Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Banyak orang yang salah memahami, atau sengaja memelintir, sebuah isu atau pernyataan yang sebenarnya sudah jelas struktur logika dan argumentasinya. Masalah keberlakuan hukum Islam di dalam kerangka hukum nasional yang pernah saya kemukakan, misalnya, bisa dielaborasi sebagai contoh

Dalam sebuah dialog interaktif di televisi, saya pernah mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar di Indonesia keluar hukum-hukum Islam, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan agarhukum-hukum di Indonesia bisa memuat aspirasi Islam.

Pernyataan saya itu dipertentangan dengan pernyataan saya yang lain ketika saya mengatakan, ada upaya untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum yang eksklusif dengan gerakan tertentu yang berbau radikal. Di media sosial kemudian dikembangkan isu bahwa saya membuat pernyataan yang tidak konsisten. Padahal, pernyataan saya itu panjang dan konsisten tetapi diamputasi.

Memotong pernyataan

Para pembuat hoax sengaja memotong pernyataan yang saya ucapkan secara jelas. Saya mengutip pernyataan Bung Karno bahwa jika orang-orang Islam ingin agar hukum Islam berlaku di Indonesia, rebutlah kursi-kursi kepemimpinan DPR presiden, gubernur, dan lain-lain) agar aspirasi hukum Islam masuk ke dalam hukum Indonesia
Pernyataan ini dipotong begitu saja dari sambungannya yang tak terpisahkan, yakni isi pernyataan Bung Karno yang disadur dengan kalimat, “Begitu juga jika orang-orang Kristen ingin agar letter-letter Kristen menjadi hukum Indonesia, berjuanglah agar kursi-kursi kepemimpinan dan lembaga perwakilan diduduki oleh orang-orang Kristen.” Sambungan kalimat penting inilah yang diamputasi dari keseluruhan pernyataan saya.

Selain jelas bahwa kutipan pernyataan saya adalah dalam konteks untuk memilih pemimpin, jelas juga bahwa upaya perjuangan merebut kursi-kursi kepemimpinan nasional dan daerah di sejumlah lembaga negara berlaku juga bagi para pemeluk agama-agama lain.

Ekletisasi Hukum

Pernyataan Bung Karno pada pidato tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) yang saya kutip tersebut jelas memberi dua kesimpulan.

Pertama, bukan hanya orang-orang Islam yang berhak memperjuangkan hukum agamanya, tetapi juga pemeluk agama-agama lain: Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan sebagainya. Nilai-nilai hukum agama dan keyakinan serta budaya apa pun bisa masuk ke dalam nasional melalui proses demokratis.

Kedua, pembentukan hukum nasional kemudian diolah melalui proses eklektis di lembaga legislatif, yakni memilih nilai-nilai hukum dari berbagai agama, keyakinan, dan kultur yang disepakati sebagai kalimatun sarwa (pandangan yang sama) oleh para wakil rakyat dan pemimpin negara yang terpilih untuk kemudian diberlakukan sebagai hukum negara.

Produk dari proses eklektisasi itu kemudian bisa dikelompokkan menjadi dua Pertama, untuk hukum-hukum publik diberlakukan unifikasi hukum, yakni memberlakukan hukum-hukum yang sama untuk seluruh warga negara tanpa membedakan agama, ras, suku, dan kelompok sosialnya. Dalam hal khusus tentu bisa berlaku perkecualian sesuai dengan asas “lex specialis derogat legi generali

Kedua, untuk hukum-hukum privat (dan perdata pada umumnya) berlaku hukum agama, kepercayaan, dan adat masing-masing komunitas golongan penduduk. Sebenarnya hukum perdata Islam dan Adat sudah diberlakukan sejak zaman kolonial Belanda (1848) sehingga sejak dulu pun kita sudah mempunyai lembaga peradilan agama.

Hukum-hukum publik yang harus sama itu, misalnya, hukum tata negara, hukum administrasi negara, huicum pidana, hukum lingkungan, hukum pemilu, dan seba gainya. Adapun dalam lapangan hukum perdata, misalnya, ada hukum perka winan, hukum peribadatan (ritual). hukum waris dan wasiat, hukum penguburan jenazah, dan sebagainya.

Ada juga hukum-hukum agama di bidang keperdataan yang dituangkan di dalam UU tetapi hanya untuk memfasilitasi dan memproteksi bagi yang ingin melakukannya tanpa memberlakukan mewajibkan atau melarang) substansinya, misalnya UU Zakat, UU Ekonomi Syariah, UU Haji, dan sebagainya, yang keberlalu an substansinya tetap berdasar kesukarelaan. Itu pun tetap harus melalui proses ekletisasi.

Dengan demikian, nilai-nilai hukunt agama bisa menjadi sumber hukum dalam arti sebagai bahan pembuatan hukum (sumber hukum materiil) tetapi tidak otomatis menjadi sumber hukum formal (peraturan perundang-undangan) atau hukum yang berdiri sendiri.

Sumber hukum materiil tidak dengan sendirinya menjadi sumber hukum formal atau hukum yang berbentuk peraturan perundang-undangan. Ia hanya bisa menjadi hulum formal setelah melalui proses eklektisasi. Ajaran Islam memang menjadi sumber hukum, tetapi ia bukan satu-satunya sebab ajaran agama-agama dan keyakinan lain yang hidup di Indonesia juga menjadi sumber hukum.

Nilai-nilai hukum agama apa pun bisa masuk ke dalam hukum publik (nasional) jika disepakati oleh lembaga legislatif dalam proses eklektisasi. Adapun hukum privat (perdata) bisa berlaku dengan tanpa harus dijadikan hukum formal. Untuk hukum-hukum Islam yang tidak bisa menjadi hukum publik, nilai-nilai substantifnya tetap bisa dimasukkan, yakni ma qushid al syar’i atau tujuan syariahnya yang meliputi kemaslahatan umum dan tegaknya keadilan.

This article have been published in KOMPAS newspaper, 22 June 2018.

Author: Nandang Sutrisno, S.H., LL.M., M.Hum., Ph.D.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of International Law

Genderang Perang Dagang telah ditabuh olehDonaldTrump menandai perang dagant global antara Amerika Serikat (AS) dengan mitra-mitra dagang utamanya sepert Cina, Uni Eropa (UE) dan Kanada. Pecahnya Perang dagang tersebut aiawati aentan tindakan DonaldTrump menaikkan tarif (bea masuk)secara ilegal untuk berbagal produk terutama baja dan alumunium, dari Cina, Uni Eropa (UE) dan Kanada.

Tidak cukup dengan itu, Donald Trump juga melakukan tindakan unilateral berupa ancaman terhadap para mitra dagangnya tersebutjika mereka melakukan tindakan balasan. Alih-alih tunduk atas tindakan Donald Trump,para mitra dagangnya mengancam balik untuk menaikkan tarif menaikkan produk AS bahkan untuk jumlah produk yang lebih banyak.

Jika pihak-pihak yang saling berhadapan ini benar-benar melaksanakan niatnya untuk melakukan perang dagang global, anomali dan anarkisme dalam tatanan perdagangan global akan merajalela, aturan main tidak lagi dihormati, dan pada gilirannya masa depan World Trade Organization (WTO) dipertaruhkan. Minimal dua tiang penopang berdirinya WTO yang terancam runtuh: Tujuandan Prinsip-prinsip Dasar WTO.

Apa yang dilakukan Donald Trump bertentangan dengan tujuan didirikannya WTO yang salah satunya untuk menjamin keamanan dan kepastian bagi para pedagangdan para pebisnis internasional pada umumnya serta para investor asing dalam menjalankan kegiatannya. Demikian juga tindakan Donald Trump secara vulgarbertolak belakang dengan tujuan utama lainnya dari WTO, yaitu untuk mengurangi,bahkan menghilangkan hambatan perdagangan daninvestasi internasional baik tarif maupun non-tarif, serta memperluas lapangan kerja.

Selain bertolak belakang dengan tujuan utama didirikannya WTO, secara spesifik tindakan Donald Trump menaikkan tarif secara sepihak melanggar dua prinsiputama WTO: prinsip proteksi melalui tarif dan prinsip pengikatan tarif.

Dengan alasan untuk melindungi kepentingan industri dan perdagangan sertake pentingan dalam negerinya suatu negara diperbolehkan untuk menerapkan tarif, tetapi penetapan tarif tidak bisa sepihak, harus melalui pencantuman dalam daftar tarif atau Schedule of Commitment (SOC) yang.

Prinsip kedua, yakni pengikatan tarif(Tariff Binding) bermakna bahwas ekali dicantumkan dalam SOC maka tarif tersebut mengikat, berarti bahwa tarif tidak boleh dinaikkan. Dengan dalih menutup defisit, Donald Trump jelas. jelas menaikkan tarif senilai US$ 150 juta,khususnya untuk baja dan alumunium, yang jauh lebih tinggi dari yang tercantum dalam SOC.

AS melalui tangan Donald Trump, dengans emboyan America First telah membuka preseden buruk yang akan meruntuhkan sendi-sendi penopang WTO. Jika semua anggota WTO mengikuti langkah yang ditempuh AS, runtuhnya sistem WTO hanya tinggal menunggu waktu.

Untuk itu mestinya semua negara anggota mentaati aturan main WTO, karena dalam WTOsendiri sudah tersedia mekanisme-mekanisme perlindungan kepentingan dalam negeritanpa melanggar aturan. Jika suatu negara anggota WTO kebanjiran barang dumping dan barang bersubsidi, serta mengalami lonjakan impor, yang mungkin menyebabkan defisit, negara yang bersangkutan dapat menggunakan instrumen remedi perdagangan internasional. Melalui mekanisme investigasi prosedural, negara tersebut dapat mengenakan bea masuk anti dumping (antidumping duties), bea masuk imbalan (countervailing duties) dan tindakan pengamanan (safeguard action), bisa dalam bentuk pengenaan tarif tambahan dan/atau kuota. Tidak ada alasan untuk melanggar aturan.

Langkah lain yang seharusnya diambil adalah negosiasi atau penyelesaian melalui meja perundingan. Langkah ini pula yang saat ini ditempuh oleh ASdengan mengutus Menteri Perdagangannya untuk bertemu dan berunding dengan Menteri Perdagangan Cina. Namun sayang, perundingan yang dilakukan oleh AS dilakukan setelah terjadinya reaksi dari Cina yang mengancam akan menaikkan tarifuntuk kurang lebih 145 produk AS. Mestinya AS melakukan perundingan sebelum menaikkan tarifproduk China secara sepihak.

Tidak berlebihan jika perundingan tersebut lebih merupakan upaya penekanan agar Cina meneríma kenaikan tarif yang dilakukan oleh AS, dan menekan China untuk tidak melakukan tindakan balasan.
Upaya terakhir yang dapat dilakukan oleh suatu negara ketika mitra dagangnya dianggap merugikannya adalah melalui jalur hukum, yaitu dengan melakukan gugatan ke Badan Penyelesaian Sengketa WTO atau WTO Dispute Settlement Body (DSB). Hal ini tentu dapat dilakukan jika negara yang dianggap merugikannya tersebut melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan WTO yang tercakup dalam Covered Agreement, yakni seluruh perjanjian di bawah payung Perjanjian WTO (WTO Agreement)

Bagi AS tentu cara terakhir ini sulit untuk dilakukan mengingat para mitra dagangnya tersebut sedang tidak melakukan pelanggaran ketentuan WTO berlebihan.

Justru sekarang sebaliknya, Uni Eropa dan Kanada sedang siap-siap untuk melakukan gugatan terhadap AS ke WTO karena AS dianggap telah melakukan pelanggaran ketentuan-ketentuan WTO.Diharapkan China juga akan menyusul melakukan hal yang sama dengan Uni Eropa dan Kanada jika perundingan dengan AS mengalami jalan buntu.

Masyarakat internasional di satu sisi masih menaruh kepercayaan kepada DSB yang para hakimnya cukup obyektif dalam menyelesaikan sengketa dagang internasional, tanpa memandang status para pihak, apakah para pihak berasaldari negara maju ataukah dari negara berkembang. Sistem yang dilakukan dalam DSB berorientasi hukum, siapa yang benar akan menang, siapa yang salah akan kalah, sehingga semua negara terlindungi Praktik menunjukkan bahwa AS beberapa kali dikalahkan oleh negara. negara berkembang, dan negara adidaya tersebut secara umum mentaati putusan DSB.

Di sisi lain, saatini AS dipimpin oleh seorang Donald Trump yang karakternya berbeda denganpresiden-presiden sebelumnya. Dapat dikatakan bahwa laseorang “Ultra Nasionalis” sejati yang sangat potensial untuk tidak menghormati apalagi mentaati putusan DSB. Wajar juga jika masyarakat internasional mempertanyakan masa depan WTO.

Mau dibawa ke mana WTO?

This article have been published in KOLOM, 19 June 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Ketika sedang istirahat Jumat (27/4) kemarin sore handphone (HP) saya berdering-dering. Setelah saya tolak, berdering lagi dan berdering lagi. Ketika dengan agak malasmalasan saya mengangkat HP itu, ternyata peneleponnya adalah wartawati yang langsung saja nyerocos bertanya tentang Amien Rais dan langkahlangkah politiknya. “Mengapa Amien Rais sekarang ini bersikap frontal terhadap pemerintah?” tanya sang wartawati.
Saya jawab, sejauh yang saya kenal, sejak pertengahan 1980anposisiAmien Raismemangsepertiitu. Ia selalu mengambil posisi berhadapan dengan pemerintah. Ketika Presiden Soeharto masih sangat kuat, dia lawan Soeharto dan menjadi salah satu tokoh, bahkan ada yang menye but, lokomotif reformasi.

Saat Gus Dur berkuasa, dia hantam Gus Dur habis-habisan sampai makzul. Saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertakhta, Amien menyerang habis dan mengejek Pak SBY de ngan sebutan Pak Susi (comotan dari kata Susilo), bukan menyebut Presiden SBY seperti yang menjadi sebutan populer bagi sang presiden ketika itu. Saat ini pun dia melakukan gempuran yang bertubi-tubi terhadap Presiden Jokowi. Dalam ingatan dan catatan saya, entah kalau terlewat, Amien Rais itu hanya jinak ketika pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputeri berlangsung
Selama Presiden Megawati memerintah, Amien tidak melakukan serangan apapun. Pada saat itu, seingat saya, Amienhanya mengkritik perdana menteri negara jiran Mahathir Mohammad karena, katanya, berlaku tidak adil terhadap Anwar Ibrahim. Tapi dia terdiam ketika Mahathir balik menghardik mengatakan, “Jangan campuri urusan kami, urusitu ratusan ribu rakyat Indonesia yang menjadi pendatang haram dan mencari makan di Malaysia.” Waktu itu memang sedang hangat berita adanya 70.000 TKI yang dibuang di Nunukan oleh Pemerintah Malaysia.

Jadi bagi mereka yang kenal lama dengan Amien Rais, ya, begitu itulah dia sejak dulu.

“Apakah langkah-langkah yang seperti itu tidak merusak persatuan kita bangsa Indonesia?” tanya wartawati itu lagi.

“Tergantung orang yang memahaminya saja,” jawab saya.

Dalam iklim demokrasi, bagi Amien dan para pengikutnya, mungkin itu biasa saja sebagai bentuk kritik. Toh, Amien sendiri bisa dikritik juga. Saya, sebagai murid Pak Amien Rais, juga sering mengkritik. “Kritik seperti apa?” tanya sang wartawati lagi.

Ketika pekan lalu Amien Rais berbicara adanya partai Allah dan partaisetan, saya menyatakan bahwa dalam faktanya di Indonesia tidak tepat membuat kategori partai Allah dan partai setan. Di semua partaiituada juga orang-orang baik yang menjaga kejujurannya, tetapi juga di semua partai ada pencoleng dan koruptor terkutuknya. Coba kalau beranisebut satu saja partai mana yang partai setan? Atau sebut satu saja mana yang partai Allah?

Pasti tidak bisa karena di Indonesia sekarang memang tidak ada partai yang benarbenar buruk seperti kandang setan dan tidak ada partai yang benar-benar bersih seperti tempat bersemayamnya hambahamba Allah yang saleh.

Para pengikut Amien men coba meluruskan bahwa di dalarn Quran dan hadis ada istilah hizbullah dan hibuissyaithan seperti yang dikatakan Amien. Saya jawab, kalau itu, ya, me mang benar, tetapi kata hizb di dalam kedua sumber primer ajaran Islam itu bukan berarti partak seperti yang terkesan dinisbatkan Amien Rais terhadap keadaan Indonesia sekarang. Kata hibdi Quran dan hadis di situ berati barisan, tentara, kelompok, garda, pasukan

Ada Istilah hitbullah yang saat Nabi hidup dulu berarti barisan tentara Allah dan hixbusayaitan yang berarti kelompok pengikut setan. Ada juga istilah hizbul wahan yang berarti barisan pembelatanah air, barisan nasional, atau garda bangsa Saat ini memang ada kata hib yang dikaitkan dengan gerakan yang berbau politik seperti Hibullah di Lebanon atau Hizbut Tahrir. Tapi istilah partai Allah atau partai setan tidak bisa dipergunakan untuk memotret situasi politik, apalagi partai politik di Indonesia sekarang,

Jawaban mengada-adadile mukakan juga bahwa partat Allah itu adalah partai yang tidak membela penista agama. “Menurut saya klaim itu terlalu lancang. Bolehlah ada partal yang mengidaim tidak membe la penista agama, tetapi selama di partainya ada koruptor atau pembela koruptor, maka dia tidak boleh mengidaimpartainya sebagai partai Allah, Klaim se perti itu menodai kemahasuci an Allah karena koruptor dan para pembelanya itu justru dilaknat oleh Allah.

Selain soal partai Allah dan partai setan, wartawat itu bertanya juga tentang pernyataan Amien Rais bahwa khutbah di masjid boleh diisi dengan pesan politik. “Apakah itu berartanya wartawati itu. “Bisa benar dan bisa salah,” jawab saya. Bo leh saja di masjid kita me nyampaikan pesan politikasalkan yang politik tingkat tinggi Chrigh polities)tetapihindarkanlah menyampaikan pesan politik praktis (low politics) yang sudah menyangkut kepentingan praktis dari kelompok-kelompok politik yangada sekarang di Indonesia,

Dulu Nabi mengelola high Mies dari masjid, misalnya memerintahkantegaknya keadilan dan hukum, melakukan musya warah dalam mengelola peme rintahan, membantu kaum lemah, dan sebagainya. High po Nitics adalah politik sebagai kon sep dan inspirasi tentang ke baikan hidup bernegara, berbangsa dan bermasyarakat. Adapun low politics adalah politik praktis yang sudah diwarnai kepentingan kelompok-kelom pok politik yang saling bersaing seperti serigala

Saya setuju dengan Buya Syafii Maarif bahwa untuk konteks Indonesia yang seperti sekarang, di masjid hanya boleh me nyampaikan pesan politik ting kat tinggi (high politics) dan bu kan politik rendah (low politics) yang saling melakukan klaim atas kebenaran sebagai miliknya. Jadi pesan politik yang boleh disampaikan di masjid ada lahpesan yang sejuk yang tertuju kepada semuanya, bukan mendukung yang sebagian dan menyerang sebagian lainnya.

“Apakah sikap dan langkahLangkah Amien Rais itu tidak menimbulkan perpecahan di Partai Amanat Nasional (PAN) tanya wartawati itu lagi

“Jangan mancing maing. ya,” jawabsaya sambil tertawa.

PAN itu masih terlihat solid, masih menghormati Amien Rais, dan masih di bawah kendali Zulkifli Hasan. PAN tidak pecah, tetapi pengurus-pengurusnya dibuat sibuk oleh Amien Rais untuk menjelaskan bahwa banyak orang salah paham terhadap maksud baik Amien Rais. Pengurus PAN juga dibuat sibuk untuk menjelaslan bahwa pernyataan Amien Rais itu tidak ada kaitannya dengan PAN. Soal penjelasan pengurus PAN dipercaya atau pun tidak oleh masyarakat itu soal lain lagi.

This article have been published in SINDO newspaper, 28 April 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Saya heran pada sementara pihak yang menyalah-nyalahkan Polri ketika membongkar dan menangkap belasan orang yang disangka mengorganisasikan akun hoax untuk menyebarkan berita bohong ke te ngah-tengah masyarakat. Mereka ini seakan tidak menyadari bahwa berbagai kerusuhan yang mengerikan justru timbulkarena pembuatan hoaxyang diorganisasikan secara sistematis.

Ketika Polri membongkar dan menangkap jaringan akun Muslim Cyber Army (MCA) Fmily seharusnya kita mengacungijempol Polrikarena sudah bisa melakukanitudenganbaik. Anehnya, ada yang berkata nyinyir, “Itu rekayasa untuk mengalihkan perhatian,” dan ada yang mempersoalkan penyebutan secara eksplisit nama MCA kepada publik yang, katanya, bisa memojokkan umat Islam. Tetapi, alasan untuk mengatakan itu tidak masuk akal.

Polri tidaklah salah ketika menyebut nama akun tersebut. Jika Polrimelakukanpenindakan kemudian tidak menyebut nama kelompok (akun) yang digunakannya justru bisa lebih salah lagi. Masa iya, menindak tanpa menyebutkan dengan je las siapa yang ditindak dan apa namakelompoknya? Kalaubertindak seperti itu Polri bisa dianggap membuat hoax sendiri karena menindak satu kelompok yang tak ada identitasnya. Bisa juga dituding melakukan operasi senyap yang merugikan kelompok tertentu atau berbagai tudingan lainnya. Jadi, su dah benarlah Polri menyebut nama MCA Family dan namanama mereka yang ditangkap.

MCA Family itu jelas merupakan fakta sebagai akun produsen dan penyebar hoax jahat yang dipergunakan oleh pela – ku-pelaku yang jelas identitasnya. Masa harus didiamkan atau disembunyikan identitasnya? Kelompok seperti itu me mang harus ditindak tegas. Apalagi isu-isu yang dilontarkannya selama ini memang “mengatasnamakan pembela Islam untuk membuat keresahan dan disintegrasi sosial. Adalah benarpendapat bahwa pembuatakun MCA Family dan pendukung-pendukungnya adalah perusak Islam dan perusak citra umat Islam. Mereka yang merasa dirinya sebagai barisan Muslim Cyber Army yang benar dan tidak menyebarkan hoax (melainkan hanya berdakwah atau berjuang secara baik) seharusnya ikut membantu Polri bersama masyarakat untuk membongkar dan menindak sindikat MCA Family.

Berita hoax yang menyebarkan kebencian, fitnah, adudomba antargolongan merupakan tindakan yang membahayakan kita sebagai bangsa yang bernegara. Baruduaharilalu(Kamis, 8 Maret 2018) kita dikejutkan oleh berita terjadinya bentrok antara penganut Islam dan penganut Budha di Sri Lanka yang sampai menelan korban jiwa karena diprovokasi oleh be rita hoax. Secara hukum di Indonesia ini kita sudah mengantisipasinya melalui UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni, UU Nomor 11/2008 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 19/2016. Didalam UUITE tersebut diatur ancaman hukuman yang tegas atas penyebar berita bohong yang disebarkan melalui media elektronik, tepatnya transaksi elektronik.

Menurut Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 45 (2) UU Nomor 11/2008 serta meturut Pasal 45 ayat (10) UU No mor 19/2016, siapa pun yang melakukan penyebaran berita bohong dengan unsur tertentu bisa dijatuhi hukum pidana penjara selama enam tahun dan atau denda Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah). Tepatnya “Setiap orang yang dengan se ngaja dan/atau tanpa hak me nyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang menyebab kan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik” dan “Se tiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hakmenyebarkaninformasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian ataupermusuhanindividudan/ atau kelompok masyarakat ter tentu berdasarkan suku, aga ma, ras, antargolongan” dian cam dengan hukuman pidana 6 tahun dan/atau denda sebesar Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).

Jika menyangkut fitnah pencemarannamabaik, penista an perbuatantidak menyenang kan, dan sebagainya terhadap orang perseorangan malasesuai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 tanggal 5 Mei 2009, pelaku transaksi elektronik yang seperti itu bisa dihukum dengan ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)sebagai mana diatur di dalam Pasal 310 (menista), Pasal 311 (memfit nah), Pasal 315 (menghina. mencemarkan), dan sebagainya dengan menggunakan Pasal 27 UUITE. Adapun yang dimaksud dengan transaksi elektronik seperti yang diatur di dalam Pasal 1 butir 2 UU Nomor 19/ 2016 adalah perbuatan hukum yang dilakukandengan menggunakan komputer, jaringan kom puter, dan/atau media elektronik lainnya.”

Polri tidak perlu gamang da lam melaksanakan ketentuan ketentuan hukum tersebut untukmenindak secarategas setiap pelalu transaksi elektronik yang menyebarkan hoax. Meskipun begitu, kritik-kritik terhadap Polri yang bermuatan kecurigaan tentang ketidaletralan atau tudingan tentang ketidakprofesienalan Polri tetaplah harus di perhatian dan dijawab dengan tindakan-tindakan profesional yang nyataoleh Polri. Ditengah tengah masyarakat memang berkembang Opini bahwa Polri kerap hanya menindak orang atau kelompok tertentu, tetapi membiarkan orang atau kelompok tertentulain ketika melaku kan penistaan, membuat hoax, atau tindak pidana lain.

Meskipun begitu, masyara kat tidak harus meminta Polri mengklarifikasi lebih dulu tentang berbagai kecurigaan dan protes itu untuk menindak kelompok MCA Family ini.

Kelompok MCA Family dan orang-orang yang terlibat di dalamnya harus segera ditindak tegas tanpa harus disandera oleh mandekaya kastus-kasus lain yang masih dipertanyakan Biarlah itu berjalan simultan dan bisa melalui jalurnya sendiri sendiri.

 

This article have been published in SINDO newspaper, 10 March 2018.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Semula Presiden Joko Widodo mengirimkan surat presiden (supres) kepada DPR yang berisi persetujuan untuk membahas rancangan revisi atas UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UUMD3).

Isinya satu saja: perubahan komposisi (tepatnya penam. bahan jumlah) pimpinan MPR dan DPR sesuai dengan komposisi hasil pemilu. Tetapi pada saat-saat akhir pembahasan, ada usul dimasukkannya bebe rapa materi baru yalini tentang kriminalisasi terhadap peng kritik DPR dan anggota DPR tentang perluasan imunitas DPR, tentang pemanggilan paksa (subpoena) yang tidak proporsional.

Satu lagi tentang perluasan fungsi Majelis Kehormatan De wan (MKD) DPR dari lembaga penegak etik merambah ke lembaga penegakan hukum.

Keruan saja menyeruak pro dan kontra yang panas. Presiden menyatakan laget dan tidak tahuada pembahasan materise perti itu. Sementara itu, Menkumham Yasonna Laoly meng. aku memang tidak melapor tentang masuknya materi-materi baru tersebut karena waktunya sudah sangat mendesak. Sebe lumnya, Fraksi Partai NasDem dan Partai PPP mengaku keco longan dan menyatakan walkout saat pengesahan UU tersebut di Gedung DPR. Materi-materi yang (meminjam istilah Prest den) mengurangikualitasdemo krasi tersebut tentu harus dibereskan karena mendapat penolakan luas dari masyarakat. Jalan keluar secara konstitusional harus dicari untuk meniadakan ketentuan-ketentuan tersebut dari hukum kita.

Konstitusi kita pun memberikan beberapa jalan untuk itu melalui pembuatan resul tante (kesepalcatan) baru, sebab pada dasarnya produk hukum adalah resultante yang bisa diganti dengan resultante baru. Resultante baru bisa dilakukan dengan legislative review atau perubahan UU melalui proses legislasi lagisetelah UU MD3 itu terlebih dulu diundangkan. Mekanisme legislative review ini akan berlangsung relatif lama dan ribet lagi. Maka ada juga yang mengusulkan direvisi me lalui judicial review atau memine ta pembatalan kepada Mahkamah Konstitusi (ME) dengan uji konstitusionalitas.

Namun harus diingat, dalam kasus ini ada sedikit kelemahan kalau pilihan penyelesaian masalah ini dibawa ke MK. Pertama, pada dasarnya MK hanya bisa membatalkan (negative legislaCor) dan tidak bisa membuat for mulasi baru, sebab formulasi sebuah UU hanya bisa dibuat oleh legislatif (positive legislator). Ini bisa menimbulkan kekosongan hukum. Memang ada juga pe luang dibuatnya vonis “konstitusional/inkonstitusional bersyarat yang memungkinkan MK mengharuskan pengertian tertentu, tetapi formulasinya tetaplah tidak bisa leluasa Ke dua, MK tidak boleh membatalkan UU atau isinya meskipun UU tersebut jelek dan ditolak oleh publik selama tidak bertentangandengan UUD 1945.

Banyak UU yang menurut MK tidak bagus dan ditentang oleh masyarakat, tetapi tidak bisa dibatalkan oleh MK karena meskipun tidak disukai oleh masyarakat dan tidak bagus, tetapi juga tidak bertentangan dengan UUD 1945, misalnya, dalam hal-hal yang dianggap sebagai opened legal policy.

MK tidak bisa membatalkan UU yang menurut pendapat umum tidak baik. MK hanya membatalkan UU yang nyatanyata bertentangan dengan UUD 1945. Dulu MK pernah menolak untuk membatalkan UU No 1/PNPS/1965, karena meskipun isinya dianggap kurang baik, tetapi UU tersebut tidak bertentangan dengan UUD 1945 sebagai opened legal policy. Waktu itu MK menyatakan, kalau mau diubah, ya, menjadi ranahnya DPR dan pemerintah sebagai pemegang haklegislasi. Itulah taruhannya jika kasus UUMD3 ini diuji materi ke MK.

Maka muncul alternatif lain, yakni penerbitan peraturan peu merintah pengganti undang-undang (perppu) yang dari sudut tertentubisa lebih tepat, lebihce pat, dantanpadebatkusiryangti dak perlu. Caranya, drafUUMD3 diundangkan dulu untuk selanjutnya, sehari kemudian direvisi dengan perppu. Cara ini pada akhir 2014 pernah dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)ketika pada 30 September 2014 mengundangkan berlakunya UU No 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gu bernur, Bupati dan Wali Kota tetapi langsung disusul dengan pencabutannya pada 2 Oktober 2014 melalul pengundangan Perppu No 1 Tahun 2014.

Biasanya perdebatan yang selalu muncul terkait dengan perppu adalah alasan genting apa yang bisa dipakai oleh Presiden untuk mengeluarkan per ppu. Menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, perppu hanya bisa dikeluarkan dalam hal terjadi “hal ihwalloegentingan yang me maksa”. Namun, haruslah diingat bahwa di dalam Hukum Tata Negara tidak ada kriteria objektif tentang keadaan gentingitu. Alasan tentang kegentingan itu merupakan “hak subjektif Presiden. Dapat dikatakan, sampai saat ini tak pernah ada sebuah perppu yang ditolak oleh DPR dengan alasan tidak memenuhi syarat tentang ada nya legentingan Selain itu, jika perppu tidak diterima oleh DPR maka tidak otomatis materi yang dicabut oleh perppu itu langsung hidup lagi. Menurut hukum perundang-undangan, jila sebuah perppu tidak diterima oleh DPR maka harus dibuat UU untuk mencabutnya lagi. Di dalam proses pembuatan UU lagi itu, Presiden bisa ikut menentukan isinya.

Untuk kasus UU MD3 yang sekarang ini alasan dikeluarkannya perppu sudah cukup. bahwa, presiden melihat ada kegentingan karena adanya ancaman terhadap perkembangan demokrasi dan karena timbulnya keresahan di tengah-tengah masyarakat. Perdebatan untuk pendalaman atas alasan subjektif presiden itu nantinya bisa dilakukan pada masa si dang DPR berikutnya ketika dilakukan pembahasan oleh pe merintah bersama DPR untuk menentukan diterima atau tidaknya perppu tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (2) UUD 1945.

Komunikasi politik Presiden Jokowi dengan DPR selama ini juga berjalan efektif dan semua perppu yang dikeluarkan Prest den Jokowi selalu diterima. Misalnya tentang hukuman penge birian bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak, tentang tax amnesty, bahkan juga tentang UU Keormasin, meskipun un tukyangterakhiriniditeximame lalui voting karena ada fraks! fraksi yang tidak setuju. Dalam konfigurasi politik yang sekarangin, banyak yang yakin DPR tidak akan menolak jika Jokowi mengeluarkan perppu tentang MDS tahun 2018, sebab suara masyarakat hampir bulat menso lak UU MD3 yang sudah disahkan itu dan parpol-parpol lebih banyak yang selalu mendukung Presiden Jokowi.

Meskipun begitu kita tidak bisa menghindari adanya kekhawatiran tentang terjadinya eksesifitas kekuasaan Presiden jika mengeluarkan Perppu. Ada yang khawatir jika Presiden sering mengeluarkan Perppu. Kekhawatiran seperti itu biasa muncul setiap akan ada Perppu dan itu bagus saja sebagai bentuk kehati-hatian. Semuanya menjadi hak dan wewenang Presiden untuk memilih alternatif yang diyakininya paling tepat.

This article have been published in SINDO newspaper, 3 March 2018.

 

(Godean, June 20th, 2017) Intellectual Property Rights Center, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia (IPR Center FH UII) in collaboration with the Department of Industry and Trade (DISPERINDAG) of the Sleman Regency Government provides counselling to the Group of Tile Maker Business Actors in Godean, Sleman at 14.00 WIB -completed. The purpose of counselling is provide socialization regarding the importance of collective trademark registration for the roof tile maker group in Godean. The socialization is field by speaker Dr. Budi Agus Riswandi SH, M. Hum as an expert on Intellectual Property Rights Faculty of Law, Islamic University of Indonesia.

The socialization of this collective brand is a response to a report by one of the business actors of tile maker in Godean to the DISPERINDAG of the Sleman Regency Government regarding the use of the GODEAN brand by other people outside the Godean area. Based on this report, the Industry and Trade Office of the Sleman Regency Government invited the Central of Intellectual Property Rights, Faculty of Law UII to hold a meeting with the Tile Makers Group.

The Godean region itself is a central of tile-making in the Special Region of Yogyakarta Province. The Rooftile Maker Business Group in Godean also has brands in carrying out its business activities, which include SOKKA, SOKKA Super and others, where these brands do not show the identity of Godean rooftiles. Meanwhile, the name godean tile is actually used by tile makers in several areas in Central Java such as Temanggung, Magelang and Klaten.

At first, rooftile in Godean will be registered as a geographical indication, but based on a survey, Godean rooftile does not yet have the characteristics that are a requirement for registration of geographical indications. However, based on the study, Genteng Godean actually has the opportunity to be registered as a collective mark. During the meeting, the Sleman Regency Government and Dr.Budi Agus Riswandi,S.H,M.Hum provided an alternative name for the collective brand for Godean tile makers, namely the collective brand GENTENG GODEAN where this collective brand consists of 530 members of the Godean tile maker business.

In his presentation, Budi provides information on intellectual property rights and the importance of collective mark registration and provides explanations regarding infringement of trademarks as unfair business competition. According to him, Intellectual Property Rights are very important, especially for business actors who make rooftiles in Godean.

Budi also explained several positive impacts of collective trademark registration for business actors making Godean rooftiles, which could strengthen the business actors of Godean roof tiles, expand the marketing of Godean rooftiles and advance the Godean rooftile maker group as well as improve the economy of the Godean rooftile making business group. According to his presentation, Budi also argues that the power of collective brands can outperform individual brands and has positive implications for production governance and marketing management. Later, after the registration of the Godean tile collective mark, the group of business actors will be given a collective brand manual containing the SOP (Standard Operational Procedure) regarding the manufacture of rooftiles, quality testing standards for Godean tile products and others.

However, there are several obstacles in registering the collective trademark of Godean rooftiles, including the tile-making business group in Godean that is not yet a legal entity. Therefore, the Speaker hopes that the relevant parties will immediately form a legal entity in the form of a cooperative of godean rooftile making business groups in order to obtain legality in the registration of the Godean rooftile collective mark.

In addition, Budi also provides several possible protections for intellectual property rights in addition to collective marks, including patents for rooftile making machines, as well as industrial designs for tile shape designs which will get exclusive rights in which only this business group is entitled to such exclusive rights. the issue of Intellectual Property Rights, the speaker also provides the potential for tile godean franchises to several business actors outside the godean tile business group which will provide additional benefits for the godean rooftile business group.

At the end of the counselling, Dr.Budi Agus Riswandi SH,M.Hum from the IPR Center FH UII and the DISPERINDAG of the Sleman Regency Government along with the Godean Rooftile Maker Business Group hoped to immediately register a collective mark in order to strengthen the group of business actors and improve production and marketing governance. Godean rooftile, and hopes that the Godean rooftile product with the collective brand of GODEAN rooftile can also be used by housing developers, especially in Sleman Regency, and expand the marketing of Godean rooftile both to all regions of Indonesia and even abroad. (Editor: Renggi Ardya Putra)

(Bantul-Friday 21/05/2017) Intellectual Property Rights Center Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia (IPR Center FH UII) in collaboration with the Central of Business Services and Intellectual Property Management Department of Industry and Trade DIY held a meeting with the Micro, Small and Medium Enterprises Group (UMKM) ) Emping Melinjo maker in Kepuh, Wirokerten Kec. Banguntapan, Bantul Regency, Special Region of Yogyakarta at 15.30 WIB – Done. The meeting agenda with the theme of Socialization regarding Collective Mark Registration which was filled by the speaker, Dr. Budi Agus Riswandi SH, M. Hum expert on Intellectual Property Rights Faculty of Law, Islamic University of Indonesia.

As is known, the Kepuh area, Wirokerten is very well known as the Central of craftsmen or Emping Melinjo makers in Bantul Regency. The group of Micro, Small and Medium Enterprises (UMKM) that produces emping melinjo was established in 2012, but this business group does not yet have a Collective Mark and the business actors in that group still compete with one another and have their own trademarks. There are even emping mlinjo makers who do not yet have a brand for Emping Mlinjo.

In the socialization, Dr. Budi Agus Riswandi SH M.Hum gave direction and socialization regarding the importance of collective trademark registration for micro, small and medium enterprises (UMKM) the process of collective trademark registration, the objectives and benefits of collective trademark registration. In his presentation, Budi also emphasized that the brand is a tool to differentiate one product from another, as well as a means to avoid unfair business competition.

In addition, the brand can also be used as a tool for promotion and to determine product quality. In other, the briefing regarding collective mark Budi also provides for the possibility of registering other types of Intellectual Property Rights (IPR), including registration of industrial designs on product packaging, registration of inventions in the form of processes or methods of making chips using patents and so on.

On that occasion, Ahmadi as the leader of the group of entrepreneurs making emping melinjo asked several questions to the speakers regarding the registration of collective marks and hoped that the registration of collective marks could be implemented immediately in order to protect the collective mark for business actors and increase the selling price of emping melinjo. Because according to his narrative, in running a business, business actors are still competing and product management and testing have not been carried out properly and systematically.

At the moment, collective trademark registration has become a facilitation program from the Regional Government (PEMDA) in Special Region of Yogyakarta (DIY) through the Department of Industry and Trade (Disperindag) with the technical unit of the Center for Business Services and Intellectual Property Management. This program is expected to protect UMKM products collectively and foster product competitiveness collectively, Budi concluded in his presentation on the socialization of collective trademark registration (Renggi).

Kotabaru (21/02/2017) The development trade practices at this time has indeed entered the climate of increasingly fierce business competition, this condition creates the hardness of the tangent point competition in business so that it requires producers to always protect their business from unfair trading in practices and fraudulent behavior of other manufacturers. For this reason, one way to obtain protection for the typical product of a region is to register a Geographical Indication (GI) which is submitted to the Director General of Intellectual Property Rights so that it is recorded and given a certificate as proof of its rights.

 

1st ilustration. Geographical Indication Area of Coconut Sugar in Kulonprogo

As a typical product of a region, coconut sugar which consists of ant sugar and palm sugar has a very high selling potential. it is noted that this product has been exported to America, Canada and Europe, so it is fitting for this coconut sugar product made from coconut sap get legal protection. On this basis, MPIG Coconut Sugar Kulon Progo Jogja asked the IPR Center FH UII to accompaniment and assist in the registration process for IG Coconut Sugar in the Kulon Progo area, which is a typical product of the Kulon Progo region with very good quality.

According to the Regent of Kulon Progo, Dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG, efforts to register geographical indicators of Kulon Progo coconut sugar are based on the awareness that Kulon Progo Coconut Sugar products have advantages and characteristics compared to other similar sugar products. Furthermore, he also hopes that by registering the geographical indication of Kulon Progo Coconut Sugar, Kulon Progo’s superior products can be legally protected and highly competitive.

On another occasion, the Director of the FH UII HKI Center Budi Agus Riswandi said that the FH UII HKI Center was committed to assisting and accompaniment the community and the government in protecting existing superior products through assistance in the registration of geographical indications. He also stated that the IPR FH UII Center is an institution that is quite experienced in assisting in the registration of geographical indications.

2nd illustration. IG Logo of Coconut Sugar in Kulonprogo

In 2015 Coconut Sugar Kulon Progo has succeeded in obtaining a certificate of protection of geographical indications from the Directorate General of Intelectual Property, Ministry of Law and Human Rights. This is one of the proofs that the IPR Center of the Faculty of Law UII has succeeded in providing assistance in terms of protecting geographical indications. (Dio)

Kotabaru, (16/02/2017). The IPR Center FH UII has just received a visit from the LPPM Team of Parahiyangan University, Bandung. The visit of the UNPAR team was intended to conduct a comparative study related to the institutional and governance of IPR at Universitas Islam Indonesia . At the beginning of the meeting, LPPM UII team introduced the members who were present, then the IPR Center FH UII did the same.

After the introduction, the meeting between the LPPM UNPAR Team and the IPR Center FH UII continued. On this occasion, Mrs. Catherina Badra Nawangpalupi, Ph.D as Head of Institute of Research and Community Service as well as representing the LPPM UNPAR Team stated: “The IPR Center FH UII is seen in its development showing extraordinary progress compared to the Intellectual Property Center from other universities. ” Furthermore, he also stated: “Many evidences of the success of the IPR Center FH UII have been submitted to the public related to the management of IPR.”

In line with what has been conveyed by the LPPM UNPAR team, the Executive Director of the IPR Center, Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum stated on his welcome speech to the presence of the LPPM UNPAR team and was ready to open up to share and cooperate with each other in terms of institutional strengthening of IPR which is planned to be established at LPPM UNPAR. Furthermore, Budi stated: ‘that the IPR Center FH UII is structurally under the Faculty of Law UII, but functionally it always supports the IPR management efforts both within the UII and outside the UII. According to him, the key to success is the IPR center FH UII managed with a passion for serving and building UII to become better institutions.”

At the end of the meeting, the LPPM UNPAR Team and the IPR Center FH UII committed to each other to collaborate in the future in order to advance the management of IPR in these two universities. The cooperation can be done in the form of assistance, program collaboration, and other institutional programs. The exchange of mementos was the closing event of the comparative study meeting held by the LPPM UNPAR Team (Budi).

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Begitu keluar dari ruang kuliah umum di Universitas Islam Negeri (UIN) Palembang pada Kamis, 26 Januari 2017, dua hari yang lalu saya langsung diserbu dan diberondong pertanyaan keras oleh para wartawan. “Apa tanggapan Bapak tentang ditangkaptangannyahakim MK Patrialis Akbar?,” cecar mereka bersaur manuk Saya kaget karena berita itu disodorkan begitu tiba-tiba dan saya belum mengetahuinya.
“Kalau itu benar, saya hanya mengucapkan innaalillaahi wa inna ilaihi raji’un,”kata saya dan terus menerobos pergi. Saya langsung ke hotel dan mencari info ke sana kemari sampai akhirnya mendapat sumber A-1 ketika Ketua KPK Agus Rahardjo mengonfirmasi bahwa Patrialis Akbarmemang ditangkap (operasi tangkap tangan-OTT).

Sorenya puluhan wartawan datang lagi ke Hotel Arissa, Palembang, dan meminta saya menanggapi.

Ini adalah berita akbar atau berita besar kedua yang menyeruduk kita dari Gedung MK Berita akbar yang pertania terjadi 2 Oktober 2013, ketika ketua MK ditangkap di rumah dinasnya karena kasus korupsi yang akhirnya divonis hukuman penjara seumur hidup. “Apa tanggapan Bapak? Sudah jelas, kan Pak, kalau Pak Patrialis diOTT? Demikian cecar para wartawan itu.

Ada dua hal yang saya tekankan saat itu. Pertama, lihatlah. Nantisetelah pemeriksaan oleh KPK, orang yang terkena OTT begitu keluar dari ruang pemeriksaan pasti yang pertama diucapkan kepada kerumunan wartawan, “Saya dikriminalisasi, saya dijebak, saya dizalimi, saya di-OTT karena politik, atau berbagai dalih lain.

Kedua, ingatlah. Selama ini jika KPK telah menangkap seseorang dengan OTT tidak ada seorang pun yang bisa lolos, semua bisa dikirim ke penjara.

Benar saja. Begitu keluar dari ruang pemeriksaan dan memakai baju indah berwarna oranyesebagaiyang pertamadikatakan oleh Patrialis di depan wartawan adalah, “Saya dizalimi”. Katanya, dia tidak mene rimauangsesen pundan Pak Ba sukiyang disangka menyuap dirinya itu bukan orang yang beperkara di MK.

Lihatlah ke belakang, Hampir seinua orang yang dicokok oleh MK selalu berdalih seperti itu sehingga kalimat “Saya dizalimi, dikriminalisasi, dijadikan korban politik dan sebagainya,” seakan-akan menjadi semacam
lafal-lafal baku, hampir sama dengan lafal standardoa iftitah di dalam salat. Nyatanya pula orang-orang yang di OTT itu selalu bisa diantar ke penjara oleh KPK.

KPK selalu bisa menunjukkan bukti-bukti yang kuat sehingga vonis hakim selalu memuat kalimat, “Terbukti secara sah dan meyakinkan.” Pembuktian oleh KPK tidaklah main-main, ia selalu dibangun dengan konstruksihukumyang kuat sehingga jika terhukum naik banding ke pengadilan tinggi atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, vonisnya selalu dikuatkan, bahkan banyak yang hukumannya dinaikkan.

Saya percaya akbarnya drama Patrialis ini takkan keluar dari pakem yang selama ini sudah baku, yakni, KPK akan mampu membuktikan dakwaannya. Setahun terakhir ini memangmulaibanyakorangmempertanyakan profesionalitas, kredibilitas, bahkan independensi KPK sehingga mereka ragu, apakah kasus Patrialis yang akbar ini benar-benar bukan bagian dari permainan politik dan kebal dariintervensi.

Tetapi secara umum saya pribadi masih memercayai dan masih sangat berharap kepada KPK untuk tetap menjadi instrumen negara yang perkasa dalam memerangi korupsi. Dalam kasus Patrialis ini saya percaya KPK tidak sedang memainkan akrobat politik. Pertanyaan wartawan yang lebih jauh adalah bagaimana pola seleksi hakim konstitusi dilakukan.

Bagaimana orang seperti Patrialis bisa menjadi hakim MK yang menurut konstitusi mensyaratkan kenegarawanan? Harus diakui, masuknya Patrialis sebagai hakim di MK didahului dengan masalah serius. Patrialis diangkatoleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tappar proses transparan dan parasie pasi publik sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 19 UUMK.

Patrialis diangkat dengan Keppres Nomor 87/P Tahun 2013 dalam satu paket dengan Maria Farida Indrati tanpa seleksi terbuka. Untuk Maria Farida memang tidak ada masalah saat diangkat lagi karena diasudah pernah mengikuti seleksi terbuka dan lulus dengan baik serta sudah menjadi hakim MK selama lima tahun dengan prestasi yang baik pula. Tetapi pengangkatan Patrialis memang sangat janggal sehingga banyak yang mencibir dan menentang.

Karena pengangkatan Patrialis dirasa sangat tidak fair, maka sekelompok masyarakat melalui, antara lain, YLBHI dan ICW, menggugat keppres itu ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Maria, meskipun tak banyak dipersoalkan, menjadi ikut terbawa dalam gugatan itu karena pengangkatannya kembali dijadikan satu kepres de ngan pengangkatan Patrialis -Akbar yaitu Keppres Nomor 87/P Tahun 2013.

Ternyata gugatan itu dika bulkan dan PTUN memutus pengangkatan hakim dalam keppres tersebut tidak sesuai UU-MK dan harus dibatalkan. Pada saat itu masyarakat sudah berteriak, saya juga ikut berbicara dan menulis di berbagai media massa, agar Presiden SBY tidak mengajukan banding atas putusan PTUN itu. Tetapi Presiden SBY tetap mengajukanbanding dan bandingnya dimenangkan oleh PTTUN untuk kemudian dimenangkan lagi di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Bisa dipahatni jika kemudian munculgerutuan,”permainanapa dan siapa ini?”

Ternyata ujung dari permainan yang bersubjek Patrialis tersebut seperti ini, di-OTT, se hingga menghancurkan harapan rakyat dan merusak pembangunan negara. Pemerintahan SBYmemangtidak bisa dimintai tanggungjawab hukum atas pe ristiwa OTT ini karena MA mengukuhkan pengangkatan Patrialis sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya. Sekali lagi, “sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya”, taklebih. Tetapi ini tentu menjadi beban dan menuntut tanggungjawab moral bagi pejabat yang dulu memainkannya. Soalnya, apakah pemimpin-pemimpin kita masih mempunyai kepekaan moral? Itulah yang nanti jawabannya bisa bercabang-cabang.

 

This article have been pubslihed in  SINDO, 29 January 2017.