Netralitas ASN
Author: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration of Law
Kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap akan dilaksanakan tahun ini, di tengah wabah Covid-19. Persiapan penyelenggaraan pilkada yang digelar ini tidak lepas dari beberapa polemik. Salah satunya menyinggung netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, masih saja terdapat pelanggaran netralitas. Data yang dihimpun lembaga pengawas norma dan kode etik ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat setidaknya ada 456 ASN yang sudah dilaporkan melanggar netralitas hingga 31 Juli 2020 (KASN.go.id).
Salah satu permasalahan netralitas ini adalah banyaknya ASN yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun belum mengikuti prosedur yang sesuai peraturan perundang-undangan, misalnya belum mundur sebagai ASN. Tidak kalah penting adalah, pada tahun ini jumlah petahana cenderung meningkat dan mendominasi untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Realita ini dapat memicu kekhawatiran, yaitu mobilisasi oleh petahana kepada ASN menjadi catatan penting.
Menteri Dalam Negeri telah mencatat banyaknya permintaan mutasi ASN. Terdapat 720 usulan mutasi yang ditolak hingga bulan September. Penolakan tersebut untuk menghindari adanya mutasi atas dasar kepentingan. Disamping itu, masih ditemukan banyaknya ASN yang melakukan kampanye. Lalu bagaimana persoalan terkait dengan pelanggaran netralitas ASN ini ditinjay dari perspektif hukum kepegawaian?
Pengaturan tentang netralitas ASN ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan. Dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Terkait dengan pencalonan sebagai Kepala Daerah bagi ASN sebenarnya telah diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di kedua pasal ini diaturn, pada intinya ASN harus mengundurkan diri secara tertulis sejak mendaftar sebagai calon.
Lalu, konsekuensi berat apabila tidak mengundurkan diri ini dapat dilihat pada di Pasal 346 ayat (4) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Apabila PNS tidak mengajukan diri sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan sejak PNS yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.
Permasalahan kedua adalah mobilisasi petahana menjelang pilkada pada ASN. Pasal 71 ayat (2) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, menyatakan antara lain, Kepala Daerah tidak boleh melakukan penggatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Kemudian ayat (3) pada intinya menyatakan Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpillih. Jika hal itu dilakukan oleh petahana, maka terdapat sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.
Konsekuensi hukum dari pelanggaran netralitas PNS tersebut adalah hukuman disiplin sedang dan berat. Sesuai dengan Pasal 7 dalam peraturan pemerintah tersebut hukuman disiplin sedang dan ringan berupa penundaan gaji sampai dengan pemberhentian tidak denan hormat.
Penegakan hukum sangat diperlukan untuk mengatasi netralitas tersebut, yaitu dari segi pengawasan maupun pemberian sanksi. Baik dari KASN, Badan Pemilu (Bawaslu), Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tidak terkecuali masyarakat harus terus dapat bersinergi untuk mengawal netralitas ASN.
This article have been published in Anaslisis KR rubric, Kedaulatan Rakyat newspaper, 30 September 2020.