As part of the commitment to its internationalization programs, the Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia departed two students to undertake a double degree program at the Department of Law, College of Creative Human Resources, Youngsan University, South Korea, on Tuesday (23 February 2021). The two students namely: Yuwan Zaghlul Ismail and Kurniawan Sutrisno Hadi. Both of them are students of the 2018 FH UII International Program. This discharge event was carried out in a blended manner, attended by leaders at the university and the Faculty of Law both offline and online.

According to Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH, MH, LLM., Ph.D., Secretary of the International Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, in his report, the two students who participated in the double degree program in South Korea are distinguished students. Both are students of the 2018 FH UII International Program. Yuwan Zaghlul Ismail is a Mawapres finalist at the Special Region of Yogyakarta level (Provincial Level). He has been a speaker at a conference at the International Islamic University Malaysia (IIUM). In addition, Yuwan is one of the students who took part in the transfer credit program at IIUM in 2019. Meanwhile, Kurniawan Sutrisno Hadi, is the student with the highest GPA in 2019, with GPA of 3.99. He won awards in various moot court competitions on the national and international levels.

The two students will go to South Korea on February 25, 2021. They will study for two years at Youngsan University, South Korea, and will get dual degrees, namely a Sarjana Hukum (S.H.) from the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia and a Bachelor of Law from Youngsan University, South Korea.

Considering Dodik Setiawan statement, during the Covid-19 pandemic situation, the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia has been coordinated with Youngsan University. The two students have taken medical procedures for international flights, starting from taking the PCR test before departure, taking a series of medical tests carried out by hospitals recommended by the South Korean government to taking quarantine when they arrived in South Korea. In addition, the two students will also get the opportunity to vaccinate Covid-19 according to the schedule and provisions of the South Korean Government.

According to Dodik Setiawan, so far the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia has also been very active in sending students to participate in credit transfer programs to several universities in the world, namely to IIUM, for six months (one semester) in 2019 and to Youngsan University, South Korea, during six months (one semester) in 2019.

Currently, the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia has received a lot of international recognition. “Faculty of Law Universitas Islam Indonesia has also received certification from the ASEAN University Network-Quality Assurance (AUN-QA) institution at the ASEAN level through certification number AP387UIIFEB19, which is valid from March 14, 2019, to August 7, 2023. In 2021, Faculty of Law Universitas Islam Indonesia is also preparing to get accreditation from the Foundation for International Business Administration Accreditation (FIBAA) in Germany “, Dodik Setiawan explained. In addition, in 2022 a visitation by FIBAA is planned.

Faculty of Law Universitas Islam Indonesia’s students are very active and winning various competitions at the local, national, regional, and international levels. These various achievements also prove the progress of the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia as the oldest national law faculty in Indonesia. After this, the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia will also initiate various double degree program collaborations with universities in the world, namely Coventry University in England, Maastricht University in the Netherlands, and Fatih Sultan Mehmet Vakif University in Turkey.

 

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Penularan Covid-19 terus meningkat. Publik seperti dihadapkan pada ketidakpastian langkah-langkah pemenuhan hak atas kesehatan. Bahkan, pemerintah mulai meragukan kebijakannya sendiri. Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menggantikan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dinilai tidak efektif menghentikan laju penularan. Situasi ini bermakna bahwa penanganan Covid-19 di Indonesia sampai saat ini belum berhasil.

Sejauh ini, sudah banyak peraturan dan kebijakan terkait Covid-19, antara lain : Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2020 tentang Refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19, Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang penetapan bencana non alam penyebaran Corona Virus Disease 2019 sebagai Bencana Nasional, Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease, Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Pencepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019, Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019.

Selain itu, ada Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Permenkes No. 9 tahun 2020 yang secara spesifik mengatur tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Keputusan Menteri kesehatan Nomor HK. 01.07/Menkes/382/2020 tentang Protokol Kesehatan yang diantaranya mengatur kebijakan tentang mencuci tangan, menjaga jarak dan memakai masker, dan yang terakhir Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 01 Tahun 2021 tentang Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Untuk Pengendalian Penyebaran Corona Virus Desease 2019.

Melihat ketentuan di atas, sudah banyak peraturan dan kebijakan yang telah dibuat. Pertanyaannya, mengapa kasus Covid-19 di Indonesia terus meningkat? Pertanyaan ini bisa dijawab bahwa substansi dan struktur hukum tersebut belum berjalan efektif dan belum mampu menjadi sarana pengubah perilaku masyarakat.

Hukum Pengubah Perilaku  

Roscoe Pound, tokoh aliran hukum Sociological Jurisprudence mengatakan bahwa hukum semestinya dilihat sebagai suatu lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum mesti dipahami sebagai suatu proses (law in action) yang hukum tersebut sama sekali berbeda dengan hukum yang tertulis (law in books). Peraturan dan kebijakan tentang Covid-19 semestinya dilihat dalam konteks ini, bahwa aturan tersebut bukanlah norma-norma tertulis saja, tetapi norma yang harus dihidupkan dan dilekatkan dengan lembaga kemasyarakatan.

Roscoe Pound mengatakan, hukum berkaitan dengan kepentingan-kepentingan dalam masyarakat. Kepentingan tersebut ada 3 (tiga), pertama, public interest yang meliputi kepentingan negara yang tugasnya memelihara hakekat negara dan menjaga kepentingan sosial. Kedua, kepentingan perorangan yang meliputi kepentingan pribadi dan kepentingan dalam rumah tangga. Ketiga, kepentingan sosial yang terkait dengan keamanan umum, moral umum, kemajuan sosial dan kehidupan individu.

Kepentingan penanganan Covid-19 merujuk pemikiran Pound sudah sangat memenuhi dalam dimensi kepentingan pribadi, sosial dan negara. Persoalannya terletak bagaimana peraturan yang ada dapat menggerakkan lembaga pemasyarakatan untuk mendorong tujuan-tujuan sosial dan perorangan di bidang kesehatan. Jika konsep ini dilakukan, peraturan dan kebijakan Covid-19 tentu akan menjadi alat rekayasa masyarakat (law as a tool of social engineering)

Persoalannya, perilaku masyarakat saat ini tidak banyak berubah untuk mentaati protokol kesehatan. Penggunaan masker, menjaga jarak, dan aktifitas cuci tangan tidak ditaati. Kegiatan bergerombol dan mobilitas masyarakat masih sangat tinggi. Situasi ini bermakna bahwa aturan dan kebijakan belum berjalan dengan semestinya. Aparat yang memiliki kewenangan penanganan Covid-19 belum mampu membangun kesadaran yang utuh akan makna penting protokol kesehatan.

Soerjono Soekanto berpendapat, apabila hukum tidak berjalan dengan semesetinya maka harus dicek faktor-faktor yang menjadi penghambatnya, biasanya antara lain terjadi karena faktor pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-golongan lain dalam masyarakat. Faktor penghambat harus diidentifikasi.

Salah satu yang biasa jadi faktor penghambat menurut Soerjono Soekanto ialah komunikasi hukum. Hukum yang diharapkan dapat mempengaruhi perubahan perilaku masyarakat harus disebarkan seluas mungkin sehingga melembaga dalam masyarakat. Komunikasi hukum harus dapat dilakukan secara formal dan informal. Cara ini merupakan bagian yang dinamakan difusi, yaitu penyebaran unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam kehidupan masyarakat.

Pada pokoknya ketaatan hukum sangat dipengaruhi oleh dua faktor, pertama, tujuan hukum harus identik dengan tujuan/aspirasi anggota-anggota masyarakat. Makna lainnya, taatnya masyarakat pada hukum karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum. Kedua, adanya kekuasaan yang imperatif melekat pada hukum dengan sanksi apabila ada orang yang melanggarnya.

Berangkat dari pemikiran di atas, terbayang dalam pikiran kita bahwa ada banyak faktor hukum dan dimensi sosial politik yang mempengaruhi lemahnya ketaatan hukum masyarakat dalam mematuhi protokol kesehatan. Sebagian besar masyarakat masih belum menangkap kebenaran protokol kesehatan sebagai sesuatu yang penting, dan pada sisi yang lain penegakan hukum masih sangat lemah.

Tentu masih banyak faktor lain yang bisa diidentifikasi dan ditemukan akar masalahnya. Mengubah perilaku masyarakat tidak mudah, apalagi didalamnya ada dimensi sosial keagamaan. Butuh multi pendekatan untuk menciptakan kesadaran akan makna penting mentaati kebijakan protokol kesehatan. Kegagalan penanganan Covid-19 saat ini lebih pada konteks ini : tidak fokus pada pokok masalah, sentralistik, bahasa kebijakan yang tidak membumi, dan kebijakan yang selalu berubah-ubah sehingga cenderung membingungkan masyarakat bahkan pemerintah sendiri.

This arcticle have been published in  Sindo Newspaper, 10 February 2021.

Alhamdulilah. All praise to Allah SWT. Faculty of Law, Islamic University of Indonesia, in collaboration with the Faculty of Law of Youngsan University, South Korea have mutually agreed to implement a Double Degree Program that will be started in Even Semester Academic Year 2020-2021. The program is based on a 2+2 scheme study period. Successful participants of the program will hold dual degrees both Sarjana Hukum (SH) from UII and Bachelor of Law (LLB) from Youngsan University.

This program is only open to students of the International Program batch 2018. Interested students can register via this link:http://bit.ly/DD_IPFHUII (deadline: 7th of January 2021 at 13.00 Indonesian Western Time)

For detailed information and requirements, please kindly see here: http://bit.ly/FlyerDDUIIYSU2021 

To download some important files, please visit: http://bit.ly/DDUIIFiles

More information: +62 877 3939 8450 (office hours)

 

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia in collaboration with Coventry University, UK, organized the Collaborative Online International Learning (COIL) Project 2020. COIL Project 2020 takes the theme of Corporate Social Responsibility (CSR): United Kingdom (UK) and the Indonesian Legal Context. This program is the first integrated online lecture program in Indonesia, bringing in lecturers from the UK and Indonesia. COIL Project 2020 was held from 16 to 22 December 2020, every 19.45 WIB until 21.30 WIB.

The COIL Project is a program created by Coventry University to carry out international online courses. This program was attended by around 165 students from the Undergraduate Program, the Master of Law Program, and the Notarial Law Program of the Faculty of Law of Universitas Islam Indonesia. The lecturers who teach are also experts and law practitioners from the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia and Coventry University. These students undertake a six-day program, which is the equivalent of two credits at Coventry University. As the final output, COIL Project participants will provide scientific comments on CSR and Business Ethics Blog.

According to the Chair of the Indonesian Regional Committee, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LLM., Ph.D., this program is the first international online course program in Indonesia. COIL Project 2020 was held online for six days through the Zoom. “For the technical issues, we have been assisted by IT Support from the Faculty of Law (Universitas Islam Indonesia) so that the program runs smoothly”, explained Dodik Setiawan.

The COIL Project 2020 was opened by the Dean of the Faculty of Law UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H., and Coventry University’s Chief Editor of CSR and Business Ethics Blog, Associate Professor Dr. Costantino Grasso LLB, PGDip, LLM, Ph.D., Wednesday (16/12/2020). In his remarks, Abdul Jamil appreciated the implementation of the program and collaboration with Coventry University. Through the 2020 COIL Project, Abdul Jamil hopes that the participants will gain new experiences and knowledge about corporate social responsibility. According to Constantino Grasso, corporate social responsibility has become a separate subject at Coventry University. Through the COIL Project 2020 with FH UII, it is hoped that many new perspectives will emerge in this scientific field.

The program, which was attended by 165 students, was filled with experts and practitioners from Indonesia and England. The lecturers are Dr. Costantino Grasso LLB, PGDip, LLM, Ph.D, Dr. Nadia Naim, John Christensen, Dr. Donato Vozza LLB, PGDip, Ph.D, Dr. Budi Agus Riswandi, SH, M.Hum., Eko Riyadi, SH, MH, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH, MH, LL.M., Ph.D., Ahmad Sadzali, Lc., MH, and Christopher M. Cason , JD., LL.M.

 

The Conduct of COIL Project 2020

The second day of the COIL Project 2020 was held on Thursday (17/12/2020). Lecturers who fill in are John Christensen, Director and founder of the Global Tax Justice Network, and Dr. Donato Vozza LLB, PGDip, Ph.D., from Coventry University’s Center for Financial and Corporate Integrity Studies (CFCI). John Christensen delivered material on moral economic responsibility in the tax profession in companies, while Donatto Vozza discussed the protection of witnesses and whistleblowers in cases of violations of social responsibility by companies.

On the third day, Friday (18/12/2020), filled by Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum., From FH UII and Dr. Nadia Naim from Coventry University. Budi Agus Riswandi presented material on how strengthening intellectual property can affect the optimization of corporate social responsibility.

The fourth day is held on Saturday (19/12/2020). On the fourth day, there were two speakers, namely the Director of the Center for Human Rights Studies at UII, Eko Riyadi, S.H., M.H., and Christopher M. Cason, JD., LL.M, a permanent lecturer at FH UII. Eko Riyadi delivered material on the relationship between human rights and business activities. Eko Riyadi pointed out how the conduct of business activities often results in human rights violations. Meanwhile, Christopher Cason delivered material on the effectiveness of implementing social responsibility by companies from the perspective of the United States.

On the fifth day, Monday (21/12/2020), filled by Ahmad Sadzali, Lc., M.H., and Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH, MH, LLM, Ph.D, from FH UII. Ahmad Sadzali delivered material about Islamic law regarding corporate social responsibility. Meanwhile, Dodik Setiawan delivered material regarding the regulation of corporate responsibility in international law.

In order to support the creation of an outcome in the form of providing scientific comments on the CSR and Business Ethics Blog by the participants, a Writing Camp was held on the sixth day, Tuesday (22/12/2020). Through sessions such as workshops, the participants were instructed on how to technically make scientific commentary material in English. This sixth-day session was guided by two tutors, namely Nur Gemilang Mahardika, S.H., LL.M. and Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, S.H.

The implementation of the COIL Project 2020 is the first time at UII and in Indonesia. Previously, Coventry University had carried out the COIL Project with several universities in Europe, such as Paris Nanterre University, University Carlos III, and Copenhagen Business School. The participants of the COIL Project 2020 will later receive a certificate directly from Coventry University. “This event is very special as if we have brought our students to study at Coventry University”, said Dodik Setiawan as Chairman of the Indonesian Regional Committee.

Author: Anang Zubaidy, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

JUMLAH kasus positif Covid-19 di Indonesia beberapa hari ini menunjukkan angka yang sangat mengkhawatirkan. Sepekan terakhir tercatat penambahan jumlah kasus positif Covid-19 berada di atas 5.000 orang per hari. Bahkan, pada tanggal 3 Desember 2020 terjadi lonjakan jumlah kasus positif yang sangat signifikan, yakni sebanyak 8.369 orang positif Covid-19. Pertambahan jumlah kasus positif ini membuat Presiden Joko Widodo mengungkap kekecewaannya dalam rapat terbatas. Menurutnya, penanganan Covid-19 memburuk.

Kondisi seperti ini tak ayal membuat banyak kalangan semakin mengkhawatirkan pelaksanaan pilkada 9 Desember 2020. Secara serentak, pilkada kali ini akan digelar di 270 daerah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia dengan 100 juta lebih pemilih yang telah ditetapkan oleh KPU. Sebuah jumlah orang yang terlibat yang tidak bisa dikatakan sedikit.

Beberapa kalangan termasuk penulis, telah menyarankan agar pelaksanaan pilkada serentak tahun ini ditunda sampai dengan ditemukannya vaksin Covid-19. Namun, para pengambil kebijakan (Pemerintah, DPR, dan KPU) tidak bergeming dengan berbagai desakan yang datang dan tetap melaksanakan pilkada di tengah pandemi yang sedang melanda.

Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Salus populi suprema lex esto, keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi. Maka, perlu langkah-langkah untuk memastikan pelaksanaan pilkada tetap berjalan sambil diupayakan langkah agar tidak ada kluster baru kasus positif Covid-19 Peraturan KPU No 6 Tahun 2020, KPU tampaknya sudah merumuskan berbagai langkah antisipasi agar pilkada tidak menjadi kluster baru. Berdasarkan beleid ini, langkah pencegahan penularan diupayakan melalui penerapan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, pengecekan suhu tubuh, hingga disinfektasi peralatan-peralatan yang sering dipakai pada setiap tahapan pilkada. Namun, sebagaimana diketahui banyak pihak, kepatuhan terhadap protokol kesehatan pada tahapan pilkada yang sudah tak seindah didengungkan. Masih banyak ditemukan pelanggaran.

Pelanggaran itu bisa saja terjadi karena kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hukum. Bisa pula karena belum adanya pemahaman yang memadai dari masyarakat sebagai akibat
sosialisasi yang dilakukan pembentuk hukum belum maksimal. Adalah benar bahwa dalam hukum dikenal asas presumptio iures de iure (asas asas yang menganggap semua orang tahu hukum) atau yang bisa dikenal dengan fiksi hukum. Namun, asas ini tidak berdiri sendiri melainkan membutuhkan instrumen pendukung yakni sudah sejauhmana upaya sosialisasi telah dilakukan oleh organ negara yang bertugas untuk itu agar masyarakat patuh.

Jika dilihat dari optik teoritik, terdapat 2 (dua) madzhab teori kepatuhan yang dikenal dengan madzhab pemaksaan dan madzhab konsensus (Soerjono Soekanto). Dalam madzhab teori
pemaksaan, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas dalam proses pemaksaan. Sedangkan pada madzhab teori konsensus, kepatuhan hukum muncul dari efektivitas melalui internalisasi
dalam masyarakat.

Penulis menilai, ketidakpatuhan peserta pilkada terjadi karena, baik pemaksaan maupun konsensus belum optimal berjalan. Dalam kaitannya dengan pemaksaan, pelaksanaan protokol kesehatan dalam pelaksanakan setiap tahapan pilkada (setidaknya) belum disertai dengan pelaksanaan sanksi yang memberikan efek jera bagi para pelanggar. Demi mengurangi dampak negatif pelaksanaan pilkada di tengah pandemi, sekali lagi, penegakan hukum protokol kesehatan harus dilakukan. Pelaksanaan yang menyisakan tahap pemungutan suara, penghitungan suara, dan penetapan pemenang masih sangat potensial memunculkan kerumunan dan potensial menjadi kluster baru. Tentu bukan itu yang diharapkan. Perlu kerja sama semua pihak (penyelenggara pilkada, pengawas, peserta, dan masyarakat) untuk bersama-sama menyelenggarakan pilkada dengan pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat. Jika perlu, berlakukan sanksi yang tegas dan sesuai dengan koridor hukum atas setiap pelanggaran oleh siapapun tanpa pandang bulu.

This article have been published in Analisis KR, 7 December 2020.

Come and Join COIL Project 2020,

 

Faculty of Law Universitas Islam Indonesia in collaboration with Coventry University present the Collaborative Online International Learning (COIL) Project 2020 that will be conducted on 16-22 December 2020. With the topic on Corporate Social Responsibilities (CSR). This program is the first on Indonesia and for each participant will get official certificate from Coventry University, UK. All the participants are equivalent to participating in academic activities at Coventry University. All the activities will be conducted online. The outcome from this program is a blog writing, with around 200-500 words from each participant, that will focusing on giving comments for ideas/review/analysis on blog (click here). For the best participant with published comment on the blog will get merchandise (certificate, voucher, and souvenir).

 

This program is opened for all students from Undergraduate Study Program (International Program and Regular Program), Master in Law Program, and Master in Public Notary Program of Universitas Islam Indonesia.

 

The registration has been closed

 

the Term of Reference can be downloaded here (click here).
for the Participant Rules can be downloaded here (click here).

 

——————————————————————————————————————————

 

Fakultas Hukum UII bekerjasama dengan Coventry University menyelenggarakan Collaborative Online International Learning Project 2020 yang akan diselenggarakan pada tanggal 16-22 Desember 2020. Tema umum yang diangkat adalah CSR (tanggungjawab sosial perusahaan). Program ini pertama kali diselenggarakan di Indonesia dan setiap peserta akan mendapatkan sertifikat resmi dan langsung dari Coventry University, Inggris. Sehingga peserta telah dianggap setara mengikuti kegiatan akademik di Coventry University. Seluruh kegiatan akan diselenggarakan secara daring (online). Luaran dari kegiatan ini adalah tulisan kurang lebih 200-500 kata (1 halaman) dari setiap peserta untuk membahas dan memberikan tanggapan terhadap gagasan/ulasan/analisis blog (klik disini). Bagi peserta yang terbaik dan peserta dengan komentar blog yang berhasil dipublikasikan maka akan mendapatkan hadiah yang menarik (sertifikat, voucher, dan souvenir).

 

Program ini dibuka untuk mahasiswa baik Program Studi Hukum (Program Internasional dan Reguler), Prodi Magister Hukum, dan Prodi Magister Kenotariatan di lingkungan UII.

 

Pendaftaran telah ditutup

 

TOR dapat diunduh di sini (klik disini).

Tata Tertib bagi Peserta dapat diunduh di sini (klik disini).

As the pandemic Covid-19 spread worldwide, it does not being an obstacle to hold academic learning and teaching. The Faculty of Law Universitas Islam Indonesia (UII) is still insist to hold academic learning and teaching. Thereby, the Faculty of Law UII held International Students Colloquium, an annual conference.

In this occasion, the Faculty of Law UII had on Saturday, November 28, 2020, 08.00-16.00 Indonesian Western Time (WIB). Interestingly, the conference was held either online and offline. For the offline session at Hotel Grand Ambarukmo, while the online session at Zoom Meeting. The Juridical Council of International Program (JCI UII) accompanies the Faculty of Law UII, an organizational student established and operated by International Program students.

This year’s conference was discussed the theme of “Law and Development in the Era of Pandemic”. The conference was attended 389 participants along with 13 presenters from Indonesian students and foreign students. The conference’s session was split into two sessions, the session for presentation student’s paper and the session for the guest speakers.

For the session for presentation, student’s paper was split into two focus group discussions. For the first group discussion was presented by 7 following David from Universitas Borobudur, Jeremy from Universitas Gadjah Mada, Nik Hajar from International Islamic University Malaysia, Kenza from UPN Veteran Jawa Timur, Imtiyaz Wizni, et.al from International Islamic Univeristy Malaysia (IIUM), Aam Slamet, et.al from SMART Institute and Tazkia Institute, and Syed Ahmed et.al from IIUM. For the second group discussion was presented by 6 following Safira Dewata Putri Alpatra from Universitas Pendidikan Nasional Bali, Rohima Putri Ridhani, Putri Ariqah, Yuwan Zaghlul Ismail, Affan Maulana dan Aryana Sekar Widyaningsih from UII. There was a nomination for three best presenter following Nik Hajar on first place, Safira Dewata Putri Alpatra on second place, and the last is Affan Maulana. In addition, there is a nomination for the best paper following Putri Ariqah on the first place, Imtiyaz Wizni Aufa on the second place, and the last is Yuwan Zaghlul Ismail.

For the main session was presented of from the first speaker Assoc. Prof. Sonny Zulhuda (International Islamic University Malaysia) with the topic of Cyber law and the Covid-19 Pandemic. In the next presentation was presented by Prof. Jihyun Park (Youngsan Universitiy) with the topic of Law and Development in The Era of Pandemic South Korea Perspective. The last presenter is Dr. Budi Agus Riswandi (UII) with the topic of Flexibility in Indonesian Patent System for the Use of the Covid-19 Vaccine: What is the Solution. The moderator in this session was guided by Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D.

The participants was enthusiast in this conference. This is why the committee giving the award to appreciate the presenters. The nomination award for the best participants are following the first place to Annisa Aulya Putri, the second to Frances Annemarie Duffy, the third to Muhammad Sulhan, and the last to Wildan Amrillah Amrani. This international conference had conducted in the last three years and expect in the next year would be better.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Salah satu fenomena yang menarik perhatian saat berkumpul dengan komunitas difabel ialah sebutan atau panggilan yang dinilai stigmatif. Sebutan tersebut antara lain penyandang cacat, orang berkebutuhan khusus, dan penyandang ketunaan. Dalam percapakapan sosial masyarakat kerap muncul panggilan yang tidak menyenangkan, yaitu kata budheg (orang dengan gangguan pendengaran), gagu (orang dengan gangguan bicara),  pengkor (kelainan bentuk kaki), Cah Nyeng (orang dengan gangguan mental), dan beberapa sebutan yang lain.

Sebutan lain yang saat ini cukup populer ialah difabel dan penyandang disabilitas. Difabel merupakan singkatan dari bahasa Inggris different ability people atau diferently abled people, yaitu orang-orang yang dikatagori memiliki kemampuan berbeda dengan manusia pada umumnya. Istilah lainnya ialah differently able, yang secara harfiah berarti sesuatu yang berbeda. Sedangkan secara terminologi, difabel adalah setiap orang yang mengalami hambatan dalam aktifitas keseharian maupun partisipasinya dalam masyarakat karena desain sarana prasarana publik yang tidak universal dan lingkungan sosial yang masih hidup dengan ideologi kenormalan.

Sedangkan penyandang disabilitas merupakan Sebutan yang dikemukakan dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, yaitu setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga Negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.

Dari sekian sebutan di atas, difabel dianggap sebagai panggilan yang lebih nyaman, sopan, dan umum dalam percapakan komunitas. Sebutan difabel dinilai sejalan dengan ideologi yang memanusiakan, yaitu memberlakukan difabel sesuai harkat dan martabatnya sebagai manusia yang notabene merupakan bagian dari keragaman umat manusia.

Panggilan difabel tidak lepas dari tokoh bernama Mansour Fakih. Menurutnya, keberadaan difabel tidak lepas dari konstruksi sosial yang sangat destruktif. Konstruksi sosial melekatkan difabel dengan sebutan normal atau cacat. Istilah cacat memiliki makna ideologis yang berarti ketidakmampuan (disabilities), invalid dalam arti tidak normal, atau istilah yang menghadirkan cara pandang bahwa difabel tidak menjadi manusia seutuhnya, dan atau tidak sepenuhnya.

Konstruksi sosial yang melemahkan difabel menurut Mansour Fakih adalah ideologi kenormalan. Ideologi ini menjadi basis segala gagasan dan perilaku sosial masyarakat yang menciptakan kelas antar manusia yang dengan mudah bisa dikatakan normal atau tidak normal. Ideologi kenormalan dalam konteks ini lebih jauh menjadi penyokong cara pandang sosial yang penuh stigma serta menjadi basis banyaknya kebijakan diskriminatif yang berakibat pada eksklusi difabel dalam ruang publik.

Pertarungan Cara Pandang

Fenomena ragam sebutan difabel kalau dilacak ternyata tidak bisa lepas dari  ideologi dan paradigma yang melatari penyebutnya. Setidaknya terdapat empat paradigma yang saat ini berkembang, yaitu paradigma model budaya, model medis, model sosial, dan model hak asasi manusia.

Pertama, model budaya. Pendekatan ini berkembang sangat awal, dimana keberadaan difabel selalu dikaitkan keyakinan sebab akibat antara baik dan buruk. Misal di masyarakat Yunani dan Romawi yang diceritakan sangat menuhankan keperkasaan dan kesempurnaan, sehingga kelainan atau ketidaksempuraan harus dihilangkan. Konon di masa itu, anak-anak bayi yang baru lahir harus diperlihatkan kepada para sesepuh kota atau hakim tua (Gerousia) untuk diuji kesempurnaan fisiknya. Di masa itu pula diceritakan bahwa bayi-bayi yang sakit-sakitan, lemah, dan difabel dibuang dengan cara dihanyutkan di Sungai Tiber. Problem budaya melihat anak difabel saat ini masih terjadi. Tindakan tabu orang tua saat hamil seperti mengadu ayam, menangkap belut, mengadu ular, dan beberapa aktifitas yang lain diyakini sebagian masyarakat sebagai penyebab lahirnya anak-anak difabel.

Kedua, model medis. Pendekatan ini menyatakan bahwa esensi disabilitas adalah penyakit individu (individual pathology), dimana lewat cara ini kemudian bisa dibedakan mana difabel yang dianggap tidak bisa mengoperasikan teknologi baru, dan non difabel yang dianggap bisa mengoperasikan teknologi baru. Lewat pendekatan ini, maka perlu ada pemisahan  difabel dan non difabel untuk justifikasi pemerintah membantu difabel lewat program-program belas kasihan (charity) dan mendorong program-program rehabilitasi difabel agar bisa mandiri, sehat, dan normal secara jasmani dan rohani.

Ketiga, model sosial. Pendekatan ini menyatakan bahwa persoalan disabilitas terletak pada faktor yang lebih luas dan bersifat eksternal. Persoalan difabel tidak terletak pada kekurangan fisik dan atau mental seseorang, melainkan lebih pada faktor lingkungan sosial yang menindas dan meminggirkan keberadaan difabel. Pendekatan sosial mengkritik pendekatan medical model dan model budaya  karena telah menjadi penyebab marginalisasi difabel yang secara kultural dan struktural dianggap sebagai orang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah karena mengalami kekurangan fisik atau mental (impairment).

Keempat, model hak asasi manusia. Pendekatan ini merupakan pengembangan dari pendekatan sosial model yang menghendaki penghormatan terhadap harkat dan martabat difabel, otonomi individu difabel, penghilangan segala bentuk diskriminasi terhadap difabel, meletakkan difabel sebagai bagian dari keragamaan manusia dan kemanusiaan, serta memastikan negara agar bertanggungjawab terhadap penghormatan (to respect), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak-hak difabel.

Berpijak pada empat paradigma, pendekatan dan ideologi di atas, sebutan-sebutan yang memojokkan difabel merupakan ekspresi dari pendekatan budaya dan medis. Sebutan-sebutan negatif tersebut semestinya dihapuskan karena secara umum telah bertentangan dengan hukum hak asasi manusia yang telah mengatur dengan sedemikian rupa hak-hak difabel, khususnya Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia sebagai pemangku tanggungjawab (duty holder) semestinya mengambil langkah-langkah agar tidak ada lagi sebutan-sebutan yang menghancurkan harkat dan martabat difabel.

Pesan Agama

Pertanyaan yang tidak kalah penting, sebenarnya bagaimana pandangan agama, utamanya agama Islam terhadap sebutan-sebutan yang negatif kepada difabel? Pertanyaan ini mengemuka mengingat masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam dan dinilai memegang teguh budaya ketimuran.

Dalam agama Islam, stigma dan diskriminasi terhadap difabel merupakan tindakan yang haram atau tidak diperbolehkan secara hukum. Dalam ajaran Islam, kedudukan semua manusia sama, baik itu difabel-non difabel, kaya-miskin, budak-majikan, laki-laki-perempuan, yang membedakan hanyalah tingkat ketaqwaan seseorang (Qs. Al-Hujarot : 13).  Taqwa sendiri kalau ditelaah banyak berkaitan dengan pesan-pesan agar setiap orang Islam dapat berkembang menjadi pribadi yang berprilaku terpuji, baik hubungannya dengan Allah maupun dengan relasi sosial kemasyarakatan yang sangat luas.

Dalam ajaran Islam juga disebutkan bahwa Allah tidak melihat pada tubuh dan bentuk rupa seseorang, tetapi Allah melihat kepada hati umat mereka. Hal ini memperlihatkan bahwa kemuliaan seseorang di sisi Allah tidaklah diukur karena bentuk fisik dan rupa sebagaimana telah menjadi alat peminggiran kelompok difabel selama ini, tetapi Allah melihat hati dan kebaikan-kebaikan yang muncul akibat hati seseorang yang bersih.

Ajaran Islam lebih luas memperlihatkan bahwa agama ini menentang segala praktek ketidakadilan, dehumanisasi, dan setiap hal yang bertentangan dengan nilai-nilai etik dan profetik. Karena itu, sebutan-sebutan yang negatif, buruk, dan bernuansa kutukan haruslah ditinggalkan. Umat beragama, khususnya orang-orang Islam haruslah menyebarkan sebutan, pandangan dan perilaku yang menguatkan kelompok difabel.

This article have been pubslished in SINDO newspaper, 4 November 2020.

Purwakarta (28/10) Competition is an event for self-development. On this occasion, students of the Faculty of Law at the Indonesian Islamic University (FH UII) once again made the campus proud by placing 3rd place in the Scientific Writing Competition in Central Java and D.I.Yogyakarta organized by the Faculty of Law, Jendral Sudirman University. Regarding the competition, FH UII sent Shafira Aretha Inafitri (2019), Fawwas Aufaa Taqiyyah Prastiwi (2019), and Eka Detik Nurwagita (2019) as delegates. The three Heroes of FH UII raised the topic “The Urgency of Personal Data Protection Against E-Commerce Users in Indonesia”.

Of course, this success cannot be separated from the guidance and prayers of the FH UII lecturers who have taken their time and thoughts, as expressed by the representative of the delegation, Eka Detik Nurwagita, “Alhamdulillah, we thank our brothers and our supervisors who have guided us from scratch, and provide all the inspiration and motivation, so that it can be our reference in participating in this competition and thanks to him all we were able to make achievements for this beloved UII FH campus, without him all of us might not be able to get to this point Jazaakumullah khoiron katsiiroon”. Besides that, it is hoped that in the future FH UII will not only color in the regional arena but also be able to provide color in the national and international arena.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Setelah revisi UU KPK disahkan pada pengunjung 2019, seharusnya pemerintah bersama DPR melakukan evaluasi atas performanya dalam melaksanakan fungsi legislasi. Saat itu, mereka dihujam kritik dan penolakan publik atas perubahan UU KPK. Prosesnya dikebut secara cepat, tanpa partisipasi dan tidak akuntabel.

Tanpa belajar dari proses perubahan UU KPK, sulit untuk memperoleh kembali kepercayaan publik atas produk legislasi yang dihasilkan. Belum lagi pemerintah dihadapkan dengan pandemi Covid-19, yang mengharuskan pembentuk UU segera beradaptasi atas performanya di bidang legislasi diharapkan tetap berjalan secara transparan, partisipatif, dan akuntabel.

Dengan membaca realitas saat ini, tampak kinerja legislasi di bawah standar. Perubahan UU KPK disusul UU Minerba, UU MK, dan UU Cipta Kerja nyatanya melahirkan delegitimasi sosial secara masif di masyarakat.

Tom Ginsburg dan Aziz Huq (2016) memelopori konsep evaluasi performa konstitusi (assessing contitutional performance) unutk memangkas jarak (gap) antara harapan (sollen) dan realitas (sein) pada bunyi teks konstitusi dan performanya di tataran praktis.

Hasil studinyam ada tiga faktor utama yang menyebabkan konstitusi tak dapat perform dengan dalam merespons kepentingan publik: (1) akibat realitas politik, (2) pengaruh kelompok-kelompok penekan, dan (3) faktor-faktor non hukum, seperti teknologi dan birokrasi. Sejalan preposisi Ginsburg dan Hug, kinerja legislasi kita sebenarnya sedang berjalan di luar pakemnya.

Oleh karena itu, tak heran jika kebutuhan evaluasi kinerja legislasi menjadi kian mendesak guna memulihkan performanya untuk kembali berjalan dalam kenormalan baru. Harus diakui, bangunan norma-norma, konstitusi yang mengatur fungsi legislasi dalam UUD meletakkan hubungan Presiden dan DPR dalam mode fifty-fifty formula.

Setiap lembaga diletakkan sebagai pemegang otoritas dalam pelaksaan fungsi legislasi dengan skema persetujuan bersama (mutual approve). Asumsinya diharapkan ada keseimbangan relasi berdasarkan prinsip checks and balances diantara keduanya danlam membahas dan menyetujui RUU. Logikanya sederhana, jika salah satu lembaga oembentuk UU tak mencapai persetujuan, RUU akan ditarik dan tak akan diajukan lagi pada masa itu. Sayangnya, realitas politik saat ini justru tidak menopang bekerjanya fungsi legislasi dengan baik.

Pengaruh oligarki

Tanpa disadari, presiden yang memperoleh dukungan mayoritas parpol di DPR turut memengaruhi kinerja legislasi yang dilakukan secara bersama. Dengan koalisi kepartaian, yang “super gemuk” di DPR hubungan keduanya cenderung kompromistis satu sama lain. Imbasnya, fungsi legislasi berjalan mulus tanpa adanya saling kontrol.

Anasir ini perlu dijadikan bahan evaluasi secara mendalam. Persepsi yang diletakkan para periset hukum dan politik yang menyatakan bahwa koalisi gemuk memperkuat stabilitas politik dan sistem presidensial menjadi relevan dievaluasi kembali. Berkaca pada empat UU terakhir (UU KPK, Minerba, MK, dan Cipta Kerja), koalisi gemuk justru tak lagi jadi solusi, tetapi sebuah ancaman karena dapat mematikan pengawasan politik di DPR atau sebaliknya.

Hal lain yang mempengaruhi menurunnya performa legislasi tak dapat dilepaskan dari kekuatan kelompok-kelompok penekan dalam menentukan isi UU. Mereka bukan pembentuk UU, tetapi mempunyai pengaruh yang cukup kuat dalam menentukan isi pasal yang ditentukan dalam proses legislasi. Dalam analisis Jeffry Winters (2013), mereka umumnya kaum oligark yang cenderung memengaruhi agar produk legislasi lebih kental keberpihakannya kepada kelompok elite dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

Pada titik ini, aspek formil pembentukan UU seharusnya bisa menjadi aturan main bagi para pembentuk UU dalam melaksanakan fungsi legislasi. Naskah akademik seharusnya bisa jadi garis pembatas masuknya kepentingan kelompok-kelompok penekan yang akan mempengaruhi isi sebuah pasal dalam UU.

Dalam studi legisprudensi (Luc J Wintgens: 2012), aspek formil merupakan jantung keberhasilan sebuah pembentukan UU. Ia menitikberatkan rasionalitas dalam setiap harapan pembentukan UU. Bahwa proses yang baik itu tak akan pernah mengkhianati hasil. Hal ini yang belum terlihat dalam proses legislasi dalam beberapa UU terakhir. Aspek formil begitu mudah diterabas akibat sikap pragmatis partai, kemudian dibajak oleh kepentingan kaum oligark.

Kemudian faktor nonhukum, seperti birokrasi dan teknologi, juga ikut mempengaruhi performa legislasi dalam satu tahun terkahir. Terputusnya relasi publik untuk mendapatkan informasi di setiap tahapan lehislasi menjadi salah satu problem mendasar dalam praktik legislasi di empat UU terakhir. Proses yang tertutup ini secara langsung memengaruhi minimnya partisipasi publik dalam pembentukan sebuah UU.

Dalam masa pandemi saat ini, pemanfaatan teknologi digital merupakan bagian penting untuk memulihkan kondisi legislasi yang sedang perform di bawah standar. Tentu tak hanya sekadar mendigitalisasi pembahasan di setiaptahapan pembentukan UU, tetapi juga menjaring aspirasi publik guna mengawasi jalannya proses legislasi.

This arcticle have been publsihed in KOMPAS, 16 October 2020.