Rambu-Rambu Kebebasan Berekspresi oleh Eko Riyadi

Rambu-Rambu Kebebasan Berekspresi

Situasi politik menjelang Pilpres 2019 semakin memanas. Fragmentasi elite politik ke dalam dua kubu besar juga diikuti oleh terfragmentasinya grassroot ke dalam dua kelompok juga. Situasi ini menyebabkan potensi gesekan opini bahkan fisik menjadi patut diwaspadai. Beberapa peristiwa di tingat akar rumput sudah mulai terlihat. Aksi pencegatan dan/atau pencegahan kehadiran orang-orang tertentu dan kegiatan tertentu sudah terjadi. Neno Warisman dan Abdul Somad Batubara menjadi orang yang pernah mengalami kejadian tersebut. Di pihak lain, bullying terhadap TGB Zainul Majdi juga terjadi di dunia maya dan bisa jadi akan menjadi tindakan fisik. Jika hal ini tidak di atasi segera, maka patut diduga sentimen politik semacam ini akan membesar dan akan menimpa kedua belah pihak. Masa kampanye memang belum dimulai, namun suasanya sudah mulai menghangat. Bagaimana hukum menjawab persoalan ini?

Secara normatif, setiap orang memiliki kebebasan untuk berserikat dan berpendapat sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Sementara kebebasan menyampaikan informasi diatur juga dalam Pasal 28F UUD 1945.

Jaminan normatif serupa juga dapat ditemukan pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dengan UU Nomor 12 Tahun 2005. Pada pokoknya Pasal 9 mengatur bahwa seseorang tidak bisa dirampas kebebasannya kecuali berdasarkan alasan yang sah menurut hukum. Sementara Pasal 12 mengatur bahwa setiap berhak atas kebebasan bergerak dan kebebasan untuk memilih tempat tinggalnya, serta bebas meninggalkan negara manapun, termasuk negaranya sendiri–hak-hak ini tidak boleh dibatasi kecuali pembatasan yang ditentukan hukum.

Membaca ketentuan di atas, jelaslah bahwa setiap orang memiliki kemerdekaan untuk berpindah tempat, mengunjungi suatu tempat, kembali ke kediaman semula dan juga kemerdekaan untuk mengungkapkan pandangan politiknya. Secara hukum, Negara melalui pemerintah punya kewajiban untuk memastikan tidak ada pihak ketiga yang mengganggu hak dan kemerdekaan seseorang untuk berpindah dan mengekspresikan pandangannya. Inilah yang dikenal sebagai prinsip state obligation to protect rights and freedom. Pada poin ini, maka penting sekali untuk memastikan pemerintah bisa mengambil posisi netral dalam pilihan-pilihan politik praktis. Begitu pula, setiap pelanggaran atas prinsip-prinsip hukum dalam perlindungan hak dan kebebasan dasar harus ditanggapi serius oleh pemerintah. Jika ada pihak yang tidak berwenang melakukan perampasan hak dan kebebasan, maka pemerintah, dalam hal ini kepolisian, harus memberi jaminan keamanan yang memadai bagi semua orang yang berada pada posisi terancam.

Di sisi lain, kebebasan berekspresi bukanlah kebebasan tanpa batas. Kebebasan ini dapat dibatasi dengan menggunakan instrumen pembatasan (limitation clauses). Klausula ini di atur pada Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 12 ayat (3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.

Pada pokoknya, kebebasan untuk berekspresi dapat dibatasi dengan alasan “guna melindungi keamanan nasional dan ketertiban umum, kesehatan atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan dari orang lain, dan yang sesuai dengan hak-hak lain yang diakui”. Maka kepada semua pihak yang berkontestasi dalam politik praktis, hendaknya menghindari penggunaan sarana dan pilihan statement yang dapat memancing situasi sebagaimana diatur pada instrument tersebut.

Selain itu, kebebasan berekspresi juga dibatasi dengan larangan ujaran kebencian. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 20 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang berbunyi: “Segala tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan harus dilarang oleh hukum”.

Ketentuan-ketentuan di atas telah jelas memberikan rambu-rambu kepada semua pihak, baik kepada pemerintah maupun kepada warga Negara dalam penggunaan hak dan kebebasan. Pemerintah diwajibkan memberikan perlindungan yang memadai kepada semua orang agar keamanan, kebebasan bergerak, kebebasan berpendapatnya terlindungi. Namun di sisi lain, setiap warga Negara juga tidak boleh menggunakan ujaran kebencian sebagai sarana mengekspresikan pilihan opini dan politiknya. (mry)

Eko Riyadi, S.H., M.H.

Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Islam Indonesia

 

Telah diterbitkan di majalan online wattyutink