Manuver JK, Analisis Idul Rishan

Manuver JK

Manuver politik Jusuf Kalla (JK) menyertakan diri sebagai pihak terkait dalam pengujian undang-undang pemilu soal masa jabatan wakil presiden, kini tidak dapat dianggap sebelah mata. Awalnya, duduk perkara ini tidak begitu menarik untuk dibahas dalam perdebatan akademik, setelah JK sudah menyatakan lebih dulu untuk tidak ambil bagian dalam  kontestasi pemilu 2019. Apalagi, JK telah memberikan sinyal untuk rehat dalam kancah politik, dan akan memberikan kesempatan pada tokoh-tokoh politik yang lebih muda.

Momentum Cawapres

Nyatanya, tenggat waktu yang tersisa kurang dari sebulan sebelum pendaftaran capres dan cawapres ditutup, JK kembali mengambil momentum sebagai alternatif cawapres di 2019. Ibarat kembali memberikan sinyal bahwa usia tidak dapat dijadikan tolak ukur matematis untuk terlibat dalam kancah politik praktis. Entah apa yang mengubah sikap tokoh kelahiran Bone ini? Apakah pengaruh peristiwa heroik negeri tetangga yang memenangkan Mahatir Mohammad sebagai Perdana Menteri dengan usia yang relatif sepuh ? Persoalan kontinyuitas kader partai peserta pemilu yang mengalami stagnasi ? Ataukah ada alasan lain yang hanya diketahui oleh JK sendiri. Apapun bentuk alasannya, perhelatan Pemilu 2019 kursi cawapres menjadi sangat menarik, setelah kontestasi pertarungan di 2014 cenderung akan melahirkan peta pertarungan politik yang sama di tahun 2019. Terkecuali terdapat poros baru sehingga peta pertarungan akan terpolarisasi menjadi tiga pasangan calon.

Konstitusionalitas Jabatan Wapres

Lantas bagaimana peraturan tertulis mewadahi manuver JK ? Pasal 7 UUDN RI mengatur bahwa “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”. Jika melihat konstruksi pengaturan masa jabatan ini, maka akan lahir dua probabilitas, pertama, apakah masa jabatan tersebut dimaknai secara berturut-turut atau tidak? Kedua, apakah pembatasan itu hanya ditujukan kepada jabatan Presiden ataukah berlaku secara kumulatif dengan jabatan Wapres ? kemudian pembentuk undang-undang memberi jawaban dengan membatasi secara ketat dengan memilih opsi pertama, yaitu baik secara berturut-turut ataupun tidak secara berturut-turut, meskipun masa jabatan tersebut kurang dari lima tahun. Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 169 UU No 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Permohonan pengujian terhadap Pasal terkait sejatinya sudah pernah diajukan oleh kelompok masyarakat tertentu yang merasa hak konstitusionalnya terabaikan dengan adanya ketentuan tersebut. Namun dalam putusannya MK menyatakan permohonan pemohon “tidak dapat diterima”. Konsekuensi logisnya MK belum dalam posisi menilai pokok perkara yang diujikan. Alasanya sederhana, para pemohon tidak memiliki legal standing untuk menguji Pasal tersebut. Hanya terdapat dua orang yang memiliki legal standing dalam menguji pasal yang dimaksud. Mereka ialah SBY dan JK yang secara langsung menjadi pihak yang cenderung dirugikan dengan bunyi pasal tersebut. Manuver ini yang kemudian diambil oleh JK untuk turut serta bersama Partai Perindo sebagai pihak pemohon. Secara objektif, fenomena ini menjadi sangat menarik. Beberapa pendapat terdahulu yang berkembang ialah, jika permohonan ini dikabulkan, maka hal ini bertentangan dengan prinsip pembatasan kekuasaan yang telah kita sepakati pasca transisi politik. Namun perlu dipahami, jabatan Presiden dan Wapres tentu tidak bisa disemaikan secara apple to apple. Sebab dalam UUD Wapres bukan pemegang kekuasaan pemerintahan melainkan hanya sebagai pembantu Presiden. Jika semangat pengaturan Pasal 169 UU Pemilu ditujukan untuk membatasi masa jabatan dan potensi tirani kekuasaan, maka alasan tersebut tidak dapat menjadi alasan pembenar seutuhnya. Bayangkan saja, jika poros ketiga paslon pilpres benar-benar lahir dan JK berada dalam posisi sebagai Capres, mengapa hal demikian dibenarkan dan dianggap konstitusional? Hal inilah yang membuat perdebatan itu menjadi logis dan layak dinilai oleh MK.

Hukum Acara MK

Namun patut disayangkan, hukum acara MK secara tidak langsung telah membatasi ruang gerak JK. Tahapan persidangan yang dimulai dari sidang panel, sampai dengan pembacaan putusan setidaknya memakan waktu yang relatif panjang. Sangat kecil kemungkinan MK dapat menyelesaikan permohonan ini dalam waktu kurang dari satu bulan sebelum batas akhir pendaftaran capres dan cawapres ditutup. Membaca kecenderungan tersebut, maka manuver JK akan kehilangan momentum.

 

Idul Rishan,S.H.,LL.M.

Pengajar Muda Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia