Politics and sports or sports diplomacy describe the use of sport as a means to influence diplomatic, social, and political relations. Sports diplomacy may transcend cultural differences and bring people together.

The use of sports and politics has had both positive and negative implications over history. Sports competitions or activities have had the intention to bring about change in certain cases. Nationalistic fervor is sometimes linked to victories or losses to some sport in sports fields.

While the Olympics is often the biggest political example of using sports for diplomatic means, cricket and association football, as well as other sports in the global arena, have also been used in this regard. In the case of Apartheid, sport was used to isolate South Africa and bring about a major overhaul in the country’s social structure. While ethnicity and race can cause division, sports can also help blend differences.

On the subject of politics and current affairs, the IFI and Faculty of Law Universitas Islam Indonesia (UII) collaborate to conducted Studium Generale concerning “Sports & Diplomacy”. The event will take place in Ruang Sidang Utama 3rd Floor Faculty of Law Universitas Islam Yogyakarta on 6th December 2018 Started from 13:00-16:00 . It will be led by 2 French experts: Mr. Cyrille Bret (analyst of the geopolitical functions of sport), Mr. Barthelemy Courmont (expert on political and security issues in Asia).

Congratulations to the first batch of our staff-students, learning English to prepare for the AUN QA accreditation, on successful completion of their English Course. The course took place over two months and 21 hours of instruction in speaking, listening, reading, and writing. All of the participants demonstrated enthusiasm for the program.  Due to this enthusiasm, the first phase of this program was a resounding success.

The participants, regardless of their previous English language training or skill level, acted fearlessly to increase their abilities.  They faced a wide range of activities, including written exercises in technical grammar, role plays to increase their fluency, and presentations to their peers; demonstrating a great deal of confidence.  This confidence was constantly tested and on display as the participants stepped up and tacked each task.  Even more impressive, they demonstrated consistent progress despite getting almost no instruction in the Indonesian language.  It was a true English immersion course with a native English speaker and the students embraced the challenge.  Their confidence and commitment will pay off as essential contributions to the upcoming accreditation of the UII Faculty of Law.

Harvard Law School’s Islamic Legal Studies Program: Law and Social Change invites applications for Visiting Fellowships for the 2019-2020 academic year. This fellowship provides opportunities for outstanding scholars and legal practitioners to undertake research, writing, and scholarly engagement on Islamic law and society. We are particularly interested in applicants whose work focuses on human rights, women’s rights, children’s rights, minority rights, animal welfare and rights, constitutional law, food law,

environmental law and climate change in particular, migration and refugee studies, LGBTQ issues, and related areas.

We welcome applicants with a JD, LLM, SJD, PhD or other comparable degree who are interested in spending from one month up to one academic year in residence at Harvard Law School working on an independent project. We seek applicants from a diverse range of backgrounds, academic traditions, and scholarly interests.

Fellows will receive a stipend of up to $5,000 per month, commensurate with their education and experience. While Fellows will devote the majority of their time to their research projects, they are expected to participate in Program activities and contribute to the intellectual life of the Program. Fellows are expected to deliver a lecture or workshop related to their topic of interest. Under certain conditions, an ILSP: LSC fellowship may be combined with another fellowship or award.

The deadline to submit all application materials (including letters of recommendation) is February 1, 2019 to be considered for a fellowship term during the 2019-2020 academic year. Click here for additional information and how to apply.

DOSEN FH UII: HKI PERLU UNTUK JAMINAN KEBERLANGSUNGAN BISNIS UKM

Dosen Fakultas Hukum UII Abdurrahman menjelaskan bahwa sertifikat Hak Kekayaan Intelektual (HKI) sangat diperlukan oleh para pelaku usaha kecil menengah (UKM).

Menurutnya, HKI dalam bentuk hak cipta, hak desain, hingga hak merek menjadi jaminan bagi pelaku usaha agar bisnisnya berjalan secara berkesinambungan.

“Jadi tidak hanya dari aspek legalitas secara hukum, tetapi juga ada nilai ekonomi,” ujar Abdurrahman via telepon, Minggu (14/10/2018).

Abdurrahman menegaskan para pelaku UKM harus sadar betapa ide dan kreasinya memiliki nilai yang sangat penting secara ekonomi, termasuk hak moralnya sebagai warga negara.

Ia mencontohkan bisnis dalam bentuk waralaba, di mana pemiliknya sudah memiliki sertifikat HKI hingga hak paten secara lengkap.

“Mereka bisa mengembangkan bisnis secara masif dan mendulang pendapatan tinggi, karena mereka sudah memiliki pegangan secara hukum,” jelas peneliti Pusat Studi HKI UII ini.

Abdurrahman juga mengapresiasi pemerintah pusat, sebab sudah melakukan banyak perubahan pada UU tentang HKI. Perubahan tersebut menurutnya sudah sesuai dan memadai dengan kemajuan jaman.

Oleh karena itu, ia menghimbau pada pelaku usaha agar membekali diri tentang dasar HKI hingga prosedur pengurusannya sesuai UU yang berlaku.

“Setidaknya mereka harus memprioritaskan hak cipta, hak desain, hingga hak merek produknya,” kata Abdurrahman. (tribunjogja)

Narasi “Empat Tahun Jokowi-JK” tentu menjadi sebuah refleksi tahunan dalam mengevaluasi kinerja pemerintahan saat ini. Metode analisa yang dibangun juga cukup beragam. Bisa dipotret dari sudut pandang kebijakan ekonomi, hubungan luar negeri, sampai dengan hukum dan politik. Jika hendak dipotret dari kebijakan pembangunan infrastruktur, empat tahun Jokowi-JK cenderung memperlihatkan perkembangan yang cukup pesat.

Anasir itu bisa dilihat dari pembangunan jalan dan jembatan, pelabuhan, bandar udara, sampai dengan infrastruktur pendukung ketahanan pangan. Namun jika dipotret dari kebijakan hukum dan politik, pembangunan hukum melalui fungsi legislasi cenderung “mangkrak”, dalam artian jalannya lambat dan kian menumpuk.  Data menunjukan, prolegnas prioritas di tahun 2018 masih menyisahkan sekitar 50 RUU. Ironisnya dari 50 RUU prioritas di tahun 2018, sebagian besar berasal dari prolegnas di tahun sebelumnya. Beberapa di antaranya, RUU Jabatan Hakim, RUU Hukum Pidana, RUU Perubahan Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan RUU  Perubahan  Tentang Mahkamah Konstitusi. (Prolegnas Prioritas Tahun 2018).

Angka rata-rata pertahun terhadap fungsi legislasi pemerintah, cukup kecil. Tahun 2015 misalnya, dari 40 RUU Prolegnas hanya bisa menghasilkan 3 RUU menjadi UU Tahun 2016 dan 2017, dari 51 RUU Prolegnas, hanya 7 yang dihasilkan menjadi UU.(Laporan Kinerja DPR Tahun Sidang 2016-2017). Denyut legislasi ini tentu tidak dapat diberikan “tepukan hangat”. Beban tanggung jawab atas problem ini tidak hanya melekat pada DPR, melainkan juga pemerintah. Sebab, UUD memberikan porsi fifty-fifty formula (50:50) antara DPR dan Presiden dalam melaksanakan fungsi legislasi.

Corak Legislasi

Menumpuknya beberapa program legislasi di atas, sebenarnya tidak hanya dialami oleh pemerintahan Jokowi-JK di akhir masa pemerintahannya. Problem di atas lazim dijumpai oleh beberapa rezim pendahulunya. Lima tahun pertama pemerintahan SBY hampir memperlihatkan gejala yang sama.  Hal ini disebabkan oleh corak legislasi dalam UUD yang mengawinkan kekuasaan eksekutif dan legislatif dalam fungsi legislasi. Pasal 20 ayat (2) UUDN RI Tahun 1945 menegaskan bahwa “Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama”. Corak ini membuka peran Presiden dalam legislasi bergaya parlementer. Dalam langgam presidensil, presiden seharusnya hanya diberikan porsi untuk mengusulkan RUU. Namun UUD tidak hanya meletakkan Presiden sebagai pengusul, tetapi turut serta membahas dan menyetujui RUU secara bersama-sama (mutual consensus) dengan DPR. Konstruksi demikian membuat Presiden turut andil dalam mengawal denyut legislasi. Model gabungan ini membuat proses legislasi menjadi sangat alot, akibat posisi presiden dan DPR dalam bentuk yang bersifat simetris dan sama kuat. Tidak hanya itu, pilihan sistem multi partai, yang mengharuskan pemerintah membangun koalisi dengan beberapa partai politik untuk mendapatkan basis legitimasi yang kuat guna melaksanakan fungsi pemerintahan. Dalam risetnya Scoot Mainwaring menyebutkan praktik presidensil yang bersekutu dengan multipartai cenderung menunjukkan hubungan pemerintahan yang tidak stabil antara parlemen dan presiden. (Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination:1993). Model ini sekiranya menempatkan posisi pemerintah jauh lebih dilematis. Tidak heran jika pemerintahan Jokowi-JK di tahun pertama dan kedua cenderung mencari basis kompromi yang kuat terlebih dahulu, dibanding fokus melaksanakan perannya dalam fungsi legislasi. Beberapa faktor lain yang juga menyebabkan kinerja legislasi menumpuk antara lain intensitas studi banding, masa reses, sampai dengan manuver politik yang kerap dilakukan melalui hak angket, interpelasi, sampai dengan hak menyatakan pendapat.

Menjaga Denyut Legislasi

Dalam sisa waktu kurang dari satu tahun masa pemerintahan, Jokowi-JK mempunyai beban legislasi yang cukup berat. Sisa waktu yang kian menyempit ini membuat Presiden tersandera dengan agenda legislasi. Di satu sisi Jokowi dan partai koalisi harus bahu membahu untuk kembali meraup suara pemilih, namun disisi yang lain dituntut mampu menyelesaikan beban prolegnas yang kian menumpuk. Waktu yang tersisa harus benar-benar dimanfaatkan pemerintahan Jokowi-JK guna memulihkan denyut legislasi. Menguatkan fungsi koordinasi pada jajaran menteri dan DPR menjadi agenda yang tak bisa ditawar Jokowi-JK guna menyelsaikan prolegnas prioritas. Pertanyaan yang kemudian muncul mampukah rezim Jokowi-JK menyelesaikan itu ?? Kini komitmen pemerintah kembali di uji dengan semboyan “kerja, kerja, kerja”…!!

 Idul Rishan, S.H.,LL.M.

Pengurus Asosiasi Pengajar HTN-HAN Wilayah DIY

Pengajar Hukum Konstitusi, Universitas Islam Indonesia

 

Telah diterbitkan oleh Koran Kedaulatan Rakyat, 1 November 2018

PERATURAN DAERAH DISABILITAS PERLU DIAMANDEMEN

Enam tahun yang lalu, Pemerintah Provinsi Yogyakarta mengesahkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan ini cukup menggembirakan karena melibatkan beberapa organisasi difabel yang ada di Yogyakarta. Tokoh-tokoh difabel memberikan masukan dan menyusun substansi Peraturan Daerah ini. Di masanya, Perda ini diapresiasi oleh banyak pihak dan beberapa daerah di Indonesia ikut mempelajari Perda yang menjamin hak-hak difabel di Yogyakarta.

PERATURAN DAERAH DISABILITAS PERLU DIAMANDEMEN

Di antara rujukan penting Peraturan Daerah ini adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities. Pengesahan konvensi internasional ini sepertinya menjadi penyemangat beberapa aktifis difabel di Yogyakarta agar dapat memasukkan substansi yang sangat penting ke dalam Peraturan Daerah. Pada aspek yang lain yang ini menjadi catatan kritis, Perda ini masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang secara normatif telah dikritik oleh komunitas difabel karena isinya sangat yang medis dan berisi stigma negatif.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sebenarnya sudah lama dikritik, diantaranya, pertama, Undang-Undang ini menyebut difabel sebagai penyandang cacat. Penyandang cacat kita tahu merupakan sebutan stigmatif, negatif dan menempatkan difabel sebagai orang sakit, dianggap tidak mampu karena itu harus dibantu, dan dianggap sebagai orang yang tidak bisa karena tidak bisa mandiri. Kedua, Undang-Undang ini membagi penyandang cacat sebagai penyandang cacat fisik dan mental. Ketiga,  Undang-Undang ini mengatur dengan sangat jelas derajat kecacatan. Pengaturan derajat kecacatan memperlihatkan bahwa Undang-Undang ini memang sangat diinspirasi oleh ideologi kenormalan. Keempat, Undang-Undang ini sangat simplisitik mendefinisikan difabel, hak-hak yang dijamin tidak komprehensif, dan tidak jelasnya pemangku kebijakan yang menjamin pengawasan dan pemenuhan  hak-hak difabel.

Kritik keras komunitas difabel terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat berdampak tidak berlakunya norma ini di level komunitas dan banyak pihak mendorong amandemen. Momentumnya perubahan menguat setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With Disabilities lewat Undang-Undang No. 19 Tahun 2011. Setelah ratifikasi ini, komunitas difabel di seluruh Indonesia menggeliat dan mendorong perubahan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, dan akhirnya pada 15 April 2016 Presiden Jokowi Widodo mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Momentum Mengubah Perda Disabilitas

Keberadaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang secara normatif mengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, setidaknya memberi pengaruh terhadap Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pertama, Perda ini secara yuridis masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene telah dicabut. Kedua, ada banyak substansi hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum dimasukkan ke dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012. Dua alasan ini setidaknya menjadi pertimbangan fundamental bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Yogyakarta sudah seharusnya melakukan amandemen disesuaikan dengan perkembangan jaminan hukum dan hak-hak yang melekat pada penyandang disabilitas.

Saat menelaah Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan disandingkan dengan  Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ditemukan beberapa perbedaan penting. Diantaranya perihal pertimbangan, di mana dalam Undang-Undang disebutkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitaan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Dalam Peraturan Daerah tidak ditemukan pertimbangan yang bersifat existing ini.

Perbedaan lainnya terlihat dalam hal pendefinisian penyandang disabilitas, beberapa prinsip dalam Undang-Undang belum ada dalam Peraturan Daerah, ragam penyandang disabilitas dalam Undang-Undang hanya ada 4 (empat) sedangkan dalam Peraturan Daerah ada 11 (sebelas), beberapa hak difabel dan kewajiban pemangku kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang belum masuk di dalam Peraturan Daerah, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Peraturan Daerah dan Komisi Nasional Disabilitas yang diatur dalam Undang-Undang sangat berbeda struktur, tugas dan kewenangannya.

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa sudah saatnya Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas diamandemen. Para aktifis difabel sangat penting dilibatkan dalam pembahasannya. Amandemen Perda ini harapannya akan memberikan jaminan pemenuhan hak-hak difabel yang lebih jelas di masa depan.

 

Terbit di Koran Kedaulatan Rakyat, 7 November 2018

 

M. Syafi’ie
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 
Peneliti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Pusham UII)

There are plenty of Scholarship opportunities available for graduates of the law school for continuing a higher degree education overseas. Among them that are still available for the 2019/2020 deadline:

  1. The Ton Duc Thang University opens up 200 scholarship opportunities for Graduate Studies to study in Vietnam for fall and spring semester. These scholarships cover full tuition fees of Masters and Doctoral Programs. Click here for further information.
  2. Fullbright Master’s Degree Scholarship grants students the chance to pursue a master’s degree in the United States for one to two years in a range of academic fields. Click here for further information.
  3. The Endeavor Scholarship program by the Australian Government provides a total of $118.9 million over four years for the ELP. Under the 2019 round, approximately $20 million in funding is available to support two-way mobility Leadership Activities. Click here for more information.

UEL Summer School is one of the annual activities of the American Law Center (a research institute established by the University of Economics and Law, Vietnam National University in Ho Chi Minh City) in partnership with Indiana University, US. UEL Summer School 2018, while focusing on Consumer Protection Law and Tort Law of the US, was successfully completed in 02 weeks from July 23rd 2018 to August 03rd 2018. Alif M. Gultom one of the participants who received scholarships to participate in the program which also include the accommodation.


UEL Summer School 2018 was divided into two courses, taught by professors from Robert H.McKinney School of Law, Indiana University. Course 01 on Consumer Protection Law was taught by Prof. Max Huffman. Course 02 on Tort Law was taught by Prof. John Lawrence Hill. 35 lecturers, Ph.D Candidates, students within and outside of Viet Nam participated in the program: University of Malaya (Malaysia), Universitas Islam Indonesia, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Suryakancana University (Indonesia), Paris I, Paris II (France), Keio Law School (Japan), Hanoi University of Law, Hanoi Open University, Duy Tan University, Dalat University, An Giang University, University of Economics and Law.

All participants enthusiastically participated in class discussion on different legal systems. Moreover, the special lessons on Vietnamese laws taught by UEL lecturers on labor law (Dr. Doan Thi Phuong Diep), contract law (LL.M. Nguyen Phan Phuong Tan), civil liability (Asssoc. Prof. Nguyen Ngoc Dien), trade and development (LL.M. Dao Gia Phuc) helped deliver Vietnamese laws to international participants. 

Concurrently with academic activities, the participants also joined in outdoor excursion and cultural activities.  On July 26th 2018, the participants visited University City, Viet Nam National University Campus by using E-Bikes and biked for 5km through member universities, dormitories and other facilities of Viet Nam National University. Afterwards, the participants learned to roll “cha gio” and had dinner with Vietnamese traditional cuisines at a restaurant in District 9.  On July 31st 2018, the participants experienced the WaterBus ride, ate Pho and visited the Independence Palace – one of the most famous historical sites of Ho Chi Minh City. Furthermore, the participants also had a chance to visit and learned practical knowledge from YKVN law firm and Vietnam International Arbitration Centre (VIAC).

Academician Assoc. Prof. Nguyen Ngoc Dienawarded the Certificate of Completion to the participants and conducted the Closing Ceremony on August 3rd 2018. UEL Summer School 2018 was very successful, not only had the program achieved the goal of being a useful academic program on American Law through the teachings of Prof. Max Huffman and Prof. John Hill, but also introduced the legal systems, legal practice environment as well as culture of Vietnam to the Professors and participants within and outside of the country. The program left beautiful memories for the participants, especially for lecturers and participants from different universities within and outside of Viet Nam, promising the continual success for future UEL Summer School.

Our Faculty’s Moot Court Team have returned back in joining the 2018International Humanitarian Moot Court Competition at the Catholic University of Parahyanagan in Bandung on the 2-4 November 2018. The legacy continued by bringing home 1st Best Memorial and Semi-Finalist Award. The team consisted of Hana and Rafi as the oralists who were guided by the board of Coaches and Advisors; Fasya Addina, Christopher Cason, and Prof. Sefriani. The team had to compete with distinguished opponents coming from prestigious Universities. With the strong determination and hard work our moot-court team had, we were able to gain invaluable achievements for the Faculty and University. All the endless supports will relay the motivation to achieve more in future national, regional, and international law competitions.

Tuesday, October 2, 2018 located in the Third Floor Main Auditorium Room of the Post-Graduate Campus of the Faculty of Law UII was held a General Lecture with the theme “Constitutional Court and The Protection Citizens’ Constitutional Rights” by presenting speakers Prof. Dr. Aswanto.S.H., M.H., DFM, Deputy Chief of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia and Tan Sri Zainun Binti Ali Chief Justice of the Federal Court of Malaysia.

This Generale Lecture is a form of synergy between the Constitutional Court of the Republic of Indonesia and the Islamic University of Indonesia. On this occasion, Rector of the Indonesian Islamic University Fathul Wahid, ST, M.Sc., Ph.D attended and gave his welcoming speech to all participants of the Generale Lecture, “We (UII) really welcomed upon this kind of activities, it is hoped that this synergy is not only stopped here but it can be continue to be developed in the future in order to provide broad insight and knowledge related to the legal practices that apply in Indonesia, “said the Rector of UII.

Furthermore, representatives from the Constitutional Court of the Republic of Indonesia also gave his welcoming speech and formally open the Generale Lecture. In his speech, Dr. Wiryanto, S.H., M.Hum, who acted as Head of the Center for Research and Assessment of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia said that “We are very grateful to UII for being able to work together to hold a Generale Lecture today”.

In this General Lecture, the moderator was Dodik Setiawan Nur Heriyanto S.H., M.H., L.LM., Ph.D. In this event, Prof. Dr. Aswanto.S.H., M.H., DFM provided material on “Duties and Authorities of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia”, in his presentation he explained that “The duties and authorities that we carry were easy but the responsibilities is really heavy”. The next speaker, Tan Sri Zainun Binti Ali, presented the theme of the presentation related to “Protection of Constitutional Rights of Citizens”, in her explanation she explained about the two cases that she handled at Federal Court Malaysia, the cases of Indira Ghandi and Kalimah Allah.

The event which took place from 09.00 – 12.00 was attended by several lecturers, undergraduate and postgraduate students in which totaling approximately 100 participants. This Generale Lecture was broadcast live via Video Conference in 42 Law Faculties throughout Indonesia. The event ended with an interactive question and answer session from the participants whose present directly at the Main Auditorium of the Postgraduate Graduate School of UII or through Video Conference.