demikian?.

Menghadapi hal yang demikian, khususnya menghadapi produk legislatif yang bermasalah, membutuhkan keberanian para penegak hukum, untuk melakukan perbaikan dan perubahan atau jika perlu keluar dari dogma atau mindset yang membatasi diri dalam dataran normatif, keluar dari segenap belenggu azas, teori, bahkan kalau perlu berpikir di luar paradigma yang ada selama ini. Para penegak hukum dengan dukungan hukum progresif memberanikan diri berpikir bebas bertanggung jawab dan tidak terikat oleh pemikiran-pemikiran hukum dengan segenap teori, azas, paradigma berpikir yang dijadikan pijakannya, yang kesemuanya itu sudah tidak relevan dan tidak sesuai lagi dengan kehidupan dan perkembangan hukum saat ini.

Teringat kembali kepada seorang Begawan Sosiologi Hukum Satjipto Rahardjo yang selalu mendorong dan mengajak untuk berpikir bebas dan berani keluar dari belenggu normatif yang formalistik untuk pembebasan. Manusia adalah sentral dalam hukum, menurutnya kehadiran manusia sebagai stakeholder utama dalam hukum akan menempatkannya sejajar dengan peraturan hukum, kalau tidak, bahkan pada tempat yang lebih tinggi.[7]

Dengan memperhatikan pemikiran Satjipto Rahardjo tersebut di atas, maka Piiar Yudikatif dengan segenap perangkatnya adalah selalu mencari dan menemukan langkah-langkah dan model-model dalam menerapkan hukum pidana dengan memilih model-model peradilan[8] yang tepat. Selain kemampuan untuk menentukan pilihan-pilihan model, diperlukan pula keterbukaan untuk saling mengevaluasi, saling memperbaiki dan melakukan kontrol secara timbal balik terhadap kinerja masing-masing pilar sehingga kelemahan dan potensi penyimpangan dan hambatan-hambatan yang akan terjadi dapat diperbaiki dan diatasi oleh pilar lainnya. Dengan demikian proses penegakan hukum pidana tetap pada landasan dan tujuannya semula.

Ketua Senat dan Para Undangan Yang kami hormati.

Ketiga: Pilar Eksekutif, pada kekuatan eksekusi dan pemasyarakatan

Dalam kontek penegakan hukum pidana, Pilar Eksekutif memiliki kekuasaan eksekusi dan pemasyarakatan yakni melaksanakan putusan pengadilan dan pernbinaan terhadap napi melalui lembaga pemasyarakatan. Aktivitas jaksa dan lembaga pemasyarakatan dalam melaksanakan putusan pengadilan dan pemasyarakatan adalah wujud dari proses penegakan hukum pada tahapan akhir.

Kewenangan jaksa melaksanakan putusan pengadilan berdasarkan Pasal 270 KUHAP, yang menentukan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dilakukan oleh jaksa. Dengan dernikian pada pundak jaksalah kekuatan melaksanakan putusan pengadilan, sekaligus sebagai kekuatan penegakan hukum pidana. Oleh karena itu agar tidak terjadi penyirnpangan dan kesalahan dalam melakasanakan putusan pengadilan, jaksa harus mengetahui dan memahami prosedur pelaksanaan putusan pengadilan.

Kendati kewajiban Jaksa menjalankan atau melaksanakan eksekusi terhadap setiap putusan pengadilan, namun dalam kenyataannya terkadang ditemukan ada putusan di mana Jaksa menghentikan putusan atau menunda pelaksanaan putusan tersebut. Terlepas apa yang menjadi alasan Jaksa menghentikan atau menunda pelaksanaan putusan, namun yang terpenting adalah apakah terdapat dasar pembenar sehingga Jaksa menghentikan atau menunda pelaksanaan putusan pengadilan setidaknya seperti adanya dasar kemanusiaan, dasar keilmuan ataupun dengan menggunakan hati nurani sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Setelah jaksa melaksanakan putusan pengadilan, (misalnya putusan pidana penjara), langkah selanjutnya adalah “Pemasyarakatan”. Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan. Sementara tempat melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS. Lembaga Pemasyarakatan sebagai bagian dari pilar eksekutif adalah di pundaknya kewenangan dan tangung jawab dalam melaksanakan pemasyarakatan. Dengan adanya kewenangan dan tangung jawab yang dimiliki, maka lembaga pemasyarakatan dalam pilar eksekutif adalah menjadi kekuatan pemasyarakatan bagi para narapidana sekaligus sebagai wujud bagian penegakan hukum pidana.

Di lihat dari Sistem Peradilan pidana[9], Lembaga Kemasyarakatan merupakan bagian akhir dari rangkaian penegakan hukum, yang mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sarna dengan sub sistem lainnya. Fungsi utama dari Lembaga ini adalah melakukan pembinaan melalui rehabilitasi dan resosialisasi pelanggar hukum bertujuan agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari kesalahannya, rnemperbaiki din, dan tidak mengulangi tindak pidana[10].

Lembaga Pemasyarakatan saat ini masih dianggap belum mampu menempatkan dirinya sebagai lembaga pembinaan yang berhasil mengembalikan para nara pidana menjadi warga yang baik. Akhir-akhir ini lembaga ini justru menjadi sumber masalah yang mencederai citra penegakan hukum. Lembaga yang semula diharapkan ikut mengurangi tingkat kejahatan tapi justru menyuburkan bahkan jadi sumber kejahatan. Citra lembaga pemasyarakatan harus diakui semakin menurun dan semakin memprihatinkan yang seharusnya segera mendapat perhatian perbaikan.

Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung, penegakan hukum akan gagal, pemasyarakatan menjadi bagian dari pemborosan, bahkan merusak penegakan hukum yang telah berhasil dicapai pada tahap-tahap sebelumnya yakni oleh pilar legislatif dan pilar yudikatif, benar pepatah lama menyatakan” susu sebelanga rusak dengan nila setitik”.

Keempat: Pilar Masyarakat, pada kekuatan Partisipasi dan kontrol Sosial. Ketua Senat dan Hadirin para undangan yang berbahagia.

Kehadiran pilar masyarakat dalam penegakan hukum adalah sebagai tanggung jawab konstitusional yang menempatkan setiap orang mempunyai kedudukan di depan hukum. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa Segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

Bekerjanya Pilar Masyarakat berbeda dengan pilar-pilar lainnya, jika pilar lainnya secara langsung bersentuhan dan berada dalam institusi penegakan hukum, sementara pilar masyarakat bekerjanya di luar institusi tersebut, meski berada di luar namun tetap besinggungan dan memberi dukungan terhadap proses penegakan hukum baik yang berada dilingkungan legislatif, yudikatif maupun eksekutif. Pilar masyarakat akan menjadi kekuatan dalam penegakan hukum adalah ketika masyarakat ikut berpartisipasi dan melakukan kontrol terhadap proses penegakan hukum di setiap tahapan yang dilakukan.

Dalam dataran teori partisipasi masyarakat sebagai wujud adanya kesadaran bermasyarakat, berbangsa dan bernegara akan berguna sebagai masukan dalam proses pembentukan UU. Melalui berbagai masukan dari masyarakat, lembaga legislatif akan memperoleh sudut pandang yang berbeda dalam proses pembentukan UU[11]. Hal ini menjadi perhatian karena tidak jarang dijumpai materi dari rancangan undang-undang berasal dari kalangan kelompok politik tertentu yang tidak mewakili aspirasi kelompok masyarakat pada umumnya.

Kaitan dengan partisipasi masyarakat, Saifuddin menyebutkan bahwa pelaku-pelaku partisipasi masyarakat ini adalah kekuatan-kekuatan masyarakat yang termasuk dalam infrastruktur politik seperti pers, tokoh masyarakat, kelompok penekan, kelompok kepentingan, perguruan tinggi maupun partai politik yang tidak memperoleh wakilnya di lembaga perwakilan. Kekuatan-kekuatan infrastruktur politik ini dapat memberikan kontrol dan pengaruhnya terhadap berbagai keputusan publik yang dikeluarkan melalui wadah undang-undang[12]

Partisipasi masyarakat tidak saja terjadi pada saat pembentukan hukum atau undang-undang tapi juga terjadi ketika implementasi hukum melalui lembaga peradilan. Dalam prsoes peradilan, Pilar masyarakat akan memperlihatkan kekuatannya ketika melakukan kontrol sosial. Dalam Islam kontrol sosial dapat diartikan sebagai ajaran “amarma, ruf nahimunkar”yang merupakan salah satu kriteria untuk menjadi khairun ummah (ummat terbaik) ” sebagaimana disebutkan dalam al Qur, an Surat Al Imron ayat 110 Yang artinya “Kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, memerintahkan kepada kebajikan (ma, ruf) dan mencegah kemungkaran dan her/man kepada Allah”.

Dalam kontek penyusunan atau pembuatan hukum, penerapan hukum, termasuk pelaksanaan hukum, setidaknya ayat tersebut dapat dijadikan sebagai spirit yang harus ditanamkan dalam diri, tidak saja dalam diri para aktor penegak hukum melainkan pula pada masyarakat, karena seperti dikatakan oleh Fassan bahwa selain aparat penegak hukum yang berperan penting dalam penegakan hukum, yang tidak kalah pentingnya juga adalah peran masyarakat dalam penegakan hukum atau sebagai sosial kontrol13

Sebagai salah satu kekuatan dalam penegakan hukum, maka Pilar masyarakat melalui partisipasi dan pengawasannya telah berhasil menggerakan proses penegakan hukum. Jika semula proses penegakan hukum berjalan lambat bahkan terkadang berhenti, namun dengan adanya partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuknya, menjadikan proses penegakan hukum yang lambat dan sudah redup, kembali hidup bahkan berjalannya menjadi super cepat. Salah satu bukti yang belum terlupakan dan masih terasa di telinga adalah Aksi Bela Islam yakni serangkaian unjuk rasa yang dilakukan di Indonesia, terutama di kota Jakarta.

Namun harus disadari bahwa Pilar masyarakat, menjadi suatu kekuatan dalam penegakan hukum tidak berdiri sendiri dan tidak muncul dengan sendirinya, melainkan muncul bersamaan dengan adanya kepentingan bersama dan misi visi bersama serta adanya kekuatan-kekuatan personal yang mampu menggerakkan, pemersatu dan menjadi teladan dalam setiap langkah dan aktivitas perjuangan yang dilakukannya.

Selain hal tersebut, faktor kepercayaan dan keyakinan menjadi faktor inspiratif mendorong melibatkan diri secara bersama-sama (berjamaah) dalam komunitas masyarakat. Munculnya kepercayaan dan keyakinan tidak lepas dari ajaran agama yang diyakini bahwa tangan Tuhan berada dan bersama-sama dengan jamaah. Dengan adanya keyakinan seperti itu, semakin menambah dan menumbuhkan partisipasi yang kuat karena di sana ada tangan Tuhan bersamanya.

Pilar masyarakat dengan kekuatan yang dimiliki tidak selamanya mendorong dan berdampak positif kepada proses penegakan hukum, dalam praktik dijumpai juga pilar masyarakat, tampil dengan kekuatan justru merusak proses penegakan hukum. Hal ini dapat terjadi karena orientasi dan latar belakang mereka semata-mata karena kepentingan ekonomi, kekuasaan baik secara individu, kelompok ataupun golongan.

Hadirin dan Para undangan yang berbahagia.

Dengan menyadari bahwa Keempat Pilar Kekuatan dalam penegakan hukum pidana, hingga sekarang ini belum memperlihatkan kualitas penegakan hukum yang mampu menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Hal tersebut karena masih adanya berbagai persoalan dan hambatan yangterjadi. Oleh karena itu, berbagai usaha-usaha perlu dilakukan, diantaranya adalah sebagai berikut:

 

  1. Peningkatan kualitas keilmuan.

Persoalan utama penegakan hukum pidana adalah pada kualitas keilmuan. Menurut Barda Nawawi Arif: Kualitas keilmuan, tidak hanya semata-mata dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan pengembangan ilmu hukum itu sendiri, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas nilai dan produk dari proses penegakan hukum (in abstracto maupun “in concrete”). [13] Pandangan ini mengisyaratkan adanya upaya peningkatan keilmuan baik meningkatkan derajat pendidikan dan pengembangan ilmu dari tingkat dasar hingga tingkat tinggi, juga dan lebih penting adalah meningkatkan kualitas nilai atau hasil yang ingin dicapai.

Namun harus pula disadari bahwa kualitas keilmuan tidak saja terbatas pada kualitas di bidang ilmu hukum tapi perlu pula diimbangi dengan kualitas ilmu ketuhanan yang dapat menuntun seseorang memiliki derajat keimanan dan ketaatan kepada Tuhan. Ilmu ketuhanan akan menyadarkan seseorang akan tanggung jawabnya sebagai pemegang amanah di hadapan Tuhannya. Bersatunya dan bertemunya Ilmu hukum dan ilmu ketuhanan dalam diri seseorang akan menentukan kualitas dan ketinggian derajatnya.[14] Oleh karena itu peningkatan kualitas keilmuan

hukum harus diimbangi dengan peningkatan keilmuan ketuhanan, demikian pula sebaliknya, namun jika tidak akan berdampak buruk pada kualitas penegakan hukum, akan jatuh dan berada pada derajat yang paling bawah.

 

  1. Modernisasi atau Perbaikan Manajemen Perkara Pidana.

Salah satu persoalan krusial yang harus mendapat perhatian di dalam penegakan hukum pidana adalah masalah manajemen penyelesaian perkara pidana. yang dinilai terlalu lambat, memakan waktu yang lama, sangat formalistik dan juga sangat teknis. Cara penyelesaian perkara demikian tidak tepat lagi di zaman moderen sekarang ini yang menghendaki suatu proses yang cepat dan berhasil guna. Upaya modernisasi penanganan perkara adalah menjadi perhatian dan segera dilakukan, tidak saja karena alasan sudah kuno melainkan karena tingkat kejahatan dalam seluruh aspek dan tingkatan kehidupan semakin meningkat dan tidak terkendali.

Upaya modernisasi manajemen perkara pidana selain memperbaiki persoalan administrasi, juga menyangkut hukum acaranya yang mengatur prosedur dan tahapan penyelesaiannya. Masalah administrasi yang terkait dengan berbagai institusi kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan, pembaharuannya harus dilakukan oleh masing-masing pimpinan. Meski menjadi tanggung jawab masing-masing akan tetapi dalam bekerjanya harus memiliki landasan yang sama, perhatian yang sama serta satu tujuan yang sama pula, dengan demikian akan memperlihatkan administrasi peradilan dalam suatu sistem peradilan pidana terpadu (criminal justice system)

Modernisasi pada hukum acara menghendaki adanya pembaharuan hukum acara yang selama ini digunakan. KUHAP yang menjadi aturan pokok hukum acara, materinya sudah banyak ketinggalan tidak mampu lagi mengikuti berbagai berkembangan di bidang hukum materiil dan teknologi Selain itu alur penanganan perkara yang diatur dalam KUHAP memakan waktu yang lama, biaya yang banyak dan tidak efisien sehingga memberikan dampak negatif, terutama bagi mereka yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan terdakwa

Untuk mendukung pemberdayaan manajemen pengadilan, maka selain melakukan penyederhanaan prosedural penyelesaian perkara pidana, perlu pula dilakukan pembatasan perkara yang akan diajukan pada setiap tingkatan pengadilan. KUHAP tidak membatasi berapa nilai perkara yang dapat diajukan ke persidangan, sehingga pencuri ayam seharga Rp. 10. 000 sekalipun, tetap dapat diajukan ke pengadilan. Meskipun telah ada SEMA MA yang memberikan batasan kerugian yang dapat diajukan ke pengadilan.

Di Malaysia kendati susunan dan variasi pengadilan mereka lebih banyak, namun terdapat pembatasan-pembatasan di dalam menangani perkara dan masing-masing diberi wewenang yang berbeda di dalam kasus-kasus yang ditanganinya. Dengan adanya pembagian kewenangan demikian, tentu akan meringankan beban bagi pengadilan dan dengan beban yang lebih ringan dengan sendirinya pula akan dapat memiliki vitalitas yang tinggi sehingga menghasilkan produktifitas yang balk.

Selain kedua usaha tersebut di atas perlu juga mendapat perhatian adalah Perbaikan Fasilitas dan Tingkat Kesejahteraan. Sebab salah satu persoalan yang tetap menjadi perhatian dalam menentukan efektifitasnya penegakan hukum adalah tersedia tidaknya sarana yang mendukung dan tingkat kesejahteraan yang baik.

Ā 

PENUTUP

Bapak, Ibu dan hadirin yang saya hormati.

Sebagai kesimpulan pidato kami ini adalah bahwa Ke Empat Pilar dalam penegakan hukum pidana, pada satu segi menjadi kekuatan yang mampu menciptakan kualitas penegakan hukum pidana dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat, Namun pada sisi lain jika tidak didukung oleh kualitas keilmuan yang dalam, moralitas yang tinggi, sarana prasarana yang memadai maka masing-masing pilar pilar akan berbalik menjadi kelemahan yang justru dapat merusak dan merendahkan kualitas penegakan hukum dan hilangnya kepercayaan masyarakat.

Pada masing-masing Pilar dengan mendasarkan pada pemikiran hukum progresif dapat melakukan upaya evaluasi perbaikan dan kontrol secara timbal balik terhadap kinerja masing-masing pilar sehingga kelemahan dan potensi penyimpangan yang akan terjadi dapat diperbaiki dan diatasi oleh pilar lainnya. Dengan demikian proses penegakan hukum pidana tetap pada landasan dan tujuannya semula.

Namun dengan melihat realitas yang ada, penegakan hukum pidana belum memperlihatkan kualitas yang dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat, masih adanya kelemahan-kelemahan dan potentsi terjadinya penyimpangan pada masing-masing Pilar. Bekerjanya masing-masing pilar dalam batas kewenangannya, masih menimbulkan kekecewaan, kekhawatiran dan ketidak pastian dalam masyarakat. Oleh karena itu usaha perbaikan harus dilakukan dengan meningkatkan kualitas keilmuan baik keilmuan di bidang ilmu hukum mapun di bidang keilmuan Ketuhanan. Melakukan modernisasi atau perbaikan pada manajemen peradilan baik menyangkut administrasi peradilan maupun pembaharuan terhadap hukum acaranya serta perbaikan sarana dan prasarananya termasuk peningkatan tingkat kesejahteraan.

Untuk mengakhiri pidato pengukuhan ini, izinkanlah saya mengungkapkan perasaan, curahan hati, dan do’a sebagai tanda rasa terima kasih atas jasa semua guru, dosen saya, pemimpin dan karyawan di Ull; tertian sejawat, keluarga, dan mahasiswa saya. Tanpa bermaksud mengecilkan arti jasa mereka, saya mohon maaf bahwa hanya sebagian kecil saja diantara mereka yang dapat saya sebut dalam akhir pidato pengukuhan ini.

Capaian jabatan fungsional dan kepangkatan tertinggi di bidang pendidikan saya ini, tidak terlepas dari kasih sayang dan seizin Allah SWT dan kontribusi dan fasilitas dari semua pihak. Untuk itu pertama-tama saya persembahkan rasa syukur sedalam dalamnya kepada Allah SWT atas segala anugrah dan kenikmatan yang diberikan kepada saya dan keluarga. Semoga dengan kesyukuran ini Allah SWT tetap menambah kenikmatan ini dan selalu melindungi dan memberikan petunjuk ke jalan lurus dan yang diridhoiNya.

Ucapan terima kasih secara khusus saya sampaikan kepada Pemerintah Republik Indoesia Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Nasir selaku menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia yang telah berkenan memberikan legitimasi formal atas diri saya melalui SK pengangkatan sebagai Guru Besar dalam bidang Hukum Pidana.

 

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih secara khusus juga saya sampaikan kepada Bapak DR Bambang Supriyadi, selaku Koordinator KOPERTIS Wilayah V yang telah memberikan perhatian yang besar terhadap setiap pengusulan kenaikan pangkat dan jabatan di lingkungan Kopertis wil V sehingga psoses pengajuan berkas usulan kenaikan jabatan berjalan dan dapat terselesaikan dengan baik. Demikian pula kepada Bapak Prof Edy Suandi Hamid yang saat itu menjabat sebagai Rektor Ull kemudian dilanjutkan oleh Bapak Dr. Harsoyo, yang selalu mendorong tiada henti-hentinya agar saya segera memproses Guru Besar saya, dan kemudian memberikan rekomendasi pengusulan Guru Besar saya. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak. Dr. Nandang Sutrisno Rektor Ull pada periode antar waktu sekarang ini yang mendorong saya, baik secara pribadi maupun sebagai Ketua Senat Ull untuk segera melakukan pidato pengukuhan sebagai Guru Besar, dan memfasilitasi untuk studi banding ke Malaysia dalam rangka penyusunan naskah pidato Guru Besar. Terimah kasih juga saya sampaikan kepada Pembantu Rektor Satu Dr. Ir. llya dan Pembantu Rektor Dua Dr. Nur Feriyanto termasuk juga Dekan FH Ull Dr. Aunurrahim dan Wakil Dekan FH Ull Dr. Rohidin yang dengan perhatiannya dan bantuannya baik moril; maupun materiil sehingga saya terbantu dalam mempersiapkan dan mendapatkan gelar Guru Besar ini.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Barda Nawawi Arief, SH. selaku Promotor yang telah membimbing sekalipun ketika itu masih dalam keadaan penyembuhan kesehatan setelah operasi, namun tetap bersedia menerima saya dan membimbing dengan penuh kesabaran dan keihlasan, bimbingannya tidak sekedar bersentuhan dengan keilmuan di bidang hukum melainkan juga menjangkau pada aspek Ketuhanan yang sangat berpengaruh dan berkesan pada diri penulis. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Prof. Dr. Hj. Esmi Warassih, SH. MS. selaku Co Promotor yang telah bersedia membimbing dengan penuh kebijakan dan dengan tambahan-tambahan pendekatan dan nuansa pemikiran lain, semakin memperkaya dan menambah kedalaman penulisan disertasi yang pada akhirnya mengantarkan saya mencapai gelar Doktor.

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Almarhum Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH. , karena tidak sekedar telah bersedia menjadi pembimbing tesis melainkan guru teladan yang telah membuka cakrawala berpikir tentang keluasan ilmu hukum. Guru yang hasil pemikirannya tidak sekedar menambah keluasan ilmu hukum melainkan menjadi ikutan dan rujukan bahkan mampu merubah cara pandang sekian banyak teoritisi khususnya mantan murid-muridnya sendiri. Kepada Almarhumah Ibu Lamya Moeljatno, SH. , sungguh sulit menemukan untaian kalimat yang cocok dan sepadan, untuk menggambarkan betapa besar rasa terima kasih, kebanggaan, rasa syukur, karena tidak saja selaku Pembimbing skripsi melainkan seorang Ibu dengan penuh ketegasan dan perhatiannya, teladan dalam bersikap dan cermat dalam berbuat. Dan melalui beliau pulalah setelah saya menjadi Asisten, diajukan menjadi dosen FH Ull.

Kepada guru-guru saya di kampung halaman yang jauh di sana terutama Almarhum Bapak H. Abd Rahman BA. , seorang guru dengan penguasaan ilmu agama yang dalam, saya haturkan terima kasih sedalam-dalamnya karena beliaulah selaku kepala sekolah PGAN ( Pendidikan Guru Agama Negeri) sangat membantu dan mengupayakan agar saya dapat diutus untuk mengikuti pendidikan dengan ikatan dinas di PHIN Yogyakarta, tanpa bantuan Beliau rasanya sangat sulit mengenyam pendidikan di yogya mengingat tempatnya sangat jauh, persyaratannya sangat sulit, lagi pula keadaan ekonomi keluarga tidak mendukung. Juga kepada guru-guru di PHIN terutama Bapak Almarhum H. Muh. Syafie Bukhori SH. , Tidak henti-hentinya juga saya sampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya karena Beliau telah mengenalkan dan membekali pelajaran hukum sejak duduk di bangku PHIN beliau pulalah yang mendorong untuk meneruskan kuliah di Fakultas Hukum Ull. Alhamdulillah saya tidak mengecewakan beliau, akhirnya dengan bekal dari PHIN, sayapun dapat menyelesaikan studi dengan baik dan bahkan ketika diwisuda, terpilih dan mendapatkan penghargaan sebagai salah satu wisudawan terbaik.

Terima kasih tak terhingga juga saya sampaikan kepada guru-guru saya di fakultas hukum yang telah mencurahkan semua perhatian dan pengabdiannya untuk mengembangkan dan membesarkan nama baik fakultas khususnya dan Ull pada umumnya yang akhirnya melalui Ibu kandung almamater inilah saya mendapatkan gelar tertinggi di dunia pendidikan. Untuk itu ucapan terima kasih ini kami haturkan kepada: Bapak Dr. H Imam Suhadi SH, (alm), Bapak H. Siswo Wiratmo SH (alm), Bapak Sudarjatin SH. (alm). , Bapak H. Umar Samhudi, SH. Not. (alm), Bapak KH Azhar Basyir, MA. , (alm) Bapak Drs H. Marsum (alm). , Bapak H. Daliso Rudianto, SH. Not. , Bapak. Drs. H. Rasyid Baswedan (alm), Bapak H. Drs Barmawi Mukri SH M. Ag. , Bapak Drs. H. Darwin Harsono, Ibu Hj. Muryati Marzuki SH, SU. , Bapak Jauhari Santoso, SH, SU. (alm), Bapak H. Zainal Abidin SH. , SU. , MPA, Ibu Hj. Sri Wardah, SH. , SU. , dan Bapak Dr. Artidjo Alkostar SH. Mereka adalah guru-guru saya yang telah memberikan keteladanan, dedikasi dan inspirasi keilmuan yang sangat berkesan dan berpengaruh dalam pengembangan keilmuan maupun pembentukan kepribadian saya. Semoga bagi mereka yang telah mendahuli, Allah SWT mengampuni kesalahannya, menerima amal baiknya, ilmunya menjadi berkah bagi kehidupan dan kemanusiaan sepanjang masa. Dan bagi yang masih hidup diberi kesehatan dan umur yang panjang dimuliakan dunia walakherat. Amiin

Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada teman-teman sejawat yang member! dukungan dalam mengembangkan karier di fakultas hukum Ull, yakni kepada Bapak Dr. M. Busyro Muqaddas. SH M. Hum. Bapak Dr. SF. Marbun SH. M. Hum. Bapak Dr. Mustaqiem, SH M. Hum, Bapak Endro Kumoro SH M. Hum. Bapak Suyitno SH. M. Hum Bapak Prof. Jawahir Tontowi SH, Ph. D. Bapak Masyhud Ashari SH. MKn. Bapak Prof. Dr Moch. Mahfud MD, SH. Bapak Prof. Dr. Ridwan Khairandi SH, MH. Ibu Prof. Nikmatul Huda, SH. M. Hum Bapak Dr. Mudzakkir, SH. MH. Bapak Dr Syaifuddin SH. M. Hum. Bapak Dr. Salman Luthan, SH. MH. Bapak Dr. Suparman SH. Msi. Bapak Dr Arif Setiawan SH. MH Ibu Dr. Winahyu Erwiningsih SH. M. Hum. Ibu Sri Wartini SH, MH, Ph. D. Ibu Dr. Aroma Elmina Martha SH, MH. Bapak Dr. Abdul Jamil SH, MH. Bapak Dr. Bambang Sutiyoso SH. M. Hum. Bapak Dr. Drs. Muntoha, SH. M. Ag. Bapak Hanafi SH, MH, Ph. D. Bapak Drs. Agus Triyanta MA. MH. Ph. D. Bapak Dr. Ridwan, SH. M. Hum. Bapak Mukmin Zakie SH. MH. Ph. D. Bapak Ery Arifuddin, SH. MH. Bapak Dr. Syamsudin SH. M. Hum. Ibu Dr. Sefriani SH. MH. Ibu Dr. Siti Anisa, SH. M. Hum. Bapak Moh. Hasyim, SH. M. Hum. Bapak Zairin Harahap, SH. MH. Bapak Moh. Abd Kholiq, SH. MH. Ibu Karimatul Ummah, SH. M. Hum. Bapak Dr. Budi Agus Riswandi, SH. M. Hum. Bapak IMurjihad, SH. M. Hum. Bapak Bagya Agung Prabowo, SH. M. Hum. Ibu Tuti Hastuti, SH. M. Hum. Bapak Ari Wibowo, SH. , SHI. , Bapak Anang Zubaidy, SH. , MH. Bapak Eko Riyadi, SH. , Bapak MH Mahrus All, SH. , MH. Bapak MH Syarif Nurhidayat, SH. , MH. Dan juga kepada semua dosen-dosen muda yang tidak sempat saya sebutkan namanya satu persatu.

Saya harus mengakui bahwa, sebagian besar keberhasilan karir akademik saya ini, dapat tercapai berkat dukungan penuh dari keluarga. Orang tua saya Bpk H. Muhammad Latola (alm) dan Ibu Hj. Kawa’ida (Alm), mertua saya Bpk. H. Sayuti (Alm), dan Ibu mertua saya Ibu Hj. Asiah (Alm), istri saya Hj. Hamidah dan anak-anak saya, Hiftah Rushaida, SH dengan suaminya Hendri, Hilda Rahmah SE dengan suaminya Eko Andrianto Wibowo SE, Hajmah Zakiyah S. Psy dengan suaminya Aditiya Rahman Adil SE, Sahran Hadziq SH dan cucu cucu saya Zaky Ozora lukiswara, Sierra Zhafira Rhecha dan Galuh Alesha Recha Adil. Demikian pula kepada saudara-saudara saya Kak Hj Rusna bersama Suami Kanda Drs H. Tajuddin (Alm), Kak Hj. Rasmi dengan suami Kanda H. Mulyadi (Alm) Adik Dra Hj Yusrina dengan suami Samsu. Adik Yusran dengan Istri Husna, Adik Nurdifah (Alm) dengan suami Ridwan (Alm), Adik Hj Herlina SH dengan suami Drg H. Efendi Dangkeng, Adik Misnawati SH. dengan suami Kus Endarto. Terima kasih atas dukungan dan doanya yang selalu mengharapkan dan memohon kepada Sang Kuasa Allah SWT agar ditengah-tengah keluarga ada diantaranya yang mendapatkan prestasi tertinggi di dunia akademi, dan alhmadulillah Allah telah mengabulkan doa-doa kita bersama. Semoga Ayah dan bunda Bapak dan ibu mertua kakak dan adik yang telah mendahului menghadap keharibaanNya dapat juga merasakan kebahagiaan seperti yang kita rasakan bersama pada hari ini. . Semoga almarhum dan almarhumah diterima amal baiknya dan diampuni dosa-dosanya, dan diberi tempat yang paling indah di surgaNya amiiin. Dan bagi kita yang masih hidup selalu diberi umur panjang, kesehatan dan tetap bekerja beramal ilmiah dibawah lindungan Allah SWT, amiin.

Saya menyadari bahwa kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT semata, semoga pidato ini dapat memberi manfaat dan menambah khasanah kajian-kajian di bidang ilmu hukum pada umumnya dan khususnya Hukum Pidana, baik dalam dataran teori maupun dalam dataran praktik penegakan hukum pidana. Terimakasih atas kesabaran bpk. /ibu para hadirin dalam mengikuti pidato pengukuhan ini. Mohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

[1] Pidato dibacakan dalam acara Pengukuhan Guru Besar pada tanggal 4 Mei 2017 di Auditorium Prof. Kahar Mudzakkir Kampus Terpadu UII Jl. Kaliurang

[2] Satjipto Rahardjo, “Masalah Penegakan Hukum Suatu tinjauan sosiologis” ( Bandung Penerbit: Sinar Baru. Tanpa tahun ) ha!24.

[3] Barda Nawawi Arif, “Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru” (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group 2008 ) halaman 25

[4] Barda Nawawi Arif ” Pembaharuan Sistem Penegakan Hukum Dengan Pendekatan Religius Dalam Konteks Siskumnas dan Bangkumnas”. Dikutip dari Bardanawawi. WordPress. com pada tanggal 22 Pebruari 2017.

[5] Barda Nawawi Arif Ibid.

[6] Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dap at atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 sub 5 KUHAP). Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur datam undang-undang ini untuk mencari serta menemukan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.

[7] Satjipto Rahardjo, “Hukum Dalam Jagad Ketertiban”, Jakarta, UKI Pers, 2006, hal, 151.

[8] Dalam hasanah Sistem Peradilan Pidana dikenal adanya berbagai Model peradilan diantaranya adalah Crime Control Model, Due Process Model dan Family Model. Dalam Rusli Muhammad ” Sistem Peradilan Pidana Indonesia” (Yogyakarta: Penerbit Ull Press 2011) hal 43-46.

[9] Sistem Peradilan Pidana di Indonesia setelah berlakunya Undang-undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana memiliki empat substansi, yaitu: Kepolisian yang secara administratif di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan (sekarang sudah dipisahkan), Kejaksaan di bawah Kejaksaan Agung, Pengadilan di Bawah Mahkamah Agung serta lembaga Pemasyarakatan di bawah Departemen Kehakiman.

[10] UU No. 12 tahun 1995, Pasal 1 angka (5) menyebutkan Warga Binaan Pemasyarakatan adalah Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, dan Client Pemasyarakatan.

[11] Saifuddin: “Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturon Perundang-Undangan” (Yogyakarta: Penerbit UN Press 2009 Get Pertama ) hal 87.

[12] Saifuddin ibid.

[13] Barda Nawawi Arif “Pembaharuan 5/stem Penegakan Hukum dengan Pendekatan Religius Dalam Konteks Siskumnos dan Bongkumnas”. Bardanawawi wordpress. com dikutip tanggal 4 Maret 2017.

[14] AI-Qur, an S AI-Mujadilah ayat 11. Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat