Tag Archive for: undang-undang

Masa Jabatan Legislatif

Pembatasan masa jabatan presiden, gubernur, bupati/walikota, yang masing-masing selama lima tahun untuk dua kali masa jabatan, dan kepala desa selama enam tahun untuk tiga kali masa jabatan, tidak lepas dari sejarah otoritarianisme masa lalu. Jabatan yang tidak terbatas tidak saja melanggar hak orang lain untuk mendapatkan kesempatan “dipilih” melainkan juga selalu melahirkan kesewenang-wenangan. Power tends to corrupt but absolut power corrupt absolutely, adalah adagium klasik yang belum terbantahkan. Bahkan, pembatasan masa jabatan itulah yang menjadi titik sentral amandemen UUD N RI Tahun 1945. Read more

Akhir-akhir ini, orang kembali terusik membicarakan hubungan antara etika dan hukum. Hal ini setidaknya disebabkan oleh dua hal: Pertama, maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan dari banyak ahli hukum akibat pelanggaran etiknya. Kedua, munculnya revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3), yang dinilai mencampur adukkan antara hukum dan etika. Read more

Menjaga Marwah MK Jamaludin Ghafur

Jamaludin Ghafur, SH., MH[1]

 

Untuk merealisasikan misinya mengawal tegaknya konstitusi melalui peradilan konstitusi yang independen, imparsial, dan adil. Serta salah satu misinya yaitu membangun sistem peradilan konstitusi yang mampu mendukung penegakan konstitusi, Mahkamah Konstitusi membutuh orang-orang yang memiliki integritas dan kualitas keilmuan yang tinggi. Selain itu, seluruh elemen yang ada diinternal MK terutama para hakimnya harus mampu menjaga marwah dan kemuliaan lembaga ini agar dapat melahirkan putusan-putusan yang mencerminkan keadilan sebagaimana amanat Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.

Sekalipun secara hierarki kelembagaan, MK setara dengan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya, tetapi jika dilihat dari tugas dan fungsinya sebagai pengawal konstitusi (hukum tertinggi di republik ini), maka menjaga marwah dan kewibawaan lembaga ini urgensinya melebihi dari lembaga-lembaga lainnya. Sehingga tidak berlebihan kiranya, UUD 1945 mempersyaratkan hakim MK haruslah seorang negarawan (Pasal 24C ayat 5 UUD 1945), sesuatu yang tidak dipersyarakatkan untuk jabatan-jabatan publik lainnya kecuali hanya untuk hakim MK.

Persyaratan ini tentu bukan sesuatu yang berlebihan, mengingat tanggungjawab hakim MK dalam melakukan penafsiran konstitusi yang bukan hanya sekedar secara gramatikal/ tekstual, tetapi juga menggali nilai-nilai moral yang terkandung dalam konstitusi itu sendiri. Hal ini hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki keahlian, keluasan ilmu dan kematangan jiwa.

 

Hakim Negarawan

Konstitusi dan peraturan perundang-undangan tidak memberikan defisi tentang makna negarawan. Oleh karenanya, setiap orang dapat saja memberikan kriteria yang berbeda-beda. Namun demikian, setiap orang hampir pasti bersepakat bahwa kriteria minimal dari seorang negarawan, ia adalah orang yang sudah selesai dengan kepentingan dirinya sendiri. Artinya, dia telah mewakafkan diri dan hidupnya hanya untuk kepentingan bangsa dan negara tanpa sedikitpun ingin mengambil keuntungan pribadi dari jabatan yang sedang disandangnya.

Oleh karena jabatan dipandang sebagai amanah dan alat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat, maka seorang negarwan tidak akan melakukan segala cara apalagi menghalalkan segala cara demi meraih jabatan-jabatan tertentu. Baginya, jabatan, terlebih sebagai hakim, merupakan mandat yang diberikan rakyat karena keagungan integritas dan keluasan cakrawala keilmuannya. Karena alasan inilah, sekalipun undang-undang dan putusan hakim posisinya sederajad, namun putusan hakim dianggap lebih tinggi nilainya karena kualifikasi seorang hakim berbeda dengan kualfikasi seorang wakil rakyat (DPR) yang berwenang membentuk UU. Menurut A.V. Dicey, moralitas pengadilan jauh lebih tinggi dari moralitas para politisi di parlemen untuk menetapkan suatu hukum. Karena itu, hukum buatan hakim dianggap lebih mencerminkan keadilan dan kebenaran daripada hukum buatan politisi

Dengan demikian, tindakan Ketua MK Arief Hidayat yang disinyalir melakukan lobi-lobi politik dengan DPR agar dirinya terpilih kembali sebagai hakim MK dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Sebagai calon incumbent, semestinya ia tidak perlu melakukan lobi-lobi politik apapun karena jika dirinya memiliki prestasi-prestasi yang gemilang, otomatis akan dipercaya lagi menjadi hakim MK. Aktifitas lobi-lobi politik ini justru mengindikasikan hal yang sebaliknya bahwa yang bersangkutan tidak memiliki prestasi yang prestisius sehingga untuk memperoleh kembali jabatannya harus melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi melanggar etika hakim.Belajar dari Pengalaman

Dalam usianya yang hampir memasuki tahun ke-15 ini, banyak hal telah terjadi di lembaga peradilan konstitusi ini baik prestasi maupun petaka. Semua prestasi tentu tidak perlu dibicarakan karena memang demikianlah sepatutnya. Namun terhadap berbagai kekurangan perlu dievaluasi agar dapat diperbaiki dan tidak terulang kembali. Diantara hal-hal negatif yang menimpa lembaga ini, tertangkapnya dua mantan hakim MK yaitu Akil Muhtar dan Patrialis Akbar oleh KPK karena terlibat kasus korupsi merupakan mega skandal yang memporak-porandakan kewibawaan mahkamah.

Tentu ada banyak faktor kenapa hal itu terjadi, namun satu hal yang perlu dicermati adalah bahwa proses dan mekanisme seleksi hakim MK yang berjalan selama ini belum sepenuhnya memberikan jaminan bahwa hakim terpilih adalah sosok yang ideal. Bahkan, penetapan Patrialis Akbar sebagai hakim MK pernah digugat ke pengadilan tata usaha negara karena prosesnya dianggap tidak transparan dan penuh barter politik.

Proses seleksi hakim MK merupakan pintu masuk utama untuk menjaring calon-calon yang berkualitas. Apabila dilevel ini terjadi penyimpangan dan intervensi politik, maka rasa-rasanya sulit mengharapkan calon hakim MK terpilih adalah seorang negarawan. Oleh karenanya, agar kejadian-kejadian buruk yang terjadi di masa lalu tidak terulang lagi, penting untuk memastikan bahwa desas-desus adanya lobi-lobi politik atas terpilihnya kembali Arief Hidayat sebagai hakim MK perlu ditelusuri kebenarannya. Dewan etik MK perlu menindaklanjuti dengan melakukan pemeriksaan untuk membutikan benar tidaknya kecurigaan publik bahwa ada aroma tidak sedap dalam kasus ini.

 

[1] Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

HUKUMAN KEBIRI DAN PELANGGARAN HAM

Jamaludin Ghafur[1]

 

Sejak pemberitaan tentang meninggalnya Yuyun seorang siswi SMPN 15 di Bengkulu akibat diperkosa oleh 14 pemuda, kasus demi kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang tidak jarang berujung pada kematian korban terus bermunculan ke permukaan dan hampir terjadi diseluruh daerah di nusantara. Fenomena ini menyadarkan kita bahwa Indonesia sedang darurat kekerasan seksual utamanya terhadap anak sehingga negara perlu mengambil tindakan tegas untuk mencegahnya.

Menyikapi hal tersebut, Presiden Jowowi secara sigap telah mengambil langkah cepat guna mencegah meluasnya kejahatan serupa. Salah satunya dengan mengeluarkan peraturan pemerintah penggati undang-undang (perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Perpu ini mengatur antara lain mengenai: (1). Pidana pemberatan berupa tambahan pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 20 tahun; (2). Ancaman hukuman seumur hidup; (3). Hukuman mati dan tindakan lain bagi pelaku. Di dalam perpu, juga dimasukan tambahan pidana alternatif berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik. Kehadiran perpu ini diharapkan dapat membuat efek jera bagi para pelaku kejahatan seksual dan memberikan rasa ‘ngeri’ kepada setiap orang sehingga tidak melakukan kejahatan serupa.

Sekalipun hampir seluruh masyarakat Indonesia setuju indonesia sedang darurat kejahatan seksual anak, namun respon masyarakat beragam atas perpu tersebut. Sebagian sangat mendukung, sebagian lainnya menentang dengan argumentasi bahwa beberapa bentuk hukumannya seperti hukuman mati dan hukum kebiri dianggap bertentangan dengan HAM pelaku kejahatan. Bahkan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara terbuka menyatakan tidak akan melakukan suntik kebiri karena dianggap bertentangan dengan kode etik kedokteran.

 

Memaknai Hak Asasi Manusia

UUD 1945 telah memuat pengaturan HAM secara komprehensmasyarakat demokratis.if. Pengaturan dan Perlindungan HAM menjadi sangat penting karena menyangkut hakekat manusia itu sendiri. Artinya, seseorang tidak akan menjadi manusia seutuhnya jika hak-hak dasarnya sebagai manusia tidak dilindungi. Namun yang perlu dipahami bahwa segala sesuatu tidak bersifat mutlak termasuk HAM itu sendiri. Dalam kondisi tertentu negara boleh membatasi, mengurangi bahkan mencabut HAM yang melekat kepada seseorang berdasarkan hukum. Hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 28J UUD 1945 bahwa, (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu

 

Kepentingan Umum (Hak Publik) dan Kepentingan Individu (Hak Individu)

Memberikan hukuman yang seberat-beratnya bagi pelaku kejahatan seksual tentu dimaksudkan untuk melindungi siapa saja yang berpotensi menjadi korban dan masyarakat secara luas, namun demikian bentuk hukuman tersebut pasti akan berpotensi melanggar hak-hak pelaku. Idealnya, perlindungan atas hak individu dan hak masyarakat seharusnya saling melengkapi dan tidak untuk saling dipertentangkan. Namun demikian, jika terjadi situasi dilematik dimana kepentingan individu bertentangan dengan kepentingan publik maka harus diambil pilihan.

William D. Ross seorang filsuf moral mengajarkan asas prima facie untuk keluar dari situasi dilematik yang demikian (Sidharta, 2006). Berdasarkan asas prima facie itu, jika dua nilai yang berada pada tataran yang sama, misalnya sama-sama fundamental, saling berhadapan maka harus memilih salah satu dari dua nilai untuk didahulukan dari nilai yang lainnya. Dalam hal harus memilih antara nilai kepentingan umum dan nilai kepentingan individu, maka berdasarkan pertimbangan utilitarianistik (manfaat), harus dipilih nilai kepentingan umum. Berdasarkan pilihan itu, maka pelaksanaan dan perlindungan nilai kepentingan individu (hak-hak individu) harus disesuaikan agar kepentingan umum dapat terwujud. Dengan sendirinya, maka pelaksanaan dan perlindungan hak-hak individu itu akan terkesampingkan atau terkurangi. Landasan konstitusionalnya adalah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 sebagaimana disebutkan di atas.

Berdasarkan asas prima facie itu, maka pengesampingan atau pembatasan hak-hak individu itu tidak berarti meniadakan hak-hak individu terkait. Pengesampingan atau pengurangan hak-hak individu berdasarkan pertimbangan utilitarianistik dapat dibenarkan sejauh hal itu memang sungguh-sungguh diperlukan untuk memungkinkan nilai yang dipilih untuk didahulukan, yakni kepentingan umum, dapat terwujud. Pada posisi itulah, maka perpu dibenarkan karena untuk melindungi sendi-sendi kepentingan umum yang kuota nilainya lebih besar.

[1] Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII. Kandidat Doktor FH UI Jakarta.

Penerapan dan pelembagaan demokrasi yang tidak disertai dengan demokratisasi substansial di tingkat bawah (rakyat) bukan tidak menimbulkan masalah. Read more

Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H.

Karya Ilmiah: Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H.Dian Kus Pratiwi, S.H., M.H.

Verifikasi Penilaian terhadap Naskah Karya Ilmiah pada:

 

Jurnal Luar:

 

Makalah Ilmiah:

 

asdasdasdasdas

Harus diakui, memasuki usianya yang ke-14 tahun Mahkamah Konstitusi, kita masih tetap dalam fase pencarian format ideal pelembagaan MK. Read more

Hakim MK Negarawan oleh Jamaludin Ghafur

Jamaludin Ghafur[1]

 

Satu-satunya jabatan yang secara eksplisit disebutkan dalam UUD 1945 harus diisi oleh sosok negarawan adalah jabatan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal 24C ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Dalam konteks bernegara, negarawan tentu merupakan kualifikasi tertinggi dalam sebuah persyaratan sebagai pejabat publik.

Tertangkapnya hakim konstitusi Patrialis Akbar oleh KPK atas dugaan menerima suap dalam perkara pengujian undang-undang menyadarkan publik bahwa tidak semua hakim MK adalah seorang negarawan. Sejak MK berdiri pada tahun 2003, kasus hukum yang menjerat hakim MK bukan baru kali ini saja terjadi. Ada sejumlah kasus hukum dan etik yang pernah terjadi sebelumnya yaitu kasus suap Akil Mochtar mantan Ketua MK yang telah divonis penjara seumur hidup; pelanggaran kode etik oleh Mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi; dan Ketua MK saat ini Arief Hidayat pernah dinyatakan terbukti melanggar kode etik butir ke-8 soal kepantasan dan kesopanan sebagai hakim konstitusi karena memberikan memo kontroversial kepada mantan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyo Pramono.

 

MK dan Cita Supremasi Hukum

MK adalah anak kandung reformasi. Lembaga ini dilahirkan saat Indonesia mengalami transisi demokrasi. Sebelum MK lahir, kekuasaan kehakiman di Indonesia hanya dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA). Banyaknya mafia peradilan di tubuh MA saat itu menjadi alasan mengapa Indonesia membutuhkan lembaga peradilan lain selain MA. Maka dibentuklah MK yang diberi tugas untuk menangani berbagai soal ketatanegaraan. Harapannya, MK dapat menjadikan hukum berdiri tegak sebagai panglima dalam mengawal perjalan bangsa di mana pada masa rezim pemerintahan sebelumnya hukum selalu di kalahkan oleh kepentingan-kepentingan politik. Melalui lembaga ini, bangsa Indonesia berharap agar keadilan dan hak-hak masyarakat dapat terlindungi.

Di periode pertama dan kedua,di bawah kepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Moh. Mahfud MD, harapan akan tegaknya supremasi hukum di Indonesia perlahan namun pasti mulai menunjukkan titik terang. Banyak putusan-putusan MK yang diapresiasi oleh publik karena putusannya dianggap mewakili rasa keadilan masyarakat. MK pada masa itu pernah menjadi salah satu lembaga penegak hukum yang dihormati dan berwibawa di mata masyarakat.

sayangnya, spirit perjuangan itu tidak dapat dilanjutkan oleh generasi berikutnya. Sebagian hakim pengganti tidak lagi memegang teguh nilai-nilai dan prinsip mulia yang telah dibangun dan diwariskan oleh para pendahulunya. Sejarah perjalanan MK berikutnya bukan lagi sejarah tentang prestasi dan kegigihan untuk menegakkan supremasi konstitusi, tetapi MK telah menjadi lembaga yang tidak lagi ada bedanya dengan lembaga-lembaga penegak hukum lainnya yang mulai kerasukan mafia-mafia peradilan. Bahkan sebagian mafia itu berasal dari internal hakim MK.

 

Evaluasi Mekanisme Seleksi Hakim MK

Lolosnya seseorang yang tidak memiliki predikat negarawan sebagai hakim MK salah satu faktornya karena ketidak jelasan prosedur dan mekanisme seleksi hakim MK. Secara konstitusional, ada tiga lembaga yang memiliki kewenangan untuk memilih hakim MK yaitu Mahkamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden. Namun demikian, ketiga lembaga tersebut tidak memiliki standar yang baku tentang tatacara seleksi hakim MK. Tidak mengherankan jika proses pemilihan hakim MK selalu berbeda dari waktu ke waktu. Praktik pengusulan, pemilihan, dan pengangkatannya masih bersifat ‘trial and error’.

Di DPR, meskipun proses uji kelayakan dilakukan terbuka namun tidak pernah menjelaskan apa indikator penilaian dan argumentasi terpilihnya seseorang sebagai hakim MK. Seleksi calon hakim MK jalur Presiden dilakukan secara tidak konsisten. Masa pemerintahan SBY, ditunjuk langsung oleh Presiden. Sementara pada era Jokowi membentuk panitia seleksi. Sementara di Mahkamah Agung (MA), mekanisme rekrutmen calon hakim MK sangat tertutup baik dari segi siapa yang boleh mendaftar dan mekanisme seleksinya. Akibatnya, calon hakim konstitusi dari MA selalu berasal dari internal mereka yang kualifikasinya tidak pernah diketahui oleh publik.

Agar tercipta parameter yang jelas terkait kelayakan calon hakim konstitusi, ada beberapa hal yang harus dilakukan: Pertama, MA, DPR, dan Presiden harus membentuk peraturan bersama yang mengatur tentang Pedoman Kelayakan Hakim Konstitusi. Kedua, membentuk mekanisme yang sinergis dengan tahapan yang sama di dalam masing-masing lembaga agar tidak ada unsur pembeda antara seleksi melalui MA, DPR atau Presiden; ketiga, membentuk tim seleksi di masing-masing lembaga, dan oleh masing-masing lembaga dengan keanggotaan yang bersifat independen; keempat, melembagakan mekanisme fit and proper test sebagai sarana bagi publik untuk ikut berpartisipasi menjadikan proses seleksi hakim konstitusi transparan dan akuntabel.

[1] Penulis adalah Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi (PSHK) FH UII