Tag Archive for: Fakultas Hukum UII

[KALIURANG]; Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia collaboration with Youngsan University held an International Seminar on legal issues in industrial society 4.0 which was held by hybrid, held at Youngsan University Busan Campus and some participants attended via Zoom Meeting ( 20/06).

In this Seminar as keynote speech, among others, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M. Hum. as Head of Undergraduate Program in Law as well as a Professor at Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. Prof. Park Ji-Hyun, Ph.D. representatives from Youngsan University, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. as Secretary of International Undergraduated Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia and then continued by Anisa Rizky Anggalia, S.H., M.H., LL.M. from Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, and the last one is Prof. Lee from Busan Immigration Officer. On this occasion, each speaker presented his material in the form of Intellectual Property Rights, Immigration Systems, and Personal Data Protection.

In this opportunity, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum, who was present online through Zoom Meeting said that Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia really appreciated the joint implementation of this international seminar. Prof. Budi hopes this activity could take place sustainably and the involvement of students as panelists is the best experience and may be adopted in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia.

Similarly,  Head of Undergraduate Program in Law, Secretary of International Undergraduate Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia also attended this international seminar online. “This international seminar is entirely funded by Youngsan University and this is the implementation of international cooperation that has been going on in harmony both between Universitas Islam Indonesia and Youngsan University.” said Dodik

The international seminar held this time presented panelists, most of whom came from dual degree program students and credit transfer from International Undergraduate Program in Law Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia at Youngsan University.

Students participants in the double degree and credit transfer program are Yuwan Zaghlul Ismail, Kurniawan Sutrisno Hadi, Veni Nur Setyaningsih, Muhammad Sulhan, and Muhammad Rhayhan Zidane.

The participants of this international seminar were dominated by foreign students, especially students from Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. This international seminar went well and the participants took an active role in the discussion session.

 

Pembukaan Pendaftaran Sekolah Advokasi Hakim dan Peradilan (Program Kemitraan Fakultas Hukum UII dengan Komisi Yudisial Republik Indonesia)

Program ini akan berlangsung dari bulan Maret sampai dengan September 2022, program ini membahas segala hal terkait Perbuatan Merendahkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat Hakim (PMKH) dalam bentuk diskusi,penyuluhan hukum dan kegiatan lainnya sesuai sub tema yang dibahas.

Program ini gratis, tidak dipungut biaya apapun. Terbatas hanya untuk 25 peserta mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII).

Pendaftaran berlangsung mulai 9-17 Maret 2022. Informasi selengkapnya tertera pada poster. Silahkan dicermati dan jika ada hal yang ingin ditanyakan dapat menghubungi narahubung melalui WhatsApp.

Narahubung: 0813-2700-5613 (Mia)

[TAMAN SISWA]; On Tuesday (25/01), the 2022 International Mobility Program Student Release event was held successfully by the Faculty of Law, Indonesian Islamic University (FH UII). The event was attended by the Dean of the Faculty of Law, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H., Deputy Dean for Resources, Hanafi Amrani, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., Head of the Law Department, Dr. Muhammad Arif Setiawan, S.H., M.H., Secretary of the Department of the Faculty of Law, Islamic University of Indonesia, Bagya Agung Prabowo, S.H., M.Hum., Ph. D., Head of the Undergraduate Law Study Program, Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H, M. Hum., Secretary of the Undergraduate Law Study Program, Ari Wibowo, S.H., S.HI, M.H., Secretary of the International Law Study Program, Dodik Setiawan, S.H., M.H., LL.M., Ph. .D directly at the Faculty of Law, Islamic University of Indonesia. The Release ceremony began with an opening by the Master of Ceremony (MC) and continued with remarks and reports by the Head of the 2022 International Mobility Program Team, namely Dodik Setiawan, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. In his remarks, he said that FH UII in the last 5 years has had many achievements, especially in the internationalization program. Not only doing research with universities abroad, but also holding joint programs such as credit transfer and double degrees for undergraduate and postgraduate students. This event was also attended by parents from the online delegation of the International Mobility Program.

Then the delegation representatives delivered a farewell welcome represented by Muhammad Sulhan. The names of the delegates in the 2022 International Mobility Program are divided into 2 (two) destinations; 1) Muhammad Sulhan, Muhammad Rhayhan Zidane, Veni Nur Setyaningsih who will carry out the Credit Transfer Program at Youngsan University, South Korea; 2) Wildan Amrillah Amrani, Arief Hasanul Husnan Nasution, Tazkiya Amalia Nasution and Rahadian D. B. Suwartono who will carry out the Undergraduate and Masters Credit Transfer Program at Lobachevsky University Russia. The release of the delegates was carried out by the Dean of the Faculty of Law, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. who said that apart from their parents, the delegates were very proud of the UII Faculty of Law and included hopes for the delegates so as not to forget the values ​​that had been conveyed during the preparation for departure.

After the remarks by the Dean of the Faculty of Law UII, continued with the delivery of education kits and health kits in the form of honey, vitamins, hand sanitizers and health supplements by the Dean of the Faculty of Law UII accompanied by the Deputy Dean for Resources. Students are also provided with the Koran which is submitted by the Head of the Study Program accompanied by the Secretary of the Study Program. In addition, the head of the Law Department accompanied by the Secretary of the Law Department at the Islamic University of Indonesia was paired with a hat marked with the Faculty of Law UII.
The event for the release of the 2022 International Mobility Program Students was finally closed with a prayer that was said together and led by the Secretary of the Department of the Faculty of Law at the Islamic University of Indonesia, Bagya Agung Prabowo, S.H., M.Hum., Ph. D. The event for the release of the 2022 International Mobility Program Students was finally closed with a prayer that was said together and led by the Secretary of the Department of the Faculty of Law at the Islamic University of Indonesia, Bagya Agung Prabowo, S.H., M.Hum., Ph. D.

 

Author: Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Criminal Law

Pada zaman Orde Baru, istllah ‘subversi” dan “makar’ sangat tidak asing di telinga masyarakat, Bagalnrana tidak, delik subversi dan”nnkaLsant ltu sering terucap dari mulut para pejatbat untuk mengancam kelompok tertenru yang dianggap membahayakan kekuasaan. Pascareformasl, kedua istilah tersebut terdengar asing. Bahkan, Benerasi baru barangkall tak mengenalnya, “Subversi” sudah menjadi sejarah hukum yang hanya terdengar dl ruang-ruang kuliah fakultas hukum karena undang-undangnya telah dicabut. lstilah “makar’ nyaris tak pernah diucapkan lagi oleh penguasa meskipun sampai dengan saat lni pengaturannya masih eksis dalam KUHP.

Makar, terutarna yang dlatur dalam Pasal 1 07 KUHP, menl,:di salah satu delik primadona madona bagl penguasa Orde Baru untuk menghabisi musuh politiknya. Tidak jarang aktivis yang kritis dengan kebijakan penguasa dilibas dengan pasal makar karena dianggap punya maksud menggulingkan pem€rlntah yang sah. Lama tak terdengar, saat ini istilah “makar” kembali akrab di telinga publik.

Dalam beberapa kesempatan, menteri pertahanan era Presiden Jokowi kembali memopulerkan istilah “makar” kepada publik terutama saat ada beberapa orang yang menyuarakan ajakan people power.

Masyarakat pun akhlrnya mulai latah, ikut’ikutan rnenggunakan istilah “makar” yang sebenarnya tldak ia pahaml artinya. Seolah dianggap hal biasa, padahal makar merupakan kejahatan serius dengan ancaman pidana berat bagi pelakunya.

lsu makarjuga berpotensi mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, adanya agenda diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan sekelompok mahasiswa akhirnya dibatalkan karena ada teror kepada narasumber dan penyelenggaranya.

Padahal, darijudulnya, diskusi tersebut sama sekali tidak mengindikasikan adanya upaya makar menggulingkan pemerintah yang sah. Maka, aneh jika peneror menganggapnya sebagai makar, bahkan sampai rnengancam akan membunuh panitia penyelenggaranya.

Adanya keanehan tersebut mendorong publik untuk mencari-cari apa pemicu di balik teror tersebut. Salah satu yang ditemukan dan menjadiviral adalah artikel yang ditulis seorang akadernisi berinisial BPW dengan judul “Gerakan Makar di UGM Saat jokowi Sibuk Atasi Covid-l9”. Dalam tulisannya, BPW menilai bahwa rencana diskusi tersebut adalah makar. Meski diakuinya hanya sebatas opini sederhana, bukan berarti orang bebas dalam beropini. Ada batasan tertentu kapan opini merppakan bagian dari kebebasan berpendapat dan kapan sudah masuk dalam ranah pidana.

Jauh dari Makar

Menurut Abdul Hakirn G Nusantara (1995), hukum pidana politik merupakan sarana hukum untuk melindungi kepentingan negara dari musuh-musuh politiknya yang memiliki maksud mengubah sistem politik dan pemerintahan negara. Perbuatan yang dilarang di dalamnya dikenal dengan sebutan delik atau kejahatan politik. Sekalipun bukan merupakan istilah hukum (juridicatterm), istilah ini sudah sejak lama dikenal dalam perbincangan akadernik dan masyarakat {academic and social term).

Stephen Schafer, misalnya, mengidentifikasi setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik, salah satunya kejahatan terhadap negara/keamanan negara. Dalam KUHP, kejahatan terhadap keamanan negara diatur dalam Bab I Buku Kedua yang salah satunya adalah makar.

Dengan melihat konstelasi politik saat ini, pasal makaryang potensial digunakan penguasa atas nama melindungi kepentingan negara adalah pasal 107, yakni makar yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pernerintah yang sah. Maksud menggulingkan pemerintah yang sah di sini dapat berupa perbuatan mengubah bentuk pemerintahan dengan cara tidak sah, mengubah tata cara penggantian kepala negara dengan cara tidak sah, atau mengubah sistem pemerintahan dengan cara tidak sah.

Pasal 107 KUHP inilah yang digunakan untuk menjerat beberapa pihak yang menyuarakan ajakan people powerselepas pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019 lalu. Pasal ini pula yang tampaknya oleh BPW dianggap layak digunakan untuk menjerat para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan diskusi hanya karena dalam judulnya menyantumkan frasa “pemecatan presiden”.

Tidak sesederhana itu. KUHP memang tidak memberikan definisi mengenai makar (aanslag). Namun, Pasal 87 KUHP menjelaskan bahwa “makar untuk melakukan suatu perbuatan” dianggap ada apabila niat untuk itu telah ternyata dengan dilakukannya perbuatan permulaan pelaksanaan.

Dalam berbagai literatur hukum pidana, suatu perbuatan dlkatakan sudah sampai pada tahap perrnulaan pelaksanaan jika perbuatannya benar-benar telah mendekatkan pada delik yang dituju atau dimaksud dan harus tidak ada keraguan lagi bahwa apa yang telah dilakukan ditujukan atau diarahkan untuk mewujudkan delik yang diinginkan.

Dari ciri tersebut, agenda diskusiyang akan membahas pemberhentian presiden sangat jauh dari makar karena sama sekali tidak ada perbuatan yang dekat dengan upaya menggulingkan presiden secara tidak sah. Bahkan, indikasi niat ke arah sana saja belum ada. Apalagi, dalam judul diskusi jelas disebutkan “ditinjau dari sistem ketatanegaraan” dan dalam UUD 1945 menrang ada pengaturan mengenai pemakzulan presiden sehingga mendiskusikannya merupakan hal yang wajar.

Perlu Ada Pelajaran

Dalam kasus teror terkait agenda diskusi pemberhentian presiden, setidaknya ada dua pihak yang bisa diproses secara hukum. Pertama, pihak peneror. Kedua, BPW. Pihak peneror dapat dikenakan ketentuan Pasal 45B7uncro Pasal 29 UU ITE yang mengatur perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang berlsi ancaman kekerasan atau menakuti-nakuti yang ditunjukkan secara pribadi. Karena peneror melakukan perbuatannya menggunakan telepon seluler dan nomor yang digunakan sudah pasti tidak aktif lagi, tentu akan ada hambatan untuk melacaknya.

Meski ada hambatan, hal ini menjadi tantangan bagi pihak kepolisian untuk menemukan penerornya. Terlebih, dalam pesan yang sudah tersebar, peneror mengaku berasal dari salah satu ormas keagamaan besar di lndonesia. Pengakuan tersebut sangat konyol dan secara nalar nyaris mustahil ada peneror yang ‘Jujur” menyebut afiliasinya. Selain itu, ormas tersebut belakangan ini banyak menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah, mulai dari RUU minerba, RUU cipta lapangan kerja, RUU revisi UU KPK, hingga kebijakan pemerintah dalam
penanganan pandemi Covid-19.

Dari sinilah publik mulai berasumsi ada campur tangan penguasa di balik aksi teror tersebut. Terlebih, pola teror semacam ini pernah identik dengan penguasa pada era Orde Baru. Asumsi publik tersebut dapat ditepis jika kepolisian berhasil menangkap pelakunya, apalagi jika di pengadilan dapat dibuktikan bahwa aksi tersebut steril clari campur tangan penguasa. Namun, sebaliknya, jika kepolisian gagal menangkap pelakunya, bukan mustahil asumsi itu akan semakin menguat, seperti yang terjadi pada kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, dan pada gilirannya akan menurunkan martabat pemerintah di mata publik.

Adapun untuk BPW, artikelnya sudah mengarah pada ujaran kebencian sehingga masuk ke ranah pidana. la bisa dikenai Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE atas perbuatannya yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Pasal tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Artirrya, tidak harus telah menimbulkan akibat tertentu, tetapi cukup ada unsur kehendak untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Ada juga inclikasi bahwa artikel itu menjadi pemicu terjadinya tindakan teror kepada narasumber dan penyelenggara diskusi. Meskipun semua itu nanti bergatung pada pembuktian di pengadilan, paling tidak fakta dan indikasi yang ada dapat menjadi dasar bahwa BPW layak untuk diproses secara hukum.

Proses hukum terhadap dua pihak tersebut penting dilakukan. Jika pengadilan menyatakan bersalah, pidana yang dijatuhkan nantinya bukan sebagai bentuk pembalasan, melainkan untuk kebaikan pelaku sendiri dan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Plato: “nemo prudents punit, quia peccatum, sed ne peccetur’ (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, tetapi agar tidak lagi dilakukan dosa). Jadi, melakukan proses hukum dalam kasus ini merupakan jalan kemuliaan.

 

This article have been publsihe in REPUBLIKA.co.id,  2 June 2020.