PERATURAN DAERAH DISABILITAS PERLU DIAMANDEMEN

Enam tahun yang lalu, Pemerintah Provinsi Yogyakarta mengesahkan Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Peraturan ini cukup menggembirakan karena melibatkan beberapa organisasi difabel yang ada di Yogyakarta. Tokoh-tokoh difabel memberikan masukan dan menyusun substansi Peraturan Daerah ini. Di masanya, Perda ini diapresiasi oleh banyak pihak dan beberapa daerah di Indonesia ikut mempelajari Perda yang menjamin hak-hak difabel di Yogyakarta.

PERATURAN DAERAH DISABILITAS PERLU DIAMANDEMEN

Di antara rujukan penting Peraturan Daerah ini adalah Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons With Disabilities. Pengesahan konvensi internasional ini sepertinya menjadi penyemangat beberapa aktifis difabel di Yogyakarta agar dapat memasukkan substansi yang sangat penting ke dalam Peraturan Daerah. Pada aspek yang lain yang ini menjadi catatan kritis, Perda ini masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, yang secara normatif telah dikritik oleh komunitas difabel karena isinya sangat yang medis dan berisi stigma negatif.

Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sebenarnya sudah lama dikritik, diantaranya, pertama, Undang-Undang ini menyebut difabel sebagai penyandang cacat. Penyandang cacat kita tahu merupakan sebutan stigmatif, negatif dan menempatkan difabel sebagai orang sakit, dianggap tidak mampu karena itu harus dibantu, dan dianggap sebagai orang yang tidak bisa karena tidak bisa mandiri. Kedua, Undang-Undang ini membagi penyandang cacat sebagai penyandang cacat fisik dan mental. Ketiga,  Undang-Undang ini mengatur dengan sangat jelas derajat kecacatan. Pengaturan derajat kecacatan memperlihatkan bahwa Undang-Undang ini memang sangat diinspirasi oleh ideologi kenormalan. Keempat, Undang-Undang ini sangat simplisitik mendefinisikan difabel, hak-hak yang dijamin tidak komprehensif, dan tidak jelasnya pemangku kebijakan yang menjamin pengawasan dan pemenuhan  hak-hak difabel.

Kritik keras komunitas difabel terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat berdampak tidak berlakunya norma ini di level komunitas dan banyak pihak mendorong amandemen. Momentumnya perubahan menguat setelah pemerintah Indonesia meratifikasi Convention On The Rights Of Persons With Disabilities lewat Undang-Undang No. 19 Tahun 2011. Setelah ratifikasi ini, komunitas difabel di seluruh Indonesia menggeliat dan mendorong perubahan Undang-Undang No. 4 Tahun 1997, dan akhirnya pada 15 April 2016 Presiden Jokowi Widodo mengesahkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Momentum Mengubah Perda Disabilitas

Keberadaan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang secara normatif mengganti Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, setidaknya memberi pengaruh terhadap Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pertama, Perda ini secara yuridis masih merujuk pada Undang-Undang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat yang notabene telah dicabut. Kedua, ada banyak substansi hukum yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas belum dimasukkan ke dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun 2012. Dua alasan ini setidaknya menjadi pertimbangan fundamental bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Yogyakarta sudah seharusnya melakukan amandemen disesuaikan dengan perkembangan jaminan hukum dan hak-hak yang melekat pada penyandang disabilitas.

Saat menelaah Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan disandingkan dengan  Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, ditemukan beberapa perbedaan penting. Diantaranya perihal pertimbangan, di mana dalam Undang-Undang disebutkan bahwa penyandang disabilitas di Indonesia hidup dalam kondisi rentan, terbelakang, dan atau miskin disebabkan masih adanya pembatasan, hambatan, kesulitaan, dan pengurangan atau penghilangan hak penyandang disabilitas. Dalam Peraturan Daerah tidak ditemukan pertimbangan yang bersifat existing ini.

Perbedaan lainnya terlihat dalam hal pendefinisian penyandang disabilitas, beberapa prinsip dalam Undang-Undang belum ada dalam Peraturan Daerah, ragam penyandang disabilitas dalam Undang-Undang hanya ada 4 (empat) sedangkan dalam Peraturan Daerah ada 11 (sebelas), beberapa hak difabel dan kewajiban pemangku kewajiban yang diatur dalam Undang-Undang belum masuk di dalam Peraturan Daerah, Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas yang diatur dalam Peraturan Daerah dan Komisi Nasional Disabilitas yang diatur dalam Undang-Undang sangat berbeda struktur, tugas dan kewenangannya.

Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa sudah saatnya Peraturan Daerah Provinsi Yogyakarta No. 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas diamandemen. Para aktifis difabel sangat penting dilibatkan dalam pembahasannya. Amandemen Perda ini harapannya akan memberikan jaminan pemenuhan hak-hak difabel yang lebih jelas di masa depan.

 

Terbit di Koran Kedaulatan Rakyat, 7 November 2018

 

M. Syafi’ie
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 
Peneliti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB) dan Pusham UII)

There are plenty of Scholarship opportunities available for graduates of the law school for continuing a higher degree education overseas. Among them that are still available for the 2019/2020 deadline:

  1. The Ton Duc Thang University opens up 200 scholarship opportunities for Graduate Studies to study in Vietnam for fall and spring semester. These scholarships cover full tuition fees of Masters and Doctoral Programs. Click here for further information.
  2. Fullbright Master’s Degree Scholarship grants students the chance to pursue a master’s degree in the United States for one to two years in a range of academic fields. Click here for further information.
  3. The Endeavor Scholarship program by the Australian Government provides a total of $118.9 million over four years for the ELP. Under the 2019 round, approximately $20 million in funding is available to support two-way mobility Leadership Activities. Click here for more information.

UEL Summer School is one of the annual activities of the American Law Center (a research institute established by the University of Economics and Law, Vietnam National University in Ho Chi Minh City) in partnership with Indiana University, US. UEL Summer School 2018, while focusing on Consumer Protection Law and Tort Law of the US, was successfully completed in 02 weeks from July 23rd 2018 to August 03rd 2018. Alif M. Gultom one of the participants who received scholarships to participate in the program which also include the accommodation.


UEL Summer School 2018 was divided into two courses, taught by professors from Robert H.McKinney School of Law, Indiana University. Course 01 on Consumer Protection Law was taught by Prof. Max Huffman. Course 02 on Tort Law was taught by Prof. John Lawrence Hill. 35 lecturers, Ph.D Candidates, students within and outside of Viet Nam participated in the program: University of Malaya (Malaysia), Universitas Islam Indonesia, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Suryakancana University (Indonesia), Paris I, Paris II (France), Keio Law School (Japan), Hanoi University of Law, Hanoi Open University, Duy Tan University, Dalat University, An Giang University, University of Economics and Law.

All participants enthusiastically participated in class discussion on different legal systems. Moreover, the special lessons on Vietnamese laws taught by UEL lecturers on labor law (Dr. Doan Thi Phuong Diep), contract law (LL.M. Nguyen Phan Phuong Tan), civil liability (Asssoc. Prof. Nguyen Ngoc Dien), trade and development (LL.M. Dao Gia Phuc) helped deliver Vietnamese laws to international participants. 

Concurrently with academic activities, the participants also joined in outdoor excursion and cultural activities.  On July 26th 2018, the participants visited University City, Viet Nam National University Campus by using E-Bikes and biked for 5km through member universities, dormitories and other facilities of Viet Nam National University. Afterwards, the participants learned to roll “cha gio” and had dinner with Vietnamese traditional cuisines at a restaurant in District 9.  On July 31st 2018, the participants experienced the WaterBus ride, ate Pho and visited the Independence Palace – one of the most famous historical sites of Ho Chi Minh City. Furthermore, the participants also had a chance to visit and learned practical knowledge from YKVN law firm and Vietnam International Arbitration Centre (VIAC).

Academician Assoc. Prof. Nguyen Ngoc Dienawarded the Certificate of Completion to the participants and conducted the Closing Ceremony on August 3rd 2018. UEL Summer School 2018 was very successful, not only had the program achieved the goal of being a useful academic program on American Law through the teachings of Prof. Max Huffman and Prof. John Hill, but also introduced the legal systems, legal practice environment as well as culture of Vietnam to the Professors and participants within and outside of the country. The program left beautiful memories for the participants, especially for lecturers and participants from different universities within and outside of Viet Nam, promising the continual success for future UEL Summer School.

Our Faculty’s Moot Court Team have returned back in joining the 2018International Humanitarian Moot Court Competition at the Catholic University of Parahyanagan in Bandung on the 2-4 November 2018. The legacy continued by bringing home 1st Best Memorial and Semi-Finalist Award. The team consisted of Hana and Rafi as the oralists who were guided by the board of Coaches and Advisors; Fasya Addina, Christopher Cason, and Prof. Sefriani. The team had to compete with distinguished opponents coming from prestigious Universities. With the strong determination and hard work our moot-court team had, we were able to gain invaluable achievements for the Faculty and University. All the endless supports will relay the motivation to achieve more in future national, regional, and international law competitions.

Tuesday, October 2, 2018 located in the Third Floor Main Auditorium Room of the Post-Graduate Campus of the Faculty of Law UII was held a General Lecture with the theme “Constitutional Court and The Protection Citizens’ Constitutional Rights” by presenting speakers Prof. Dr. Aswanto.S.H., M.H., DFM, Deputy Chief of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia and Tan Sri Zainun Binti Ali Chief Justice of the Federal Court of Malaysia.

This Generale Lecture is a form of synergy between the Constitutional Court of the Republic of Indonesia and the Islamic University of Indonesia. On this occasion, Rector of the Indonesian Islamic University Fathul Wahid, ST, M.Sc., Ph.D attended and gave his welcoming speech to all participants of the Generale Lecture, “We (UII) really welcomed upon this kind of activities, it is hoped that this synergy is not only stopped here but it can be continue to be developed in the future in order to provide broad insight and knowledge related to the legal practices that apply in Indonesia, “said the Rector of UII.

Furthermore, representatives from the Constitutional Court of the Republic of Indonesia also gave his welcoming speech and formally open the Generale Lecture. In his speech, Dr. Wiryanto, S.H., M.Hum, who acted as Head of the Center for Research and Assessment of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia said that “We are very grateful to UII for being able to work together to hold a Generale Lecture today”.

In this General Lecture, the moderator was Dodik Setiawan Nur Heriyanto S.H., M.H., L.LM., Ph.D. In this event, Prof. Dr. Aswanto.S.H., M.H., DFM provided material on “Duties and Authorities of the Constitutional Court of the Republic of Indonesia”, in his presentation he explained that “The duties and authorities that we carry were easy but the responsibilities is really heavy”. The next speaker, Tan Sri Zainun Binti Ali, presented the theme of the presentation related to “Protection of Constitutional Rights of Citizens”, in her explanation she explained about the two cases that she handled at Federal Court Malaysia, the cases of Indira Ghandi and Kalimah Allah.

The event which took place from 09.00 – 12.00 was attended by several lecturers, undergraduate and postgraduate students in which totaling approximately 100 participants. This Generale Lecture was broadcast live via Video Conference in 42 Law Faculties throughout Indonesia. The event ended with an interactive question and answer session from the participants whose present directly at the Main Auditorium of the Postgraduate Graduate School of UII or through Video Conference.

Author: Siti Ruhama Mardhatillah, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

Jakarta– Baru-baru ini ramai pemberitaan mengenai salah satu Guru Besar bidang Perlindungan Hutan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo yang digugat PT Jatim Jaya Perkasa (PT JJP) lantaran keterangan yang diberikan selaku saksi ahli dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Keterangan ahli tersebut disampaikan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Rokan Hilir Riau seluas 1.000 hektar yang mengakibatkan perusahaan tersebut dijatuhi sanksi denda sebesar Rp 500 miliar.

Tidak terima dengan sanksi yang dijatuhkan, alih-alih mengambil langkah hukum banding atas putusan tersebut, PT JPP justru menggugat Bambang Hero Saharjo ke Pengadilan Negeri Cibinong dan meminta kepada pengadilan untuk menyatakan Guru Besar IPB tersebut telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menyatakan surat keterangan ahli yang disusunnya cacat hukum, tidak memiliki kekuatan pembuktian dan batal demi hukum. PT JJP juga meminta agar Bambang Hero Saharjo dihukum membayar kerugian materiil dan moril sebesar Rp 510 miliar.

Tindakan yang dilakukan oleh PT JJP tentunya sangat melukai hati dan nalar kita sebagai manusia. Hal demikian memang kerap terjadi dikarenakan perkara lingkungan hidup mempunyai karateristik tertentu yang berbeda dengan perkara lainnya, dan dapat dikategorikan sebagai perkara yang bersifat struktural yang menghadapkan secara vertikal antara pihak yang memiliki akses lebih besar terhadap sumber daya (pengusaha/korporasi) dengan pihak yang memiliki akses terbatas (masyarakat).

Namun demikian, terdapat tiga lapis aturan hukum yang dapat melindungi Bambang dan para pejuang lingkungan dari taktik korporasi. Pertama, anti-Strategy Legal Action Against Public Participation (SLAAPP). SLAAPP merupakan tindakan dari pelaku perusak atau pencemar lingkungan yang berupaya mematikan partisipasi masyarakat dengan menggunakan jalur hukum dengan tujuan menimbulkan rasa takut pada diri individu atau masyarakat untuk memberikan informasi terjadinya perusakan atau pencemaran lingkungan. SLAPP merupakan tindakan hukum yang strategis (litigasi) untuk membungkam aspirasi/partisipasi publik.

Undang-Undang tentang perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009 (UU PPLH) telah memuat ketentuan untuk mengantisipasi tindakan SLAAPP yang dikenal dengan Pasal anti-SLAAPP yaitu Pasal 66 yang menyatakan bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

Kesaksian ahli yang disampaikan Bambang merupakan pendapat ahli yang didasarkan pada keilmuannya dan bukan merupakan kesaksian palsu. Terlebih lagi ia dihadirkan oleh KLHK dalam persidangan gugatan ganti rugi atas pembakaran lahan, sehingga kesaksian ahli Bambang dapat dikualifikasikan sebagai partisipasi warga negara dalam memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang telah rusak akibat dari pembakaran lahan. Sehingga, berdasarkan ketentuan tersebut gugatan yang dilayangkan PT JJP terhadap Bambang Hero Saharjo merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Kedua, selain UU PPLH, Bambang juga dilindungi oleh ketentuan dalam UU Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, UU Nomor 18 Tahun 2013 dalam Pasal 76 ayat (1) bahwa setiap orang yang menjadi saksi, pelapor, dan informan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar wajib diberi pelindungan khusus oleh pemerintah. Perlindungan khusus yang wajib diberikan pemerintah adalah perlindungan keamanan dan perlindungan hukum.

Ketiga, dalam UU yang sama, Pasal 78 ayat (1) menyatakan bahwa pelapor dan informan tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas laporan dan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Perlindungan juga diberikan oleh lembaga peradilan yang akan memeriksa gugatan SLAAPP ini dengan mengacu kepada pedoman Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 36/KMA/SK/II/2013 di mana hakim dalam memeriksa perkara lingkungan hidup diwajibkan untuk lebih mengedepankan kemanfaatan bagi lingkungan hidup.

Berbagai upaya diberikan untuk melindungi pejuang lingkungan dari tindakan SLAAPP dan agar masyarakat tidak perlu takut melaporkan, memberi keterangan sebagai saksi fakta maupun sebagai saksi ahli. Dengan demikian keadilan ekologis dan kelestarian lingkungan dapat terwujud.

This article have been published in newsdetik.com, 23 October 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Banyak orang yang salah memahami, atau sengaja memelintir, sebuah isu atau pernyataan yang sebenarnya sudah jelas struktur logika dan argumentasinya. Masalah keberlakuan hukum Islam di dalam kerangka hukum nasional yang pernah saya kemukakan, misalnya, bisa dielaborasi sebagai contoh

Dalam sebuah dialog interaktif di televisi, saya pernah mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar di Indonesia keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan agarhukum-hukum di Indonesia bisa memuat aspirasi Islam.

Pernyataan saya itu dipertentangan dengan pernyataan saya yang lain ketika saya mengatakan, ada upaya untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum yang eksklusif dengan gerakan tertentu yang berbau radikal. Di media sosial kemudian dikembangkan isu bahwa saya membuat pernyataan yang tidak konsisten. Padahal, pernyataan saya itu panjang dan konsisten tetapi diamputasi.

Memotong pernyataan

Para pembuat hoax sengaja memotong pernyataan yang saya ucapkan secara jelas. Saya mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar hukum Islam berlaku di Indonesia, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan DPR presiden, gubernur, dan lain-lain) agar aspirasi hukum Islam masuk ke dalam hukum Indonesia
Pernyataan ini dipotong begitu saja dari sambungannya yang tak terpisahkan, yakni isi pernyataan Bung Karno yang disadur dengan kalimat, “Begitu juga jika orang-orang Kristen ingin agar letter-letter Kristen menjadi hukum Indonesia, berjuanglah agar kursi-kursi kepemimpinan dan lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang Kristen.” Sambungan kalimat penting inilah yang diamputasi dari keseluruhan pernyataan saya.

Selain jelas bahwa kutipan pernyataan saya adalah dalam konteks untuk memilih pemimpin, jelas juga bahwa upaya perjuangan merebut kursi-kursi kepemimpinan nasional dan daerah di sejumlah lembaga negara berlaku juga bagi para pemeluk agama-agama lain.

Ekletisasi Hukum

Pernyataan Bung Karno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang saya kutip tersebut jelas memberi dua kesimpulan.

Pertama, bukan hanya orang-orang Islam yang berhak memperjuangkan hukum agamanya, tetapi juga pemeluk agama-agama lain: Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Nilai-nilai hukum agama dan keyakinan serta budaya apa pun bisa masuk ke dalam nasional melalui proses demokratis.

Kedua, pembentukan hukum nasional kemudian diolah melalui proses eklektis di lembaga legislatif, yakni memilih nilai-nilai hukum dari berbagai agama, keyakinan, dan kultur yang disepakati sebagai kalimatun sarwa (pandangan yang sama) oleh para wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih untuk kemudian diberlakukan sebagai hukum negara.

Produk dari proses eklektisasi itu kemudian bisa dikelompokkan menjadi dua Pertama, untuk hukum-hukum publik diberlakukan unifikasi hukum, yakni memberlakukan hukum-hukum yang sama untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, dan kelompok sosialnya. Dalam hal khusus tentu bisa berlaku perkecualian sesuai dengan asas “lex specialis derogat legi generali

Kedua, untuk hukum-hukum privat (dan perdata pada umumnya) berlaku hukum agama, kepercayaan, dan adat masing-masing komunitas golongan penduduk. Sebenarnya hukum perdata Islam dan Adat sudah diberlakukan sejak zaman kolonial Belanda (1848) sehingga sejak dulu pun kita sudah mempunyai lembaga peradilan agama.

Hukum-hukum publik yang harus sama itu, misalnya, hukum tata negara, hukum administrasi negara, huicum pidana, hukum lingkungan, hukum pemilu, dan seba gainya. Adapun dalam lapangan hukum perdata, misalnya, ada hukum perka winan, hukum peribadatan (ritual). hukum waris dan wasiat, hukum penguburan jenazah, dan sebagainya.

Ada juga hukum-hukum agama di bidang keperdataan yang dituangkan di dalam UU tetapi hanya untuk memfasilitasi dan memproteksi bagi yang ingin melakukannya tanpa memberlakukan mewajibkan atau melarang) substansinya, misalnya UU Zakat, UU Ekonomi Syariah, UU Haji, dan sebagainya, yang keberlalu an substansinya tetap berdasar kesukarelaan. Itu pun tetap harus melalui proses ekletisasi.

Dengan demikian, nilai-nilai hukunt agama bisa menjadi sumber hukum dalam arti sebagai bahan pembuatan hukum (sumber hukum materiil) tetapi tidak otomatis menjadi sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau hukum yang berdiri sendiri.

Sumber hukum materiil tidak dengan sendirinya menjadi sumber hukum formal atau hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Ia hanya bisa menjadi hulum formal setelah melalui proses eklektisasi. Ajaran Islam memang menjadi sumber hukum, tetapi ia bukan satu-satunya sebab ajaran agama-agama dan keyakinan lain yang hidup di Indonesia juga menjadi sumber hukum.

Nilai-nilai hukum agama apa pun bisa masuk ke dalam hukum publik (nasional) jika disepakati oleh lembaga legislatif dalam proses eklektisasi. Adapun hukum privat (perdata) bisa berlaku dengan tanpa harus dijadikan hukum formal. Untuk hukum-hukum Islam yang tidak bisa menjadi hukum publik, nilai-nilai substantifnya tetap bisa dimasukkan, yakni ma qushid al syar’i atau tujuan syariahnya yang meliputi kemaslahatan umum dan tegaknya keadilan.

This article have been published in KOMPAS newspaper, 22 June 2018.

Author: Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of International Law

Genderang Perang Dagang telah ditabuh olehDonaldTrump menandai perang dagant global antara Amerika Serikat (AS) dengan mitra-mitra dagang utamanya sepert Cina, Uni Eropa (UE) dan Kanada. Pecahnya Perang dagang tersebut aiawati aentan tindakan DonaldTrump menaikkan tarif (bea masuk)secara ilegal untuk berbagal produk terutama baja dan alumunium, dari Cina, Uni Eropa (UE) dan Kanada.

Tidak cukup dengan itu, Donald Trump juga melakukan tindakan unilateral berupa ancaman terhadap para mitra dagangnya tersebutjika mereka melakukan tindakan balasan. Alih-alih tunduk atas tindakan Donald Trump,para mitra dagangnya mengancam balik untuk menaikkan tarif menaikkan produk AS bahkan untuk jumlah produk yang lebih banyak.

Jika pihak-pihak yang saling berhadapan ini benar-benar melaksanakan niatnya untuk melakukan perang dagang global, anomali dan anarkisme dalam tatanan perdagangan global akan merajalela, aturan main tidak lagi dihormati, dan pada gilirannya masa depan World Trade Organization (WTO) dipertaruhkan. Minimal dua tiang penopang berdirinya WTO yang terancam runtuh: Tujuandan Prinsip-prinsip Dasar WTO.

Apa yang dilakukan Donald Trump bertentangan dengan tujuan didirikannya WTO yang salah satunya untuk menjamin keamanan dan kepastian bagi para pedagangdan para pebisnis internasional pada umumnya serta para investor asing dalam menjalankan kegiatannya. Demikian juga tindakan Donald Trump secara vulgarbertolak belakang dengan tujuan utama lainnya dari WTO, yaitu untuk mengurangi,bahkan menghilangkan hambatan perdagangan daninvestasi internasional baik tarif maupun non-tarif, serta memperluas lapangan kerja.

Selain bertolak belakang dengan tujuan utama didirikannya WTO, secara spesifik tindakan Donald Trump menaikkan tarif secara sepihak melanggar dua prinsiputama WTO: prinsip proteksi melalui tarif dan prinsip pengikatan tarif.

Dengan alasan untuk melindungi kepentingan industri dan perdagangan sertake pentingan dalam negerinya suatu negara diperbolehkan untuk menerapkan tarif, tetapi penetapan tarif tidak bisa sepihak, harus melalui pencantuman dalam daftar tarif atau Schedule of Commitment (SOC) yang.

Prinsip kedua, yakni pengikatan tarif(Tariff Binding) bermakna bahwas ekali dicantumkan dalam SOC maka tarif tersebut mengikat, berarti bahwa tarif tidak boleh dinaikkan. Dengan dalih menutup defisit, Donald Trump jelas. jelas menaikkan tarif senilai US$ 150 juta,khususnya untuk baja dan alumunium, yang jauh lebih tinggi dari yang tercantum dalam SOC.

AS melalui tangan Donald Trump, dengans emboyan America First telah membuka preseden buruk yang akan meruntuhkan sendi-sendi penopang WTO. Jika semua anggota WTO mengikuti langkah yang ditempuh AS, runtuhnya sistem WTO hanya tinggal menunggu waktu.

Untuk itu mestinya semua negara anggota mentaati aturan main WTO, karena dalam WTOsendiri sudah tersedia mekanisme-mekanisme perlindungan kepentingan dalam negeritanpa melanggar aturan. Jika suatu negara anggota WTO kebanjiran barang dumping dan barang bersubsidi, serta mengalami lonjakan impor, yang mungkin menyebabkan defisit, negara yang bersangkutan dapat menggunakan instrumen remedi perdagangan internasional. Melalui mekanisme investigasi prosedural, negara tersebut dapat mengenakan bea masuk anti dumping (antidumping duties), bea masuk imbalan (countervailing duties) dan tindakan pengamanan (safeguard action), bisa dalam bentuk pengenaan tarif tambahan dan/atau kuota. Tidak ada alasan untuk melanggar aturan.

Langkah lain yang seharusnya diambil adalah negosiasi atau penyelesaian melalui meja perundingan. Langkah ini pula yang saat ini ditempuh oleh ASdengan mengutus Menteri Perdagangannya untuk bertemu dan berunding dengan Menteri Perdagangan Cina. Namun sayang, perundingan yang dilakukan oleh AS dilakukan setelah terjadinya reaksi dari Cina yang mengancam akan menaikkan tarifuntuk kurang lebih 145 produk AS. Mestinya AS melakukan perundingan sebelum menaikkan tarifproduk China secara sepihak.

Tidak berlebihan jika perundingan tersebut lebih merupakan upaya penekanan agar Cina meneríma kenaikan tarif yang dilakukan oleh AS, dan menekan China untuk tidak melakukan tindakan balasan.
Upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh suatu negara ketika mitra dagangnya dianggap merugikannya adalah melalui jalur hukum, yaitu dengan melakukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO atau WTO Dispute Settlement Body (DSB). Hal ini tentu dapat dilakukan jika negara yang dianggap merugikannya tersebut melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan WTO yang tercakup dalam Covered Agreement, yakni seluruh perjanjian di bawah payung Perjanjian WTO (WTO Agreement)

Bagi AS tentu cara terakhir ini sulit untuk dilakukan mengingat para mitra dagangnya tersebut sedang tidak melakukan pelanggaran ketentuan WTO berlebihan.

Justru sekarang sebaliknya, Uni Eropa dan Kanada sedang siap-siap untuk melakukan gugatan terhadap AS ke WTO karena AS dianggap telah melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan WTO.Diharapkan China juga akan menyusul melakukan hal yang sama dengan Uni Eropa dan Kanada jika perundingan dengan AS mengalami jalan buntu.

Masyarakat internasional di satu sisi masih menaruh kepercayaan kepada DSB yang para hakimnya cukup obyektif dalam menyelesaikan sengketa dagang internasional, tanpa memandang status para pihak, apakah para pihak berasaldari negara maju ataukah dari negara berkembang. Sistem yang dilakukan dalam DSB berorientasi hukum, siapa yang benar akan menang, siapa yang salah akan kalah, sehingga semua negara terlindungi Praktik menunjukkan bahwa AS beberapa kali dikalahkan oleh negara. negara berkembang, dan negara adidaya tersebut secara umum mentaati putusan DSB.

Di sisi lain, saatini AS dipimpin oleh seorang Donald Trump yang karakternya berbeda denganpresiden-presiden sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa laseorang “Ultra Nasionalis” sejati yang sangat potensial untuk tidak menghormati apalagi mentaati putusan DSB. Wajar juga jika masyarakat internasional mempertanyakan masa depan WTO.

Mau dibawa ke mana WTO?

This article have been published in KOLOM, 19 June 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Ketika sedang istirahat Jumat (27/4) kemarin sore handphone (HP) saya berdering-dering. Setelah saya tolak, berdering lagi dan berdering lagi. Ketika dengan agak malasmalasan saya mengangkat HP itu, ternyata peneleponnya adalah wartawati yang langsung saja nyerocos bertanya tentang Amien Rais dan langkahlangkah politiknya. “Mengapa Amien Rais sekarang ini bersikap frontal terhadap pemerintah?” tanya sang wartawati.
Saya jawab, sejauh yang saya kenal, sejak pertengahan 1980anposisiAmien Raismemangsepertiitu. Ia selalu mengambil posisi berhadapan dengan pemerintah. Ketika Presiden Soeharto masih sangat kuat, dia lawan Soeharto dan menjadi salah satu tokoh, bahkan ada yang menye but, lokomotif reformasi.

Saat Gus Dur berkuasa, dia hantam Gus Dur habis-habisan sampai makzul. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertakhta, Amien menyerang habis dan mengejek Pak SBY de ngan sebutan Pak Susi (comotan dari kata Susilo), bukan menyebut Presiden SBY seperti yang menjadi sebutan populer bagi sang presiden ketika itu. Saat ini pun dia melakukan gempuran yang bertubi-tubi terhadap Presiden Jokowi. Dalam ingatan dan catatan saya, entah kalau terlewat, Amien Rais itu hanya jinak ketika pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputeri berlangsung
Selama Presiden Megawati memerintah, Amien tidak melakukan serangan apapun. Pada saat itu, seingat saya, Amienhanya mengkritik perdana menteri negara jiran Mahathir Mohammad karena, katanya, berlaku tidak adil terhadap Anwar Ibrahim. Tapi dia terdiam ketika Mahathir balik menghardik mengatakan, “Jangan campuri urusan kami, urusitu ratusan ribu rakyat Indonesia yang menjadi pendatang haram dan mencari makan di Malaysia.” Waktu itu memang sedang hangat berita adanya 70.000 TKI yang dibuang di Nunukan oleh Pemerintah Malaysia.

Jadi bagi mereka yang kenal lama dengan Amien Rais, ya, begitu itulah dia sejak dulu.

“Apakah langkah-langkah yang seperti itu tidak merusak persatuan kita bangsa Indonesia?” tanya wartawati itu lagi.

“Tergantung orang yang memahaminya saja,” jawab saya.

Dalam iklim demokrasi, bagi Amien dan para pengikutnya, mungkin itu biasa saja sebagai bentuk kritik. Toh, Amien sendiri bisa dikritik juga. Saya, sebagai murid Pak Amien Rais, juga sering mengkritik. “Kritik seperti apa?” tanya sang wartawati lagi.

Ketika pekan lalu Amien Rais berbicara adanya partai Allah dan partaisetan, saya menyatakan bahwa dalam faktanya di Indonesia tidak tepat membuat kategori partai Allah dan partai setan. Di semua partaiituada juga orang-orang baik yang menjaga kejujurannya, tetapi juga di semua partai ada pencoleng dan koruptor terkutuknya. Coba kalau beranisebut satu saja partai mana yang partai setan? Atau sebut satu saja mana yang partai Allah?

Pasti tidak bisa karena di Indonesia sekarang memang tidak ada partai yang benarbenar buruk seperti kandang setan dan tidak ada partai yang benar-benar bersih seperti tempat bersemayamnya hambahamba Allah yang saleh.

Para pengikut Amien men coba meluruskan bahwa di dalarn Quran dan hadis ada istilah hizbullah dan hibuissyaithan seperti yang dikatakan Amien. Saya jawab, kalau itu, ya, me mang benar, tetapi kata hizb di dalam kedua sumber primer ajaran Islam itu bukan berarti partak seperti yang terkesan dinisbatkan Amien Rais terhadap keadaan Indonesia sekarang. Kata hibdi Quran dan hadis di situ berati barisan, tentara, kelompok, garda, pasukan

Ada Istilah hitbullah yang saat Nabi hidup dulu berarti barisan tentara Allah dan hixbusayaitan yang berarti kelompok pengikut setan. Ada juga istilah hizbul wahan yang berarti barisan pembelatanah air, barisan nasional, atau garda bangsa Saat ini memang ada kata hib yang dikaitkan dengan gerakan yang berbau politik seperti Hibullah di Lebanon atau Hizbut Tahrir. Tapi istilah partai Allah atau partai setan tidak bisa dipergunakan untuk memotret situasi politik, apalagi partai politik di Indonesia sekarang,

Jawaban mengada-adadile mukakan juga bahwa partat Allah itu adalah partai yang tidak membela penista agama. “Menurut saya klaim itu terlalu lancang. Bolehlah ada partal yang mengidaim tidak membe la penista agama, tetapi selama di partainya ada koruptor atau pembela koruptor, maka dia tidak boleh mengidaimpartainya sebagai partai Allah, Klaim se perti itu menodai kemahasuci an Allah karena koruptor dan para pembelanya itu justru dilaknat oleh Allah.

Selain soal partai Allah dan partai setan, wartawat itu bertanya juga tentang pernyataan Amien Rais bahwa khutbah di masjid boleh diisi dengan pesan politik. “Apakah itu berartanya wartawati itu. “Bisa benar dan bisa salah,” jawab saya. Bo leh saja di masjid kita me nyampaikan pesan politikasalkan yang politik tingkat tinggi Chrigh polities)tetapihindarkanlah menyampaikan pesan politik praktis (low politics) yang sudah menyangkut kepentingan praktis dari kelompok-kelompok politik yangada sekarang di Indonesia,

Dulu Nabi mengelola high Mies dari masjid, misalnya memerintahkantegaknya keadilan dan hukum, melakukan musya warah dalam mengelola peme rintahan, membantu kaum lemah, dan sebagainya. High po Nitics adalah politik sebagai kon sep dan inspirasi tentang ke baikan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Adapun low politics adalah politik praktis yang sudah diwarnai kepentingan kelompok-kelom pok politik yang saling bersaing seperti serigala

Saya setuju dengan Buya Syafii Maarif bahwa untuk konteks Indonesia yang seperti sekarang, di masjid hanya boleh me nyampaikan pesan politik ting kat tinggi (high politics) dan bu kan politik rendah (low politics) yang saling melakukan klaim atas kebenaran sebagai miliknya. Jadi pesan politik yang boleh disampaikan di masjid ada lahpesan yang sejuk yang tertuju kepada semuanya, bukan mendukung yang sebagian dan menyerang sebagian lainnya.

“Apakah sikap dan langkahLangkah Amien Rais itu tidak menimbulkan perpecahan di Partai Amanat Nasional (PAN) tanya wartawati itu lagi

“Jangan mancing maing. ya,” jawabsaya sambil tertawa.

PAN itu masih terlihat solid, masih menghormati Amien Rais, dan masih di bawah kendali Zulkifli Hasan. PAN tidak pecah, tetapi pengurus-pengurusnya dibuat sibuk oleh Amien Rais untuk menjelaskan bahwa banyak orang salah paham terhadap maksud baik Amien Rais. Pengurus PAN juga dibuat sibuk untuk menjelaslan bahwa pernyataan Amien Rais itu tidak ada kaitannya dengan PAN. Soal penjelasan pengurus PAN dipercaya atau pun tidak oleh masyarakat itu soal lain lagi.

This article have been published in SINDO newspaper, 28 April 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Saya heran pada sementara pihak yang menyalah-nyalahkan Polri ketika membongkar dan menangkap belasan orang yang disangka mengorganisasikan akun hoax untuk menyebarkan berita bohong ke te ngah-tengah masyarakat. Mereka ini seakan tidak menyadari bahwa berbagai kerusuhan yang mengerikan justru timbulkarena pembuatan hoaxyang diorganisasikan secara sistematis.

Ketika Polri membongkar dan menangkap jaringan akun Muslim Cyber Army (MCA) Fmily seharusnya kita mengacungijempol Polrikarena sudah bisa melakukanitudenganbaik. Anehnya, ada yang berkata nyinyir, “Itu rekayasa untuk mengalihkan perhatian,” dan ada yang mempersoalkan penyebutan secara eksplisit nama MCA kepada publik yang, katanya, bisa memojokkan umat Islam. Tetapi, alasan untuk mengatakan itu tidak masuk akal.

Polri tidaklah salah ketika menyebut nama akun tersebut. Jika Polrimelakukanpenindakan kemudian tidak menyebut nama kelompok (akun) yang digunakannya justru bisa lebih salah lagi. Masa iya, menindak tanpa menyebutkan dengan je las siapa yang ditindak dan apa namakelompoknya? Kalaubertindak seperti itu Polri bisa dianggap membuat hoax sendiri karena menindak satu kelompok yang tak ada identitasnya. Bisa juga dituding melakukan operasi senyap yang merugikan kelompok tertentu atau berbagai tudingan lainnya. Jadi, su dah benarlah Polri menyebut nama MCA Family dan namanama mereka yang ditangkap.

MCA Family itu jelas merupakan fakta sebagai akun produsen dan penyebar hoax jahat yang dipergunakan oleh pela – ku-pelaku yang jelas identitasnya. Masa harus didiamkan atau disembunyikan identitasnya? Kelompok seperti itu me mang harus ditindak tegas. Apalagi isu-isu yang dilontarkannya selama ini memang “mengatasnamakan pembela Islam untuk membuat keresahan dan disintegrasi sosial. Adalah benarpendapat bahwa pembuatakun MCA Family dan pendukung-pendukungnya adalah perusak Islam dan perusak citra umat Islam. Mereka yang merasa dirinya sebagai barisan Muslim Cyber Army yang benar dan tidak menyebarkan hoax (melainkan hanya berdakwah atau berjuang secara baik) seharusnya ikut membantu Polri bersama masyarakat untuk membongkar dan menindak sindikat MCA Family.

Berita hoax yang menyebarkan kebencian, fitnah, adudomba antargolongan merupakan tindakan yang membahayakan kita sebagai bangsa yang bernegara. Baruduaharilalu(Kamis, 8 Maret 2018) kita dikejutkan oleh berita terjadinya bentrok antara penganut Islam dan penganut Budha di Sri Lanka yang sampai menelan korban jiwa karena diprovokasi oleh be rita hoax. Secara hukum di Indonesia ini kita sudah mengantisipasinya melalui UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni, UU Nomor 11/2008 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 19/2016. Didalam UUITE tersebut diatur ancaman hukuman yang tegas atas penyebar berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik, tepatnya transaksi elektronik.

Menurut Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 45 (2) UU Nomor 11/2008 serta meturut Pasal 45 ayat (10) UU No mor 19/2016, siapa pun yang melakukan penyebaran berita bohong dengan unsur tertentu bisa dijatuhi hukum pidana penjara selama enam tahun dan atau denda Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Tepatnya “Setiap orang yang dengan se ngaja dan/atau tanpa hak me nyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebab kan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” dan “Se tiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmenyebarkaninformasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian ataupermusuhanindividudan/ atau kelompok masyarakat ter tentu berdasarkan suku, aga ma, ras, antargolongan” dian cam dengan hukuman pidana 6 tahun dan/atau denda sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Jika menyangkut fitnah pencemarannamabaik, penista an perbuatantidak menyenang kan, dan sebagainya terhadap orang perseorangan malasesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tanggal 5 Mei 2009, pelaku transaksi elektronik yang seperti itu bisa dihukum dengan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)sebagai mana diatur di dalam Pasal 310 (menista), Pasal 311 (memfit nah), Pasal 315 (menghina. mencemarkan), dan sebagainya dengan menggunakan Pasal 27 UUITE. Adapun yang dimaksud dengan transaksi elektronik seperti yang diatur di dalam Pasal 1 butir 2 UU Nomor 19/ 2016 adalah perbuatan hukum yang dilakukandengan menggunakan komputer, jaringan kom puter, dan/atau media elektronik lainnya.”

Polri tidak perlu gamang da lam melaksanakan ketentuan ketentuan hukum tersebut untukmenindak secarategas setiap pelalu transaksi elektronik yang menyebarkan hoax. Meskipun begitu, kritik-kritik terhadap Polri yang bermuatan kecurigaan tentang ketidaletralan atau tudingan tentang ketidakprofesienalan Polri tetaplah harus di perhatian dan dijawab dengan tindakan-tindakan profesional yang nyataoleh Polri. Ditengah tengah masyarakat memang berkembang Opini bahwa Polri kerap hanya menindak orang atau kelompok tertentu, tetapi membiarkan orang atau kelompok tertentulain ketika melaku kan penistaan, membuat hoax, atau tindak pidana lain.

Meskipun begitu, masyara kat tidak harus meminta Polri mengklarifikasi lebih dulu tentang berbagai kecurigaan dan protes itu untuk menindak kelompok MCA Family ini.

Kelompok MCA Family dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus segera ditindak tegas tanpa harus disandera oleh mandekaya kastus-kasus lain yang masih dipertanyakan Biarlah itu berjalan simultan dan bisa melalui jalurnya sendiri sendiri.

 

This article have been published in SINDO newspaper, 10 March 2018.