Tag Archive for: M. Syafi’ie

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Suatu saat penulis bertanya kepada seorang guru, dimana posisi hukum dalam agama Islam? Beliau menjawab bahwa hukum merupakan bagian dari Islam. Ajaran hukum lebih kecil dibanding dengan ajaran Islam yang luas antara lain  terkait aqidah, akhlaq, dan ilmu pengetahuan. Sedangkan hukum umumnya dikaitkan dengan ibadah dan muamalah yang menjadi domain fiqh.

Muhammad Adnan mengatakan, agama diterjemahkan dari bahasa Arab Ad-Din, Asy-syari’ah at-Thoriqoh, dan Millah yang diartikan sebagai peraturan dari Allah untuk manusia berakal, untuk mencari keyakinan, mencapai jalan bahagia lahir bathin, dunia akhirat, bersandar kepada wahyu-wahyu ilahi yang terhimpun dalam Kitab Suci yang diterima oleh Nabi Muhammad.

Islam menurut A. Gaffar Ismail ialah nama agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad yang berisi kelengkapan dari pelajaran-pelejaran yang meliputi : (a) kepercayaan; (b) seremoni-peribadahan; (c) tata tertib kehidupan pribadi; (d) tata tertib pergaulan hidup; (e) peraturan-peraturan Tuhan; (f) bangunan budi pekerti yang utama, dan menjelaskan rahasia kehidupan yang akhirat.

Hukum sendiri berasal dari bahasa arab hakama-yahkumu-hukman (masdar) yang dalam Kamus Arab-Indonesia Mahmud Junus diartikan dengan menghukum dan memerintah. Hukum juga diartikan dengan memutuskan, menetapkan, dan menyelesaikan setiap permasalahan. Menurut Muhammad Daud Ali, hukum dapat dimaknai dengan norma, kaidah, ukuran, tolak ukur, pedoman yang digunakan untuk menilai dan melihat tingkah laku manusia dengan lingkungan sekitarnya.

Dalam ushul fiqh, hukum syar’i diartikan dengan khitab (kalam) Allah yang berkaitan dengan semua perbuatan mukallaf, baik berupa iqtidha’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau meninggalkan), takhyir (memilih antara melakukan dan tidak melakukan), atau wadh’i (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang/mani’)

Maksud dari khitabullah ialah semua bentuk dalil-dalil hukum yang bersumber dari Qur’an, Sunnah serta ijma’ dan qiyas. Menurut Abdul Wahab Khalaf, yang dimaksud dengan dengan dalil hanya Qur’an dan Sunnah, sedangkan ijma’ dan qiyas merupakan upaya ijtihadi untuk menyingkap hukum dari Qur’an dan Sunnah. Kita tahu, ada banyak metode ijtihad untuk menggali hukum syar’i, antara lain : qiyas, istihsan, maslahah mursalah, istishab, al-‘adah, dan fathu ad-dzari’ah dan sadd al-dzari’ah.

Hukum Islam secara umum dapat dibagi menjadi dua, pertama, hukum taklifi yang terdiri dari al-wujub (wajib), an-nadbu (sunnat), al-ibahah (mubah), al-karoheh (makruh), dan al-haromah (haram). Contohnya, wajib puasa bulan Romadhan, haramnya minum khamar, mubahnya makan minum, serta makruhnya merokok. Kedua, hukum wadh’iy yang didalamnya ada sebab, syarat, mani’, sah-batal, rukhsoh-‘azimah. Contohnya, waktu matahari tergelincir di tengah hari menjadi sebab wajibnya seorang mukallaf menunaikan sholat dzuhur, wudhu’ menjadi syarat sahnya sholat, haid menjadi penghalang (mani’) seorang perempuan melakukan kewajiban sholat atau puasa.

Pemikiran di atas memperlihatkan bahwa ada perbedaan antara Islam sebagai agama, dan hukum sebagai bagian dari agama Islam. Perbedaan tersebut sangat kecil, karena itu ada tiga konsep yang wajib diketahui dan dipahami oleh seorang muslim, yaitu syari’ah, fiqh, dan qonun. Mengetahui ketiganya akan mengantarkan kepada seorang muslim untuk mengerti mana wilayah yang tidak mungkin berubah dan tunggal, serta mana wilayah yang bisa berubah dan berbeda-beda tafsirnya.

Menurut Hasbi As-Shiddieqy, syariat berarti jalan tempat keluarnya sumber mata air atau jalan yang dilalui air terjun yang diasosiakan oleh orang Arab sebagai at-thhariqah al-mustaqimah. Secara terminologi, syariat berarti tata aturan atau hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-Nya untuk diikuti (Qs. Al-Jasiyah : 18). Fiqh menurut Fathurrman Djamil ialah dugaan kuat yang dicapai oleh seorang mujtahid dalam usahanya menemukan hukum Allah. Fiqh memiliki keterkaitan dengan hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang bersumber pada dalil-dalil yang terperinci. Sedangkan qonun biasa diartikan dengan Undang-Undang. Ulama’ salaf mendefinisikannya sebagai kaidah-kaidah yang bersifat kully (menyeluruh) yang didalamnya tercakup hukum-hukum juz’iyyah (bagian-bagiannya). Qonun umumnya dibuat oleh pemerintah yang berkuasa.

Syari’ah, fiqh dan qonun berbeda. Ajaran syari’at tedapat dalam Qur’an dan hadist yang tidak mungkin berubah teksnya, bersifat fundamental, abadi karena merupakan ketetapan Allah dan Nabi Muhammad, tunggal yang meperlihatkan konsep kesatuan Islam. Sedangkan fiqh dan qonun merupakan produk pemahaman manusia yang menggali hukum dalam Qur’an dan hadist, bersifat instrumental, mengalami perubahan sesuai waktu, zaman serta keadaan. Realitasnya seperti yang kita ketahui saat ini, dimana produk hukum fiqh dan qonun cenderung berbeda-beda sesuai madzhab yang sangat beragam. Kita bisa lihat perbedaan-perbedaan tersebut dalam kitab-kitab fiqh perbandingan.

Uraian di atas memperlihatkan kepada kita bahwa saat kita memeluk agama Islam kita satu, syariatnya tunggal yaitu Al-Qur’an dan Hadist, tetapi saat bersamaan kita umumnya mengikuti ‘hukum’ atau ‘qonun’ madzhab tertentu, disitulah beberapa praktik keagamaan umat Islam berbeda-beda. Dalam konteks ini, biar tidak kagetan dan apalagi sampai mengkafirkan, umat Islam dituntut untuk belajar ilmu-llmu yang menjadi basis hukum dalam Islam seperti ilmu Ushul Fiqh, Qowaidul Fiqh, Perbadingan Madzhab, Maqosid Syari’ah, Ulumul Qur’an, Ulumul Hadist, Ulumul al- Tafsir, dan Ilmu Mantiq (Logika).

 

This article have been published in  UII News edisi Maret 2021.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Penularan Covid-19 terus meningkat. Publik seperti dihadapkan pada ketidakpastian langkah-langkah pemenuhan hak atas kesehatan. Bahkan, pemerintah mulai meragukan kebijakannya sendiri. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menggantikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai tidak efektif menghentikan laju penularan. Situasi ini bermakna bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia sampai saat ini belum berhasil.

Sejauh ini, sudah banyak peraturan dan kebijakan terkait Covid-19, antara lain : Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagai Bencana Nasional, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease, Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Pencepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Selain itu, ada Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Permenkes No. 9 tahun 2020 yang secara spesifik mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keputusan Menteri kesehatan Nomor HK. 01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan yang diantaranya mengatur kebijakan tentang mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker, dan yang terakhir Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Desease 2019.

Melihat ketentuan di atas, sudah banyak peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Pertanyaannya, mengapa kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat? Pertanyaan ini bisa dijawab bahwa substansi dan struktur hukum tersebut belum berjalan efektif dan belum mampu menjadi sarana pengubah perilaku masyarakat.

Hukum Pengubah Perilaku  

Roscoe Pound, tokoh aliran hukum Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa hukum semestinya dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum mesti dipahami sebagai suatu proses (law in action) yang hukum tersebut sama sekali berbeda dengan hukum yang tertulis (law in books). Peraturan dan kebijakan tentang Covid-19 semestinya dilihat dalam konteks ini, bahwa aturan tersebut bukanlah norma-norma tertulis saja, tetapi norma yang harus dihidupkan dan dilekatkan dengan lembaga kemasyarakatan.

Roscoe Pound mengatakan, hukum berkaitan dengan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan tersebut ada 3 (tiga), pertama, public interest yang meliputi kepentingan negara yang tugasnya memelihara hakekat negara dan menjaga kepentingan sosial. Kedua, kepentingan perorangan yang meliputi kepentingan pribadi dan kepentingan dalam rumah tangga. Ketiga, kepentingan sosial yang terkait dengan keamanan umum, moral umum, kemajuan sosial dan kehidupan individu.

Kepentingan penanganan Covid-19 merujuk pemikiran Pound sudah sangat memenuhi dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial dan negara. Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan lembaga pemasyarakatan untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perorangan di bidang kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-19 tentu akan menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering)

Persoalannya, perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk mentaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktifitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.

Soerjono Soekanto berpendapat, apabila hukum tidak berjalan dengan semesetinya maka harus dicek faktor-faktor yang menjadi penghambatnya, biasanya antara lain terjadi karena faktor pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor penghambat harus diidentifikasi.

Salah satu yang biasa jadi faktor penghambat menurut Soerjono Soekanto ialah komunikasi hukum. Hukum yang diharapkan dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Komunikasi hukum harus dapat dilakukan secara formal dan informal. Cara ini merupakan bagian yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam kehidupan masyarakat.

Pada pokoknya ketaatan hukum sangat dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat. Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum. Kedua, adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada orang yang melanggarnya.

Berangkat dari pemikiran di atas, terbayang dalam pikiran kita bahwa ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang mempengaruhi lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar masyarakat masih belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu yang penting, dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.

Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi didalamnya ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna penting mentaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini : tidak fokus pada pokok masalah, sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat bahkan pemerintah sendiri.

This arcticle have been published in  Sindo Newspaper, 10 February 2021.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 sudah memasuki tahapan penting, yaitu pandaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan audit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT, dan puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan : jangan lupakan lagi difabel. Aksesibilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan oleh komunitas rentan, utamanya oleh warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominiasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara, dan lebih jauh dihilangkan suara dan perannya dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutaakhiran Data Pemilih (PPDP). Lebih jauh, difabel menceritakan bahwa PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesibilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan Pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang memudahkan semua orang. Aksesibilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi, mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesibilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik. Pasal 29 dinyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib menjamin kepada penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesamaan dengan orang lain.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk didalamnya memastikan prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan.

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesibilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa yang lain. Namun demikian, PKPU ini berlaku untuk Pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel, dan belum harmonis dengan Undang-Undang Disabiitas.

Berpijak pada kondisi di atas, sudah seharusnya Penyelenggara Pilkada serentak 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesibilitas bagi warga negara yang memiliki hambatan, utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

This article have been published in Kedaulatan Rakyat newspaper, 17 September 2020.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.

Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.

Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.

Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.

Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.

Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga, ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.

Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8/2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4/2012, kuota paling sedikit hanya 1%

Aturan penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa dalam peraturan tidak akan bergerak  tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak-hak difabel.

Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, di mana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan orang-orangnya tidak terikat dengan struktur pemerintahan.

Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4/2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran hak-hak difabel. Praktik  anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Pratik pelanggaran terjadi karena memang sistem pengawasan yang  lemah dan belum ada efek jera bagi pihak yang melakukan pelanggaran.

This article have been published in rubric Analisis KR of Kedaulatan Rakyat Newspaper, 28 November 2019.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Mendiskusikan feminisme selalu akan diawali dengan pembahasan tentang gender. Apa makna keduanya? Gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin (sex). Dalam perkembangan, gender dan jenis kelamin dimaknai secara berbeda. Jenis kelamin dimaknai perbedaan laki-laki dan perempuan secara biologis semata. Sedangkan gender dimaknai sebagai pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, seperti label bahwa perempuan bersifat lemah lembut, emosional, tidak mandiri, dan pasif. Pada sisi yang lain, laki-laki dianggap orang yang kuat, rasional, agresif, mandiri dan eksploratif. Gender yang awalnya hanya konstruksi sosial, dalam praktek terjadi penyimpangan yang salah satunya terlihat dari pola kerja laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki bekerja di sektor publik, sedangkan perempuan dikhususkan untuk bekerja di sektor privat

Feminisme lebih progresif lagi, di mana paham ini tidak hanya berisi kritik terhadap sistem patriarkhi, tetapi lebih pada pengakuan dan sikap yang bersifat positif atas kebutuhan kaum perempuan sebagai sebuah kelompok. Dalam hal ini, feminisme bisa didefinisikan sebagai suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan yang tidak adil. Gerakan feminisme merupakan paham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki (Fadlan, 2011).

Sebagai satu respon pada ‘keyakinan bahwa terjadi diskriminasi serius’ benarkah kaum perempuan selama ini diberlakukan tidak adil? Dalam satu studi dikatakan, di banyak negara, termasuk di negara-negara Islam, perempuan secara umum mengalami peminggiran. Di banyak negara, tidak ada jaminan kesetaraan laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, baik politik, sosial, ekonomi dan hukum. Di beberapa tempat, perempuan dibatasi hak kepemilikan tanah, mengelola property dan bisnis. Di kawasan sub Sahara Afrika sebagian besar perempuan memperolah hak atas tanah melalui suami atas dasar perkawinan dan hak tersebut hilang saat terjadi perceraian atau kematian sang suami. Di Asia Selatan, rata-rata jumlah jam yang digunakan perempuan bersekolah hanya separuh dari yang digunakan laki-laki. Jumlah anak perempuan yang mendaftar ke sekolah menengah di Asia Selatan hanya 2/3 dari jumlah anak laki-laki. Di negara-negara berkembang, wirausaha yang dikelola perempuan cenderung kekurangan modal, kalah dengan wirausaha yang dikelola laki-laki (Sukron Kamil, 2007)

Di Indonesia, kekerasan terhadap perempuan tidak kalah genting. Komnas Perempuan dalam catatan tahun 2018 menyatakan bahwa terjadi tren kekerasan dari tahun ke tahun, misal tahun 2015 yang berjumlah 321.752 kasus, tahun 2016 terdapat 259.150 kasus, dan pada tahun 2017 meningkat menjadi 346.446 kasus. Bentuk kekerasannya berupa kekerasan ekonomi, kekerasan psikis, kekerasan seksual, kekerasan fisik, eksploitasi pekerja migran, dan trafficking. Spektrumnya berupa kekerasan terhadap perempuan di dunia maya yang mencakup penghakiman digital bernuansa seksual, penyiksaan seksual, perseksusi online dan offline, maraknya situs dan aplikasi online berkedok agama (misal, ayopoligami.com dan nikahsiri.com), ancaman perempuan dengan Undang-Undang ITE, serta kerentanan eksploitasi seksual anak perempuan dan eksploitasi tubuh perempuan di dunia maya.

Merujuk pada Islam dan HAM

Penulis berkeyakinan bahwa Islam memiliki ajaran yang membebaskan. Seperti yang diulas oleh banyak sejarawan, betapa posisi perempuan di masa pra Islam begitu lemah, tidak berharga, dianggap aib, orang tua marah saat mengetahui memiliki anak perempuan, dan selalu berada di bawah subordinasi laki-laki. Setelah Islam datang, posisi perempuan terangkat, dihargai, dan diletakkan sebagai seorang manusia yang bermartabat. Pada waktu itu, perempuan bisa mendapatkan hak waris, bisa menjadi saksi, dan muncul beberapa doktrin agama yang begitu menghargai perempuan seperti surga berada di telapak kaki ibu, orang tua perempuan adalah orang yang paling layak dihormati dibanding dengan orang tua laki, perempuan adalah tiang agama, perempuan tiang negara dan seterunsya.

Dalam ajaran Islam, kita akan sangat mudah menemukan bagaimana relasi laki-laki dan perempuan yang terkonstruksi secara ideal. Terkait hal tersebut, Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang memperlihatkan doktrin kesetaraan gender. Pertama, prinsip kesetaraan gender merujuk pada realitas laki-laki dan perempuan dalam hubunannya dengan Tuhan, dimana keduanya sama-sama dilihat sebagai seorang hamba. Tugas seorang hamba adalah mengabdi dan menyembah. Dalam hal ini bisa dipahami dari firman Allah, “Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku (Qs. Al-Dzariyat : 56). Kapasitas sebagai manusia, laki-laki dan perempuan juga sama, nilai derajatnya sama, yang membedakan kemuliaan seseorang hanya ketaqwaannya (Qs. Al-Hujurot : 13).

Kedua, laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan sebagai khalifah. Firman Allah, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seseorang khalifah di muka bumi..(Qs. Al-Baqoroh : 30). Ayat ini menurut Nasaruddin Umar tidak menunjukkan pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki dan perempuan memiliki fungsi yang sama sebagai khalifah yang akan mempertanggungjawabkan kekhalifahannya di muka bumi.

Ketiga, laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Saat itu jenis kelamin bayi belum diketahui apakah laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, Allâh telah berbuat adil dan memberlakukan kesetaraan gender dengan terlebih dahulu ia harus menerima perjanjian dengan tuhannya (Qs. Al-A’raf : 172)

Keempat, kesetaraan gender dalam al-Qur’an dapat dilihat dari fakta bahwa antara Adam dan Hawa adalah aktor yang sama-sama aktif terlibat dalam drama kosmis. Kisah kehidupan mereka di surga, karena beberapa hal, harus turun ke muka bumi, menggambarkan adanya kesetaraan peran yang dimainkan keduanya. (Qs. Al-A’raf : 22)

Kelima, sejalan dengan prinsip kesetaraan, maka laki-laki maupun perempuan sama-sama berhak meraih prestasi dalam kehidupannya. Seperti firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan amal sholeh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik.. “ (Qs. An-Nahl : 97)

Berdasar uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa Islam memberikan pesan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Pertanyaannya, bagaimana saat kita ketemu dengan pesan Qur’an dan Hadist yang secara tidak langsung melemahkan posisi perempuan? Quraish Shihab menyatakan bahwa ada beberapa teks yang tercantum dalam Qur’an dan Hadist yang cenderung disalahpahami makna, pesan dan konteksnya. Karena itu, diperlukan bagi ‘seorang pembaca’ untuk memahami dengan baik dan benar dari sebuah ucapan atau redaksi. Menurut Quraish Shihab, pertama, memahami sebuah pesan tidak cukup dengan teks, tetapi penting untuk memahami konteksnya, Qur’an ada asbabun nuzulnya, sedangkan hadist ada asbabul wurudnya. Kedua, penting bagi pembaca untuk memahami kosa kota yang ada. Ketiga, melihat secara umum tuntunan Islam yang menyangkut tema-tema tertentu yang berpolemik, yang salah satunya terkait dengan persoalan gender.

Salah satu contoh pesan hadist yang sering disalahdipahami menurut Quraish Shihab ialah, “Seandainya aku akan memerintahkan seseorang sujud kepada seorang, niscaya aku perintahkan istri sujud kepada suaminya (HR. AT-Tirmidzi). Hadist ini disahalahpahami bahwa istri harus sepenuhnya patuh kepada suaminya, di mana level kepatuhannya menjadikan seorang perempuan lebur pada kepribadian suami sehingga tidak lagi memiliki hak menolak atau membantah. Ternyata, konteks (asbabul wurud) hadist ini tidak demikian. Diceritakan bahwa sahabat Nabi Mu’adz bin Jabal ketika kembali dari Syam dan menghadap nabi SAW, sang sahabat tersebut sujud kepada Nabi. Lalu Nabi bertanya, “apa ini wahai Mu’adz? Muadz menjawab, “Aku baru saja kembali dari Syam, dan kulihat mereka sujud kepada para rahib dan pendeta-pendetanya. Maka aku pun ingin melakukannya untukmu.” Disinilah Nabi SAW melarangnya hal demikian dengan bersabda, “Janganlah lakukan itu. Kalau seandainya aku memerintahkan seseorang sujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan istri sujud kepada suaminya” (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).

Dengan demikian, penjelasan di atas memperlihatkan kepada kita bahwa ajaran Islam sangat mendukung terhadap gerakan gender dan feminisme yang secara umum menuntut perlakuan yang adil antara laki-laki dan perempuan dalam ruang publik dan domestik. Dalam hal ini, ukuran posisi terbaik laki-laki dan perempuan semestinya dinilai dari kompetensi, prestasi, dan kemampuan terbaiknya, serta tidak lagi didasarkan pada semangat yang sekedar status sosial berdasarkan jenis kelamin.

Lebih jauh, ajaran Islam menurut penulis sangat kompatibel dengan norma-norma hukum HAM yang menjamin hak-hak kaum perempuan, diantaranya ialah Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Konvensi ini kita ketahui memiliki tiga prinsip penting, yaitu prinsip non diskriminasi, prinsip persamaan (keadilan substantif), dan prinsip kewajiban negara. Secara normatif konvensi ini menjamin hak sipil dan politik perempuan (hak memilih dan dipilih, hak berpartisipasi, hak memegang jabatan dalam pemerintahan, hak kewarganegaraan, dan seterunsya), menjamin hak ekonomi, sosial dan budaya (hak atas pendidikan, hak kerja, hak kesehatan, dan seterusnya), hak persamaan di depan hukum, dan ada mekanisme pelaporan dan pemantauan terkait dengan pemenuhan hak-hak kaum perempuan.

Cukup banyak aturan dan kerjasama yang secara langsung dan tidak langsung saat ini muncul sebagai bagian untuk melindungi hak-hak perempuan, diantaranya Undang-Undang Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Mou Komnas Perempuan dan LPSK terkait Perlindungan Saksi dan Korban untuk Kasus-Kasus Kekerasan terhadap Perempuan, Penanganan Terpadu Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan, Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan yang Berhadapan dengan Hukum, dan beberapa yang lain. Secara umum, norma hukum dan kesepakatan-kesepakatan tersebut akan mencegah kaum perempuan menjadi korban ketidakadilan sosial.

This article have been published in Sindo Newspaper, 11 April 2019.

Saat ini, pemerintah Yogyakarta sedang mempersiapkan revisi Perda No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Inisiatif ini merupakan keniscayaan karena di level nasional sudah berlaku Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada sisi yang lain, Perda No. 4 Tahun 2012 masih mencantumkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene tidak berlaku.

Di masa lalu, Perda No. 4 Tahun 2012 diapreasi banyak pihak, bahkan dicontoh daerah-daerah lain yang juga membuat peraturan serupa yang harapannya dapat mendorong pemenuhan hak-hak kaum difabel yang selama ini terus menerus termarginalkan. Kehadiran peraturan disabilitas semacam pembuka harapan di tengah peminggiran struktural yang terjadi.

Nasib difabel dalam banyak hal bergantung pada perbaikan kebijakan politik kenegaraan, salah satunya ialah regulasi yang menjamin secara penuh hak-hak difabel, dan memastikan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak yang melakukan pelanggaran. Dalam konteks ini, Perda 4 Tahun 2012 telah cukup baik menampung hak-hak difabel, tetapi pada sisi yang lain masih lemah dalam pengawasan dan implementasinya. Revisi Perda menjadi momentum memperbaiki titik lemah tersebut.

Harmonisasi

Dalam hukum, ada asas lex superior derogate legi inferiori yang bermakna bahwa Undang-undang yang dibuat penguasa yang lebih tinggi mempunyai derajat yang lebih tinggi. Jika ada yang bertentangan, tidak sederajat dan mengatur obyek yang sama, maka yang berlaku adalah Undang-undang yang lebih tinggi. Juga ada asas lex posterior derogat legi priori yang bermakna bahwa Undang-Undang yang berlaku kemudian membatalkan Undang-Undang terdahulu, sejauh undang-undang tersebut mengatur obyek yang sama.

Merujuk dua asas di atas, ada kewajiban bagi pemerintah Yogyakarta untuk melakukan harmonisasi revisi Perda No. 4 Tahun 2012. Substansi norma yang obyeknya sama semestinya tidak bertentangan dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Revisi Perda harus menyesuaikan dengan norma yang lebih tinggi dan mengatur lebih kongkrit agar pemenuhan hak-hak difabel dapat bisa diwujudkan di daerah.

Secara umum, terjadi disharmoni Perda No. 4 Tahun 2012 dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016, pertama, beberapa prinsip yang disebutkan dalam Undang-Undang belum masuk ke dalam Perda. Kedua, pemaknaan ragam disabilitas yang berbeda. Ketiga,  ada beberapa hak yang diatur dalam Undang-Undang belum dimasukkan ke dalam Perda, bahkan dalam beberapa bagian berbeda ketentuan. Keempat, ada disharmoni model pengawasan antara Perda dan Undang-Undang.

Salah satu contoh disharmoni terkait ketentuan kuota pekerja difabel. Pada Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2 % Penyandang Disabilitas dari pegawai atau pekerja. Sedangkan Perda No. 4 Tahun 2012, kuota  paling sedikit hanya 1%

Pengawasan Lemah

Substansi penting yang harus dikuatkan dalam revisi Perda Disabilitas ialah terkait Lembaga Pengawas pemenuhan hak-hak difabel. Lembaga ini fundamental, karena substansi hak yang diatur sedemikian rupa tidak akan bergerak tanpa pengawasan yang ketat dan proses pemberian sanksi yang jelas terhadap pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.

Lembaga Pengawas ini kalau dalam Undang-Undang disebut Komisi Nasional Disabilitas, dimana kelembagaannya bersifat non struktural dan independen. Sifat kelembagaan ini menjadi penegasan bahwa Komisi ini harus berada di luar struktur eksekutif dan independen baik kelembagaan dan anggotanya. Kandidat komisioner lembaga ini pun semestinya dilakukan secara terbuka dan profesional.

Selain lembaga pengawas, problem Perda No. 4 Tahun 2012 terkait lemahnya ketentuan sanksi, utamanya sanksi yang bersifat administrasi yang mesti diberikan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Praktek anak difabel ditolak di sekolah, layanan kesehatan tidak ramah difabel, difabel dikucilkan di tempat kerja, dan beberapa yang lain saat ini masih terus terjadi. Sistem pengawasan masih lemah dan norma dalam Perda belum memiliki mekanisme penjera bagi para aktor pelangaran [Dimuat di Koran Kedaulatan Rakyat, 28 November 2019]

Raperda Disabilitas by

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara.

Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (SIGAB) melakukan monitoring pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.

Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan  DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Tidak dipenuhinya template braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan warga difabel.

Pemilu Saat ini

Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat (2) berbunyi, “Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.

Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan pendekatan human rights yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang  Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun  ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel. Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi semua orang, salah satunya bagi warga difabel.

Mengenali Hambatan

Memenuhi hak pilih difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi. [18 Maret Sindo 2019]

 

 

Author:  Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Jika mencermati hasil perubahan UU KPK (UU Nomor 19 tahun 2019), maka arah politik hukumnya jelas. Mengubah simpul kelembagaan KPK dari lembaga independen, menjadi lembaga pemerintah. Dalam Pasal 3 revisi UU KPK disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Tegasnya, pasal a quo dapat dikatakan sebagai “jantung” atas hasil perubahan UU KPK. Melalui ketentuan tersebut, tak ubahnya KPK sebagai mandataris Presiden.

Mengingat secara hierarkis kelembagaannya berada di bawah kuasa presiden, maka KPK berwarna eksekutif. Tak heran jika manajemen kepegawaian di KPK wajib bercorak eksekutif. Mulai dari status penyidik, sampai dengan promosi mutasi yang tunduk pada regulasi Aparatur Sipil Negara. Bukan hanya soal kepegawaian, kehadiran Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan dibekali kuasa “pro justisia”. Bila tak ada aral membentang, perangkat inipun akan dibentuk melalui kuasa presiden. Meskipun dalam pasal a quo diberikan “irah-irah” independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kenyataannya sulit untuk dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal dengan presiden, cenderung membuat KPK berayun menjadi ‘depeden’.

Cabang Ke-4

Dalam perkembangannya, revisi UU KPK menjadi simbol dekadensi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, dibentuknya KPK merupakan kritik atas lemahnya independensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat Kepolisian dan Kejaksaan secara hierarkis berada di bawah kuasa eksekutif, maka KPK hadir sebagai lembaga independen. Baer menuliskan bahwa kehadiran lembaga independen muncul sebagai trigger atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak lagi efektif (Susan Baer:1988). Tesis Baer diperkuat oleh Ackerman yang menyatakan bahwa lembaga independen merupakan gejala otokritik terhadap pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ackerman melihat kecenderungan Amerika yang telah mengadopsi pemisahan kekuasaan berdasar empat cabang yakni eksekutif, legislatif, yudisial dan organ independen (Bruce Ackerman:2000). Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia.  Studi Mochtar  mencatatkan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang telah ada, mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya (Zainal Mochtar:2016).

Dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, justru menjadi sangat kontraproduktif terhadap respon percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda yang tak luput dari kinerja KPK selama ini. Suap di pelbagai sektor kementerian, hingga korupsi kepala daerah seolah menjadi penanda bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman dari perilaku elit politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak pada konflik kepentingan. Bahkan, studi berbobot yang pernah dilakukan Madril menjadi sangat menarik. Madril mencatatkan tak ada lembaga di bawah kuasa presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) di bawah Soekrano dan Operasi Tertib (Opstib) di bawah Soeharto (Oce Madril:2018).

Penafsiran MK

Kembali dalam perdebatan pembentukan Pasal 3. Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 perubahan UU KPK merupakan tindak lanjut atas putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Bila kembali membuka riwayat putusan MK, ada empat putusan lainnya yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan dan independensi kelembagaan KPK. Di antaranya,  Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU-IX/2011dan Putusan No 49/PUU-XI/2013. Empat putusan sebagaimana disebutkan di atas berada pada satu nafas yang sama. Bahwa KPK merupakan lembaga independen, dan mempunyai sifat penting dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas putusan mana yang harus diikuti ? hemat penulis, putusan 36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenar pembentukan Pasal 3 perubahan UU KPK.

Ada dua alasan yang mendasari. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam UU KPK terhadap UUD, melainkan  menguji Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUDN RI Tahun 1945. Ihwal pengajuan perkara ini semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, Strauss mempopulerkan penafsiran “living constitution”. Strauss menuliskan bahwa dalam konteks penemuan hukum,  majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, sepanjang menyebutkan alasan perubahan dalam amar putusannya (David A Strauss:2011). Dalam Putusan No 36/PUU-XV/2017, tak ada satupun alasan di dalam amar putusan (ratio decidendi) yang menegaskan bahwa majelis mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Sehingga dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, pembentuk undang-undang cenderung bersandar pada basis teoritik yang ringkih. Mencermati sejumlah pertimbangan di atas, tentunya pasal 3 perubahan UU KPK menjadi materi yang laik diujikan di Mahkamah Konstitusi.

 

This article have been published in KORAN TEMPO, 5 November 2019.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pertarungan politik sepertinya sedang memasuki masa panas-panasnya. Kampanye terbuka telah dilakukan di beberapa tempat, dan semua orang sedang kasak-kusuk tentang kandidat pilihannya. Di arena persaingan para politisi ini, hadir para agamawan yang biasa membawa dalil-dalil agama untuk mendukung kandidatnya, dan dalam banyak kasus merendahkan kandidat yang lain dengan dasar informasi yang salah.

Di satu daerah, ibu-ibu yang datang dari pengajian tiba-tiba bercerita tentang isi pengajian tokoh agama yang isinya menjelek-jelekkan salah satu kandidat Presiden dan Wakil Presiden, di mana jika kandidat tersebut terpilih PKI akan muncul di mana-mana, pernikahan sejenis akan disahkan, dan suara adzan akan dilarang. Pada saat yang lain, Bapak-bapak yang selesai pengajian cerita bahwa ada kandidat Presiden yang beragama non Islam dan berasal dari keturunan Cina sehingga tidak boleh dipilih. Pada kesempatan yang sama, agamawan tersebut meminta jemaahnya agar memilih kandidat tertentu dengan dasar pikiran yang tidak detail.

Cerita beberapa Jemaah pengajian membuat hati miris karena apa yang dikatakan para tokoh agama sumbernya adalah berita hoax dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral untuk disampaikan kepada khalayak umum, khususnya para jemaah pengajian yang notabene hadir dengan kesucian hati dan pikiran untuk mempelajari pesan-pesan agama yang lurus dan mencerahkan. Informasi hoax yang dijadikan sumber ceramah memperlihatkan betapa agamawan bukanlah sosok yang bersih virus berita bohong yang saat ini bertebaran di media sosial, seperti facebook, whatsapp, dan youtube.

Pada sisi yang lain, dukungan politik agamawan pada kandidat tertentu semestinya juga ditopang oleh informasi yang detail dan utuh, utamanya terkait visi misi, tawaran program dan pertimbangan yang bersifat substantif, yakni pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas yang harapannya dapat membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan, makmur, dan terbebas dari sistem yang koruptif.

Politik Agamawan

Agamawan tidak bisa dipisahkan dari suara agama, apa pun yang dilakukan agamawan, baik perkataan dan tindakannya selalu akan dikaitkan dengan ekspresi keagamaan. Karena itu, mandat penting agar pemeluk agama tidak berprilaku kacau merupakan tanggungjawab utama para agamawan. Ketika terjadi kekacauan di internal pemeluk agama, maka yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku para agamawannya yang kita tahu sangat rutin memberikan doktrin keyakinan agama.

Konteks kontestasi politik juga demikian, kisruh pemeluk agama karena adanya perbedaan preferensi politik, yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku politik agamawannya. Pertanyaannya, apakah para agamawan sudah memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada jemaahnya? Atau, yang mereka lakukan adalah menyebarkan politik kebencian dan adu domba yang secara langsung dan tidak langsung akan mendorong disharmoni sosial dan retaknya relasi bernegara kedepannya.

Disinilah letak penting mengapa para agamawan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman politik yang paripurna, di mana ada keniscayaan agar mereka secara utuh memahami ajaran agama dalam konteks hubungan sosial masyarakat (muamalah), bernegara (siyasah), dan dalam hal bagaimana agama semestinya menjadi penguat persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah/basyariah) dan  persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah). Dalam hal ini, agamawan dituntut tidak hanya ahli dalam hal ceramah dan pengetahuan agama yang bersifat ritual, tetapi lebih jauh memahami ajaran agama secara holistik.

Politik agamawan dengan demikian tidak bisa dimaknai secara sempit sekedar dukung mendukung, atau sekedar mengeluarkan dalil-dalil agama untuk mendukung kandidat tertentu, lebih jauh para agamawan punya tanggungjawab agar berpolitik sesuai dengan tuntunan agama yang luhur, terhormat, dan mulia. Saat politik luhur ini dijalankan, maka ajaran agama tetap akan berada di posisinya yang suci, dan para pemeluk agama akan memahami kontestasi politik bukan lagi sebagai ruang permusuhan dan perang antar sesama anak bangsa, tetapi lebih substantif menjadi ruang untuk secara sungguh-sungguh mencari pemimpin yang berkualitas.

Tantangan

Menghadirkan perilaku politik agamawan yang luhur tentu tidaklah mudah, mengingat ada begitu banyak tantangan di negari ini, utamanya terjadinya tarik menarik yang terus menerus antara politik dan agama, dan para agamawan pada sisi yang lain. Agamawan yang mejadi bagian kekuasaan biasanya akan selalu membela perilaku kekuuasaan, sebaliknya agamawan yang berada di luar kekuasaan umumnya akan mengkritik kekuasaan.

Di tengah tarik menarik tersebut, agamawan dimana pun posisinya idealnya dituntut untuk menjadi manusia yang harapannya dapat melampaui kepentingan diri sendiri, kelompok dan menghindari pertarungan politik yang bersifat sesaat. Agamawan dituntut untuk lebih mengamalkan pesan-pesan agung agama yang suci dengan selalu mendorong kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah umat manusia yang beragam.

This article have been publsihed in Jawa Pos Newspaper, 28 March 2019.

 

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara.

Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (SIGAB) melakukan monitoring pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.

Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan  DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Tidak dipenuhinya template braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan warga difabel.

 

Pemilu Saat ini

Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat (2) berbunyi, “Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.

Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan pendekatan human rights yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang  Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun  ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel. Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi semua orang, salah satunya bagi warga difabel.

 

Mengenali Hambatan

Memenuhi hak pilih difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi.