Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law
Kamis, 22 Desember 2016 K duahariyang lalu, selama I seharian saya berdiskusi melalui Twitter dengan sangat banyak netizen tentang fatwa. Diskusitersebut dipicu oleh per nyataan Kapolri Tito Karnavian bahwa fatwa MUI bukan hukum positif. Pekanlalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang mengeluarkan Fatwa No.56 Tahun 2016 yang menyatakan “haram” bagi kaum muslimin memakai atribut-atribut agama lain, termasuk atribut Natal.
Diberitakan, ada dua kapolres yang merespons dengan cepat dan bermaksud memberlakukan Fatwa MUI tersebut dilapangan. Namun, Kapolri Tito Karnavian menegur keduanya dan menyatakan bahwa Polriti dak bisa menegakkan fatwatersebut dalam posisinya sebagai penegak hukum, karena fatwa bukanlah hukum positif.
Atas pertanyaan seorang netizen, saya mengatakan bahwa “Kapolri benar, fatwa bukan hukum positif sehingga penegakannya tidak bisa menggunakan Polri sebagai aparat penegak hukum”. Ternyata banyak netizen yang belum paham arti fatwa dan arti hukum, bahkan tidak paham perbedaan antara norma hukum dan norma yang bukan hukum. Akun Twitter saya pun dibanjiri berbagai respons.
Selain yang sependapat dengan saya, ada juganetizenyang tidak setuju dan menyatakan fatwa MUI adalah hukum Islam yang mengikat bagi umat Islam. Bahkan ada juga yang mempertanyakan keislaman saya dengan tudingan, saya anti-MUI atau antihukum Islam. Saya sendiri tak terganggu sedikit pun dengan tudingan tersebut.
Pendapat saya bahwa fatwa bukan hukum positif dan tidak mengikat merupakan dalil yapg tidak perlu persetujuan darf alapa pun. Kalaurada yang tidak setuju put, dalil itu tetap berlake fatwaddakmengikat. Jangankan nya fatwa MUI, Fatwa Mahkamah Agung (MA) yang merupakan lembagayudikatif tertinggi pun tidak mengikat, tidak haruralikuti. Fatwa hanyalah pendapat hukum (legal opinion) dan bukan hukum itu sendiri.
Soal identitas keislaman, saya nyatakan bahwa justru karena saya Islam maka saya berpendirian bahwa fatwa keagamaan tidak mengikat dalam arti hukum, boleh diikuti dan boleh tidak. Saya juga sama sekali tidak anti-MUI karena saya tidak termasuk orang ikut berteriak agar MUI dibubarkan. Bagi saya, MUI sangat penting keberadaannya sebagai pembimbing umat yang sekaligus menjadi jembatan antara umat Islam dan pemerintah.
Saya menyatakan pendapat saya tentang fatwa sebagai pembelajar hukum, termasuk hukum Islam. Oleh sebab itu, masalah kedudukan fatwa yang tidak mengikat itu bisa saya jelaskan baik dari hukum nasional maupun dari hukum Islam sendiri. Dari sudut hukum nasional fatwa itu, meskipun berisi fatwa tentang hukum islam, tetapi tidak mengikat. Dalam hukum nasional yang mengikat adalah yang sudah dijadikan norma hukum, yakni ditatapkan keberlakuannya oleh negara
Didalam masyarakat, banyak sekali norma atau kaidah sebagai pedoman bertingkah laku, tetapi tidak semua norma menjadi hukum. Pada hari pertamamahasiswabelajardifakul tas hukum, misalnya, yang di ajaran adalah doktrin dan dalil utarnabahwa di dalam masyarakat ada empat macam norma ataukaidah yaitu norma keagamaan, norma kesusilaan, norma kesopanan dari norma hukum.
Norma yang mengikat dan bisa dipaksakan keberlakuannya melalui aparat negara adalah norma kukum, yakni norma yang diberlakukan secara resmi oleh negara melalul pemberlakuan oleh lembaga yang berwenang, misalnya, dijadikan UU. atau perda oleh lembaga legislatif. Orang memerkosa, misalnya, harus diadili dan dihukum karena yang bersangkutan melanggar norma yang sudah dijadikan UU, bukan karena melanggar hukum agama.
Namun, orang melanggar norma kesopanan seperti hanya memakai kaus ketika menghadap rektor atau melanggar norma agama seperti tidak mau berpuasa bulan Ramadan tidaklah dapat dihukum karena hal-hal tersebut bukan norma hukum. Kalau begitu, bisakah norma agama dijadikan hukum? Tentu saja bisa, sepanjang disahkan sebagai hukum oleh lembaga yang berwenang, misalnya dijadikan UU atau diberi bentuk peraturan perundangundangan lainnya dan bukan hanya berbentuk fatwa.
Dalam bidang keperdataan, misalnya, sudah ada norma agama Islam yang dijadikan hukum seperti di bidang perkawinan, pewarisan, dan ekonomi syariah yang bisa ditegakkan melalui ke kuatan negara. Hukum pidana islam (jinayat) yang mengenal qishas (Sanksi huklunan yang sama dengan pidana yang dilakukán) atauhad (jenis hukuman tertentu seperti cambuk dan potong tangan) sejatinya bukan hukum di Indonesia karena hal tersebut tidak diberlakukan.
Jadi, benarlah pendapat hukum atau fatwa Kapolri bahwa fatwa MUI tentang atribut Natal tak bisa ditegakkan oleh negara karena ia dalam konteks Indonesia, bukanlah hukum positif. Lebih dari itu, dikalang an internal umat Islam sendiri sebenarnya fatwa itu juga tidak mengikat karena ia hanya per dapat hukum dan belum tentu sama dengan hukum itu sendiri.
Itulah sebabnya setiap ulama bisa membuat fatwanya sendiri sendiri. Hasil penelitian dosen UIN Jakarta Rumadi yang sudah diterbitkan dalam bentuk buku, “Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia menguraikan adanya beberapa fatwa yang berbeda dalam isu yang sama antara tiga lembaga yakni MUI(Komisi Patwa): NU (Lembaga Bahtsul Mail), dan Muhammadiyah (Majelis Tarjih).
Dalam hal mengucapkan se lamat Natal, pemimpin perempuan, ataubungabank, misalnya, ketiga lembaga tersebut menge luarkan fatwa yang berbedabeda. Keberbedaan tersebut bisa saja terjadi karena fatwa itu hanyalah pendapat hukurn dan bukan hukuin itu sendiri. Makanya fatwa tidak mengikat, kita boleh ikut salah satunya, boleh juga tidak diikuti ketiganya karena kita mengikuti fatwa yang lain lagi.
Kalau begitu, apakattfatwa itu penting? Tentu penting sebagai rujukan karena fatwa itu hanya boleh dibuat oleh orang atau lembaga yang berkompeten dalam bidang agama. Apakah fatwa itu baik? Tentu pada umumnya fatwa-fatwa itu baik karena bisa menjadi tuntunan bagi umat yang membutuhkan bimbingan. Tetapi terlepas dari soal penting dan baik, fatwa bukanlah hukum dan penegakannya tidak bisa menggunakan aparatur hukum negara.
This article have been published in SINDO newspaper, 24 December 2016