Tag Archive for: FH UII

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (FH UII) held a Workshop on Digital Literacies in Legal Education on Monday (December 2nd, 2019). The Workshop program was filled by speakers from FH UII internally an At least, this workshop was attended by around 50 participants who were lecturers, teaching staff, academic staff, and students in the Faculty of Law UII.d also invited professors from the United States.

Through the workshop, FH UII wanted to open up insights to its academic staff to be able to exploit the potential of digital literacy. The workshop was filled by two speakers: Assoc. Prof. Jayne Lammers, Ph.D. and Abdurrahman Al-Faqiih, S.H., M.A., L.LM.

The first speaker, Assoc. Prof. Jayne Lammers, Ph.D. originating from the United States explained, the development of the Industrial Revolution 4.0 has brought great changes in the world of education. The pattern of students and young people has changed, from previously doing literacy studies through books, now turning to digital literacy. The intended digital literacy is very broad, covering the internet and social media. But, according to Jayne Lammers, the majority of people use digital technology for entertainment purposes only.

Jayne Lammers shows one of the results of his research on digital literacies. The research included the case of a child named Eve. Based on Jayne’s findings, a child named Eve who has a hobby of playing the game ‘The Sims’ experienced a period of anxiety after graduating from high school. Eve didn’t know what to do after high school. While doing her hobby playing the game ‘The Sims’, Eve began to make a story based on the simulation game. He also wrote the story on his blog page. While writing, Eve also learned image editing techniques, coding, and several other technologies to support the story she made. In addition, in the end, Eve was known as a professional writer by utilizing the technology she learned.

Jayne Lammers also explained the concept of Personal Learning Network (PLN). Based on this concept, students should be able to utilize social media to improve their pre-profession world. Using PLN, students can follow professional accounts and start self-branding.

The second speaker, Abdurahman, puts more emphasis on the use of digital sources in legal research. According to Abdurahman, UII has facilitated many conveniences in digital literacy. “The question is whether you already know?” Abdurahman said.

The Faculty of Law of UII in collaboration with Youngsan University held the Global Collaboration Program (3-18 January 2019) in Busan, South Korea. For students who are interested in participating in this activity please register at the link: http://bit.ly/partialScholarshipFHUII

 

 

Registration deadline: November 27th, 2019 at 13.00 pm

For those who are selected/pass the selection, they will get a partial scholarship from FH UII

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (FH UII) once again held international scale activities. This time, FH UII invited Professor Andrew Mitchell from the University of Melbourne, to come to Yogyakarta.

Prof. Andrew came at the invitation of FH UII. According to the Secretary of the International Undergraduate Program, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D., Prof. Andrew was invited as one of the visiting professor programs organized by FH UII. “This program is one of the internationalization steps undertaken by the Law Faculty”, said Dodik Setiawan.

Prof. Andrew visited FH UII for three days. In accordance with the invitation of FH UII, Prof. Andrew shared his knowledge in several activities with the UII academic community. On Tuesday (11-11-2019), Prof. Andrew shared his knowledge with post-graduate students of FH UII in the General Lecture on International Trade Law. The event was held at the FH UII Postgraduate Campus, Jalan Cik Ditiro Number 1, Yogyakarta. At the event, Prof. Andrew investigated international trade law.

On Wednesday (11-11-2019), an International Seminar was held with Prof. Andrew as one of the speakers. Besides Prof. Andrew, the seminar was also filled by Christopher Cason, JD., FH UII’s foreign lecturer from the United States, and Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D., an international law expert of FH UII. The International Seminar was attended by at least 150 participants from various groups.

After the International Seminar, Prof. Andrew also shared his knowledge with the students of the Moot Court Faculty of Law UII. Prof. Mitchell, who is also the coach of the moot court team at the Law School of the University of Melbourne, shares tricks before and after the race.

Besides sharing his experiences and knowledge, Prof. Andrew was also invited to meet with the leaders of FH UII. At the meeting, FH UII hoped to establish more collaboration with the University of Melbourne. Prof. Andrew said he was happy to visit Indonesia at the invitation of FH UII. “It’s nice to be here,” he said.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Jika hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah resmi diundangkan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima sejumlah permohonan pengujian dari berbagai pihak. Mungkin, mulai dari kelompok akademisi, pegiat antikorupsi, sampai dengan tokoh masyarakat. Meskipun permohonan diajukan dari golongan yang beragam, substansi kerugian konstitusionalnya akan sama. Memohon kepada majelis hakim, agar pasal-pasal revisi UU KPK dinyatakan inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum   secara mengikat. Dalam logika penulis, pengujian revisi UU KPK bukan perkara yang mudah. Meskipun hasil revisi mendapatkan tekanan publik secara masif, pandangan majelis hakim belum tentu sejalan dengan kelompok mayoritas yang menolak revisi UU KPK. Ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bagi para pemohon, termasuk dalam membangun logika kerugian konstitusional di MK.

Logika Pengujian

Dalam logika pengujian, ada dua alasan yang menjadi basis utama pengujian undang-undang di MK. Pertama, ialah alasan formil. Melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, ialah alasan materil. Melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (dalam hal ini UUD). Secara formil, proses pembentukan revisi UU KPK dinilai cacat formil karena dikebut hanya dalam tiga belas hari, dan tidak berada pada daftar prioritas prolegnas. Tidak heran jika para pegiat antikorupsi menyebut bahwa pembentukan dan pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara “ugal-ugalan”. Minus partisipasi, naskah akademik yang tidak transparan, dan tajam akan kepentingan parpol. Jika merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 45 mensyaratkan setiap RUU baik dari DPR dan Presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Di samping itu, Pasal 44 juga mengatur bahwa  setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan naskah akademik. Namun perlu diperhatikan.  Di saat yang sama, akhir masa bakti anggota DPR 2014-2019 juga mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam revisi UU yang baru, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dengan alasan keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu lainnya, yang memastikan adanya urgensi nasional. Kehadiran pasal ini, membuka ruang bagi DPR dan Presiden,  untuk mengusulkan dan membahas secara cepat RUU atas alasan kondisi tertentu. Konsekuensinya, hal ini akan membawa tantangan baru bagi pemohon atas dalil-dalil formil yang akan diajukan di MK.

Selain tantangan pada asepk formil, para pemohon juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan pada aspek materil. Para pemohon akan dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, mengingat KPK tidak memperoleh legitimasi kewenangan secara langsung berdasarkan UUD. Ia dibentuk berdasarkan UU, yang pada prinsipnya merupakan sebuah kebijakan politik hukum terbuka (open legal policy). Sifat pengujian di MK tentu akan bersandar pada kesesuaian norma lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Dalam yurisprudensi MK, ada empat putusan yang menyatakan bahwa meskipun KPK dibentuk berdasarkan UU, tetapi KPK mempunyai sifat penting dalam struktur ketatanegaraan (constitutional importance).  Sebagaimana tertuang dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU/IX/2011, dan Putusan MK No 49/PUU-XI/2013. Bahwa KPK merupakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUDN RI. Tantangan yang kemudian muncul ialah, dalam Putusan terakhir MK No 36/PUU-XV/2017, majelis mengubah pendiriannya dengan menyatakan bahwa KPK bercorak eksekutif, karena alasan melaksanakan fungsi eksekutif. Artinya ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemohon untuk membangun silogisme konstitusional, bahwa pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KPK bertentangan dengan UUD. Selain aspek formil materil, tantangan lain yang perlu diperhatikan ialah perihal imparsialitas hakim konstitusi. Dalam prinsip independensi peradilan, para majelis hakim tidak boleh terpengaruh dengan besarnya tekanan publik atas perkara yang disidangkan (Contini & Mohr:2007). Bisa jadi, gelombang penolakan mahasiswa secara masif tidak akan memengaruhi pendirian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Logika sederhananya, pengujian undang-undang yang menuai begitu banyak penolakan publik, belum tentu bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Penalaran Hakim

Terlepas dari segala tantangan yang akan di hadapi para pemohon, hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengurai metode penalaran yang akan digunakan para hakim di mahkamah.   Disadari atau tidak, sembilan hakim di MK memiliki preferensi ilmiah yang berbeda-beda. Sebagaimana dituliskan Dahl, bahwa preferensi ilmiah menjadi dasar  keyakinan hakim dalam menjatuhkan vonisnya (Robert Dahl:1963). Tidak heran jika dalam sebuah perkara pengujian undang-undang di MK, adakalanya putusan tidak di ambil secara bulat. Ada yang dissenting, bahkan mungkin ada yang concurrent. Masing-masing akan memiliki basis keyakinan dan interpretasi yang berbeda (Keith E. Whittington:1999). Bagi para penganut judicial restraint, beberapa ketentuan norma undang-undang dan putusan peradilan, menjadi dasar utama menegakkan pertimbangan hukum. Sementara bagi para penganut  judicial activism, hakim bisa saja melampaui beberapa ketentuan tertulis dalam hukum positif. Para hakim bersikap aktif dalam melakukan penemuan hukum. Bahkan tidak menuntut kemungkinan, menghasilkan suatu penerobosan hukum dengan memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Perdebatan dua kelompok itu yang akan mewarnai pertimbangan sembilan hakim konstitusi dalam pengujian revisi UU KPK. Dengan melihat komposisi hakim konstitusi saat ini, penulis merasa bahwa putusan nanti tidak akan jatuh secara bulat.

This article have been published in REPUBLIKA, 14 October 2019.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) in collaboration with the Universitas Muhammadiya Magelang (UM Magelang) held an International Symposium entitled The 1st Borobudur International Symposium 2019 (BIS 2019), on Wednesday, October 16, 2019. Located in the Ballroom of the Grand Artos Hotel & Convention, Magelang, the Symposium is divided into two sub, namely the 1st  Borobudur International Symposium on Applied Sciences and Engineering (1st BIS ASE) and 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics, and Social Sciences (1st BIS HESS ).

Faculty of Law UII became one of the co-hosts that organizing BIS 2019. According to the Secretary of the International Undergraduate Program of Faculty of Law UII, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., LL.M., Ph.D., the form of cooperation between UII and UM Magelang is as the organizer of BIS 2019. Faculty of Law UII who co-hosted the organizing of BIS 2019 was mentioned in a Memorandum of Understanding (MoU).

According to Dodik Setiawan, Faculty of Law UII cooperated with UM Magelang regarding two things. First FH UII wants to increase the number of lecturer publications at the international level. Through BIS 2019, especially the 1st BIS HESS, submitting papers will later be published in proceedings indexed with Web of Science. Secondly, this cooperation is expected to be one of the steps to increase the cooperation network between Faculty of Law UII and other universities throughout Indonesia. “Adding networks of cooperation with domestic universities in Indonesia,” said Dodik Setiawan.

Faculty of Law UII sent six papers to participate in BIS 2019. The six papers sent are manifestations of ideas from civitas academics and lecturers at the Faculty of Law UII. The papers and presenter who participated were Dr. Budi Agus Riswandi, SH., MH., Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., LL.M., Ph.D., Prof. Ni’matul Huda, SH., M.Hum., Mahrus Ali, SH., MH., Bagya Agung Prabowo, SH., MH., Ph.D., and Siti Ruhama Mardhatillah, SH., MH.

BIS 2019 was held in three parts of the event. First is the first round table session. Second is the opening session, which was followed by an international seminar. Then the last is the second round table session.

International seminar sessions presenting experts from across the country. The keynote speaker at the international seminar was Prof. Tony Lucey, Ph.D. from Curtin University, Australia, Rajesh Ranolia, B.Com., MBA from the National Institute of Information Technology, India, and Prof. Ts DR. Noreffendy Tamaldin from Universiti Teknik Malaysia Malaysia Melaka, Malaysia.

The event was attended by hundreds of speakers from various tertiary institutions. The speakers were divided into several small groups and occupied a round table. The concept of a round table is fairly new. Speakers present and respond to one another’s papers led by a moderator.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Apakah benar, jika Presiden menetapkan Perppu KPK, maka ia berpotensi besar untuk di impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya. Langkah ini kerap dihubung-hubungkan bahwa jika Presiden mengeluarkan Perppu, sama halnya Presiden tak serius dan tak menghormati DPR sebagai pengusul dan pembahas revisi UU KPK.  Bahkan, sebagian politisi menilai jika tidak cermat,  Perppu KPK bisa menjadi “jebakan batman” bagi Jokowi. Alias pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai Presiden. Narasi itu telah  berseliwiran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar, bahwa Perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini, mencoba mendudukan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana Perppu, serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.

Perppu

Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan Perppu selalu diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, Perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat. Disebut cepat dan sederhana, karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan partai yang ada di parlemen (Ann Seidman:2002). Tak heran jika Pasal 22 UUDN mengatur bahwa  “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Soal ihwal kegentingan yang memaksa, MK telah memberikan kriteria normatif dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat. Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang, atau ada namun dianggap tidak memadai, dan keadaan tidak dapat diatasi  dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan di jatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak, tetap berada pada wilayah subjektivitas Presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa, kecuali Presiden. Karena sifatnya yang subjektif, maka objektivikasinya, diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 UUDN. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undang-undang. Jika tidak, maka Perppu itu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang, sekaligus melaksanakan fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances). Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan judicial review.  Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional, untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan. Kembali pada soal Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah cukup. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan Perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinyu, bahkan telah memakan korban jiwa. Kedua, revisi undang-undang KPK yang tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa, mengingat pembahasan undang-undang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, ini soal subjektivitas Jokowi. Jika ia berani mengambil opsi Perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden, yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi.

Impeachment

Kemudian soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya seorang perdana menteri sangat mungkin di impeach karena alasan politis. Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 7A UUDN, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, atau tindak pidana berat lainnya. Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang super ketat. Bahkan situasinya akan terasa semakin sulit, bila melihat sistem multipartai ekstrim yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan:2014). Konsekuensi logisnya,  partai-partai pendukung cenderung akan memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden, dari ancaman pasal impeachment.  Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan Presiden untuk mendorong dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment. Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi Perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan Perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR, maupun melalui jalur judicial review di MK.

 

This article have been publsihed in rubric Opini of Jawa Pos, 4 October 2019.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Apakah sudah diperhitungkan rencana amandemen terbatas UUD yang sudah semakin mengkristal pada romantisme GBHN? Adakah studi kelayakan yang telah memberikan preposisi bahwa Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional kita bermasalah sehingga tidak relevan lagi untuk digunakan? Seberapa dalam cetak biru yang telah disusun MPR, metode risetnya apa, sehingga GBHN menjadi laik diterapkan kembali sebagai kerangka dasar pembangunan nasional. Sungguhpun sudah dipikirkan secara matang, bagaimana dengan proses dan mekanisme perubahannya?

Sejumlah pertanyaan di atas, mengirimkan pesan bahwan wacana amademen terbatas perlu dikonstruksikan secara komprehensif. Dibangun melalui konsep yang kuat, serta memperhatikan sejumlah ekses yang kemungkinan dapat ditimbulkan. Jika tidak, proyek besar ini bisa kebablasan dan justru menambah sengkarut problem ketatanegaraan.

Dalam ketentuan hukum positif saat ini, beberapa perangkat regulasi pada dasarnya telah mengakomodir arah pembangunan dan haluan bernegara. Misalnya Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN, UU No 25 Tahun 2004) dan Rancana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP UU No 17 Tahun 2007). Bahkan secara lebih detail, arah pembangunan juga diderivasikan lagi melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang meliputi pembangunan nasional, bidang, dan wilayah.

Jika hendak memahami arah politik hukum pembangunan nasional pascatransisi politik, sebenarnya tidak terlihat garis demarkasi yang tajam antara politik pembangunan era orde baru dengan politik pembangunan saat ini. Melalui perangkat SPPN, RPJPN, dan RPJMN, pembangunan nasional juga dapat dialkukan secara terukur dan sistematis. Artinya, secara materiil hampir tidak ada pembedaan cara kerja pada model pembangunan bergaya GBHN dengan model SPPN dan RPJP. Setidaknya, titik pembedaan itu hanya pada aspek formalnya saja.

Jika arag pembangunan nasional di era orde baru diterapkan MPR, maka arah pembagunan nasional saat ini ditetapkan Presiden dan DPR melalui kerangka legislasi nasional. Pilihan politik hukum demikian tidak lahir tanpa basis rasionalitas politik yang kuat. Laiknya sebuah silogisme hukum, ada beberapa alasan mengapa GBHN tidak lagi relevan diterapkan pascatransisi politik.

Pertama, soal kesepakatan dasar perubahan UUD di era transisi. Saat itu, semua partai politik sepakat bahwa agenda perubahan UUD dilandaskan pada semangat memperkuat sistem presidensiil (Valina Singka:2008). Dengan mempertahankan model pembangunan melalui GBHN, sistem pemerintahan akan jauh berayun pada gaya parlementer. Seluruh pertanggungjawaban politik akan diserakan ke MPR. Tidak menutup kemungkinan MPR akan kembali menjadi pemegang kendali atas kuasa rakyat.

Kedua, masa jabatan presiden yang limitatif tidak akan kompatibel dengan model pembagunan GBHN. Sebagai sebuah produk politik, upaya perubahan terhadap materi muatan GBHN menjadi sangat mungkin terjadi. Perkembangan koalisi kepartaian sangat dinamis, menyebabkan GBHN menjadi sangat sulit diterima dan diterapkan pada pemerintahan berikutnya.

Ketiga, dengan menerapkan model pembangunan berbasis GBHN, ada berbagai macam implikasi yang ditimbulkan terhadap sistem hukum nasional. Mulai dari posisi tawar GBHN terhadap hierarki perundang-undnagan sampai dengan model pengujian norma hukum yang bisa saja bertentangan dengan GBHN. Membaca sejumlah tantangan di atas, maka keinginan melakukan amandemen terbatas bisa saja melebar menjadi isu yang tak terbatas.

Terlepas dari rentetan panjang yang mungkin biosa ditimbulkan, tidak kalah penting ialah mengawal bagaimana proses pembuatan itu akan dilakukan. Sebuah konstitusi yang demokratis tidak akan mungkin dihasilkan melalui proses politik yang kolutif. Seperti disematkan Bianc, bahwa proses itu akan menentukan hasil perubahan konstitusi. (Bonime Blanc: 1987). Perlu diingat setelah perubahan UUD, MPR merupakan lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD. Ia tak lagi sebatas lembaga yang menetapkan, tetapi juga menjadi bagian dalam proses perubahan UUD. Imbasnya peranan partai politik menjadi sangat dominan.

Dengan peta politik demikian, MPR bisa saja terdistorso dengan konflik kepentingan. Sebab, materi muatan amandemen justru menyangkut kepentingan kelembagaannya sendiri. Ada baiknya proyek besar untuk MPR itu perlu dipertimbangkan kembali. Biar bagaimanapun, konstitusi merupakan norma fundamental. Ia hidup dan berkembang dalam praktik berbangsa dan bernegara. Bukan komoditas kepentingan golongan yang bersifat sektoral.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Hampir dipastikan, periode kedua pemerintahan Joko Widodo akan ditopang dengan koalisi “gemuk” di parlemen. Mayoritas partai politik di DPR, akan bahu membahu mensukseskan beberapa program kebijakan yang sudah dicanangkan pada pemerintahan 2019-2024. Dengan koalisi mayoritas, relasi eksekutif dan legislatif diperkirakan akan jauh lebih stabil. Meskipun harus di akui, dukungan mayoritas partai di DPR sebenarnya juga dapat melahirkan ancaman. Bisa di bayangkan, jika mayoritas partai politik di DPR bersekutu dengan pemerintah, maka Presiden tidak hanya menjadi episentrum kekuasaan eksekutif, tetapi juga menjelma sebagai pengendali kekuatan partai-partai politik yang ada di parlemen. Aroma bagi-bagi kekuasaan sudah mulai tercium. Selain soal jatah kabinet, perebutan kursi pimpinan MPR juga menjadi bagian yang tak terpisahkan. Dengan koalisi mayoritas, MPR akan menjadi lembaga strategis dalam masa pemerintahan lima tahun ke depan. Jika koalisi pemerintah benar-benar solid, MPR bisa saja bereksperimen dengan kewenangannya mengubah dan menetapkan UUD.

Minoritas- Mayoritas

Jika hendak menarik isu perdebatan ini dalam ranah konseptual, relasi eksekutif -legislatif menjadi wilayah yang cukup menarik dalam sistem presidensil. Kenyataannya, sistem pemerintahan kita pasca transisi politik, cenderung bergerak secara dinamis. Setidaknya ada dua pola relasi eksekutif-legislatif yang selama ini menjadi basis konvensi kenegaraan dalam sistem multi partai.  Pola pertama, bangunan koalisi dengan corak minoritas. Dalam langgam ini, Presiden tidak mendapatkan dukungan dari sebagian besar partai politik yang ada di parlemen. Pembelahan pemerintahan (divided government) sangat dimungkinkan terjadi karena relasi eksekutif dan legislatif cenderung bersifat konfrontatif. Kondisi ini pernah dialami sendiri oleh Presiden Jokowi-JK di awal-awal masa pemerintahan 2014-2019. Dengan dukungan minoritas, Presiden kesulitan membangun program-program pemerintahan. Kondisi ini semakin diperparah dengan desain UUD pasca amandemen yang memberikan begitu banyak delegasi kewenagan kepada DPR berupa pertimbangan dan persetujuan. Pola kedua, bangunan koalisi dengan corak mayoritas. Pada langgam ini, mau tidak mau, Presiden merangkul mayoritas partai politik untuk bergabung pada koalisi pemerintahan. Sedikit beraroma parlementer, karena relasi eksekutif-legislatif melebur jadi satu. (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Cara ini dipercaya sebagai alternatif membangun stabilitas pemerintahan. Dengan dukungan mayoritas partai politik, kebijakan-kebijakan pemerintah relatif bisa berjalan mulus di parlemen. Termasuk di dalamnya soal keinginan untuk melakukan amandemen kelima UUD.

Tanpa Kontrol

Dengan bangunan koalisi mayoritas, pintu amandemen konstitusi menjadi sangat terbuka lebar. Siasat amandemen ini bisa dianalogikan seperti lempengan uang koin. Di satu sisi bisa memperkuat percepatan kebutuhan demokrasi, namun disisi lain, bisa menjadi jebakan otoritarianisme. Perlu diingat bahwa  proses perubahan UUD bisa berjalan tanpa kontrol. Jika melihat prosedur dan beberapa syarat formil perubahan UUD, kelembagaan MPR merupakan forum joint session anggota DPR dan anggota DPD. Secara kuorum DPD bisa saja tidak dapat menjadi penyeimbang kekuatan mayoritas partai politik yang ada di DPR. Mengingat berdasarkan jumlah, anggota DPR terdiri dari 575 orang dan anggota DPD hanya sejumlah 136 orang. Sementara Pasal 37 UUD mensyaratkan 1/3 jumlah anggota untuk usul perubahan, dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dan 50% plus satu untuk persetujuan perubahan. Dalam peta politik demikian, perubahan UUD sangat ditentukan pada kekuatan mayoritas partai politik pendukung pemrintah di DPR. Agenda amandemen ini tentu bisa menjadi bola liar, sebab materi perubahan  UUD cenderung bersifat sangat kompromistis. Sebut saja soal gagasan perubahan yang sudah semakin mengkristal pada penguatan kelembagaan MPR dalam menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Komisi Konstitusi

Dengan menyerahkan semata-mata pada kekuatan politik mayoritas, tentu akan menghasilkan kompromi politik yang sangat sektoral. MPR sebagai lembaga yang berwenang mengubah dan menetapkan UUD, sarat terjebak dengan konflik kepentingan. Apalagi jika materi perubahannya menyangkut soal penguatan kelembagaannya sendiri. Jika benar amandemen UUD akan digulirkan pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, ada baiknya memperhitungkan pembentukan Komisi Konstitusi. Badan khusus yang dibentuk secara independen dan bersifat non partisan untuk mengkaji materi perubahan UUD. Belajar dari Spanyol, Filipina dan Thailand, perubahan konstitusinya dilakukan melalui spesial konvensi dengan pembentukan komisi khusus. Langkah ini dibangun agar usulan dan hasil perubahan konstitusi tidak bias dari kekuatan politik pemerintah a quo. (David G. Timbermand,ISEAS:1999). Pentingnya membentuk komisi konstitusi dalam perubahan UUD, pada dasaranya dipengaruhi oleh alasan paradigmatik.  Partai politik berdiri pada basis untuk merebut dan mempertahankan kekuasaaan, sementara konstitusi berpijak pada basis pembatasan kekuasaan. Memberikan peran mayoritas kepada partai politik terhadap perubahan UUD, sama artinya memberikan kesempatan partai politik untuk merebut atau mempertahankan kekuasaannya.  Itu sebabnya agenda perubahan UUD perlu dikaji dengan basis rasionalitas yuridis, sosiologis dan filosofis. Bahwa perubahan itu memang benar-benar dibutuhkan guna membangun percepatan demokratisasi. Jika tidak, gagasan amandemen ini bisa membawa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf pada jebakan otoritarianisme.

This article have been pubslished in rubric Pendapat of KORAN TEMPO, 13 August 2019.

(Bantul-Friday 21/05/2017) Intellectual Property Rights Center Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia (IPR Center FH UII) in collaboration with the Central of Business Services and Intellectual Property Management Department of Industry and Trade DIY held a meeting with the Micro, Small and Medium Enterprises Group (UMKM) ) Emping Melinjo maker in Kepuh, Wirokerten Kec. Banguntapan, Bantul Regency, Special Region of Yogyakarta at 15.30 WIB – Done. The meeting agenda with the theme of Socialization regarding Collective Mark Registration which was filled by the speaker, Dr. Budi Agus Riswandi SH, M. Hum expert on Intellectual Property Rights Faculty of Law, Islamic University of Indonesia.

As is known, the Kepuh area, Wirokerten is very well known as the Central of craftsmen or Emping Melinjo makers in Bantul Regency. The group of Micro, Small and Medium Enterprises (UMKM) that produces emping melinjo was established in 2012, but this business group does not yet have a Collective Mark and the business actors in that group still compete with one another and have their own trademarks. There are even emping mlinjo makers who do not yet have a brand for Emping Mlinjo.

In the socialization, Dr. Budi Agus Riswandi SH M.Hum gave direction and socialization regarding the importance of collective trademark registration for micro, small and medium enterprises (UMKM) the process of collective trademark registration, the objectives and benefits of collective trademark registration. In his presentation, Budi also emphasized that the brand is a tool to differentiate one product from another, as well as a means to avoid unfair business competition.

In addition, the brand can also be used as a tool for promotion and to determine product quality. In other, the briefing regarding collective mark Budi also provides for the possibility of registering other types of Intellectual Property Rights (IPR), including registration of industrial designs on product packaging, registration of inventions in the form of processes or methods of making chips using patents and so on.

On that occasion, Ahmadi as the leader of the group of entrepreneurs making emping melinjo asked several questions to the speakers regarding the registration of collective marks and hoped that the registration of collective marks could be implemented immediately in order to protect the collective mark for business actors and increase the selling price of emping melinjo. Because according to his narrative, in running a business, business actors are still competing and product management and testing have not been carried out properly and systematically.

At the moment, collective trademark registration has become a facilitation program from the Regional Government (PEMDA) in Special Region of Yogyakarta (DIY) through the Department of Industry and Trade (Disperindag) with the technical unit of the Center for Business Services and Intellectual Property Management. This program is expected to protect UMKM products collectively and foster product competitiveness collectively, Budi concluded in his presentation on the socialization of collective trademark registration (Renggi).

Kotabaru (21/02/2017) The development trade practices at this time has indeed entered the climate of increasingly fierce business competition, this condition creates the hardness of the tangent point competition in business so that it requires producers to always protect their business from unfair trading in practices and fraudulent behavior of other manufacturers. For this reason, one way to obtain protection for the typical product of a region is to register a Geographical Indication (GI) which is submitted to the Director General of Intellectual Property Rights so that it is recorded and given a certificate as proof of its rights.

 

1st ilustration. Geographical Indication Area of Coconut Sugar in Kulonprogo

As a typical product of a region, coconut sugar which consists of ant sugar and palm sugar has a very high selling potential. it is noted that this product has been exported to America, Canada and Europe, so it is fitting for this coconut sugar product made from coconut sap get legal protection. On this basis, MPIG Coconut Sugar Kulon Progo Jogja asked the IPR Center FH UII to accompaniment and assist in the registration process for IG Coconut Sugar in the Kulon Progo area, which is a typical product of the Kulon Progo region with very good quality.

According to the Regent of Kulon Progo, Dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG, efforts to register geographical indicators of Kulon Progo coconut sugar are based on the awareness that Kulon Progo Coconut Sugar products have advantages and characteristics compared to other similar sugar products. Furthermore, he also hopes that by registering the geographical indication of Kulon Progo Coconut Sugar, Kulon Progo’s superior products can be legally protected and highly competitive.

On another occasion, the Director of the FH UII HKI Center Budi Agus Riswandi said that the FH UII HKI Center was committed to assisting and accompaniment the community and the government in protecting existing superior products through assistance in the registration of geographical indications. He also stated that the IPR FH UII Center is an institution that is quite experienced in assisting in the registration of geographical indications.

2nd illustration. IG Logo of Coconut Sugar in Kulonprogo

In 2015 Coconut Sugar Kulon Progo has succeeded in obtaining a certificate of protection of geographical indications from the Directorate General of Intelectual Property, Ministry of Law and Human Rights. This is one of the proofs that the IPR Center of the Faculty of Law UII has succeeded in providing assistance in terms of protecting geographical indications. (Dio)