Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law
Bertempat di Hotel Santika Premiere, Surabaya, pada Selasa, 22 November 2016, saya berdiskusi dengan teman saya, Hafandi, tentang (waktu itu masih rencana Demo 212. Teman saya sejak kecil ini mengatakan akan hadir dalam Demo 212 sebagai panggilan hati seorang muslim. Katanya, dia dan beberapa temannya sudah membeli tiket pesawat untuk bergabung dengan Demo 212.
Waktu itu saya menyarankan ia agar tidak ikut karena demo itu sudah tidak relevan lagi. Tujuan Demo 411 yang meminta Ahok diproses hukum sudah dicapai, Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka, Tidak ada lagi tuntutan baru yang bisa diajukan karena perkara sudah berjalan. Saya juga bilarig, Demo 212 sedang digembosi, dituduh ada yang menumpangi untuk makar sehingga tidak akan sebesar Demo411.
Di daerah-daerah aparatmelarang warganya ikut demo ke Jakarta, perusahaan-perusahaan bus dilarang mengangkut peserta demo dengan ancaman izin trayeknya akan dicabut. Fatwa yang terburu-buru bahwa salat Jumat di jalanan tidak sah disebar di manamana. “Jadi tak usah ikut, kawan. Kita tidak usah ikutikutan emosi, mari selesaikan masalah ini sesuai dengan jalur yang tersedia dengan kepala dingin,” kata saya kepada Hafandi.
Tetapi gelora masyarakat untuk berdemo itu membesar, Semakin dilarang semakin banyak orang yang mendaftar. Beberapa kawan saya dari berbagai daerah menyatakan akan bergabung dan mengajak saya bertemu di Jakarta. Mereka menginformasikan, di daerahnya ada ribuan orang siap berangkat dengan biaya sendiri. Mereka siap membela kesucian kitabullah, Alquran.
Dari Ciamis ribuan umat. Islamlangsung berjalan kaki, long march, menyikapi berita adanya i larangan oleh aparat kepada perusahaan bus untuk mengangkut para peserta demo. Dari berbagai daerah dilaporkan bahwa tiket tiket pesawat, kereta api,dankapallautsudah ludes diboronguntuk ke Jakarta. Mobilmobil pribadi siap berkonvoi ke Jakarta. Seorang pemilik perusahaan bus berkata, “Bus-bus saya tetap akan mengangkut peserta demo, apalagi cuma diancam pencabutan izin trayek, dibakar pun tak apa-apa, demi perjuangan suci.”
Intelijen Polri rupanya bekerja dengan bagusketika segera menyimpulkan bahwa Demo 212 tak mungkin dihalangi. Itulah sebabnya pada 28 November 2016 pihak Polri berembuk dengan GNPF-MUI, MUI, FPI, dan lain-lain untuk akhirnya menyepakati Demo 212 boleh berlangsung dan Polri akan memfasilitasi serta memberikan pengamanan asal acaranya dimodifikasi menjadi doa superdamai. Tujuannya bukan unjuk rasa, melainkan doa untuk kebaikan Indonesia.
Sampai di titik kesepakatan dan sikap akomodatif dari Polri itu saya masih tak yakin Demo 212 akan menyamai Demo 411 sebab persetujuan aparat ke amanan baru diberikan tangg 29 November 2016, hanya dy setengah hari menjelanghari. Tetapi saya menjadi terkesiap dan (terus terang) terharu meLihat semangat kaum muslim yang berunjukrasa untuk membela kitab sucinya. Meskipun saya sendiri tidak ikut dalam demo itu, tetapi saya merasa sangathormat kepada mereka.
Pada Jumat dini hari kawan saya Hafandi yang tinggal di Surabaya itu mengirim pesan pendek. “Kawan, saya sudah di Jakarta, menunggu subuh di Masjid Istiqlal. Pukul 8.00 saya akan ke Monas. Kamu di mana? Ponsel saya pun penuh dengan pesan dari kawankawan yang sebenarnya tinggal di berbagai daerah, tapirupanya sudah ikut numplek di Jakarta.
Sudah dapat dipastikan peserta Demo 212 jauh lebih besar dari 411 karena pada konferensi pers 29 November Kapolri mengatakan bahwa lapangan Monas saja menampung 600.000 orang. Nah, ini membludak sampai ke Bundaran BI, Jalan Thamrin, dan sekitarnya. Yang mengharukan, Demoitu didukung oleh masyarakat, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Banyak orang ikut menyumbang spontan untuk membekali para pendemo.
Menko Polhukam Wiranto menyaksikan sendiri banyak ibu-ibu yang mengirim ribuan bungkus nasi, kudapan, dan minum-minuman gratis di sepanjang perjalanan. Ini meng ingatkan kita pada sejarah gerilya Panglima Sudirman melawan penjajah Belanda, di sepanjang jalan yang dilalui selalu disuplai dengan logistik oleh inasyarakat. Juga meng ingatkan kita pada Reformasi 1998 yang mempersaksikan bahwa banyak warga, termasuk istri-istri pejabat, yang menyuplai logistik terhadap mahasiswa-mahasiswa yang berdemo di gedung MPR/DPR saat itu.
Sebenarnya, meskipun namanya dihaluskan menjadi doa superdamai, acara 212 itu tetaplah demo. Dan demo seperti itu dalam pandangan Islam yang lebih komprehensif dan dianut oleh pendukungpendukung demo, bukan hanya tidak bertentangan dengan prinsip ibadah, tetapi bisa menjadi bagian dari ibadah itu sendiri. Di dalam Islam ibadah dibedakanatas ibadah mahdhah (seperti salat, puasa, doa, zikir) dan ibadah muamalah atau ibadah sosial kemasyarakatan (seperti politik, pendidikan, Seni, dan sebagainya).
Para pengikut Demo 212 itu berpegangan pada dalil yang kuat bahwa beribadah mahdhah yang dikaitkan dengan ibadah muamalah sah, boleh, dan tidak dilarang. Menyampaikan aspirasi politik yang dikemas dan dibersamakan dengan ibadah mahdhah seperti doa bersama dan salat Junat di luar masjid dianggap sebagai ibadah yang sah dan berpahala dalam memperjuangkan aspirasi politik umat.
Kita tak bisa selalu berbohong dengan mengatakan bahwa peristiwa 212 hanya doa bersama dan bukan demo. Peristiwa 212 kemarin itu adalah demo, tepatnyaibadah Demo 212. Karenaitu, kita harus bersungguh-sungguh menangkap pesan dari ibadah demo itu, yakni berpolitiklah secara fair dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu agar tidak menimbulkan huru-hura.
Petuah Mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi perlu digarisbawahi ketilamengatakan ada tiga hal yang sangat menyentuh sensitivitas dan emosi umat Islam, kapan pun dan di mana pun: keagungan Allah SWT, ke muliaan Nabi Muhammad SAW, dan kesucian Alquran. Mari kita rawatnegara tercinta, Indonesia, ini dengan penuh kejujuran dan kearifan.
This article have been published in SINDO newspaper, 3 December 2016.