Tag Archive for: FH UII

Author: Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

“Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya”

Advokat kondang Yusril Ihza Mahen dra membuat sebuah gebrakan dengan mengajukan permohonan pengujian peraturan (judicial review ) ke Mahkamah Agung. Adapun objek yang diuji adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.

Langkah ini boleh dibilang cukup radikal dan revolusioner mengingat berdasarkan hukum positif yang saat ini berlaku, AD/ART partai bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan karena tidak dibuat oleh lembaga ataupejabat negara.

Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan peraturan perundang-udangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun apakah sebuah peraturan yang tidak dibuat oleh pejabat dan lembaga negara secara otomatis akan serta merta dapat dilabeli sebagai bukan peraturan perundang-undangan?

AD/ART Partai sebagai “Peraturan Perundang-Undangan”

Secara teori dan praktik, undang-undang (UU) sebagai produk kesepakatan bersamaan tara Presiden dan DPR sudah pasti tidak akan mungkin mengatur satu hal dengan sangat terperinci dan detail karena hal itu akan menyebabkan terlalu tebalnya produk sebuah UU sehingga akan sulit menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Selain itu parlemen sebagai lembaga legislatif utama tidak punya cukup banyak waktu untuk secara detail memberikan perhatian atas segala urusan teknis mengenai materi muatan suatu UU.

Pada umumnya UU hanya berisi kerangka dan garis besar kebijakan yang penting-penting sebagai parameter. Sementara hal-hal yang bersifat lebih teknis-operasional biasanya akan diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan instrumen peraturan di bawahnya.

Dalam perspektif teori perundang-undangan, pelimpahan kekuasaan atau kewenangan dari pembentuk UU kepada lembaga lain untuk mengatur lebih lanjut suatu materi muatan UU tertentu disebut dengan delegasi (delegation of the rule making power).

Dalam konteks ini, salah satu alasan pembentukan AD/ART parpol karena hal tersebut merupakan perintah dari UU. Ada banyak materi muatan dalam UU Parpol yang aturan terperincinya didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam AD/ART.  Sebagai contoh, Pasal 15 ayat (1) UU Parpol berbunyi: “Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART”. Pasal 22 berbunyi, “Kepengurus n partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.” Sementara Pasal 29 mengamanatkan agar rekrutmen anggota parpol, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART.

Oleh karena fungsi dari AD/ART parpol adalah menerjemahkan dan mengelaborasi lebih detail ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU, sudah selayaknya untuk memperlakukan dan memposisikan AD/ART sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di bidang ke partaian dalam arti luas. Ten tang hal ini, Kennet Janda (2005), seorang ilmuwan parpol kenamaan asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum kepartaian adalah peraturan hukum baik yang ditetapkan oleh pemerintah (external rules) maupun peraturan yang dibuat oleh parpol (internal rules).

Kebutuhan Pengujian

Parpol sejatinya adalah instrumen penting dalam negara demokrasi. Begitu sakralnya peran parpol sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa demokrasi kontemporer adalah demokrasi partai (Katz: 1980).

Namun kehadiran parpol hanya akan memberi kontribusi positif bagi pelembagaan demokrasi apabila parpol dikelola secara demokratis dan profesional. Salah satu ciri pe nge lolaan parpol yang profesional ditandai dengan terjadinya de personalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan de ngan urusan parpol sebagai organisasi.

Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah parpol hanya diposisikan sebagai sarana pemuas ambisi dan ke pentingan politik para elite dan pemimpinnya, bukan menjadi instrumen atau alat demokratisasi. Parpol dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik dengan melanggengkan suksesi kepemimpinannya berdasarkan sistem warisan.

Implikasinya, banyak ke pemimpinan dalam parpol yang kemudian menampilkan karakter yang tidak demokratis dan diktator yang sering kali melakukan intimidasi politik terhadap anggota dan para kadernya dengan memanfaatkan otoritas dan pengaruhnya yang sangat besar. Sebagian dari para pemimpin parpol telah menjadi simbol dari otoritarianisme itu sendiri, sesuatu yang sebenarnya ingin dikikis habis oleh gerakan reformasi.

Semua ini terjadi karena AD/ART sebagai konstitusi parpol yang seharusnya berfungsi secara maksimal dalam memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak anggota justru hanya berisi hal-hal yang mengakomodasi kepentingan penguasa partai. Akibatnya para kader dan ang gota menjadi tidak berdaya di hadapan elite dan ketua umum. Padahal, menurut UU, anggota adalah pemegang kedaulatan dalam partai.

Untuk memastikan bahwa anggota benar-benar berdaulat, berbagai ketentuan yang membelenggu dan merugikan kader dan anggota yang termuat dalam AD/ ART parpol harus diakhiri. Caranya adalah de ngan mem buka peluang bagi siapapun yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengujinya ke muka pengadilan, yaitu di Mahkamah Agung.

Dibukanya peluang untuk men-judicial review AD/ART partai merupakan upaya untuk memberi perlindungan yang maksimal terhadap kepentingan anggota, masyarakat, dan bahkan demi menjaga kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas, yaitu dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kualitas demokrasi.

Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya sehingga cita-cita untuk me lembagakan parpol menjadi jauh panggang dari api. Jika hal ini terus dibiarkan, harapan masyarakat terhadap semakin membaiknya proses beremokrasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.

 

This article have been published in OPINI rubric, of SINDO newspaper, 28 September 2021.

Author: Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Perdata

Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan(OJK) telah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mengatasi persoalan dampak ekonomi akibat pandemic covid-19. Namun secara umum persoalan perekonomian masih belum dapat teratasi secara menyeluruh.

Masih terdapat debitur yang gagal bayar dan menjadikan para pihak (khususnya kreditur) lebih memilih melakukan penyelesaian hukum melalui Kepailitan dan PKPU. Hal ini tampak dari naiknya jumlah permohonan pernyataan pailit dan PKPU pada tahun 2020 yakni total 642 perkara jika dibandingkan tahun 2019 yakni 459 perkara. Pilihan kreditur ini antara lain didorong oleh keberadaan pranata hukum Kepailitan dan PKPU yang memberikan kemudahan bagi kreditur untuk menyelesaikan persoalan piutang mereka dengan waktu yang cepat dan syarat yang relatif mudah.

Celah Hukum UU Kepailitan dan PKPU

Perkembangan penerapan Undang-Undang  No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) pada masa Pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan tren jumlah perkara kepailitan dan PKPU yang cenderung meningkat signifikan. Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada seluruh Pengadilan Niaga (Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan) menunjukkankenaikan jumlah perkara kepailitan dan PKPU.

Selain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang mempengaruhi kemampuan debitur untuk membayar utang, kenaikan perkara itu juga akibat ketidakpastian pengaturan mengenai kepailitan dan PKPU di LJK. Bentuk ketidakpastian itu berupa tumpang tindih antar peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, dan terdapat aturan yang membuka peluang pailit lebih mudah. Celah hukum ini menjadikan pernyataan pailit dan PKPU selama pandemi covid-19 sebagai jalan pintas (short-cut) untuk menagih utang.

Secara khusus permasalahan hukum Kepailitan dan PKPU di  LJK berkenaan dengan isu legal standing dari pemohon pernyataan pailit dan PKPU. Isu legal standing terjadi karena adanya perbedaan penafsiran mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan paili dan PKPU untuk LJK. Satu sisi, ada pendapat yang berhak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU adalah OJK, sedangkan sisi lainnya pihakyang mengajukannya adalah kreditor.

Kewenangan OJK tersebut lahir tidak dari UU Kepailitan dan PKPU. Dalam UU Kepailitan dan PKPU kewenangan OJK itu melekat pada Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan BAPEPAM. Sejak 31 Desember 2012 melalui ketentuan peralihan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK beralih kepada OJK.

Praktiknya ini menyisakan ketidakpastian. Misalnya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan masih ada di BI dan OJK. Selanjutnya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK oleh kreditur terjadi karena pemberlakuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa apabila masyarakat atau kreditur meminta persetujuan kepada OJK dan dalam waktu sepuluh hari tidak memberikan jawaban, maka OJK dianggap setuju untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.

Optimalisasi LAPS-LJK untuk Penyelesaian Utang Piutang

Banyak perusahaan LJK yang terdampak pandemi covid-19 harus berjuang untuk dapat mempertahankan going concern perusahaan. Ini semakin berat bila memiliki utang atau kewajiban terhadap pihak lain. Pihak lain pun akan kesulitan bila ia tidak segera menerima pembayaran atas piutangnya. Bila mengandalkan bekerjanyan UU Kepailitan dan PKPU sebagai primum remedium, ini menjadi kontraproduktif. Mempertahankan going concern perusahaan LJK seharusnya masih menjadi prioritas. Mengingat halangan berprestasi yang dihadapi oleh debitur pada saat pandemi disebabkan oleh adanya kejadian di luar kemampuan debitur (change of circumstances) dan masih ada potensi kondisi perusahaan LJK dapat diperbaiki setelah pandemi covid-19 terlewati. Dengan demikian, seharusnya upaya hukum kepailitan ini hanya ditempuh sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) terhadap debitur dalam hal ada ketidakmampuan untuk pemenuhan prestasi.

Pandemi covid-19 tidak kunjung berakhir, dan upaya penanggulangannya pun belum optimal, sementara itu dampak nyata terhadap kesulitan atau kemampuan membayar debitur sudah terjadi. Untuk itu upaya penyelesaian utang piutang seyogiyanya ditempuh melalui musyawarah mufakat, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, sebagai media sharing the pain untuk memperoleh win-win solution. 

Upaya preventif yang dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ikut menjaga kelangsungan usaha di LJK dari ancaman permohonan pernyataan pailit adalah dengan cara memaksimalkan upaya penyelesaian sengketa dengan memaksimalkan peran dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 1/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS).

Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya Keputusan OJK Nomor Kep-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu:Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI); Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI); Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI); Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI); Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI); Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).

Salah satu persyaratan sengketa yang dapat diselesaikan oleh LAPS adalah sengketa perdata yang timbul di antara para pihak sehubungan dengan kegiatan di sektor industri jasa keuangan. Dengan memaksimalkan peran LAPS untuk menyelesaikan sengketa keperdataan tentunya dapat mengurangi potensi adanya permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.POJK LAPS mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa (khususnya antara konsumen dengan LJK), yang terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal di LJK, penyelesaian melalui lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui LAPS dengan suatu prosedur tertentu.

Prosedur penyelesaian sengketa melalui LAPS LJK melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh LJK (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Pasal 2 POJK LAPS menentukan bahwa pada dasarnya penyelesaian pengaduan wajib diselesaikan dahulu oleh LJK melalui unit pengaduan konsumen di tiap-tiap LJK.

Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilaksanakan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan melalui LAPS. Apabila para pihak memilih penyelesaian pengaduan sengketa dilaksanakan di luar pengadilan, maka penyelesaian pengaduan sengketa akan diselesaikan melalui LAPS yang dimuat dalam daftar LAPS yang ditetapkan OJK.

Efektifitas berlakukan LAPS-LJK akan terjadi bila OJK melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, OJK perlu mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam pengawasan LJK agar praktik-praktik penyalahgunaan LJK dapat dicegah dari awal. Kedua, OJK perlu segera bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan tindakan proaktif antara lain sosialisasi dan edukasi mengenai pranata hukum kepailitan dan PKPU LJK kepada para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atas LJK secara berkelanjutan.

This article have been published in REPUBLIKA,  04 June 2021.

The International Program of the Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia collaborate with the Juridical Council of International Program of the Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (JCI) implementing the second dose vaccination program for 21 students, on Wednesday, September 15, 2021. This event was the follow up on the for the first dose vaccination program that was given on Tuesday, June 22, 2021. This vactionation program was held at Universitas Islam Indonesia Hospital (RS UII) in Bantul.

The Secretary of the International Undergraduate Study Program, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., accompanying students who were got the second shot. Furthermore, he stated that vaccination is an effort to deal with the COVID-19 pandemic situation which has not shown any sign of ending. He also added that the implementation of the vaccination has become the starting point for the implementation of Facultys programs such as the hybrid lecture system that will conduct next semester.

Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. hopes that the pandemic can end soon so that teaching and learning activities at the Faculty of Law, especially in the International Program, can run normally and can maximize the various programs that have been launched. In addition, he also asked for cooperation from all students who received the second shot to always communicate with each other in case of any Post-Immunization Adverse Events (AEFI) experienced by them.

 

              

 

Coronavirus Disease 2019 atau yang sering biasa disebut Covid-19 merupakan sebuah pandemi yang tak pelak usai hingga saat ini wabah ini sudah mengakibatkan sejumlah perbuahan besar dalam berbagai sektor salah diantaranya yaitu sektor ekonomi. Kasus kematian Covid-19 kian hari kian meningkat.

Data Kementerian Kesehatan Republik Indonesia per 3 April menyebutkan kasus positif Covid-19 sejumlah 1.821.703 jiwa, sembuh sejumlah 1.669.119 jiwa, dan meninggal sejumlah 50.578 jiwa. betapa sangat membahayakannya Covid-19 ini.

Namun disamping itu berbagai regulasi sudah diterapkan diantaranya diberlakukannya Social Distancing untuk segala bentuk kegiatan, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020, Karantina Kesehatan, Bahkan sampai dilakukannya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) sebagiamana terdapat dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2021 tentang PPKM Jawa-Bali, serta upaya pemerintah yang sedang diberlakukan sekarang yaitu program vaksinasi.

Namun dalam program vaksinasi Covid-19 ini memunculkan polemik baru dimana tak sedikit masyarakat yang menerima dengan begitu saja adanya program vaksinasi ini. banyak pro kontra untuk program vasinasi Covid-19 yang diberlakukan pemerintah. Lalu apa saja yang menjadikan permasalahan yang muncul dari program vaksinasi ini serta apa saja alasan pro dan kontra dari adanya program vaksinasi. Untuk itu kiranya isu ini akan menjadi suatu hal yang menarik untuk kita kaji Bersama terkait dengan vaksinasi merupakan sebuah kewajiban atau Hak setiap warga negara

Vaksinasi Covid-19 merupakan salah satu dari sekian banyak program pemerintah dalam menanggulangi wabah Covid-19 ini. sebagaimana tercantum dalam Keputuisan Presiden No.12 Tahun 2020 tentang Pentapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID19) sebagai Bencana Nasional.

Tetapi program pemerintah terkait dengan vaksinasi ini menuai pro dan kontra terlebih dengan adanya berita bahwasannya setiap orang yang menolak vaksinasi akan dikenakan sanksi adminstrasi bahkan sanksi pidana. Adapun regulasi yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah terkait dengan snaksi yang diberikan bagi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu dalam Keputusan Presiden No.14 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentenag Pengadaan Vaksin dan  Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).

Sebagaimana tercantum dalam Pasal 13A ayat (4) sanksi yang diberikan bagi setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima vaksin Covid-19 yang tidak mengikuti Vaksinasi Covid-19 sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dikenakan sanksi administratif berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, penundaan atau penghentian pemberian administrasi pemerintahan dan denda. Hal ini tentu bertentangan dengan konstitusi terkait hak warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 28H ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yahng bermartabat”

Adapaun produk hukum lainnya yang dikeluarkan pemerintah terkiat dengan sanksi seseorang yang menolak vaksinasi yaitu terdapat pada Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penanggulangan Corona Virus Disease 2019. Sebagaiamana tercantum dalam Pasal 30 Perda DKI Jakarta seseorang yang menolak Vakasinasi dikenakan Pidana Denda sebesar 5 Juta Rupiah.

Peraturan daerah ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam Pasal 5 ayat (30) yang menyatakan dengan tegas bahwa setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan pelayanan Kesehatan yang diperlukan dirinya.

Adapun sanksi pidana sebagaiman merujuk pada Pasal 9 Jo Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Pasal 9 ayat (1) UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap Orang wajib mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan”Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan, sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.

Adapun dilansir dalam Merdeka.com Amnesti Internasional Indonesia mengatakan bahwasannya adanya sansksi terhadap seseorang yang menolak vaksinasi terutama sansksi administrasi menciptakan pemaksaan yang telah melanggar Hak Asasi Manusia. Adapun Pasal 41 ayt (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan “Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh”

Hal demikian merupakan suatu pelanggaran Hak Asasi Manusia, memang vaksinasi merupakan suatu program yang baik guna meningkatkan imun kekebalan tubuh manusia tetapi marilah kita ketahui bersama kembali bahwa vaksinasi bukan satu-satunya cara untuk memnghetikan penyebaran Covid-19 melainkan untuk meningkatkan kekebalan tubuh bukan untuk mematikan virus yang ada didalam tubuh.

Sebagaimana kita katahui pula Pemerintah telah mengeluarkan  berbagai regulasi dan produk hukum dalam memerangi pandemi Covid-19 dan Sebagian besar produk hukum yang ditetapkan menimbulkan sanksi lalu apakah kita sebagai warga negara tidak mempunyai hak sama sekali dalam hal pelindungan dan kesehatan pribadi.

Dengan adanya sanksi terkait dengan penolakan vaksinasi merupakan suatu pelanggaran hak karena masih banyak cara yang mana dapat diterima oleh seluruh masyarakat seperti halnya vaksinasi tersebut diganti dengan pemberian suplemen dalam bentuk sirup bagi anak-anak dan dalam bentuk kapsul bagi orang dewasa. Karena tidak semua sama dalam satu hal adakalanya seseorang phobia atau trauma dengan jarum suntik atau bahkan adanya keraguan dalam vaksinasi tersebut.

Pemerintah tidak dapat memaksakan kehendak rakyat karena sejauh ini rakyat juga sudah menerima sebagaian besar apa yang sudah menjadi ketetapan seperti halnya PSBB dimaan masyarakat banyak yang kehilangan mata pencahariannya dan lain sebagainya. Kemudian muncul produk hukum yang mana seseorang yang menolak pemberian vaksinaksi akan dikenakan sanksi adminsitrasi dan sanksi pidana.

Hal tersebut tentu menuai kontroversi dimana masyarakat justru malah semakin tidak percaya lagi dan pemerintah akan kehilangan legitimasinya akan apa yang dilakukan dan diberikan seolah olah bersifat otoriter tidak memperdulikan hak setiap warga negaranya.

Maka dari itu dalam perspektif penulis pemberian vaksinasi Covid-19 hendaknya bersifat sukarela dan tidak adanya paksaan serta sanksi yang dapat menimbulkan hilangnya hak warganegara. sebagaimana dilansir CNBC Indonesia, WHO mengatakan bahwa sebenarnya vaksinasi tidak diwajibkan untuk seluruh populasi, bahkan Amerika Serikat dan Perancis pun tidak mewajibkan program vaksinasi Covid-19 ini.

Author: Andre Bagus saputra (Students of Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia)

This article has been published in the rubric Opini, GEOTIMES, 07 June 2021.

“Fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) seolah terlupakan. Yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam pemberian upah minimum regional (UMR) yang digunakan sebagai  standar adalah buruh laki-laki dengan hitungan hidup lajang yang memiliki kebutuhan berbeda dengan buruh/pekerja perempuan.”

Keterlibatan perempuan dalam dunia kerja merupakan suatu bentuk partisipasi dalam pembangunan nasional. Perkembangan industrialisasi memberikan suatu kesempatan bagi perempuan untuk bisa menjadi bagian dalam memenuhi kebutuhan hidup. Namun nasib pekerja perempuan sangat bergantung dengan kepedulian negara. Tidak menutup kemungkinan masih saja terdapat kontroversi yang terjadi seperti diskriminasi pekerja perempuan dalam hal pemberian upah, cuti haid dan melahirkan, serta pelanggaran terhadap hak-hak lainnya.

Dalam praktiknya, masih terdapat keluh kesah dari para pekerja terutama pekerja perempuan. Keluhan tersebut salah diantaranya yaitu adanya diskriminasi pengupahan untuk pekerjaan yang sama dan untuk waktu yang sama.  Fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) seolah terlupakan. Yang mana hal tersebut dapat dilihat dalam pemberian upah minimum regional (UMR) yang digunakan sebagai standar adalah buruh laki-laki dengan hitungan hidup lajang yang memiliki kebutuhan berbeda dengan buruh/pekerja perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak khusus yang harus dipenuhi dan dilindungi oleh undang-undang akan tetapi pada praktiknya pula banyak problematika yang terjadi pada pekerja perempuan, salah satunya pekerja perempuan yang sedang mengalami haid tetap bekerja seperti biasanya tanpa adanya gangguan apa pun, tetapi jika keadaan fisiknya tidak memungkinkan sehingga pekerjaan tidak menjadi persoalan, hal demikian tertuang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan “Pekerja/buruh wanita yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”

Tanggung Jawab Negara

Dalam dinamika ketenagakerjaan selalu ada perselisihan antara pekerja dan pemberi kerja dimana perselisihan ini terjadi salah diantaranya adanya diskriminasi yang diterima oleh pekerja baik diskriminasi upah maupun hakhak pekerja lainnya. Negara seharusnya menjadi penjamin atas pemenuhan hak setiap pekerja terutama pekerja perempuan. Bahkan dalam masa pandemi negara harus lebih memperhatikan agar hak setiap pekerja tetap terpenuhi, akan tetapi justru dalam keadaan pandemi seperti ini menjadi kesempatan beberapa perusahaan untuk memutuskan hubungan kerja dengan dalih Force Majure padahal perusahaan tetap beroperasi seperti biasanya. Undang-undang Ketenagakerjaan merupakan solusi dari adanya perselisihan antar pekerja dan pemberi kerja dimana hal ini terdapat dalam Pasal 67 sampai Pasal 101 meliputi perlindungan buruh penyandang cacat, anak, perempuan, waktu kerja, keselamatan dan kesehatan kerja, pengupahan dan kesejahteraan.

Pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebutkan bahwasanya setiap orang, baik pria maupun wanita, dalam melakukan pekerjaan yang sepadan dengan martabat kemanusiaannya berhak atas upah yang adil sesuai dengan prestasinya dan menjamin kelangsungan hidup keluarganya. Sesuai dengan ketentuan pasal a quo memberikan implikasi bahwa perempuan mempunyai hak atas pekerjaan dan  perlindungan pekerjaan serta kelangsungan hidup keluarganya. Sebagaimana esensi dari adanya Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu memberikan kesejahteraan pada setiap pekerja/buruh agar dapat menjamin kemajuan dunia usaha Indonesia.

Pasal 11 Convention on the Elimination of All Form of Discrimination Againts Women (CEDAW) tentang Hak-hak Politik Perempuan terdapat hak khusus perempuan dimana dalam Pasal 4 menjelaskan tentang affimative action yaitu diskriminasi positif bagi perempuan.

Sedangkan dalam Pasal 11 menjelaskan tentang kewajiban negara untuk meniadakan adanya diskriminasi perempuan di tempat kerja. Dengan demikian dapat menjadi suatu tameng bagi para pekerja perempuan untuk tetap mendapatkan hak-haknya.

Pada masa pandemi, sudah seharusnya negara lebih memperhatikan segala aspek terkait dengan mekani sme peker jaan. Peker ja perempuan harus benar-benar mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya. Salah satunya yaitu perusahaan/tempat kerja memberikan penyediaan layanan antar jemput bagi pekerja perempuan sebagaimana tertuang dalam Pasal 76 Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kendati demikian pekerja perempuan pada kenyataannya terutama buruh urban sering kali tidak mendapatkan angkutan umum bilamana ia pulang bekerja.

Dengan demikian melihat pada faktanya perlindungan pekerja perempuan masih menjadi persoalan, terlebih di masa pandemi yang justru para pekerja perempuan kehilangan hak-haknya. Oleh karena itu negara melalui pemerintah harus lebih memperhatikan terhadap perlindungan pekerja perempuan agar tidak adanya diskriminasi pekerja perempuan dan tetap para perempuan dapat berkontribusi terhadap pemulihan ekonomi di masa pandemi Covid-19.

Author: Andre Bagus saputra (Student Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia)

This article has been published in the rubric Opini, Hukum Laut Internasional LEGALTALK, Buletin Hukum, Vol. 2 No. 7, 2021, September 2021.

 

Author: Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

Professor of Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

Tanpa terasa waktu penyebaran virus covid 19 sudah berjalan hampir 2 tahun lebih di bumi pertiwi. Dalam kurun waktu ini angka kematian akibat virus covid 19 di Indonesia terus bertambah. Data terakhir dari covid19.go.id per 04 Agustus 2021 angka positif sebanyak 4.123.617 orang, angka sembuh sebanyak 3.827.449 orang, dan angka kematian sebanyak 135.469. Untuk dapat menekan persoalan ini, maka pemerintah dan masyarakat terus berupaya mengambil langkah-langkah preventif agar penyebaran virus covid 19 dapat dikendalikan dan angka kematian dapat ditekan.

Sejalan dengan hal ini, tidak dapat dipungkiri peran ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dielakkan dari penanganan virus covid 19. Adapun peran ilmu pengetahuan dan teknologi ini dibuktikan dengan banyaknya berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan yang memiliki kegunaan dalam mencegah penyebaran virus covid 19. Dari mulai ditemukannya vaksin covid 19 hingga alat kesehatan seperti masker dan sanitizer pun tidak luput dari sentuhan inovasi di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya inovasi di bidang teknologi kesehatan.

Dengan adanya berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan ini, ada dua pertanyaan mendasar yang menarik untuk dikemukakan dalam konteks ini, yaitu; (1). apakah berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 layak untuk dimintakan paten di era pandemi covid 19 ini?; dan (2). apakah dengan dimintakannya paten atas berbagai inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tidak akan menghambat upaya pemerintah dan masyarakat dalam melakukan pencegahan virus covid 19?

Pro Kontra Paten di Era Pandemi Covid 19
Sebagaimana diketahui, paten secara konseptual dipahami sebagai hak hukum. Oleh karena, paten merupakan hak hukum, maka paten mendasarkan diri pada konsep hak. Hak di dalam hukum merupakan sesuatu yang dapat dituntut pemenuhannya, tetapi apabila hak tersebut tidak dituntut, maka hak tersebut pemenuhannya dilepaskan. Selanjutnya, paten sebagai hak hukum juga merupakan hak eksklusif yang diberikan atas invensi di bidang teknologi (baca: inovasi di bidang teknologi). Paten sebagai hak eksklusif yang diberikan atas invensi di bidang teknologi mengadung arti dalam tiga hal, yaitu (1). hak untuk menggunakan sendiri hak tersebut yang melekat pada invensi di bidang teknologi; (2). Hak untuk mengizinkan atau mengalihkan hak tersebut yang melekat pada invensi di bidang teknologi kepada orang lain; dan (3). Hak untuk melarang orang lain menggunakan hak tersebut yang melekat pada invensi di bidang teknologi. Atas dasar hal ini, maka penggunaan hak eksklusif atas invensi di bidang teknologi ini harus benar-benar sejalan dengan pengakuan dan penghormatan dari si pemilik hak (baca: pemegang paten) tersebut serta peraturan perundang-undangan dalam bidang paten yang berlaku.

Di era pandemi covid 19, realitas masyarakat dalam mensikapi paten ini telah melahirkan pro dan kontra. Dari kelompok masyarakat yang pro berpandangan bahwa paten di era pandemi covid 19 merupakan hal penting dalam konteks inovasi di bidang teknologi kesehatan saat ini. Adapun alasannya, hal ini dapat mencegah timbulnya produk-produk palsu dari pelanggaran paten. Sementara itu dari kelompok masyarakat yang kontra berpandangan bahwa paten di era pandemi covid 19 merupakan hal yang tidak diperlukan dalam konteks inovasi di bidang teknologi kesehatan. Adapun alasannya, hal ini dikhawatirkan akan menghambat bagi upaya memanfaatkan hasil inovasi di bidang teknologi kesehatan untuk upaya pencegahan virus covid 19.

Paten dan Pencegahan Virus Covid 19
Dengan banyak inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 dihasilkan, maka pada dasarnya inovasi di bidang teknologi kesehatan ini dapat saja dimintakan patennya kepada negara atau dapat juga dilepaskan untuk tidak dimintakan patennya kepada negara. Dua tindakan ini dibenarkan, karena UU No. 13 Tahun 2016 tentang Paten (selanjutnya disebut UU Paten) pada kenyataannya memang tidak pernah mengatur bahwa meminta paten kepada negara merupakan suatu kewajiban hukum bagi inovator, tetapi justru didudukkan sebagai suatu hak bagi inovator.

Ketika inovasi di bidang teknologi kesehatan dimintakan patennya kepada negara oleh inovator, maka inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 harusnya dapat diberikan paten–apabila memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU Paten. Pada saat paten itu diberikan oleh negara, maka pada saat itulah inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 memuat hak eksklusif. Hal ini berlaku sebaliknya apabila inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tidak dimintakan patennya kepada negara oleh inovator, maka inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tidak akan memuat hak eksklusif.

Dalam konteks melekatnya paten sebagai hak eksklusif pada inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19, maka hal ini tidaklah akan menghambat bagi upaya pemanfaatan inovasi tersebut guna mencegah virus covid 19. Adapun argumentasinya ada tiga, yaitu: Pertama, dengan paten yang melekat pada inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19, maka bisa saja pemegang paten tersebut memberikan izin kepada beberapa perusahaan teknologi kesehatan untuk memproduksi inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 tanpa harus berlaku komersial, semisal melepaskan hak royalty dari paten atas inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19. Hal ini tentunya, akan terjadi apabila si pemegang paten benar-benar memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi atas pandemi covid 19. Hal ini telah terjadi terkait penggunaan paten vaksin AstraZeneca, di mana pemegang patennya melepaskan hak royalti.

Kedua, apabila si pemegang paten tidak memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi atas pandemi covid 19 dan cenderung ingin mengambil keuntungan ekonomi yang tinggi dari situasi pandemi covid 19, maka pemanfaatan paten ini masih akan dapat dilakukan dengan cara menerapkan kelonggaran (fleksibilitas) yang tertuang di dalam UU Paten di antaranya melalui lisensi wajib dan pelaksanaan paten oleh pemerintah. Hal ini biasanya dilakukan karena adanya kepentingan masyarakat yang sangat mendesak atau penggunaan paten oleh pemegangnya yang dapat merugikan kepentingan masyarakat secara luas. Sehingga dalam konteks ini, negara ikut campur tangan melalui UU Paten terkait dengan pemanfaatan paten di mana kepentingan masyarakat menjadi hal yang harus diutamakan daripada kepentingan pemegang paten itu sendiri. Ketiga, dengan adanya paten sebagai hak eksklusif atas inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19, maka hal ini, di satu sisi dapat menjamin hadirnya produk asli yang akan efektif dalam mencegah penyebaran virus covid 19; dan di sisi lain dapat meminimalisir penyebaran produk-produk palsu yang bisa jadi justru akan memperburuk penyebaran virus covid 19.

Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat dikemukakan bahwa ketika ada inovator menghasilkan inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 dan selanjutnya inovator tersebut mendaftarkan paten kepada negara, dan patennya diperoleh, maka dapat dipastikan paten yang diperoleh tersebut tidaklah akan menghambat upaya pemerintah maupun masyarakat dalam melakukan pencegahan virus covid-19. Bahkan, dengan diperolehnya paten atas inovasi di bidang teknologi kesehatan yang berguna untuk mencegah virus covid 19 justru dapat dijadikan sarana efektif guna melakukan upaya pencegahan virus covid 19 di bumi pertiwi ini. Wallahu’alam bis Shawab.

Tulisan ini telah dimuat dalam narasidesa.com, 09 September 2021.

 

Back to more achievements, two students Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia won the national competition. At events Forum Pemberdayaan Kreatifitas dan Keilmuan Mahasiswa Justitia which is held by Faculy of Law, Universitas Mataram. Our students to win two championships at once, namely  of Best Paper and became the second winner in the Scientific Writing Competition. The title of the paper is Penangguhan Paten terhadap Vaksin Ditinjau dari Implementasi Aspek Fleksibilitas Paten Nasional Guna Mewujudkan Era Bebas Pandemi.

Author: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

 

Berbagai media pemerhati anak ramai memberitakan kondisi anak kehilangan keluarga dengan menjadi yatim atau piatu atau yatim piatu akibat meninggalnya orang tua karena Covid. Di yogyakarta sendiri kasus anak kehilangan orang tua akibat Covid terdapat 142 anak (info@kemsos), belum termasuk terhadap ibu hamil yang meninggal akibat covid. Kondisi ini tentunya belum akan berhenti mengingat situasi pendemi yang belum berakhir setidaknya harapan itu ada setelah seluruh stake holder sudah mendapatkan vaksinasi dari pemerintah.

Anak yang kehilangan kedua orang tuanya ataupun salah satu orangtuanya itu menjadi tanggung jawab siapa dalam pemenuhan kehidupan sehari-hari ? secara hukum seorang anak manusia terikat oleh kerabat kedua orangtuanya, hal ini dikenal dengan istilah hukum kekerabatan. Sehingga kerabat si anak secara sadar turut terikat untuk membantu mengurus keluarga kerabatnya tersebut yang kehilangan orang tuanya. Untuk kerabat yang bersedia mengasuh maka dapat dimintakan penetapan perwalian terhadap anak yatim piatu sehingga keberlangsungan hidup si anak dapat berjalan dengan baik dalam perwalian kerabat dari orangtuanya. Bila seorang anak hanya ditinggalkan salah satu orang tuanya, maka tanggung jawab pemenuhan kebutuhan akan diberikan kepada orang tua yang masih hidup baik ayah atau ibunya. Apakah ada peran kerabat dari kedua orang tua si anak ? kerabat orang tua dapat turut berperan dengan memberikan perhatian kepada si anak, terutama kerabat orang tua yang meninggal. Masyarakat yang mengetahui itupun berhak untuk melaporkan pihak yang berwajib bahwa anak yang kehilangan kedua orang tua masih memiliki kerabat, sehingga anak akan dikembalikan kepada kerabat tersebut.

Di Indonesia menganut tiga (3) sistem kekerabataan dalam aliran keluarga termasuk pula tanggung jawabnya seperti : patrilineal, matrilineal, dan parental. Terhadap sistem patrilineal dan matrilineal tanggung jawab ini kembali kepada sistem kekerabatan yang dianut, maka tanggung jawabnya bisa kepada salah satu kerabat orang tua saja baik ayahnya saja atau ibunya saja. Untuk sistem parental, maka tanggung jawab ini akan jatuh kepada masih-masing kerabat dari kedua orang tua sehingga salah satu keluarga yang menganut sistem parental, maka kerabat orang tua juga terikat untuk mengasuh dan membesarkan anak. Untuk itu, peran kerabat orang tua dapat dimaksimalkan dalam mengasuh anak yang kehilangan orangtuanya. Sistem parental ini merupakan sistem kekerabatan yang sudah mulai digunakan oleh masyarakat Indonesia dimana garis tanggung jawab dapat berasal dari kerabat kedua orang tua baik secara hak dan tanggung jawab. Upaya pemerintah bersama masyarakat ditingkat RT dan RW dapat mendata dan mencari tahu kerabat-kerabat orang tua dari anak yang yatim piatu untuk ikut berperan tumbuh kembang anak.

Kerabat dari orang tua tentu tidak dimintai tanggung jawab penuh dengan melihat latar belakang ekonominya. Setidaknya mereka turut berperan dalam pertanggungan jawab anak dalam konteks hubungan kekerabatan, jangan sampai anak kehilangan orang tua itu merasa sendiri dan akhirnya menjadi sebatang kara. Kerabat dari ayah sang anak bersama-sama kerabat dari ibu sang anak diharapkan turut berperan untuk ikut mensejahterakan anak, hubungan keterikatan inilah yang dimaksud dengan hukum kekerabatan dimana seseorang terikat akan tanggung jawab dengan orang lain karena ia terikat hubungan hukum kekerabatan. Tidak mungkin seseorang yang tidak ada hubungan kekerabatan ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan anak, melainkan dengan kepastian hubungan kekerabatan maka mereka terikat. Ini merupakan konsep dari hubungan keluarga. Jangan sampai anak yang kehilangan orang tua justru ditinggalkan untuk hidup sendiri dan mencari kesejahteraannnya sendiri.

Salah satu peran yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat adalah membantu untuk menghubungkan anak yang kehilangan kedua orang tua dengan kerabat yang masih dimiliki si anak, menginventarisir anak-anak yatim piatu agar dapat diasuh oleh kerabat terdekat terlebih dahulu karena memang secara hukum, kerabat adalah pihak yang paling berhak mengasuh anak dari kerabatnya. Apabila itu tidak memungkinkan maka pemerintah dapat melakukan melalui dinas sosial untuk mengasuh anak yang telah ditelantarkan karena tidak ada kerabat yang hendak mengasuh.

This article have been published in rubric OPINI of Kedaulatan Rakyat Newspaper, 21 August 2021.

Once again, the Indonesian society are faced with a commotion about the claims of traditional culture by the Malaysian society. In this cases that have arisen are related to Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) originating from the Mandailing society of North Sumatra. The interesting thing about this incident is that many parties feel “angry” on what has been done by the Malaysia. From the ordinary people to politicians. Because of this commotion, one question has really raised a question, is there a commitment by the State to guarantee the protection of traditional culture?

 

Constitutional Guarantee in Protecting Traditional Culture

According to the Preamble to the 1945 Constitution, it is clear that one of the objectives of the establishment of the State of Indonesia is within the framework of protecting the entire Indonesian nation and all of its bloodshed. It means that the State is obliged to be able to provide protection for both human and non-human resources. In the context of non-human resources, the State should be able to protect both natural and non-natural resources, there are no exception in terms of protecting traditional culture.

In accordance with this issue, based on the constitution bodies there are several provisions that provide direction as well as firm guarantees for the protection of traditional culture. The basic of constitutional in the context of protecting traditional culture is stated in Article 18B paragraph (2) of the second amendment to the 1945 Constitution which stated that “The state recognizes and respects customary law community units and their traditional rights as long as they are still alive and in accordance with community development and the principle of the Unitary State of the Republic of Indonesia as regulated in the Law.” and Article 28I paragraph (3) of the second amendment to the 1945 Constitution which reads as follows: Cultural identity and rights of traditional communities are respected in line with the development of times and civilizations”. In addition to the above provisions, Article 32 paragraph (1) and paragraph (2) of the fourth amendment to the 1945 Constitution provide a basis for further strengthening the direction and guarantees of the constitution on the importance of protecting traditional culture in Indonesia.

 

 

Loss of Traditional Cultural Protection Guarantee

Based on the currently issue which is developing regarding Malaysia’s efforts with the recording of Tarian Tor-Tor dan Gondang Sambilan (Sembilan Gendang) as cultural heritage, which is really concerning. This concern arises because this case is not the first case but has become a case for the umpteenth time related to traditional culture. The question is, in this context can the State be considered to have lost its commitment to guarantee the protection of traditional culture?

Talking about the state’s commitment to guarantee the protection of traditional culture, it is actually not enough to just express it in the form of normative formulations in the constitution, but there are no more tangible actions. In reality, the State has lost its commitment to guarantee the protection of traditional culture. There are two parameters that the commitment of the State has actually been lost in providing guarantees for the protection of traditional culture. The two parameters are;

First, in the context of case resolution, it appears that the State is unable to complete the settlement of cases of claims of traditional culture by foreign parties completely and clearly. From the Batik case to Tarian Tor-Tor, the state can only remain silent without a clear attitude to resolve the case. Even if there is a response, this does not solve the case completely. Recognition by UNESCO of several traditional cultures has not resolved the problem of protecting traditional cultures, as evidenced by the case for other types of traditional cultures. On the other hand, efforts to encourage all traditional cultures to be recognized by UNESCO may not necessarily be carried out due to strict requirements and may be inefficient.

 Second, in the context of developing a legal system, the State is unable to develop legislation that leads to the development of a traditional cultural protection system. In fact, if you look at the provisions of Article 18B paragraph (2) of the Second Amendment to the 1945 Constitution, the constitution explicitly requires that in the framework of respecting traditional rights which also includes the protection of traditional culture, a statutory provision should be made that can optimize the intent of Article 18B paragraph (2). the 18B. In fact, until now the expected legislation has not appeared. In the past, the Directorate General of Intellectual Property Rights at the Ministry of Law and Human Rights had indeed drafted a Bill on the Protection and Utilization of Traditional Culture, but the bill itself so far has not shown a clear end to its origins. Therefore, this can be interpreted that it is true that the State has lost its commitment to guarantee the protection of traditional culture.

Wallahu’alam bis Shawab.

Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

                                                Director of Intellectual Property Rights Center

Faculty of Law UII Yogyakarta

 

On Friday, April 26 2013, the international community celeberate the 13th intellectual property rights day. In this context, this warning is often used as a momentum by the international community and countries in the world to further strengthen the importance of IPR in encouraging the progress of human civilization. Currently, the theme carried by WIPO in commemoration of the 13th World Intellectual Property Rights Day is “Innovation for the Next Generation”, while the theme raised by the Directorate General of Intellectual Property Rights is “Continuous Innovation for National Glory”.

For the Indonesia, IPR should become a collective awareness in order to improve the welfare of the people. To achieve this, the IPR movement really must be able to involve all components of the nation’s children. The IPR movement should not only be partial, sporadic, and carried out by a handful of groups without a clear direction, but should be a comprehensive, systemic movement, and involve the widest participation of the community by focusing on a goal,which is building Indonesian society welfare through IPR.

Notes on Awareness of IPR

The Indonesian nation has always been perceived as a society that has not optimally possessed IPR awareness. This perception is actually more due to several reasons. There are at least two reasons that strengthen this, consist of; First, there are still rampant IPR violations committed by the Indonesian society. For example, in the case of music and song violations, according to Member of the Board of Management of the Indonesian Recording Industry Association, Jusak Irwan Sutiono, there are illegal sales of Indonesian song downloads amounting to more than 6 million songs. For example, 1 song costs Rp. 3,000, so the potential loss for Indonesia aka the music industry per day is Rp. 18 billion/day.; Second, the low number of IPR applications submitted by the Indonesian people, especially in terms of filing patent applications. According to data from the Directorate General of Intellectual Property Rights, overseas PCT patents amounted to 4839, Domestic PCT patents amounted to 8 in 2011.

In other side of the perception that the awareness of IPR in Indonesia is not optimal, this is also inseparable from the weakness of the IPR management system both at the center and in the regions. Indications of the weakness of the IPR management system can be seen when IPR is currently considered a matter for the Ministry of Law and Human Rights of the Republic of Indonesia if it is in the Central Government, while IPR becomes a matter for the Department of Industry and Trade if it is in the Regional Government.

In conclusion, it is possible that the issue of IPR awareness in Indonesia is actually a serious matter. It happened because of the low understanding of IPR of the Indonesian society, is not only experienced by people who incidentally are IPR actors, such as creators, designers, inventors and so on, but also experienced by government officials both at the Central and Regional levels, which incidentally is the government apparatus. It is hoped that it can build awareness of IPR in the Indonesian people even better.

Collective Movement of IPR Awareness

Based on the reality of IPR awareness among Indonesian society, it is clear that the Indonesian society in terms of building IPR awareness are still being carried out partially, sporadically, not focused and the parties involved are still very few. Partial nature of IPR awareness. As a result, the IPR conscious movement has only become a routine and only belongs to a handful of certain community groups. In addition, the development of the IPR system both at the center and in the regions is developing slowly and tends not to be responsive to the needs of the community itself.

Realizing this issue, the momentum of the 13th World Intellectual Property Rights Day on 26 April 2013 should be used by the Indonesian society as a starting point for moving awareness of collective intellectual property rights. By building a collective IPR conscious movement, of course, IPR that has been developed and implemented in Indonesia can ultimately have an impact on efforts to realize the welfare of the Indonesian people themselves. This, of course, is also in line with the purpose of IPR as stated in Article 7 of the TRIPS Agreement that IPR is basically developed and applied to improve the welfare of the community.

Wallahu’alam bis Shawab.

Prof. Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

                                                Director of Intellectual Property Rights Center

Faculty of Law UII Yogyakarta