Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara.

Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (SIGAB) melakukan monitoring pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.

Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan  DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Tidak dipenuhinya template braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan warga difabel.

 

Pemilu Saat ini

Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat (2) berbunyi, “Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.

Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan pendekatan human rights yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang  Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun  ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel. Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi semua orang, salah satunya bagi warga difabel.

 

Mengenali Hambatan

Memenuhi hak pilih difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi.

 

 

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Debat Perdana Capres-Cawapres 2019 yang diselenggarakan KPU telah dilaksanakan. Hiruk pikuknya masih terasa sampai saat ini. Salah satu materi hak asasi manusia yang dibahas adalah terkait dengan difabel. Capres-Cawapres Urut 1 (satu) menjelaskan bahwa sejak disahkannya Undang-Undang No.8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, pendekatan dalam melihat difabel sudah berbeda, dari yang awalnya charity (belas kasih) ke arah hak asasi manusia, adanya penyamaan bonus bagi atlet difabel dan non difabel dalam event Asian Para Games 2018, dan masih adanya problem penghormatan sosial kepada difabel. Sedangkan Capres Cawapres Urut 2 (dua) lebih mencontohkan figur Zulfan Dewantara, sosok difabel yang dinilai sukses menciptakan lapangan kerja dan menjadi mentor bisnis online.

Tempo debat yang singkat, dan tidak diprioritaskannya isu difabel bagi para kandidat, berdampak pada bahasan difabel yang hanya berkutat di area yang permukaan. Tidak ada ulasan yang utuh dalam melihat persoalan struktural dan kultural difabel dan bagaimana strategi dan program para kandidat untuk membenahi problem yang akut. Karena itu, debat perdana Capres-Cawapres hanya menyampaikan sedikit pesan yang sangat permukaan, di tengah gundukan dan lapis problem yang menimpa kaum difabel di negara ini.

Problem Struktural dan Kultural

Di dunia nyata, kita sangat mudah menemukan bagaimana peminggiran kaum difabel yang terjadi cukup sistemik. Di level struktural, kita masih menemukan peraturan, kebijakan dan aktor pemangku kebijakan yang secara langsung dan tidak langsung diskriminatif kepada difabel. Diantaranya terkait regulasi persyaratan jasmani dan rohani dalam rekruetmen tenaga kerja yang mengakibatkan banyak difabel tidak lolos tes administratif kesehatan; Pasal 433 buku 1 KUH Perdata yang menempatkan sebagian difabel sebagai orang yang tidak cakap hukum, tetapi dalam prakteknya hampir semua difabel dianggap tidak cakap hukum dalam membuat perjanjian hubungan keperdataan, serta aturan hukum KUHAP yang digunakan para penegak hukum sudah tidak cukup dijadikan dasar bagaimana difabel yang berhadapan dengan hukum semestinya diproses dan diadili secara fair.

Problem yang tidak kalah penting adalah aktor struktural pemerintahan yang umumnya masih belum bisa berinteraksi dan melayani difabel dengan selayaknya. Akibatnya, banyak program dan kebijakan yang dikeluarkan pemangku kebijakan tidak tepat dan secara langsung terkatagori diskriminatif. Salah satu program yang tergambar ialah terkait dengan pembangunan sarana prasarana publik yang setiap tahun pasti diadakan, baik pembangunan kantor pemerintahan atau pun fasilitas jalan publik. Setiap sarana prasarana yang dibangun umumnya tidak aksesibel sebab partisipasi difabel dalam pengambilan dan pelaksanaan program sangat lemah, dan pada sisi yang lain tidak banyak pemangku kebijakan yang memahami hambatan-hambatan dasar difabel.

Sektor problem yang tidak kalah akut terjadi di level kultural, di mana kita masih menemukan praktek penghinaan kepada kelompok difabel dengan sebutan kecacatan; pelecehan berupa kekerasan, pemerkosan, dan tindak asusila yang proses hukumnya belum adil; pengabaian terhadap penyelesaian kasus hukum karena kesaksian difabel berhadapan dengan hukum yang dianggap lemah, sampai dengan kekerasan berupa pemasungan yang umumnya menimpa difabel skizofrenia.

Secara umum bisa kita katakan bahwa pelanggaran hak difabel terhimpit dari problem struktural berupa hilangnya pemahaman dan kesadaran dasar pemangku kebijakan bagaimana negara seharusnya memenuhi hak-hak kaum difabel, dan pada sisi yang lain difabel termarginalkan dalam lingkungan sosial terus menerus terjadi.

Pasca Debat

Setelah perhelatan debat pertama yang menegangkan itu, hal penting yang perlu ditagih kepada para Capres dan Cawapres adalah harapan untuk menarasikan lebih detail hambatan-hambatan utama difabel di semua sektor hak dan kemudian menjelaskan terobosan produktif program-program yang harapannya dapat menyelesaikan problem existing yang menimpa kaum difabel saat ini.

Untuk menarasikan hambatan-hambatan utama yang terjadi, penting rasanya para kandidat Capres-Cawapres 2019 untuk mendengar, menjaring aspirasi komunitas, dan melibatkan aktivis difabel untuk mendiskusikan problem utama difabel dengan lebih serius. Pelibatan penuh aktivis difabel sangat penting agar para kandidat tidak kehilangan basis sosial dan menjadikan isu ini hanya sebagai pemanis di saat musim kampanye.

This article have been published in Kedaulatan Rakyat newspaper,  1 February 2019.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

KABAR mengejutkan datang dari lstana Negara. Melalui kuasa hukum ilm pemenangan JKW-MA’ Yusril lhza Mahendra menyatakan bahwa Presiden telah menyetu.iui pembebasan Abu Bakar Baasyir Pada tahun 2011 lalu, Puhrsan Pengadilan Negeri Jakarta Selalan menjatuhkan vonis bagi Baasyir selama 15 tahun penjara. Pria sepuh ini dinyatakan terbukti merencanakan dan menggalang dana untuk pelatihan kelompok teroris di Provinsi Aceh. Melalui Yusril dikabarkan, pembebasan Baasyir dilandaskan atas pertimbangan kemanusiaan. Alasan usia yang sudah cukup tua di tambah dengan riwayat medis, akan menjadi dasar utama bagi Presiden Jokowi untuk mengambil dan menetapkan kebijakan. Bahkan tak tanggung-tanggung, menurut Yusril pembebasan Baasyir akan direalisasikan dalam beberapa pekan ke depan tanpa embal-embel syarat. Kehendak politik ini kemudian berubah menjadi eJek bola salju snowbaball effect. Bagi kubu lawdn, langkah petaliana disinyalir erat hubungannya dengan kepentingan politik. Apalagi ada anash yang berkembang bahwa, petahana mulai menyisir dan merangkul simpatisandari kelompok puritan. Untuk mengakhiri petdebatan itu, sekiranya cukup penting untuk mendudukkan persoalan guna memahami kuasa Presiden dalam mengambil kebijakan terhadap seorarE narapidana.

Dalam wilayah peraturan perundang-undangan, pada dasarnya tidak dikenal istilah ‘pembebasan tanpa syarat’ bagi seorang narapidana. Dalam hukum positif di lndonesia, UU Pemasyarakatan hanya mengenal istilah’pembebasan bersyarat’. Pembebasan ini dilakukan manakala seorang ‘pesakitan’ telah menjalani masa pidana paling singkat 2/3 (dua per tiga) masa hukuman.
Dengan ketentuan2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling sedikit I (sembilan) bulan.

Melihat ketentuan norma tersebut, tanpa kebijakan Presiden, secara matematis Baasyir dengan sendirinya telah memenuhi kriteria untuk bebas bersyarat sejak Desember 2018. Opsi ini bisa dipenuhi manakala Baasyir menyanggupi untuk menyatakan ikrar secara tertulis untuk setja pada NKRI dan berjanji tidak akan melakukan tildak pidana terorisme. Menjadi pertanyaan kemudian ialah, apakah Presiden mempunyai kewenangan mutlak untuk membebaskan Baasyir tanpa syarat? Jawabannya tentu tidak!!

Dalam konteks pembebasan Baasyir, UUD telah melimiiasi ruang gerak Presiden hanya dalam dua bentuk opsi. Pertama melalui grasi yang diberikan berupa perubahan nganan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kedua, melalui amnesti yang diberikan berupa pengampunan hukuman yang diberikan Presiden kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu. (Francesca Lessa, &LeighA. Payne, Annesly in tle Age of Human Rights Ac:countability: Compantive and lnternational Pespectives: Cambridge,2012)

Pada opsi pertarna, grasi dapat diberikan ketika Baasyir atau melalui kuasa hukumnya secara khusus mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada Presiden. Permohonan kemudian akan diperlimbangkan Presiden setelah berkonsultasi dengan Mahkamah Agung. Pada opsi kedua sedikit berbeda. Baasyir dan kuasa hukumnya tjdak pedu melakukan permohonan kepada Presiden. Amnesti bisa diberikan atas pertimbangan Presiden setelah teriebih dahulu berkonsultasi dengan Oewan PeMakihn Rakyat.

Namun patut diingat, opsi ini cenderung jauh lebih beral. Minimnya regulasi dalam menakar kriteria pemberian amnesti menjadi tantar€an terbesar dalam opsi ini. Apalagi, preseden mencatat bahwa pemberian amnesti hanya pernah dilakukan pada pelaku kejahatan politik ketika negara berada pada fase transisi.

Terlepas dari beberapa bentangan empirik di atas, perlu dipahami bahwa masing-maisng opsi tersebut tidak mendudukan Presiden sebagai otoritas tunggal dalam pelaksanaan kebijakan.

Kita semua tahu, pasca reformasi Presiden tidak lagi diberikan ruang yang cukup longgardalam pemberian grasi dan amnesti. Masing-masing opsi tersebut diatur dengan prinsip pembahsan kekuasaan yang cukup ketat. Presiden wajib berkonsultasi dan mendengarkan pertimbangan MA maupun DPR dalam melaksanakan perannya sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Soal pilihan kebijakan apa yang hendak ditempuh, itu menjadi wilayah kekuasaan presiden.

Tetapi paling tidak, Presiden perlu cermat dalam memilah opsi-opsi yang tersedia. Di satu sisi Presiden dihadapkan pada soal kemanusiaan. Namun disis lain dituntut untuk memiliki komitmen yang kual dalam pencegahan dan penanggulangan terorisme.

 

This article have been published in Analisis KR of Kedaulatan Rakyat, 23 January 2019.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Di awal tahun, tidak ada salahnya kita mengingat kasus pelanggaran HAM tahun lalu. Setidaknya kasus-kasus yang ada akan memperingatkan pemangku kebijakan agar tidak mengulangi kesalahan di tahun ini. Di hari HAM 2018, Kontras merilis peristiwa pelanggaran HAM yang cukup mengagetkan. Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam (umum) mencapai 194 kasus, okupasi lahan mencapai 65 kasus, kriminalisasi 29 kasus, penembakan atas nama terorisme 15 kasus, penangkapan atas nama terorisme 99 kasus, vonis hukuman mati 21 kasus, penyiksaan (umum) 73 kasus, extrajudicial killing 182 kasus, pelanggaran aksi 32 kasus, pembubaran paksa 75 kasus, pelanggaran di sektor kebebasan beragama dan berkeyakinan 78 kasus, pelarangan aktifitas 28 kasus, intimidasi minoritas 19 kasus, dan persekusi 35 kasus.

Data pemantauan yang dihimpun Kontras memperlihatkan betapa pelanggaran HAM tahun 2018 terbilang sangat besar dan didominasi konflik sumber daya alam dan exstra judicial killing. Pertanyaannya, mengapa peristiwa pelanggaran HAM tersebut masih terjadi? Apakah di Indonesia sedang devisit norma terkait dengan HAM, atau yang bermasalah ialah hilangnya tanggungjawab negara terhadap semangat perlindungan, penghormatan dan pemenuhan HAM?

Terkait dengan norma hukum yang menjamin HAM, pasca jatuhnya rezim Orde Baru norma-norma hukum HAM telah banyak yang disahkan. Kovenan dan sebagian besar konvensi internasional telah diratifikasi lewat perundang-undangan. Norma hukum HAM yang dibuat pemerintah sendiri juga banyak yang telah disahkan. Bahkan UUD 1945 telah menjamin penghormatan dan perlindungan HAM dalam bab yang tersendiri. Walau pun ada beberapa catatan terhadap pengaturan norma hukum HAM, negara Indonesia terbilang cukup maju dalam memproduksi aturan yang menjamin hak asasi manusia.

Letak persoalan suburnya kasus pelanggaran HAM tahun lalu lebih tepat akibat dari lemahnya semangat penyelenggara negara, utamanya ‘aparat keamanan’ dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip HAM dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya. Seperti kasus kriminalisasi dan okupasi lahan dalam kasus konflik sumber daya alam yang memperlihatkan betapa pemerintah dan aparat keamanan tidak cukup jelas bagaimana prinsip dan standar HAM mesti diutamakan dalam menyelesaikan persoalan. Penembakan, penangkapan, penyiksaan dan extrajudicial killing memperlihatkan betapa aparat kemanan masih mengutamakan pendekatan ‘represif’ dibanding dengan cara persuasi dan penegakan hukum yang fair. Sedangkan kasus intimidasi monoritas, persekusi dan pelarangan aktivitas ibadah memperlihatkan betapa aparat keamanan dan pemerintah cenderung abai dalam menjamin hak atas rasa aman setiap warga negara yang ada di negara bangsa ini.

Iluastrasi Beberapa Kasus

Konfllik sumber daya alam tahun lalu dan beberapa masih berlangsung saat ini antara lain terjadi di Tumpang Pitu, kasus Tambang Emas di Simpang Tonang, Pembangunan Waduk Sepat, Pembangunan Panas Bumi di Gunung Talang, konflik Serat Rayon di Sukoharjo dan konflik pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indramayu. Dari konflik yang terjadi, setidaknya 29 kasus yang di proses di pengadilan dan ironisnya aktivis lingkungan yang sebagian besar warga pemilik lahan ditetapkan sebagai pelaku kriminal. Bahkan, kriminalisasi tidak hanya menimpa aktivis lingkungan dan warga, tetapi menimpa para ahli yang berpendapat sesuai dengan kepakaran ilmunya. Ahli yang terancam hukum ialah Guru Besar Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Suharjo yang digugat atas atas kasus kebakaran hutan dan lahan di area PT JJP. Kasus serupa menimpa Basuki Basis, seorang ahli lingkungan hidup IPB yang digugat karena kesaksiannya dalam kasus yang ditangani KPK terkait kerusakan lingkungan karena pemberian idzin salah satu usaha pertambangan.

Kasus pelanggaran HAM di sektor sumber daya alam lain terjadi Yogyakarta, yakni okupasi tanah dengan dasar kepentingan umum dalam pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Demi memperlancar pembangunan bandara, pihak pengembang dan pemerintah melakukan penggusuran paksa dan mengabaikan standar pembangunan yang berbasis HAM. Pengosongan lahan warga dilakukan dengan cara-cara paksa dan tidak menghormati warga yang telah lama tinggal di lokasi. Komnas HAM menyebut pengosongan lahan warga tidak didasarkan pada semangat kemanusiaan dan melanggar terhadap norma-norma HAM yang telah menjadi hukum di Indonesia. Kasus yang okupasi lahan yang serupa juga terjadi di Desa Sidodadi Serdang dan Kota Binjai, di mana lahannya dialihfungsikan menjadi perkebunan tebu yang selanjutnya akan diolah perusahaan.

Di sektor hak sipil politik, kasus extrajudicial killing dengan cara tembak tempat ternyata massif terjadi. Kontras menemukan setidaknya terdapat 236 orang meninggal. Kasus ini ditengarai akibat pernyataan Kapolri yang memerintahkan kepada jajarannya agar bertindak tegas dan melakukan tembak mati kepada jambret, begal dan pengedar narkoba. Di lapangan, pernyataan Kapolri ternyata salah diterjemahkan dan berakibat banyaknya kasus pembunuhan di luar hukum. Banyak orang terbunuh tanpa proses hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

Butuh Kemauan Pemegang Kekuasaan

Kasus pelanggaran HAM yang menjadi catatan menahun dan belum ada progresifitasnya sampai awal tahun ini adalah terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Pemerintah lewat Menko Polhukum Wiranto pernah berinisiatif membentuk Tim Gabungan Terpadu dan mengadakan pertemuan dengan keluarga korban pada 31 Mei 2018 di Istana Negara. Namun demikian, dalam pertemuan tersebut terkonfirmasi ketidakmauan pemerintah untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu lewat jalur pengadilan dan muncul rencana yang semata non hukum, yaitu penyelesaian lewat rekonsililasi. Dalam perjalanannya, inisiatif ini tidak mengalami perkembangan dan tidak ada kemauan yang kuat untuk menyelesaikan kasus dan memulihkan hak-hak korban dan keluarganya.

Kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan beberapa kasus pelanggaran HAM lain berkelindan dengan besarnya informasi hoax dan berita-berita buruk yang secara langsung dan tidak langsung memperkuat stigma, persekusi, ujaran kebencian dan dorongan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang minoritas. Kriminalisasi atas nama pencemaran nama baik seperti yang diatur dalam KUHP dan pelanggaran terhadap Undang-Undang ITE juga semakin tidak terkendali arah penegakannya.

Di awal tahun ini, problem perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia masih menjadi persoalan serius di negara ini. Butuh politicall will pemegang kekuasaan untuk memperbaiki keadaan dan menjadikan standar HAM sebagai basis setiap kebijakan dan implementasi program pembangunan. Termasuk kemauan pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran berat HAM masa. Tanpa itu, pemerintah pusat atau pun daerah akan selalu tercatat sebagai pelanggar HAM dari ke tahun.

This article have been published in SINDO newspaper, 10 January 2019.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Komisi Pemilihan Umum (KPU) hampir pasti menolak keberatan salah satu partai dan beberapa orang yang mempertanyakan atas masuknya orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dalam daftar pemilih tetap (DPT). KPU menyatakan memiliki landasan yang kuat untuk memasukkan ODGJ dalam daftar pemilih. Namun, ada persyaratan tambahan yang harus dilengkapi ODGJ ketika mau memilih, yaitu harus memiliki surat keterangan sehat dari dokter.

Respon penulis terhadap KPU ada dua, pertama, apresiasi karena lembaga ini telah menghormati hak politik dan kewarganegaraan ODGJ, yang di dalam UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah dimasukkan sebagai bagian dari difabel mental. Kedua, persyaratan surat sehat dari dokter sebagai bagian pemenuhan hak pilih difabel mental perlu didiskusikan lebih jauh. Persyaratan sehat jasmani dan rohani bagi difabel sudah lama menjadi momok menakutkan, dalam praktek persyaratan ini berdampak pada diskriminasi dan penghilangan hak-hak difabel.

Terkait dengan hak pilih difabel –dalam hal ini salah satunya ODGJ– secara spesifik hak ini telah dijamin dalam Undang-Undang yang secara spesifik mengatur hak-hak difabel. Dalam Pasal 13 UU No. 8 Tahun 2016 dinyatakan bahwa hak politik bagi difabel diantaranya adalah hak memilih dan dipilih dalam jabatan; memilih partai politk dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum; berperan serta aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya; memperoleh akesibilitas sarana prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan memperoleh pendidikan politik.

Begitu pentingnya hak politik bagi difabel, maka Pasal 75 ayat (1) dan (2) Undang-Undang ini memandatkan kewajiban kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin agar difabel dapat berpatitisipasi secara efektif dan penuh dalam kehidupan politik, dan menjamin hak dan kesempatan difabel untuk memilih dan dipilih. Pemerintah pusat dan daerah yang dalam hal ini tanggungjawabnya dijalankan oleh KPU dan KPUD agar memperhatikan keragaman disabilitas dan memastikan prosedur, fasilitas dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, mudah dipahami dan dapat digunakan oleh difabel.

Norma hukum yang secara khusus juga menjamin hak pilih difabel adalah UU No. 19 Tahun 2011 tentang 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas. Pasal 29 Konvensi ini menegaskan bahwa negara harus menjamin hak politik difabel dan memastikan difabel menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesetaraan dengan orang-orang lain. Karena itu negara wajib menjamin prosedur, fasilitas, dan materi yang memadai, dapat diakses, mudah dipahami dan digunakan. Termasuk adalah jaminan untuk untuk memilih secara rahasia.

Pernah Menjadi Polemik

Hak pilih ODGJ pernah ditiadakan secara hukum pada tahun 2015. Peniadaan secara struktural ini kemudian dikasuskan di Mahkamah Konstitusi. Pada waktu itu, Perhimpunan Jiwa Sehat yang dipimpin Jenny Rosanna Damayanti, Pusat Pemilihan Umum Akses Penyandang Cacat (PPUA PENCA) yang dipimpin Arini, dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM) yang dipimpin Titi Anggraini melakukan judicial review pasal 57 ayat (3) huruf a UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pasal 57 ayat (3) huruf a menyatakan bahwa salah satu persyaratan warga negara Indonesia yang bisa didaftar sebagai pemilih adalah orang yang sedang “tidak terganggu jiwa/ingatannya”. Ketentuan ini oleh para pemohon dinilai berpotensi menghilangkan hak seorang warga negara untuk terdaftar sebagai pemlih dan memberikan suaranya dalam penyelenggaraan pemilihan. Pasal ini dinilai merugikan hak konstitusional yang telah dijamin pada Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Setelah dilakukan pemeriksaan permohonan dan alat bukti diantaranya mendengarkan keterangan saksi, mendengarkan keterangan ahli dan keterangan para pihak, Mahkamah Konstitusi lewat Putusan Nomor 135/PUU-XIII/2015 menyatakan mengabulkan permohonan untuk sebagian. Pasal 57 ayat (3) huruf a dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang frasa “terganggu jiwa/ingatannya” tidak dimaknai sebagai “mengalami gangguan jiwa dan/atau gangguan ingatan permanen yang menurut bidang kesehatan jiwa telah menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum”

Membaca Putusan Mahkamah Konstitusi yang kita kenal sebagai pelindung konstitusi (the guardian of constitution), pengawal dan pelindung hak-hak konstitusional warga negara maka kita akan mengerti bahwa ODGJ tidak bisa digeneralisasi dan tidak semua ODGJ tidak memiliki hak pilih. Keputusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pada prinsipnya ODGJ memiliki hak pilih sepanjang ‘gangguan jiwa atau ingatan’ tidak permanen. Keputusan Mahkamah Konsitusi ini didasarkan pada pendapat professional di bidang kesehatan bahwa hilangnya ingatan atau gangguan jiwa yang permanen bisa dimaknai juga menghilangkan kemampuan seseorang untuk memilih dalam pemilihan umum.

Merujuk pada putusan Mahkamah Konsitutusi, maka sudah selayaknya KPU-KPUD memikirkan bagaimana cara mengidentifikasi permanen atau tidaknya seorang ODGJ dan bagaimana cara yang tepat memfasilitasi hak pilih difabel ODGJ. Terkait hal ini, sudah selayaknya KPU-KPUD mengajak diskusi aktifis dan pendamping difabel mental yang ada di Indonesia. Tujuan besarnya adalah menampung bagaimana cara mengenali difabel mental yang ternyata tidak tunggal, belajar bagaimana cara yang tepat untuk berinteraksi, dan terpenting menelaah bagaimana model fasilitasi yang harus dipersiapkan oleh para petugas pemilihan umum. Hal ini penting agar tidak terjadi diskriminasi berulang-ulang kepada difabel mental yang diberikan hak pilihnya.

Pada sisi yang lain, analisis normatif hak pilih difabel dan tinjauan putusan Mahkamah Konstitusi di atas memberikan pesan agar tidak ada lagi pihak yang mempertanyakan hak pilih difabel ODGJ. Sama dengan manusia pada umumnya, ODGJ juga memiliki hak pilih. Lebih jauh, hak ini merupakan sarana bagi komunitas difabel mental untuk memperbaiki nasib mereka dengan memilih pemimpin yang memikirkan hak-hak mereka yang tercerabut. Selama ini, keberadaan mereka disingkirkan dalam pikiran dan wacana publik, dan tidak pernah diperhatikan dengan serius oleh pemangku kebijakan, sehingga banyak di antara mereka harus menjadi korban kekerasan di jalanan, diperkosa oleh orang-orang tidak bertanggungjawab, dan dipermainkan dalam dalam beberapa momen kekerasan. Pertanyaannya, betulkah hak pilih akan menjawab problem dan hak-hak kaum ODGJ? Belum tentu. Tapi hak ini adalah sarana awal pengakuan eksistensi kaum paling marginal di negeri ini.

This article have been published in SINDO newspaper.

DOSEN FH UII: HKI PERLU UNTUK JAMINAN KEBERLANGSUNGAN BISNIS UKM

Dosen Fakultas Hukum UII Abdurrahman menjelaskan bahwa sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat diperlukan oleh para pelaku usaha kecil menengah (UKM).

Menurutnya, HKI dalam bentuk hak cipta, hak desain, hingga hak merek menjadi jaminan bagi pelaku usaha agar bisnisnya berjalan secara berkesinambungan.

“Jadi tidak hanya dari aspek legalitas secara hukum, tetapi juga ada nilai ekonomi,” ujar Abdurrahman via telepon, Minggu (14/10/2018).

Abdurrahman menegaskan para pelaku UKM harus sadar betapa ide dan kreasinya memiliki nilai yang sangat penting secara ekonomi, termasuk hak moralnya sebagai warga negara.

Ia mencontohkan bisnis dalam bentuk waralaba, di mana pemiliknya sudah memiliki sertifikat HKI hingga hak paten secara lengkap.

“Mereka bisa mengembangkan bisnis secara masif dan mendulang pendapatan tinggi, karena mereka sudah memiliki pegangan secara hukum,” jelas peneliti Pusat Studi HKI UII ini.

Abdurrahman juga mengapresiasi pemerintah pusat, sebab sudah melakukan banyak perubahan pada UU tentang HKI. Perubahan tersebut menurutnya sudah sesuai dan memadai dengan kemajuan jaman.

Oleh karena itu, ia menghimbau pada pelaku usaha agar membekali diri tentang dasar HKI hingga prosedur pengurusannya sesuai UU yang berlaku.

“Setidaknya mereka harus memprioritaskan hak cipta, hak desain, hingga hak merek produknya,” kata Abdurrahman. (tribunjogja)

Narasi “Empat Tahun Jokowi-JK” tentu menjadi sebuah refleksi tahunan dalam mengevaluasi kinerja pemerintahan saat ini. Metode analisa yang dibangun juga cukup beragam. Bisa dipotret dari sudut pandang kebijakan ekonomi, hubungan luar negeri, sampai dengan hukum dan politik. Jika hendak dipotret dari kebijakan pembangunan infrastruktur, empat tahun Jokowi-JK cenderung memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat.

Anasir itu bisa dilihat dari pembangunan jalan dan jembatan, pelabuhan, bandar udara, sampai dengan infrastruktur pendukung ketahanan pangan. Namun jika dipotret dari kebijakan hukum dan politik, pembangunan hukum melalui fungsi legislasi cenderung “mangkrak”, dalam artian jalannya lambat dan kian menumpuk.  Data menunjukan, prolegnas prioritas di tahun 2018 masih menyisahkan sekitar 50 RUU. Ironisnya dari 50 RUU prioritas di tahun 2018, sebagian besar berasal dari prolegnas di tahun sebelumnya. Beberapa di antaranya, RUU Jabatan Hakim, RUU Hukum Pidana, RUU Perubahan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan RUU  Perubahan  Tentang Mahkamah Konstitusi. (Prolegnas Prioritas Tahun 2018).

Angka rata-rata pertahun terhadap fungsi legislasi pemerintah, cukup kecil. Tahun 2015 misalnya, dari 40 RUU Prolegnas hanya bisa menghasilkan 3 RUU menjadi UU Tahun 2016 dan 2017, dari 51 RUU Prolegnas, hanya 7 yang dihasilkan menjadi UU.(Laporan Kinerja DPR Tahun Sidang 2016-2017). Denyut legislasi ini tentu tidak dapat diberikan “tepukan hangat”. Beban tanggung jawab atas problem ini tidak hanya melekat pada DPR, melainkan juga pemerintah. Sebab, UUD memberikan porsi fifty-fifty formula (50:50) antara DPR dan Presiden dalam melaksanakan fungsi legislasi.

Corak Legislasi

Menumpuknya beberapa program legislasi di atas, sebenarnya tidak hanya dialami oleh pemerintahan Jokowi-JK di akhir masa pemerintahannya. Problem di atas lazim dijumpai oleh beberapa rezim pendahulunya. Lima tahun pertama pemerintahan SBY hampir memperlihatkan gejala yang sama.  Hal ini disebabkan oleh corak legislasi dalam UUD yang mengawinkan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam fungsi legislasi. Pasal 20 ayat (2) UUDN RI Tahun 1945 menegaskan bahwa “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”. Corak ini membuka peran Presiden dalam legislasi bergaya parlementer. Dalam langgam presidensil, presiden seharusnya hanya diberikan porsi untuk mengusulkan RUU. Namun UUD tidak hanya meletakkan Presiden sebagai pengusul, tetapi turut serta membahas dan menyetujui RUU secara bersama-sama (mutual consensus) dengan DPR. Konstruksi demikian membuat Presiden turut andil dalam mengawal denyut legislasi. Model gabungan ini membuat proses legislasi menjadi sangat alot, akibat posisi presiden dan DPR dalam bentuk yang bersifat simetris dan sama kuat. Tidak hanya itu, pilihan sistem multi partai, yang mengharuskan pemerintah membangun koalisi dengan beberapa partai politik untuk mendapatkan basis legitimasi yang kuat guna melaksanakan fungsi pemerintahan. Dalam risetnya Scoot Mainwaring menyebutkan praktik presidensil yang bersekutu dengan multipartai cenderung menunjukkan hubungan pemerintahan yang tidak stabil antara parlemen dan presiden. (Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination:1993). Model ini sekiranya menempatkan posisi pemerintah jauh lebih dilematis. Tidak heran jika pemerintahan Jokowi-JK di tahun pertama dan kedua cenderung mencari basis kompromi yang kuat terlebih dahulu, dibanding fokus melaksanakan perannya dalam fungsi legislasi. Beberapa faktor lain yang juga menyebabkan kinerja legislasi menumpuk antara lain intensitas studi banding, masa reses, sampai dengan manuver politik yang kerap dilakukan melalui hak angket, interpelasi, sampai dengan hak menyatakan pendapat.

Menjaga Denyut Legislasi

Dalam sisa waktu kurang dari satu tahun masa pemerintahan, Jokowi-JK mempunyai beban legislasi yang cukup berat. Sisa waktu yang kian menyempit ini membuat Presiden tersandera dengan agenda legislasi. Di satu sisi Jokowi dan partai koalisi harus bahu membahu untuk kembali meraup suara pemilih, namun disisi yang lain dituntut mampu menyelesaikan beban prolegnas yang kian menumpuk. Waktu yang tersisa harus benar-benar dimanfaatkan pemerintahan Jokowi-JK guna memulihkan denyut legislasi. Menguatkan fungsi koordinasi pada jajaran menteri dan DPR menjadi agenda yang tak bisa ditawar Jokowi-JK guna menyelsaikan prolegnas prioritas. Pertanyaan yang kemudian muncul mampukah rezim Jokowi-JK menyelesaikan itu ?? Kini komitmen pemerintah kembali di uji dengan semboyan “kerja, kerja, kerja”…!!

 Idul Rishan, S.H.,LL.M.

Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY

Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia

 

Telah diterbitkan oleh Koran Kedaulatan Rakyat, 1 November 2018

PERATURAN DAERAH DISABILITAS PERLU DIAMANDEMEN

Enam tahun yang lalu, Pemerintah Provinsi Yogyakarta mengesahkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan ini cukup menggembirakan karena melibatkan beberapa organisasi difabel yang ada di Yogyakarta. Tokoh-tokoh difabel memberikan masukan dan menyusun substansi Peraturan Daerah ini. Di masanya, Perda ini diapresiasi oleh banyak pihak dan beberapa daerah di Indonesia ikut mempelajari Perda yang menjamin hak-hak difabel di Yogyakarta.

PERATURAN DAERAH DISABILITAS PERLU DIAMANDEMEN

Di antara rujukan penting Peraturan Daerah ini adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities. Pengesahan konvensi internasional ini sepertinya menjadi penyemangat beberapa aktifis difabel di Yogyakarta agar dapat memasukkan substansi yang sangat penting ke dalam Peraturan Daerah. Pada aspek yang lain yang ini menjadi catatan kritis, Perda ini masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang secara normatif telah dikritik oleh komunitas difabel karena isinya sangat yang medis dan berisi stigma negatif.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sebenarnya sudah lama dikritik, diantaranya, pertama, Undang-Undang ini menyebut difabel sebagai penyandang cacat. Penyandang cacat kita tahu merupakan sebutan stigmatif, negatif dan menempatkan difabel sebagai orang sakit, dianggap tidak mampu karena itu harus dibantu, dan dianggap sebagai orang yang tidak bisa karena tidak bisa mandiri. Kedua, Undang-Undang ini membagi penyandang cacat sebagai penyandang cacat fisik dan mental. Ketiga,  Undang-Undang ini mengatur dengan sangat jelas derajat kecacatan. Pengaturan derajat kecacatan memperlihatkan bahwa Undang-Undang ini memang sangat diinspirasi oleh ideologi kenormalan. Keempat, Undang-Undang ini sangat simplisitik mendefinisikan difabel, hak-hak yang dijamin tidak komprehensif, dan tidak jelasnya pemangku kebijakan yang menjamin pengawasan dan pemenuhan  hak-hak difabel.

Kritik keras komunitas difabel terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat berdampak tidak berlakunya norma ini di level komunitas dan banyak pihak mendorong amandemen. Momentumnya perubahan menguat setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With Disabilities lewat Undang-Undang No. 19 Tahun 2011. Setelah ratifikasi ini, komunitas difabel di seluruh Indonesia menggeliat dan mendorong perubahan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, dan akhirnya pada 15 April 2016 Presiden Jokowi Widodo mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Momentum Mengubah Perda Disabilitas

Keberadaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang secara normatif mengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, setidaknya memberi pengaruh terhadap Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pertama, Perda ini secara yuridis masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene telah dicabut. Kedua, ada banyak substansi hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum dimasukkan ke dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012. Dua alasan ini setidaknya menjadi pertimbangan fundamental bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Yogyakarta sudah seharusnya melakukan amandemen disesuaikan dengan perkembangan jaminan hukum dan hak-hak yang melekat pada penyandang disabilitas.

Saat menelaah Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan disandingkan dengan  Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ditemukan beberapa perbedaan penting. Diantaranya perihal pertimbangan, di mana dalam Undang-Undang disebutkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitaan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Dalam Peraturan Daerah tidak ditemukan pertimbangan yang bersifat existing ini.

Perbedaan lainnya terlihat dalam hal pendefinisian penyandang disabilitas, beberapa prinsip dalam Undang-Undang belum ada dalam Peraturan Daerah, ragam penyandang disabilitas dalam Undang-Undang hanya ada 4 (empat) sedangkan dalam Peraturan Daerah ada 11 (sebelas), beberapa hak difabel dan kewajiban pemangku kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang belum masuk di dalam Peraturan Daerah, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Peraturan Daerah dan Komisi Nasional Disabilitas yang diatur dalam Undang-Undang sangat berbeda struktur, tugas dan kewenangannya.

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa sudah saatnya Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas diamandemen. Para aktifis difabel sangat penting dilibatkan dalam pembahasannya. Amandemen Perda ini harapannya akan memberikan jaminan pemenuhan hak-hak difabel yang lebih jelas di masa depan.

 

Terbit di Koran Kedaulatan Rakyat, 7 November 2018

 

M. Syafi’ie
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 
Peneliti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Pusham UII)

Author: Siti Ruhama Mardhatillah, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

Jakarta– Baru-baru ini ramai pemberitaan mengenai salah satu Guru Besar bidang Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo yang digugat PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP) lantaran keterangan yang diberikan selaku saksi ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Keterangan ahli tersebut disampaikan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Rokan Hilir Riau seluas 1.000 hektar yang mengakibatkan perusahaan tersebut dijatuhi sanksi denda sebesar Rp 500 miliar.

Tidak terima dengan sanksi yang dijatuhkan, alih-alih mengambil langkah hukum banding atas putusan tersebut, PT JPP justru menggugat Bambang Hero Saharjo ke Pengadilan Negeri Cibinong dan meminta kepada pengadilan untuk menyatakan Guru Besar IPB tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyatakan surat keterangan ahli yang disusunnya cacat hukum, tidak memiliki kekuatan pembuktian dan batal demi hukum. PT JJP juga meminta agar Bambang Hero Saharjo dihukum membayar kerugian materiil dan moril sebesar Rp 510 miliar.

Tindakan yang dilakukan oleh PT JJP tentunya sangat melukai hati dan nalar kita sebagai manusia. Hal demikian memang kerap terjadi dikarenakan perkara lingkungan hidup mempunyai karateristik tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya, dan dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya (pengusaha/korporasi) dengan pihak yang memiliki akses terbatas (masyarakat).

Namun demikian, terdapat tiga lapis aturan hukum yang dapat melindungi Bambang dan para pejuang lingkungan dari taktik korporasi. Pertama, anti-Strategy Legal Action Against Public Participation (SLAAPP). SLAAPP merupakan tindakan dari pelaku perusak atau pencemar lingkungan yang berupaya mematikan partisipasi masyarakat dengan menggunakan jalur hukum dengan tujuan menimbulkan rasa takut pada diri individu atau masyarakat untuk memberikan informasi terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan. SLAPP merupakan tindakan hukum yang strategis (litigasi) untuk membungkam aspirasi/partisipasi publik.

Undang-Undang tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 (UU PPLH) telah memuat ketentuan untuk mengantisipasi tindakan SLAAPP yang dikenal dengan Pasal anti-SLAAPP yaitu Pasal 66 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Kesaksian ahli yang disampaikan Bambang merupakan pendapat ahli yang didasarkan pada keilmuannya dan bukan merupakan kesaksian palsu. Terlebih lagi ia dihadirkan oleh KLHK dalam persidangan gugatan ganti rugi atas pembakaran lahan, sehingga kesaksian ahli Bambang dapat dikualifikasikan sebagai partisipasi warga negara dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang telah rusak akibat dari pembakaran lahan. Sehingga, berdasarkan ketentuan tersebut gugatan yang dilayangkan PT JJP terhadap Bambang Hero Saharjo merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Kedua, selain UU PPLH, Bambang juga dilindungi oleh ketentuan dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Nomor 18 Tahun 2013 dalam Pasal 76 ayat (1) bahwa setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan informan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar wajib diberi pelindungan khusus oleh pemerintah. Perlindungan khusus yang wajib diberikan pemerintah adalah perlindungan keamanan dan perlindungan hukum.

Ketiga, dalam UU yang sama, Pasal 78 ayat (1) menyatakan bahwa pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Perlindungan juga diberikan oleh lembaga peradilan yang akan memeriksa gugatan SLAAPP ini dengan mengacu kepada pedoman Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 di mana hakim dalam memeriksa perkara lingkungan hidup diwajibkan untuk lebih mengedepankan kemanfaatan bagi lingkungan hidup.

Berbagai upaya diberikan untuk melindungi pejuang lingkungan dari tindakan SLAAPP dan agar masyarakat tidak perlu takut melaporkan, memberi keterangan sebagai saksi fakta maupun sebagai saksi ahli. Dengan demikian keadilan ekologis dan kelestarian lingkungan dapat terwujud.

This article have been published in newsdetik.com, 23 October 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Banyak orang yang salah memahami, atau sengaja memelintir, sebuah isu atau pernyataan yang sebenarnya sudah jelas struktur logika dan argumentasinya. Masalah keberlakuan hukum Islam di dalam kerangka hukum nasional yang pernah saya kemukakan, misalnya, bisa dielaborasi sebagai contoh

Dalam sebuah dialog interaktif di televisi, saya pernah mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar di Indonesia keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan agarhukum-hukum di Indonesia bisa memuat aspirasi Islam.

Pernyataan saya itu dipertentangan dengan pernyataan saya yang lain ketika saya mengatakan, ada upaya untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum yang eksklusif dengan gerakan tertentu yang berbau radikal. Di media sosial kemudian dikembangkan isu bahwa saya membuat pernyataan yang tidak konsisten. Padahal, pernyataan saya itu panjang dan konsisten tetapi diamputasi.

Memotong pernyataan

Para pembuat hoax sengaja memotong pernyataan yang saya ucapkan secara jelas. Saya mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar hukum Islam berlaku di Indonesia, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan DPR presiden, gubernur, dan lain-lain) agar aspirasi hukum Islam masuk ke dalam hukum Indonesia
Pernyataan ini dipotong begitu saja dari sambungannya yang tak terpisahkan, yakni isi pernyataan Bung Karno yang disadur dengan kalimat, “Begitu juga jika orang-orang Kristen ingin agar letter-letter Kristen menjadi hukum Indonesia, berjuanglah agar kursi-kursi kepemimpinan dan lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang Kristen.” Sambungan kalimat penting inilah yang diamputasi dari keseluruhan pernyataan saya.

Selain jelas bahwa kutipan pernyataan saya adalah dalam konteks untuk memilih pemimpin, jelas juga bahwa upaya perjuangan merebut kursi-kursi kepemimpinan nasional dan daerah di sejumlah lembaga negara berlaku juga bagi para pemeluk agama-agama lain.

Ekletisasi Hukum

Pernyataan Bung Karno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang saya kutip tersebut jelas memberi dua kesimpulan.

Pertama, bukan hanya orang-orang Islam yang berhak memperjuangkan hukum agamanya, tetapi juga pemeluk agama-agama lain: Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Nilai-nilai hukum agama dan keyakinan serta budaya apa pun bisa masuk ke dalam nasional melalui proses demokratis.

Kedua, pembentukan hukum nasional kemudian diolah melalui proses eklektis di lembaga legislatif, yakni memilih nilai-nilai hukum dari berbagai agama, keyakinan, dan kultur yang disepakati sebagai kalimatun sarwa (pandangan yang sama) oleh para wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih untuk kemudian diberlakukan sebagai hukum negara.

Produk dari proses eklektisasi itu kemudian bisa dikelompokkan menjadi dua Pertama, untuk hukum-hukum publik diberlakukan unifikasi hukum, yakni memberlakukan hukum-hukum yang sama untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, dan kelompok sosialnya. Dalam hal khusus tentu bisa berlaku perkecualian sesuai dengan asas “lex specialis derogat legi generali

Kedua, untuk hukum-hukum privat (dan perdata pada umumnya) berlaku hukum agama, kepercayaan, dan adat masing-masing komunitas golongan penduduk. Sebenarnya hukum perdata Islam dan Adat sudah diberlakukan sejak zaman kolonial Belanda (1848) sehingga sejak dulu pun kita sudah mempunyai lembaga peradilan agama.

Hukum-hukum publik yang harus sama itu, misalnya, hukum tata negara, hukum administrasi negara, huicum pidana, hukum lingkungan, hukum pemilu, dan seba gainya. Adapun dalam lapangan hukum perdata, misalnya, ada hukum perka winan, hukum peribadatan (ritual). hukum waris dan wasiat, hukum penguburan jenazah, dan sebagainya.

Ada juga hukum-hukum agama di bidang keperdataan yang dituangkan di dalam UU tetapi hanya untuk memfasilitasi dan memproteksi bagi yang ingin melakukannya tanpa memberlakukan mewajibkan atau melarang) substansinya, misalnya UU Zakat, UU Ekonomi Syariah, UU Haji, dan sebagainya, yang keberlalu an substansinya tetap berdasar kesukarelaan. Itu pun tetap harus melalui proses ekletisasi.

Dengan demikian, nilai-nilai hukunt agama bisa menjadi sumber hukum dalam arti sebagai bahan pembuatan hukum (sumber hukum materiil) tetapi tidak otomatis menjadi sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau hukum yang berdiri sendiri.

Sumber hukum materiil tidak dengan sendirinya menjadi sumber hukum formal atau hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Ia hanya bisa menjadi hulum formal setelah melalui proses eklektisasi. Ajaran Islam memang menjadi sumber hukum, tetapi ia bukan satu-satunya sebab ajaran agama-agama dan keyakinan lain yang hidup di Indonesia juga menjadi sumber hukum.

Nilai-nilai hukum agama apa pun bisa masuk ke dalam hukum publik (nasional) jika disepakati oleh lembaga legislatif dalam proses eklektisasi. Adapun hukum privat (perdata) bisa berlaku dengan tanpa harus dijadikan hukum formal. Untuk hukum-hukum Islam yang tidak bisa menjadi hukum publik, nilai-nilai substantifnya tetap bisa dimasukkan, yakni ma qushid al syar’i atau tujuan syariahnya yang meliputi kemaslahatan umum dan tegaknya keadilan.

This article have been published in KOMPAS newspaper, 22 June 2018.