Tag Archive for: Mahkamah Konstitusi

Segera setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pemilihan umum (Presiden dan Legislatif), KPU memberi ruang bagi para peserta pemilu yang tidak menerima hasil penetapan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Informasi terakhir, tercatat bahwa terdapat 1 gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres, dan 329 gugatan PHPU Pileg dengan rincian, 318 permohonan sengketa DPR/DPRD dan 11 permohonan sengketa DPD. Yang menarik, bahwa jumlah sengketa pileg yang diajukan ke MK menurun dibandingkan dengan tahun 2014. Pada pemilu 2014, jumlah permohonan sengketa pileg mencapai 903 permohonan dan dari jumlah tersebut, sebanyak 34 diantaranya diajukan calon anggota DPD. Read more

Masa Jabatan Wakil Presiden

Pengajuan diri Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sebagai pihak terkait atas permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Pasal 169 huruf n Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) oleh Partai Perindo menjadi sorotan beberapa pihak. Pasal 169 huruf n UU Pemilu tersebut mengatur bahwa Persyaratan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Read more

Kewenangan Menkumham Bersifat Administratif

Tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), itu tahapannya mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011. Artinya, ada satu tahapan yang tidak dilalui dalam pembentukan PKPU Nomor 20 Tahun 2018 , yaitu tahapan pengundangan. Read more

Mencari Hakim Konstitusi

Presiden Joko Widodo akhirnya membentuk Panitia Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (Pansel Hakim MK) untuk menganti hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang akan berakhir masa jabatannya pada 13 Agustus. Waktu yang dimiliki oleh Pansel dalam mencari hakim konstitusi sangat singkat dan harus dimanfaatkan dengan baik. Proses seleksi hakim Konstitusi ini menjadi pertaruhan bagi masa depan MK. Selain ditujukan untuk mencari hakim pengganti, proses seleksi juga harus dilakukan dalam rangka mengembalikan citra dan marwah MK yang saat ini dipandang sedang “babak belur” , tidak berwibawa dan terus mendapatkan sorotan negatif pasca kasus etik yang menjerat Hakim Arief Hidayat. Read more

Masa Depan Perda

Dalam semua rezim Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah,  selalu memberikan kewenangan kepada Pemerintah Pusat untuk menilai dan membatalkan peraturan daerah. Dalam ilmu hukum, model ini dikenal dengan executive review yaitu kewenangan badan eksekutif untuk meninjau kembali. Jika suatu peraturan daerah dinilai bertentangan dengan kehendak pemerintah pusat atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka perda tersebut dapat dibatalkan oleh presiden (yang prakteknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri). Jika pemerintah daerah keberatan dengan Keputusan pembatalan perda dari pemerintah pusat, maka pemerintah daerah dapat menggugat Keputusan tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Putusan MA ini lah yang nanti menjadi final dan mengikat, sayangnya hal ini jarang dilakukan mengingat kendali atas finansial masih menjadi kewenangan absolut pemerintah pusat.

Pada tahun 2016 lalu publik pernah diguncangkan dengan keputusan Presiden Jokowi yang membatalkan 3.143 Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah. Tentu saja fenomena keputusan presiden ini mendapatkan perhatian serius dari banyak ahli hukum. Puncaknya, di tahun yang sama, ketentuan mengenai kewenangan pemerintah pusat membatalkan perda ini di-judicial review kan ke Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 56/PUU-XIV/2016 memutus bahwa pembatalan peraturan daerah tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah pusat, melainkan sepenuhnya kewenangan Mahkamah Agung.

Putusan MK ini sendiri  sesungguhnya bukan tanpa masalah, setidaknya kita dihadapkan pada tiga persoalan utama: Pertama, Indonesia memiliki lebih dari 500 Kabupaten/Kota ditambah dengan 34 Provinsi, dapat dibayangkan bagaimana menumpuknya perkara yang akan diajukan ke MA, sedangkan di MA sendiri menurut informasi yang penulis terima ada lebih dari 2.000 perkara yang sedang mengantri. Tentu saja MA harus menyiapkan mekanisme tersendiri untuk secara khusus menghadapi fenomena pengujian perda ini. Kedua, pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat harus dipahami masih sangat rendah, terutama di daerah-daerah terpencil luar Jawa, jika pada suatu ketika muncul peraturan daerah yang “sangat” bermasalah, maka kecil kemungkinan akan ada masyarakat yang berani dan mau menggugat perda tersebut ke MA. Harapan sebenarnya ada pada pemerintah pusat untuk bersedia mengajukan permohonan pembatalan ke MA, namun dengan sekian banyak perda yang ada, apakah pemerintah mau untuk menjalani sidang berkali-kali di MA? Ketiga, letak MA yang berada di ibu kota negara Jakarta membutuhkan akses dan pembiayaan yang tidak sedikit bagi daerah-daerah yang lokasinya jauh dari Jakarta. Ini tentu menjadi pertimbangan utama masyarakat untuk bersedia menjadi pemohon, meskipun di MA sendiri setelah berkas perkara diajukan, pemohon tidak perlu datang ke Jakarta untuk menghadiri persidangan karena cukup diperiksa dan diputus oleh hakim MA saja.

Namun demikian, ketentuan ini sesungguhnya dalam konteks negara hukum yang demokratis adalah jauh lebih fair dan menjamin keadilan sunstantif. Harus dipahami bersama bahwa perda juga dibentuk dengan prosedur yang hampir sama dengan pembentukan undang-undang, hanya saja cakupan berlakunya yang hanya untuk daerah tertentu saja sedangkan undang-undang untuk seluruh wilayah Indonesia. Suatu perda disetujui bersama oleh Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kepala Daerah dan DPRD ini juga memiliki legitimasi yang sama dengan Presiden dan DPR, yaitu dipilih secara lansung oleh rakyat. Oleh karena itu, tidak bisa jika produk hukumnya hanya dibatalkan oleh lembaga yang kedudukan sama sebagai pemerintah di bidang eksekutif. Sejatinya, sebagaimana halnya suatu produk hukum, hanya boleh dibatalkan oleh lembaga yudikatif (MA dan MK).

Kemudian pada awal tahun 2018 ini, pemerintah dan DPR mengesahkan revisi atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang memunculkan banyak kewenangan baru kepada lembaga-lembaga tersebut. Salah satu kewenangan itu adalah terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 249 Ayat (1) huruf J di mana DPD berwenang memantau dan mengevaluasi peraturan daerah. Tentu saja ini menjadi rezim baru bagi keberadaan peraturan daerah,  yang patut disikapi dengan tidak kalah seriusnya. Patut menjadi perhatian apakah yang dimaksud dalam frasa “memantau dan mengevaluasi” dalam pasal tersebut, lalu bagaimana kekuatan dari hasil evaluasi yang dimaksud, apakah mengikat atau tidak? Jika mengikat tentu menjadi tidak tepat setidaknya karena dua hal, pertama DPD sendiri adalah nomenklatur pemerintah pusat yang mewakili masing-masing daerah untuk menyuarakan aspirasi daerah, bukan malah mengevaluasi pemerintah daerah. Kedua, harus diingat bahwa DPD adalah lembaga legislatif bukan lembaga yudikatif, maka jika hasil evaluasinya mengikat, adalah kurang tepat.

Daerah merupakan tiang bagi tegaknya Negara Kestauan Republik Indonesia (NKRI), sedangkan peraturan daerah (perda) adalah tiang bagi berlansungnya pemerintahan daerah. Oleh karena itu, keberadaan perda patut menjadi perhatian utama karena kesejahteraan tiap-tiap daerah adalah keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 

Masa Depan Perda Sebuah Opini Despan Heryansyah
(Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK)  dan Mahasiswa Program Doktor Fakultas Hukum UII YOGYAKARTA)

PERPPU MD3

PASAL 20 ayat (5) UUD 1945 dan Pasal 73 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyebutkan, RUU yang telah mendapatkan persetujuan bersama antara presiden (pemerintah) dengan DPR akan otomatis berlaku dan wajib diundangkan setelah melewati waktu 30 hari sejak persetujuan bersama. Artinya, ditandatangani ataupun tidak RUU MD3 akan tetap berlaku. Jika dihitung sejak rapat paripurna persetujuan bersama RUU MD3 menjadi UU MD3 pada 12 Februari yang lalu, maka UU MD3 secara sah telah berlaku dan diundangkan sejak 14 Maret 2018.

Namun polemik perubahan kedua Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) masih tak kunjung usai. Polemik dipicu beberapa pasal kontroversial yang terdapat dalam UU MD3. Beberapa pasal kontroversial memang menuai kritik masyarakat. Antara lain norma pemanggilan paksa menggunakan aparat kepolisian kepada setiap orang yang dipanggil oleh DPR (Pasal 73), langkah hukum oleh Majelis Kehormatan Dewan/MKD terhadap setiap orang atau perkumpulan atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR (Pasal 122). Juga persetujuan tertulis Presiden untuk anggota DPR atas tindak pidana yang tidak berkaitan dengan pelaksanaan tugas DPR (Pasal 245).

Dengan berlakunya UU MD3 sejak tanggal 14 Maret 2018 itu, beberapa pihak mengusulkan agar Presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Usulan ini didasarkan pada alasan: Pertama, perppu merupakan bukti komitmen Presiden untuk menunjukkan keberpihakannya kepada kepentingan publik yang resah dengan perubahan UU MD3. Kedua, pemberlakuan UU MD3 yang sarat kritik dan potensial menimbulkan kesewenang-wenangan DPR akan menimbulkan kegaduhan yang tidak berkesudahan. Sehingga, Presiden – berdasarkan alasan subyektifnya – perlu mengeluarkan perppu. Sementara, jika berharap pada jalur biasa (melalui perubahan terbatas UU MD3) langkah ini bakal memakan waktu dan biaya. Itupun belum tentu mayoritas anggota DPR setuju dengan perubahan terbatas dimaksud. Ketiga, SBY pada akhir pemerintahannya membuat preseden dengan menerbitkan perppu yang membatalkan sebagian norma dalam UU Pilkada dengan mengembalikan pemilihan kepala daerah secara langsung dari sebelumnya yang disetujui dipilih oleh DPRD.

Secara teoritik maupun praktik ketatanegaraan Indonesia, penghapusan suatu norma yang telah berlaku dengan diberlakukannya suatu peraturan perundang-undangan bisa ditempuh dengan beberapa jalan. Pertama, melalui pengujian constitutionalitas norma (uji UU terhadap UUD) di Mahkamah Konstitusi. Kedua, perubahan melalui jalur legislasi. Dan ketiga, melalui jalan penerbitan perppu.

 

Tantangan Penerbitan Perppu MD3

Usulan mengenai penerbitan perppu MD3 untuk mengatasi krisis legislasi merupakan hal konstitusional. Namun, usulan penerbitan perppu dimaksud patut mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut. Pertama, penerbitan perppu harus didasarkan pada kebutuhan legislasi yang sifatnya genting. Sehingga, meskipun secara subyektif Presiden memiliki kewenangan untuk menerbitkan perppu, namun tindakan ini tidak bisa gegabah dilakukan. Jangan sampai ada penilaian publik bahwa periode kepemimpinan Jokowi sebagai presiden yang suka mengobral perppu.

Kedua, penerbitan perppu sebagai kewenangan subyektif Presiden akan “diuji obyektifitasnya” oleh DPR dalam pembahasan perppu untuk mendapatkan persetujuan DPR menjadi UU. Jika DPR tidak setuju, berdasarkan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, perppu dimaksud harus dicabut. Artinya, norma yang menuai kontroversi akan kembali pada posisi status quo. Jika komposisi fraksi yang menyetujui pasal-pasal kontroversial di dalam UU MD3 tidak berubah pada saat pembahasan perppu, maka bisa dipastikan perppu dimaksud akan ditolak. Kecuali, jika nalar sebagian anggota DPR berubah.

Ketiga, preseden terbitnya perppu untuk membatalkan kesepakatan DPR mengenai pemilihan kepala daerah sebagaimana dilakukan oleh SBY belum terlalu memberi alasan yang kuat bagi Jokowi untuk melakukan hal yang sama. Apa yang dilakukan oleh SBY dimaksud sebelumnya sudah ditandai dengan aksi walk out fraksi Partai Demokrat saat paripurna persetujuan UU Pilkada. Sehingga, secara politis SBY pede mengeluarkan perppu yang membatalkan UU Pilkada. Hal ini tentu berbeda dengan posisi Presiden Jokowi saat dituntut oleh masyarakat untuk menerbitkan perppu MD3. Publik sudah terlanjur mencatat bahwa partai pendukung Jokowi berada pada barisan yang mendukung norma-norma kontroversial di dalam UU MD3.

Anang Zubaidy, SH., MH.
Dosen FH UII/Direktur Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) FH UII

Telah terbit di KR Yogyakarta 14 Maret 2018

Akhir-akhir ini, orang kembali terusik membicarakan hubungan antara etika dan hukum. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal: Pertama, maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan dari banyak ahli hukum akibat pelanggaran etiknya. Kedua, munculnya revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), yang dinilai mencampur adukkan antara hukum dan etika. Read more