Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Jagat hukum Indonesia dikisruhkan lagi oleh berita pembatalan atas tidak kurang dari 3.143 peraturan daerah (perda) oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Pasalnya, bisakah Mendagri melakukan pembatalan secara sepihak terhadap perda? Bukankah Menurut konstitusi pengujian legalitas dan pembatalan perda yang telah berlaku secara sah itu hanya bisa dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA)?

Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) merupakan kementerian besar yang pasti mempunyai biro hukum yang kuat untuk memagari Mendagri agar tidak sampai membuat kebijakan yang bertentangan dengan hukum. Pencabutan 3.143 perda itu tentu sudah dipelajari secara saksama dan diyakini oleh tim hukum Kemendagri sebagai langkah yang tidak melanggar hukum. Betulkah?

Kalau kita melihat masalah itu dari rezim hukum pemerintahan daerah, Mendagri memang mempunyai kewenangan untuk membatalkan perda sesuai dengan ketentuan Pasal 251 UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Tapi jika dilihat dari rezim hukum perundang-undangan, dasar hukum yang dipergunakan Mendagri untuk melakukan pembatalan itu adalah salah Secara hukum. Tepatnya isi UU No 23 Tahun 2014 itu bertentangan dengan UU lain, yakni UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang bersumber langsung dari UUD Negara Republik Indonesia (NRI) 1945.

Menurut Pasal 24A UUD NRI 1945, pengujian legalitas peraturan perundang-undangan di bawah UU terhadap UU atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dilakukan oleh MA. Adapun pengujian konstitusionalitas Ut terhadap UUD dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketentuan yang demikian sudah dituangkan dengan tepat didalam Pasal 9 UU No 12 Tahun 2011 yang menyatakan dugaan pertentangan UU dengan UUD diperiksa dan diputus MK, sedangkan dugaan pelanggaran peraturan perundang-undang an di bawah UU terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi diperiksa dan diputus oleh MA.

Dengan demikian lembaga eksekutif Presiden atau kementerian, sebenarnya tidak bisa melakukan pembatalan terhadap perda secara sepihak dengan alasan apa pun. Pembatalan atau pencabutan perda harus dilakukan menurut rezim hukum perundang-undangan ini. Pertanyaan yang kemudian muncul, bagaimana posisi UBE No 23 Tahun 2014 tentang Pemda yang melalui Pasal 251, memberi kewenangan kepada Mendagri untuk mencabut perda? Jawabannya Simpel Aja. Yang lebih kuat untuk diikuti adalah ketentuan UU No 12 Tahun 2011 yang menentukan, pengujian legalitas atas perda hanya bisa dilakukan oleh MA melalui perkara judicial review.

UU No 12 Tahun 2011 ini lebih kuat karena ia merupakan derivasi langsung dari ketentuan Pasal 24A UUD NRI 1945. Seharusnya pembentuk UU No 23 Tahun 2014 tunduk pada ketentuan konstitusi bahwa pembatalan atau pencabutan perda karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi hanya bisa dilakukan melalui judicial review oleh MA, bukan oleh menteri atau gubernur. Pembentuk UU tidak boleh mencampur aduk antara kewenangan yudikatif dan pengawasan administratif.

UU Pemerintahan Daerah yang sebelumnya, yakni UU No 32 Tahun 2004 telah mengatur masalah tersebut dengan cukup baik meskipun tidak juga sepenuhnya tepat. Menurut Pasal 145 UU N0 32 Tahun 2004 setiap perda yang sudah diberlakukan harus disampaikan kepada pemerintah (pusat) paling lama 7 hari sejak ditetapkan oleh legislator daerah Dalam waktu 60 hari sejak disampaikan oleh legislator daerah, pemerintah pusat bisa membatalkannya. Jika dalam kurun waktu tersebut perda tidak dibatalkan oleh pemerintah pusat, maka ia menjadi berlaku sepenuhnya.

Ketentuan yang diatur di dalam UU No 32 Tahun 2004 itu dapat dinilai lebih baik karena lebih memberi kepastian hukum terhadap perda. Sebaliknya ketentuan berdasar UU No 23 Tahun 20014 yang tidak memberi batasan waktu, kapan paling lama pemerintah pusat atau jenjang pemerintahan yang lebih tinggi dibolehkan membatalkan perda, dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pembatalan itu bisa dilakukan kapan saja sewaktu-waktu pusat mau melakukannya, termasuk karena ada insiden yang sebenarnya lebih merupakan soal teknis pemerintahan

Maka itu sangatlah tepat apabila pembatalan perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tetaplah hanya dilakukan oleh lembaga yudisial melalui judicial review di MA. Jika diperlukan pencabutan perda di luar judicial review, ada jalan lain yang bukan tindakan sepihak Mendagri, yakni mekanisme legislative review. Artinya pembatalan itu dilakukan oleh legislatif daerah melalui proses legislasi oleh kepala daerah dan DPRD dengan mencabut atau menggantinya dengan perda baru yang setara.

Prosedur yang demikian sama dengan prosedur executive review terhadap peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah seperti peraturan pemerintah,perpres, peraturan kepala daerah yang semuanya bisa dicabut sendiri oleh lembaga yang membuatnya. Dengan demikian untuk mencabut penda yang sudah berlaku secara sah hanya tersedia dua pintu, yaitu judicial review di MA dan legislative review di pemerintahan daerah sendiri, tidak boleh dilakukan secara sepihak oleh pemerintah yang di atasnya.

Penegakan negara hukum menuntut kecermatan dan kesabaran. Kalau misalnya dengan niat baik pemerintah yang sekarang melakukan pembatalan atas perda secara sepihak tanpa melalui judicial review atau legislative review, bisa jadi suatu saat pemerintah yang akan datang melakukan juga pembatalan perda secara sepihak bukan dengan niat baik, melainkan dengan cara se wenang-wenang. Alasannya, pemerintah sebelumnya melakukan hal itu. Kalau itu yang terjadi, rusak lah negara hukum kita.

This article have been published in SINDO newspaper, 18 June 2016.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Pada umumnya kita baru mendengar istilah grand corruption setelah Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarief melemparkannya kepada publik.

Ketika KPK melakukan operasi tangkap tangan terhadap M Sanusi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta, Laode menyebut bahwa penangkaptanganan Sanusi adalah bagian awal dari tindakan dalam mengungkap sebuah grand corruption. Tidak ada definisi atau artisti pulatif-yuridis tentang istilah grand corruption itu dalam ilmu hukum.

Tetapi ketika Laode memberikan ilustrasi atas kasus yang dikenal sebagai tersebut, kita menjadi agak paham apa yang dimaksudkannya.

Laode mengatakan bahwa kasus reklamasi itu berkaitan dengan upaya penyuapan pengusaha kepada anggota DPRD agar dibuat sebuah rancangan peraturan daerah (raperda) yang isinya sesuai dengan kehendak pengusaha atau perusahaan yang menyuap.

Gambarannya begini. Satu atau beberapa perusahaan ingin membuat proyek reklamasi dan memerlukan per aturan daerah (perda) yang selain bisa meloloskari proyek, juga bisa menetapkan biaya yang murah. Perusahaan-perusahaan tersebut kekoudian melakukan langkah-langkah dengan menyuappejabat dae rah atau anggota DPRD agar perda segera dikeluarkan de ngan isi agar kewajiban pembayaran kontribusi ditekan sekecil mungkin sesuai dengan kehendak para pengusa ha tersebut.

Kalau misalnya tawaran pertama kontribusi pengusaha adalah 15%, para pengusaha itu berusaha menurunkannya menjadi hanya 5%.

Penurunan menjadi situ diminta agar, melalui anggota anggota DPRD, dimasukkan ke dalam perda dan anggota-anggota DPRD tersebut bisa menerima uang sampai miliaran rupiah sebagai imbalan. Ini disebut grand corruption atau korupsi hebat, korupsi luar biasa karena akibatnya bisa sangat jauh.

Grand corruption dalam konteks ini adalah korupsi dalam pembuatan hukum yakni pembuatan perda agar perusahaan bisa mengambil keuntungan secara terus-menerus dan rakyat dirugikan secara terus-menerus. Dengan korupsi dalam pembuatan hukum yang seperti itu, negara atau pemerintahan akan selamanya tersandera oleh pengusaha pengusaha yang menjalankan perusahaannya dengan mengisap darah atau hak-hak rakyat.

Kalau sebuah raperda berhasil dilahirkan sesuai dengan pesanan pengusaha alias cukong maka korupsinya bukan hanya terjadi sekali, melainkan akan terjadi secara terus-menerus selama objek reklamasi masih ada. Jadi, negara atau pemerintah dikangkangi dan dikendalikan oleh cukong, Relengkapan sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat, melainkan dikangkangi untuk mensejahterakan pengusaha melalui penyuapan terhadap pejabat dan anggota DPRD.

Grand corruption dalam pembentukan hukum bukan hanya terjadi dalam kasus Raperda Reklamasi di DKI Jakarta. Dalam perbuatan UU di tingkat nasional pun banyak terjadi jual-beli isi UU. Banyak anggota DPR yang sekarang mendekam di penjara karena melakukan transaksi atas isi UU tertentu. Caranya, para anggota DPR atau tokoh parpol yang mempunyai kursi di DPR atau pejabat menawarkan masuknya anggaran proyek tertentu di dalam UU APBN dengan syarat tertentu pula.

Syaratnya, anggota DPR atau pejabat tersebut mendapat fee sekian persen atau meminta agar perusahaan yang ditentukan oleh sang anggota DPR atau Pejabat yang bersangkutan yang nantinya menggarap proyek tersebut. Ada juga grand corruption yang berbentuk jual-beli kebijakan antara cukong dan penyelenggara administrasi pemerintahan (eksekutif). Ini sungguh sangat mengerikan bagi kehidupan bernegara kita.

Pejabat-pejabat yang sudah disuap seperti itu biasanya menjadi seperti kerbau yang hidungnya dicucuki sehingga selalu patuh kepada para cukong yang menyuapnya. Mereka tak lagi peduli pada tugas yang mewajibkannya untuk membangun kesejahteraan rakyat sesuai perintah konstitusi. Mereka menjadi pejabat negara penghisap darah rakyat sehingga negara yang diurusnya bisa disebut sebagai negara drakula (vampire state).

Grand corruption banyak terjadi juga di lembaga yudikatif, terbukti dari banyaknya hakim yang dijebloskan ke penjara karena penyuapan dalam menangani perkara di pengadilan. Yang lebih mengerikan, kaláu ada hakim-hakim dipelihara dan disandera oleh cukong seperti kambing congek sehingga dijadikan langganan untuk memutus perkara berdasar pesanan.

Jadi grand corruption itu sangat mengerikan karena ia punya multiplier effect yang tidak selesai hanya pada satu korupsi. Kalau seorang melakukan korupsi dalam membangun gedung mewah, misalnya, maka korupsi selesai dalam sekali perbuatan. Tetapi kalau korupsi dalam pembuatan hukum atau kebijakan, akibatnya akan berkelanjutan. Negara bisa menjadi negara drakula kalau sudah begitu.

Mengerikannya, grand corruption adalah munculnya rasa tidak aman bagi semuanya. Rakyat pasti tidak aman karena haknya dirampas secara terus menerus. Pejabat yang menerima suap pun merasa tidak aman dan harus mengamankan diri kalau nanti habis masa jabatannya sehingga selalu berusaha mencari penyelamatan diri dengan cara korupsi lagi. Penyuap pun bisa merasa tidak aman karena bisa saja tiba-tiba ada penggantian pejabat yang berkolusi dengan pengusaha lain. Penyuap yang demikian merasa harus selalu berjaga-jaga dengan cara-cara korup. misalnya, melalui ijon pejabat baru dengan suap juga.

Jika rangkaian grand corruption tidak diputus, jika produk hukum dalam bentuk UU, perda, dan kebijakan selalu bisa dipesan dengan harga tertentu, jika putusan pengadilan sudah bisa diatur melalui mafia maka yang terjadi adalah terjadinya kezaliman yang berkepanjangan dan saling sandera di antara para koruptor. Dan kalau itu yang terjadi maka negara hanya menunggu kehancurannya. Tak ada hal lain yang menunggu di ujung sana kecuali kehancuran. Maka itu, langkah-langkah serius harus dilakukan sejak sekarang.

This article have been published in SINDO, 11 June 2016.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

“Sekarang kami undang Ketua Mahkamah Konstitusi Indonesia, Tuan Mahfud MD, untuk menyampaikan pidato,” kata moderator tua itu. Saya pun maju ke podium untuk menyampaikan pidato sekitar 15 menit di Cassablanca, Maroko. Pada 12 Juni 2012 itu saya diundang untuk berbicara di depan konferensi in terasional yang dihadiri oleh pimpinan MK dari berbagai negara yang pernah dijajah Prancis dan menjadikan bahasa Prancis sebagai bahasa nasional mereka.

Saya agak terkesima dan terharu ketika pimpinan sidang yang merupakan ketua MK itu memberi pengantar untuk pidato saya. Dia bilang, Mr Mahfud adalah ketua MK Indonesia yang dicatat baik oleh dunia internasional.

MK Indonesia, saat itu, me mang masuk 10 MK palingefektif di dunia sesuai dengan catatan di dalam Harvard Handbook. Tetapi yang membanggakan dan mengharukan saya bukan soal MK Indonesia masuk 10be sar dunia, melainkan ketila dia menyebut Pancasila, Dasa Sila Bandung, dan Bung Karno.

Dia tidak tahu banyak tentang Mr Mahfud kecuali yang dibacanya di Google dan Youtube Tetapi dia mengenal Bung Karno yang berhasil membangkitkan harga diri dan kesadaran nasional bangsa-bangsa di Asia dan Afrika untuk menjadi negara yang benar-benar merdeka, terlepas dari jeratan kolonialisme dan neokolonialisme.

Rupanya waktumasih remaja diaílantayahnya hadir pada Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 dan dia mengetahui Pancasila sebagai ideologinegara Indonesia serta ikut meneriakkan Dasa Sila Bandung. Untuk meyakinkan penjelasannya itu, dia mengajak saya berdiri dan menyanyikan lagu Halo-Halo Bandung. Kami pun menyanyikan Halo Halo Bandung sambil berdiri. Diahafal lagu itu.

Pancasila itu hebat karena bisa mempersatukan kita sebagai bangsa yang sangat majemuk. Pada 27 Oktober 2015 yang lalu saya diundang untuk memberi kuliah umum di American University of Beirut. Pertanyaan utama yang diajukan di dalam term of refference kuliah dan dialog vang bertajuk “Democratic Systemof Indonesiaina Plus ralistic Setting” itu adalah bagaimana Indonesia membangun bangsa sehingga menjadi begitu kuat kebersatuannya.

Saya kemukakan, indonesia membangun kebersatuan de ngan ideologi Pancasila dengan Semboyan Bhinneka Tunggal Ika (unity in diversity). Pancasila sebagai dasar ideologi negara, tumbuh dari bawah agai kesadaran yang hidup berad-abad, bukan dipaksakan dari us melalui kebijakan represif. Itu sebab nya Bung Karno sebaga encetus Pancasila menyataka tirinya bukan membuat Pancasila, melainkan menggali dari ak budaya bangsa yang sudah menjadi kesadaran hidup bersama selama berabad-abad.

Saya kemukakan juga, dengan Pancasila bangsa Indonesia bersatu kokoh meskipun wilayahnya sangat besar dan beragam pula ikatan primordialnya. Indonesia memiliki 17.504 pulau, mempunyai 1.340 suku bangsa, mempunyai 736 bahasa daerah, dan mempunyai minimal, 6 agama yang disebut di dalam peraturan perundangundangan di samping berbagai agama dan keyakinan yang tidak disebutkan secara resmi.

Dengar pluralitasitu Indonesia bisa bersatu melalui sistem demokrasi yang dibangunnya sendiri. Ini jauh berbeda dengan India, misalnya, yang ketika Mahatma Gandhi menyatakan India yang majemuk akan menjadi negara bersatu melalui sistem demokrasi ternyata terpecah se cara tragis. Pada 1947 Ali Jinnah mendirikan negara Pakistan, menyatakan lepas dari India, dengan alasan orang orang Pakistan memeluk agama Islam se dangkan orang Hindustan (India) memeluk agama Hindu.

Setelah memisahkan diri dari India dengan alasan perbedaan agama, Pakistan pun pecah juga. Orang-orang Pakistan yang ada di belahan barat, berkulit agak terang, tampak lebih intelek, dan berbahasa Urdu, dianggap tidak ramah dan tidak adil terhadap orang-orang Bangladesh yang ada di belahan timur, berkulit agak gelap, dan berbahasa Bengali. Pada 1971 Bangladesh pun melepaskan diri dari Pakistan untuk menjadi negara merdeka. Kawasan itu sampai sekarang masih menghadapi gerakan disintegrasi dari Kashmir.

Indonesia selamat dari tragedi seperti yang dialami di India karena Pancasila bisa menjadi pengikat kebangsaan yang kokbh. Pada 8 Februari 2012 Rashad Husein, utusan Presiden AS Barack Obama dalam urusan penegakan HAM untuk negara-negara OKI, berkun jung ke Kantor MK di Jakarta Kepada saya dia menyoal ten tang munculnya gejala intole ransi dan diskriminasi, peng usiran, dan perusakan rumal ibadah oleh sekelompok orang atas nama agama.

“Apakah konstitusi di Indo nesia masih efektif?” tanya Husein. Saya menjelaskan, konstitusi di Indonesia bekerja efekti karena Indonesia mempunya Pancasila. “Kasus-kasus yang Anda sebutkan sangatlah kecil dan hanya merupakan problem penegakan hukum dan keamanan yang reguler saja. Indonesia yang terdiri dari lebih dari 17.000 pulau dengan penduduk sekitar 248 juta jauh lebih besar dari 20 negara yang besar besar di Eropa. Di Eropa yang negaranya kecil-kecil saja masih ada kekerasan-kekerasan dan intoleransi seperti itu,” jawab saya, tentu dengan membela Indonesia.

Alhasil, secara konseptual Pancasila sebagai dasar dan ideologinegarasudahsangatkokoh, berhasil melumat setiapgerakan disintegrasi. Tantangan kita sekarang bukanlah Pancasila sebagai ideatau cita (citane gara, cita hukum, cita budaya, dan sebagainya), melainkan realitas ketidakadilan, melemahtiya supremasi hukum, merajalelanyakorupsi, dan melebarnya kesenjangan sosial dan ekonomi. Hal-halitulah yang mengancam keutuhan Indonesia kini.

Itu saya sampaikan di depan putri Bung Karno, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, dan ribuan hadirin pada syukuran hari lahirnya Pancasila di Tugu Proklamasi Rabu kemarin. Tiga hari yang lalu, 1 Juni 2016, Presiden sudah mengeluarkan Kepres Nomor 24/ 2016 tentang Hari Lahir Panca sila. Mudah-mudahan kita tetapingat, tantangan bagi Indonesiasekarangini bukanlah soal cita-ideologis Pancasila, me lainkan penerapan Pancasila tersebut dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

This article have been published in SINDO, 4 June 2016.

 

Author: Prof. Jawahir Thontowi, S.H., Ph.D.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of International Law

SUNGGUH mengejutkan ketika kematian Siyono settagal akibat penganiayaan tak berperikemanusiaan. Ia ditangkap Densus 88 dan dikembalikan dalam keadaan mati pada keluarga tanpa dokumen. Densus 88 dalam kasus kematian Siyono tampaknya tersandera. Publik khususnya ahli-ahli hukum dan HAM menduga adanya hubungan antara praktik penyelidikan atau penyidikan menyimpang. Prinsip-prinsip fundamental negara hukum. Misalnya, larangan penyiksaan, kewajiban due process of law, tidak mempertimbangkan hukum nasional dan hukum internasional.

Memang harus disadari, terorisme merupakan kejahatan luar biasa. Penanggulangannya dengan cara-cara yang biasa mustahil dapat dilakukan. Itulah sebabnya kita sepakat Densus 88 yang didirikan berdasarkan Keputusan Kapolri No Pol: Kep/30/7/2003 tanggal 30 Juni 2003 dengan tujuan untuk menjaga kedamaian masyarakat dan negara dari serangan teroris. Status hukum Detasemen Khusus 88 Antiteror, diperkuat dengan Perpres No 52 Tahun 2010 pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono.

Juga penting memperhatikan kaitannya antara kejahatan terorisme dengan hukum internasional.

Secara konstitusional, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945. Salah satu antitesis negara hukum adalah tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan (machstaat). Termasuk dilarang melakukan tindakan menghakimi sendiri (eigenrichting). Terkait fakta penjemputan Siyono oleh Densus 88 dan dikembalikan dalam keadaan tewas, patut diduga sebagai tindakan kekerasan. Sungguh pun. Kapolri menduga Siyono berperan strategis dalam jaringan Jamaah Islamiyah bukan alasan yang membenarkan adanya penganiayaan dan penyiksaan.

Kejahatan teroris merupakan kejahatan luar bia sa’, musuh umat manusia, berskala interasional, seharusnya aparat Densus 88 sangat hati-hati. Namun, dalam konteks kematian Siyono tampaknya Densus 88 memandang kasus ini sebagai hal luar biasa. Sehingga aparat Densus 88 yang se harusnya cermat, hati-hati, dan wajib menjunjung tinggi HAM dan negara hukum, dipandang lalai.

Kasus kematian Siyono sejak setelah diperiksa Densus 88 terbukti menuai kecurigaan pihak keluarga dengan kematiannya yang tidak wajar, dan tiada respons cepat aparat penegak hukum. Ketidakhadiran negara menciptakan ruang bagi hadirnya Institusi nonnegara ‘atas nama moral keadilan’. Komnas HAM dan Muhammadiyah sebagai organi sasi keagamaan memiliki legal standing yang legitimit. Peran Komnas HAM diatur dalam UUD NRI 1945 Pasal 281 ayat (3), untuk menegakkan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis.

Hasil kerja sama Komnas HAM, Muhammadiyah, dan Kontras dibantu 9 orang dokter forensik dipimpin Gatot Sudarto, menyimpulkan sebagai berikut Bahwa kematian Siyono ini akibat dari benda tumpul yang ada di bagian rongga dada. Ada patah tulang di iga kiri, ada lima ke bagian dalam tulang dada yang patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung, sehingga ada jaringan di jantung (terluka) dan mengakibatkan kematian. Jadi titik kematian di situ (Kedaulatan Rakyat, 12 April 2016). Hasil otopsi ini dipandang valid karena hanya satu-satunya sumber data yang dapat digunakan.

Memang hasil otopsi ini dilakukan oleh bukan aparat penegak hukum dan bisa ditolak Polri. Namun, menjadi sulit untuk dihindari, apalagi Densus 88 tidak memiliki hasil otopsi sebelumnya. Kelalaian aparat Densus 88 untuk mengembalikan jasad seseorang tanpa dokumen sangat fatal dalam kondisi masyarakat demokratis. Seharusnya, ketika Polri menyatakan Siyono dari data intelijen sebagai teroris jaringan Jl harus disahkan dengan data intelijen negara-negara lain.

Kelalaian penyerahan mayat Siyono oleh aparat Densus 88 berakibat isu hukumnya berubah menjadi pelanggaran HAM. Karena itu, jika tindaklanjut pelaku penyiksaan Siyono diproses oleh Propam tidak tepat. Adanya kelalaian aparat Densus 88 dan pelanggaran atas kewajiban tidak melindungi warga negara Pasal 281 ayat (3) serta due process of law menuntut pertanggungjawaban hukum.

Dengan demikian, inisiatif Muhammadiyah yang diapresiasi tokoh NU KH Hasyim Muzadi, seharusnya didengar Presiden Jokowi. Dengan harapan Presiden dapat menginstruksikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Kepala BNPT Tito Karnavian melaksanakan tugas memberantas teroris jangan melanggar UUD NRI 1945 dan prinsip-prinsip negara hukum.

This article have been published in rubric Analisis KR, of Kedaulatan Rakyat newspaper, 14 April 2016.

 

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Bayangkan ini, Mbok Supri diusir dari rumah dan kampungnya karena dituduh berbuat mesum dengan suami orang. Padahal, dia tak punya rumah lain dan tak punya sanak saudara. Alangkah buruk dan mengerikan jika ada orang atau sekelompok orang diserang dan diusir dari rumahnya, padahal dia tidak punya tanah lain atau tempat lain yang bisa menampungnya. Mau ke mana orang yang seperti itu? Mengeluh dan meminta tolong pun tidak ada yang menghiraukan.

Itulah sebabnya kita sangat kaget ketika meluas berita bahwa pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat diusir dari kediamannya, bahkan ada yang rumahnya dibakar. Tetapi, sebelum itu kita kaget juga dan sangat kesal ketika tahu bahwa Gafatar merupakan organisasi sesat” yang mengatasnamakan agama, sangat merusak, bahkan membahayakan sehingga kita menjadi paham jika banyak orang yang marah atau emosional terhadap para pengikut Gafatar.

Masalahnya memang sangat dilematis. Mengapa?

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) memberikan jaminan kepada setiap orang untuk memilih tempat tinggal berhakmemeluk agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya serta berhak kembali.

Berita penyerangan, pembakaran rumah-rumah dan pengusiran terhadap anggota-anggota Gafatar oleh sekelompok warga masyarakat jelas melanggar hak asasi manusia sebagaimana telah dipatri di dalam Pasal 28E UUD kita. Pematrian itu meniscayakan negara memberi perlindungan kepada setiap orang yang mengalami pengusiran. Kita tak dapat membayangkan betapa buruk dan mengerikan nasib orang yang diusir dari tempat tinggalnya, sementara dia tak mempunyai tempat lain yang bisa ditinggali.

Dalam kasus (bekas) anggota-anggota Gafatar misalnya ada yang sudah menjual semua lahan yang dimilikinya di Jawa daerah asalnya dan uangnya sudah dibelikan lahan baru di daerah lain. Sekarang mereka diusir secara beramai-ramai dari lahan sempit satu-satunya yang mereka miliki dan tinggali. Mau ke mana mereka? Siapa pun akan merasa ngeri menghadapi persoalan berat yang seperti itu karena mereka bukan hanya hidup tak nyaman, tetapi juga tak aman.

Kita mendirikan negara merdeka agar tidak ada lagi di negeri ini orang hidup tersiksa karena tak punya tanah dan tak punya harapan. Tetapi, di sisi lain kita mencatat juga bahwa Gafatar merupakan perkumpulan sesat yang membahayakan dan mengancam. Mungkin dengan berpedoman pada konstitusi bahwa setiap orang bebas memeluk agama kita tidak boleh merepresi pengikut Gafatar. Tetapi, gerakan mereka yang sangat menentang kemanusiaan memang bisa dilawan oleh banyak orang sebab langkah-langkah mereka bukan hanya merugikan mereka sendiri tetapi juga merusak orang-orang lain yang dirayunya dengan penuh kesesatan. Bayangkan saja banyak orang yang harus menghilangkan diri demi perjuangan yang diajarkan oleh Gafatar. Banyak orang yang hilang dan pergi meninggalkan keluarganya, oleh Gaftara diajak berjuang dengan memaksa pergi diam-diam dari suami atau istrinya. Gafatar juga memaksa anak dipisahkan dari orang tuanya katanya demi perjuangan suci.

Pada sisi yang lain lagi harus diingat pula bahwa banyak orang yang ikut Gafatar karena keadaan ekonomi kita yang buruk, timpang, dan tidak berkeadilan. Mereka tidak memahami keadaan, tetapi tidak mampu menanggung beban.

Mereka terperangkap untuk mencari jalan baru atau membuat jalan sendiri untuk mengatasi persoalan-persoalan berat yang dihadapi dalam hidup sebagai bangsa.

Kita sama sekali tidak setuju pada tindakan anarkistis masyarakat yang beramai-ramai menyerang dan mengusir anggota Gafatar karena hal itu jelas-jelas bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan melanggar konstitusi. Tetapi, pada sisi lain kita paham atas munculnya kemarahan masyarakat terhadap pengikut Gafatar karena ajaran keyakinannya yang merusak.

Ada dilema. Karena, selain memberikan perlindungan terhadap setiap orang untuk memeluk agama masing-masing. konstitusi juga melarang setiap orang merusak kehidupan masyarakat karena hak asasi orang per orang tak bisa dilaksanakan secara terpisah dari hak masyarakat Itulah sebabnya bahasa yang digunakan dalam konteks kebebasan beragama dalam konstitusi kita adalah toleransi beragama yang berkeadaban. Itu juga yang dikatakan oleh Bung Karno dalam pidato di depan Badan Penyelidik Usaha usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945.

Dalam kontekst ini kita menjadi paham, mengapa pada 1965 Presiden Soekarno mengeluarkan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No 1/PNPS/1965 yang berintikan larangan penistaan atau penodaan agama. Kita memahami pembentukan penpres yang kemudian dikukuhkan menjadi UU tersebut didasarkan pada pandangan agar tidak ada orang dengan seenaknya melahirkan ajaran yang kemudian disebutnya sebagai agama, padahal ajaran yang disebut agama itu menyempal, menodai, dan merusak ajaran pokok dari agama yang sudah ada.

UU tersebut penting justru untuk melindungi warganegara dari tindakan main hakim sendiri oleh warga masyarakat lain yang merasa keyakinannya dirusak. Kita harus mendorong dan mendukung pemerintah untuk menyelesaikan masalah Gafatar ini dengan berpijak pada kemanusiaan dan kewajiban konstitusional negara.

This article have been published in SINDO, 23 January 2016

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pandangan bahwa pencegahan merupakan tugas utama yang harus dijadikan fokus pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi adalah keliru dan agak menyesatkan. Sebab, jika pencegahan diartikan sebagai upaya preventif agar korupsi tidak sampai terjadi, KPK tidak akan dapat melakukan tugas itu secara proporsional dan efektif.

Adalah benar bahwa pencegahan jauh lebih penting daripada penindakan dalam pemberantasan korupsi, tetapi keliru kalau hanya karena itu lalu meminta KPK untuk memfokuskan diri pada langkah-langkah pencegahan.

Memang pemberantasan korupsi dinilai lebih berhasil jika jumlah orang yang dipenjarakan karena korupsi) menurun. Sebaliknya upaya pemberantasan korupsi akan dinilai gagal jika semakin banyak orang yang dipenjarakan karena korupsi. Maka, menjadi benar pula politik hukum yang menekankan bahwa pencegahan korupsi harus lebih diutamakan atau sekurang-kurangnya-dilakukan secara seimbang dengan penindakan. Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK, misalnya, meniscayakan pencegahan dan penindakan sebagai langkah simultan dalam pemberantasan korupsi.

Namun, harus diingat, meskipun politik hukum kita mengatakan seperti itu bukan berarti bahwa tugas utama atau fokus kegiatan KPK adalah melakukan pencegahan korupsi. Secara hukum akan sangat sulit bagi KPK untuk melakukan pencegahan Pencegahan korupsi atas anggaran negara, misalnya, hanya bisa dilakukan pejabat pengguna anggaran di setiap instansi, padahal KPK bukanlah lembaga pengguna anggaran, kecuali untuk anggaran di KPK sendiri.

Misalnya, KPK tidak punya otoritas dalam penggunaan anggaran, seperti merencanakan pembelanjaan atau menentukan realisasinya di Kementerian Kesi-instansi tersebut ada pada Menteri atau pejabat-pejabat di instansi yang bersangkutan KPK tidak bisa mencegah korupsi dalam penggunaan anggaran kaPena dia bukan instansi pengguna anggaran.

Tugas Institusi lain

Di dalam hukum administrasi negara, pencegahan korupsi sebenarnya sudah diatur dalam konsep pengawasan melekat, yakni pengendalian oleh pimpinan instansi pengguna anggaran secara berjenjang sejak dari perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan. KPK tidak bisa melakukan itu karena KPK bukan pejabat pengguna anggaran di instansi-instansi itu. Yang bisa mencegah adalah pimpinan pengguna anggaran di instansi masing-masing.

Itulah sebabnya secara ekstrem bisa dikatakan bahwa mendorong KPK untuk hanya fokus pada pencegahan korupsi adalah keliru dan agak mustahil. Sebab, kalau ditanya bagaimana caranya KPK mencegah penyalahgunaan anggaran sedangkan ia tidak punya otoritas dalam penggunaan anggaran, tidak ada yang bisa menjawab dengan memberi landasan yuridis.

Tentu ada yang akan mengatakan bahwa pencegahan itu bisa dilakukan melalui bimbingan penggunaan anggaran sesuai peraturan dan prosedur-prosedur tertentu. Kalau itu yang dimaksud sebagai pencegahan korupsi, itu pun bukanlah fokus tugas KPK, melainkan menjadi tugas lembaga lain, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Lembaga Administrasi Negara, inspektorat jenderal, dan Badan Pemeriksa Keuangan.

Mungkin juga ada yang mengatakan bahwa pencegahan tidak harus selalu dalam bentuk pengawasan melekat di instansi pengguna anggaran, tetapi harus dilakukan melalui pendidikan anti korupsi dan kuliah hukum korupsi di perguruan tinggi. Kalau itu yang dimaksud dengan pencegahan, itu pun bukanlah fokus tugas KPK, melainkan menjadi tugas Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Ristekdikti, dan berbagai perguruan tinggi.

ral di tengah-tengah masyarakat agar orang menjadi beriman dan tak berani melakukan korupsi. Kalau itu yang dimaksud dengan pencegahan, itu pun bukanlah tugas utama KPK, melainkan menjadi tugas Kementerian Agama, ormas keagamaan, masjid, gereja, kelenteng ustaz, pastor, dan sebagainya.

Kalau yang dimaksud pencegahan adalah memberikan bimbingan teknis dan ceramah-ceramah tentang bahaya korupsi ke berbagai instansi seperti yang dilakukan oleh KPK selama ini, itu pun sebenarnya bukan tugas pokok KPK Bimbingan teknis dan penyuluhan penyuluhan anti korupsi tidak perlu dilakukan oleh KPK. Ia bisa dilakukan sendiri oleh instansi-instansi di luar KPK. Selama ini pun berbagai lembaga perguruan tinggi, LSM, dan ormas-ormas sudah melakukan itu tanpa merecoki KPK Para narasumber bimbingan teknis dan penyuluhan-penyuluhan seperti itu tidak kalah hebatnya daripada orang-orang yang dikirim oleh KPK.

Muatan UU KPK

Dengan menyatakan itu saya tidak bermaksud mengatakan KPK tidak perlu ikut melakukan pencegahan korupsi dalam arti melakukan tindakan sebelum korupsi terjadi. Saya hanya ingin mengingatkan, KPK tidak boleh diposisikan atau memposisikan dirinya untuk fokus hanya pada pencegahan Pencegahan bisa dilakukan oleh KPK, tetapi bukan sebagai tugas utama, melainkan sekadar ikut memfasilitasi pencegahan secara lintas institusi negara. Itu sudah cukup dilakukan oleh KPK melalui pembentukan deputi pencegahan yang sekarang sudah ada di sana.

tugas utama atau kegiatan KPK adalah pencegahan. Jika dibaca keseluruhan isi UU No 30/2002, fokus 3 tugas KPK justru pada penindakan.

Cakupan tugas-tugas KPK menurut Pasal 6, 7, sampai Pasal 13 UU No 30/2002, misalnya, memang dirinci ke dalam pencegahan dan penindakan disertai dengan uraian tentang bentuk-bentuk pencegahan dan penindakan. Akan tetapi, pengaturan tentang bentuk-bentuk pencegahan di dalam pasal-pasal tersebut berhenti di situ dan hanya bersifat teknis-administratif dan koordinatif serta sinergitas KPK dengan instansi-instansi lain.

Berbeda dengan pengaturan pencegahan, pengaturan tentang penindakan yang harus dilakukan oleh KPK yang dikolaborasi sangat detail dengan kewenangan-kewenangan khusus dan tidak terbagi. Tindakan penindakan oleh KPK diatur dengan sangat rinci, baik menyangkut hukum materiil maupun hukum formal atau acaranya.

Hukum materi yang sudah sangat jelas batas-batasnya dilengkapi juga dengan hukum acara mulai dari tahap penyelidikan, penyadapan, operasi tangkap tangan, penyidikan, penersangkaan penahanan, penyitaan, pendakwaan, penuntutan, dan eksekusi yang dilengkapi dengan kewenangan-kewenangan khusus, seperti penyadapan dan larangan pembuatan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan) agar KPK super hati-hati sebelum menersangkakan orang.

Alhasil, pencegahan korupsi sebagai tugas umum negara adalah sangat penting, tetapi tugas pencegahan adalah tugas semua instansi, terutama sebagai langkah bersama yang sinergis. Adapun tugas KPK mencakup tugas pencegahan dan penindakan, tetapi fokus utamanya adalah penindakan. Adalah keliru kalau ada yang mendorong KPK atau KPK memposisikan dirinya untuk memfokuskan diri pada pencegahan, kecuali diartikan dengan tegas bahwa penindakan itulah bagian terpenting dari pencegahan oleh KPK.

This article have been published in SINDO newspaper, 20 January 2016.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pemilihan umum kepala daerah (pilkada) 2015 secara umum telah terlaksana dengan baik. Pilkada berlangsung tanpa kekerasan atau kegaduhan yang berarti bahkan cenderung sepi sehingga ada yang mengatakannya tidak seperti “pesta demokrasi”. Namun, situasi seperti itu adalah lebih baik daripada terkesan ada pesta tetapi hanya menjadi hura-hura yang kontraproduktif.

Penyelenggara pilkada tahun 2015 patut diapresiasi karena sudah mempersiapkan dan melaksanakan pilkada, sampai pada penetapan hasil penghitungan suara oleh KPU, dengan baik. Tahapan pilkada memang belum sepenuhnya selesai karena masih ada sengketa hasil pilkada yang sedang berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Benar yang saya kemukakan dulu bahwa berdasar pengalaman masa lalu gugatan dari pihak yang kalah akan tetap membanjir.

Dulu saya pernah memperkirakan munculnya minimal 135 kasus masuk ke MK dari 269 pemilukada 2015. Ternyata MK menerima 147 kasus yang diajukan dari 264 pemilukada yang sudah dilakukan pemungutan suara riya setelah ada lima daerah yang pemungutan suaranya ditunda. Tetapi membanjirnya kasus yang masuk ke 15 MK itu tampaknya akan dapat diselesaikan secara hukum dalam waktu yang tepat sesuai dengan waktu yang tersedia, 45 hari.

Belajar dari pengalaman masa lalu, masalah sengketa pilkada 2015 sudah diantisipasi oleh pembentuk UU. Menurut Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015 sengketa hasil pilkada oleh MK hanya dilakukan terhadap kasus yang selisih hasil penghitungan suaranya tidak lebih dari(maksimal) 2%. Dengan pembatasan ini maka dari 147 kasus yang masuk ke MK, kabarnya, hanya akan ada sekitar 25 kasus yang pokok perkaranya bisa diperiksa.

Itupun Cara pembuktiannya relatif mudah, tinggal cross check dokumen (misalnya formulir C.1) antar pihak kemudian, kalau perlu, dihitung kembali di sidang MK. Selesailah.

Pemenangnya bisa ditetapkan secara cepat dan bisa segera dilantik. Meskipun begitu bukan berarti semua masalah bisa dianggap selesai, apalagi dianggap benar: Masih ada beberapa dilema hukum yang mengganggu atau bisa mencederai demokrasi substansial sehingga perlu dipikirkan untuk pilkada-pilkada yang akan datang.

Dengan adanya perbatasan maksimal selisih 2% dari hasil penghitungan suara yang bisa diperiksa sebagai sengketa di MK maka bisa terjadi, banyak kecurangan-kecurangan yang dilakukan di lapangan yang selin sihinya sengaja dilebihkan dard 2% sehingga Tidak bisa lagi diadili di Mk, Ratna Sarumpaet dan kawan kawan menemukan di daerah tertentu ada kecurangan yang luar biasa sehingga calon tertentu menang secara mutlak, selisihnya jauh diatas 2%.

Menurut Ratna pembatasan 2% itu justru membuka peluang terjadinya kecurangan yang lebih serius Hingga pihak yang mad curang sudah merancang agar bisa menang di atas 2%. Demi Demokrasi substantial, menurut Ratna, pembatalan hasil pilkada karena kecurangan atau pelanggaran yang dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif masih perlu diberlakukan.

Kalau hanya menggunakan ukuran kuantitatif seperti 2%, menurut Ratna, demokrasi bisa semakin rusak dan berlangsung formalitas prosedural semata, awas pilkada harus serius nmengawasi dan pelanggaran pidana dan administrasi pemilu-kada harus diselesaikan sebelum penetapan hasil suara dilakukan oleh KPU tenyata tidak bisa berjaları efektif sehingga perusakan terhadap demokrasi subtatial tetap berlangsung.

Tetapi masalahnya ya memang tidak sesederhana itu. Berdasarkan pengalaman jika pengadilan membuka peluang untuk menilai pelanggaran yang bersifat kuantitatif dengan patokan terstruktur sistematis, dan masif maka banyak pihak yang kalah akan berperkara dan mencari-cari alasan yang sering tak masuk akal untuk menggugat keputusan KPU yang sudah memenangkan salah satu pasangan calon dengan benar.

Mungkin untuk pemilukada 2015 solusi yang diberlakukan oleh UU No. 8 Tahun 2013 yang menentukan batas selisih maksimal 2% bisa diberlakukankarenaatùratimaintentang ini sudah ditetapkan sebelum pilkada dimulai. Tetapi demi pembangunan demokrasi yang substansial dan bukan formal-prosedural belaka maka untuk pemilukada-pemilukada yang akan datang perlu dicari solusi baru.

Ada Beberapa Hal Lain Yang Juga perlu diperbaiki dalam pilkada – pilkada berikutnya misalnya tentang tampilnya pasangan calon tunggal. MK sudah memberi solusi yang baik untuk tahun 2015 dengan membolehkan pilkada yang hanya menampilkan pasangan calon tunggal. Pembolehan pasangan calon tunggal itu baik tetapi menyembunyikan masalah besar Dengan pembolehan tampilnya pasangan calon tunggal bisa saja pada pilkada mendatang ada orang kuat yang memborong semua parpol dengan harga tertentu agar mendukung dirinya atau pasangan calon tertentu untuk tampil sebagai pasangan calon tunggal. Akan sangat berbahaya jika berbohong parpol-parpol itu adalah koruptor.

Dengan membeli dukungan semua parpol atau sebagian terbesar parpol yang bisa menutup peluang pasangan calon lain maka bisa muncul calon tunggal yang langsung menang. Memang kemungkinan ini masih bisa dibantah dengan kemungkinan munculnya pasangan calon perseorangan. Tetapi faktanya sangat sedikit pasangan calon perseorangan yang bisa muncul.

Masih banyak dilema dan problema dalam hukum pilkada yang perlu terus menerus dipikirkan untuk diperbaiki agar -pada masa mendatang menjadi lebih baik. Kita tak perlu merasa risih untuk selalu melakukan perbaikan karena hukum pilkada kita memang masih bertahan dalam proses eksperimentasi yang belum selesai.

This article have been published in  SINDO, 9 January 2016.