Tag Archive for: 21 Maret 2011

 Saphire Hotel, Borobudur Room, Senin, 21 Maret 2011, Hanns Seidel Foundation (HSF) Indonesia bekerjasama dengan Departemen Hukum Tata Negara (HTN) dan Program Pascasarjana (S2 dan S3) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII) menggelar Seminar Nasional “Sistem Pengawasan dan Kode Etik Hakim Konstitusi di Jerman dan Indonesia”.

Seminar Nasional yang dibuka oleh Rektor Universitas Islam Indonesia tersebut bertujuan  untuk memberikan wawasan mengenai sistem pengawasan hakim dan kode etik hakim konstitusi di MK Jerman, melakukan identifikasi persoalan terkait dengan sistem pengawasan dan kode etik hakim di MK RI, MA RI  dan di Pengadilan di lingkungan MA RI, memberi masukan bagi MK dan, MA  KY dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap hakim-hakimnya menghadirkan Keynote Speech Prof.  Dr. Moh. Mahfud  MD, SH., SU. Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indosesia. Sedangkan Pembica yang hadir pada seminar tersebut adalah: Prof. Dr. Siegfried Bross, Hakim Mahkamah Konstitusi Jerman dengan tema seminar “ Sistem Pengawasan dan Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Jerman”, Dr. Harjono, SH., MCL., Hakim Mahkamah Konstitusi RI dengan tema seminar “Sistem Pengawasan dan Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Indonesia” serta Dr. Suparman Marzuki, SH., M.Si. Komisioner Komisi Yudisial (KY) RI/Dosen FH UII dengan tema seminar “Prospek dan Peluang KY dalam Pengawasan Hakim Konstitusi”
Seminar Nasional tersebut dihadiri lebih dari 120 peserta yang teridiri dari para Dosen-dosen Fakultas Hukum, praktisi hukum dan lembaga non pemerintah yang  bergerak pada advokasi hukum. Seminar nasional yang berlangsung dari pukul 07.00-12.30 Wib dan ditutup oleh Dekan Fakultas Hukum Dr. Rusli Muhammad, SH., MH. trsebut menghasilkan suatu rumusan atau kesimpulan sementara sebagai berikut:

 

Negara demokrasi tidak hanya mempengaruhi terjaminnya kebebasan sipil dan politik, melainkan juga praktek penegakan hukum yang fair, jelas dan tegas. Idealnya dalam demokrasi seluruh hakim harus tunduk pada prinsip persamaan (kedudukan yang setara), termasuk dalam aspek pengawasan hakimnya. Oleh karenanya, kekuasaan kehakiman mutlak harus diawasi karena menyangkut pertaruhan atas independensi kekuasaan kehakiman itu sendiri.

 
Penerapan konsep independensi kekuasaan kehakiman tidak boleh absolut  alias harus diletakkan dalam konteks akuntabilitas (tidak bebas mutlak dan harus tetap dipertanggungjawabkan).

 
Untuk mencapai hasil yang ideal, maka dalam melakukan pengawasan tidak dapat hanya mengandalkan pada orang, tetapi harus dibentuk suatu system pengawasan yang jelas dan tegas dan sistem pengawasannya tetap harus dalam koridor konsep yang menjaga independency of judiciary (kekuasaan kehakiman yang merdeka / mandiri).

 
Ada sejumlah reasoning / alasan yang mendasari pentingnya penegasan gagasan untuk menerapkan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman (c.q baik hakim MA maupun hakim MK), yaitu: (1) Ada realitas sosial berupa situasi hukum dan penegakan hukum yang telah melahirkan ketidak percayaan masyarakat secara luas (social distrust) terhadap kinerja penegakan hukum terutama oleh hakim melalui putusan-putusannya yang “janggal” atau bernuansa ketidak adilan. (2) Khusus pentingnya pengawasan terhadap hakim MK, adalah dilatar belakangi oleh dimilikinya kekuasaan kehakiman oleh mereka secara absolute konstitusional (dalam arti putusannya bersifat pertama dan terakhir). Padahal setiap manusia (termasuk hakim MK) mempunyai peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak obyektif dan tidak profesional (3)  Untuk meletakkan kehormatan dan martabat hakim MK sebagai penjaga konstitusi 

 
Beberapa hal penting yang perlu menjadi lingkup pengawasan terhadap kekuasaan di bidang yudisial antara lain: (1)     Rekruitmen (2) Appointment, termasuk dalam pindah-memindahkan hakim seharusnya ditangani oleh lembaga yang inedependent.

 
Ada berbagai macam konsep yang dapat ditawarkan jika KY hendak dibangun dan disepakati menjadi institusi pelaksana sistem pengawasan kekuasaan kehakiman, terutama hakim MK. Yaitu: (1)  Memasukkan gagasan KY sebagai pengawas tersebut dalam revisi UU MK dan revisi UU KY (2) Memasukkan KY sebagai salah satu unsur dalam forum Majlis Kehormatan MK (3) MK dan KY membuat MoU untuk menyepakati lingkup pengawasanyang dapat dilakukan KY (4)     Mengkondisikan  agar para  hakim (MK) memiliki sifat untuk terbuka (membuka diri) untuk diawasi. (5) Melakukan Amandemen UUD 1945 yang menegaskan secara eksplisit adanya kewenangan / kekuasaan konstitusional  KY untuk mengawasi hakim-hakim baik hakim MA maupun hakim MK.

 
Sebagai kajian perbandingan, sistem pengawasan kehakiman di Jerman memperlihatkan adanya konsep-konsep sebagai berikut: (1)   Kode Etik Hakim MK Jerman hanya diatur dalam UU Kehakiman Jerman dan tidak diatur secara khusus dalam aturan mengenai kode etik hakim. (2) Secara kelembagaan, institusi pengawas kekuasaan kehakimaan dilakukan oleh internal. Sementara di  pengadilan di tingkat bawah (negara bagian) dibentuk lembaga khusus yang melakukan pengawasan. (3) Secara kultural, hakim di Jerman sudah terbangun suatu budaya hukum yang mengkondisikan mereka untuk  memiliki etos kerja sebagai hakim yang mandiri dan profesional sehingga kode etik hakim sudah melekat secara interen di diri hakim.

 
 Fakultas Hukum, Kamis 17 Maret 2011. Dalam rangka rangkaian kegiatan Seminar Nasional ” ”Sistem Pengawasan dan Kode Etik Hakim Konstitusi di Jerman dan Indonesia” yang akan diselenggarakan Senin, 21 Maret 2011 di Saphire Hotel Yogyakarta, Fakultas Hukum UII melalui Panitia Seminar Nasional mengadakan Pers Release. 

Pers Release yang dihadiri oleh 15 wartawan dari media massa dan elektronik tersebut berlangsung di ruang sidang dekanat lantai 1 dipimpin  oleh Ketua Panitia seminar nasional dan Dekan Fakulta Hukum UII. Dalam pengantarnya ketua panitia Sri Hastuti Puspitasari, SH., M.Hum yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Tata Negara (HTN) menyatakan bahwa, seminar ini terselenggara atas kerjasama antara Hanns Seidel Foundation (HSF) Indonesia dan Departemen Hukum Tata Negara (HTN) serta Program Pascasarjana FH UII, sedangkana Pers Release ini dimaksudkan untuk mempublikasikan perlunya pengawasan hakim mahkamah konstitusi sehingga masyarakat dapat ikut berperan serta dalam mengawasi Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan pengawal Konstitusi.
Sedangkan Dekan FH UII, Dr. Rusli Muhammad, SH., MH. dalam Pers Release tersebut berharap bahwa Konstitusi di Indonesia terhindar dari segala macam mafia peradilan yang akhir-akhir ini semakin berkembang dan telah masuk ke berbagai institusi hukum di Indonesia serta merupakan salah satu bentuk antisipasi supaya tidak ada lagi mafia-mafia peradilan. Hal ini menjadi salah satu bentuk tanggung jawab Perguruan Tinggi dalam menghasilkan sarjana-sarjana yang komitmen di bidang keilmuannya.
Terkait pertanyaan salah satu wartawan tentang bentuk antisipasi yang akan dilakukan untuk menghindari terjadinya mafia peradilan tersebut adalah (1) mencoba mengangkat persoalan ini melalui kajian-kajian ilmiah sehingga bentuk pengawasan dapat dilakukan (2) melalui metode pendidikan, dengan cara membekali mahasiswa untuk menjadi hakim yang baik. Sebagai akhir pers release tersebut disampaikan oleh Dr. Rusli Muhammad, SH., MH. Bahwa sistem pendidikan saat ini belum meyakinkan untuk menghadapi godaan-godaan yang ada, diperlukan penanaman nilai moral  serta keseimbangan antara pendidikan moral, spiritual dan intelktual,