The Global Undergraduate Exchange Program (Global UGRAD) provides a diverse group of emerging student leaders with a scholarship for one semester of non-degree academic study at a U.S. college or university. Global UGRAD is a program of the Bureau of Educational and Cultural Affairs of the United States Department of State and aims to recruit participants from underrepresented backgrounds who have not had other opportunities to study in the United States. Successful applicants can expect in-depth exposure to U.S. society, culture, and academic institutions, as well as opportunities to enhance their professional skills.

All participants will be enrolled in full-time, non-degree, undergraduate coursework chosen from their host institution’s existing curriculum. Participants will be required to take one, 3-credit U.S. studies course to enhance their understanding of the United States. Participants will live in campus housing facilities with American peers and will be required to participate in twenty hours of community service. There will also be a virtual arrival orientation and an in-person end-of-program workshop.

Grant benefits include international travel, tuition, room and board, accident/sickness insurance, monthly stipend, and funding for books.

Eligibility

Applicant should:

  • Be an Indonesian citizen
  • Be over 18 years of age
  • Be enrolled in a full-time undergraduate program (S1/D4) in Indonesia, having completed a minimum of one semester of study and having at least one more semester to complete at their home institution upon return. Preference will be given to those who are in their third up to the fifth semester.
  • Demonstrate leadership potential through academic work, community involvement, and extracurricular activities
  • Demonstrate command of written and spoken English as attested by a recent (less than two years old) TOEFL ITP or TOEFL Prediction score of 500 or iBT of 48.
  • Be committed to returning directly to Indonesia after the completion of the program

Preference will be given to those who have had little or no experience in the US or outside of their home countries. Only short-listed candidates will be notified for a personal interview.

The following applicants are ineligible:

  • US citizens and permanent residents of the United States
  • Individuals currently studying, residing, or working outside of Indonesia
  • Local employees of the US missions abroad who work for the US Department of State and/or the US Agency for International Development (USAID)
  • Immediate family members (i.e., spouses and children) of US Department of State and USAID employees; family members are also ineligible for one year following the termination of employment
  • Current World Learning and AMINEF employees and their immediate family members

Deadline

The deadline for the online submission of application materials for the program is January 6, 2022.

How to Apply

Candidates should complete the online application, which can only be accessed from November 1, 2021, until the deadline of January 6, 2022. 

Submission Requirements (to be supplied in English)

  • Two letters of reference, one from a lecturer from the applicant’s major field of study, the other from another lecturer, an employer, a coach, or a community work supervisor.
  • Photocopy of Indonesian ID card (KTP)
  • The latest university progress report/transcript in Indonesian and English

The transcript and other materials must be prepared before the deadline since you will not be able to add additional information on the online application form after that date.

After the online application has been submitted, candidates should inform staff at AMINEF via email attaching their scanned TOEFL ITP or TOEFL Prediction score to [email protected], with the email subject, “[Your Full Name] – Completed Global UGRAD Online Form.”

Please note that there are requirements unique to the Indonesia program, which may differ from details on the World Learning website. For applicants from Indonesia, please refer to the above requirements when applying to this program and direct all your questions to AMINEF staff.

More Information

Please also visit the following links for more information on the program:

Contact Information

Specific questions regarding the application process may be addressed via email to the following address: [email protected]

More Information : Click Here

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Pandemi Covid-19 menghantui seluruh umat manusia dunia saat ini. Ribuan orang meninggal. Dampak lainnya bermunculan, salah satunya rasa cemas, takut, stres, dan depresi. ­­­Kementrian Kesehatan mencatat bahwa selama pandemi Covid sampai Juni 2020, setidaknya terdapat 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia. Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2019. Pada tahun 2021, WHO menjelang Peringatan Hari Kesehatan Jiwa 10 Oktober merilis data mengejutkan bahwa hampir 1 milyar orang, atau 1 dari 7 manusia dunia terkena gangguan mental.

Data di atas memberikan gambaran bahwa pandemi dengan ragam masalahnya seperti pemutusan hubungan kerja, usaha yang kolaps, informasi Covid-19 yang dramatis, dan beberapa kondisi eksternal lain yang mengakibatkan kekhawatiran berlebih. Kondisi ini juga memperlihatkan bahwa Kesehatan jiwa menjadi penyebab membesarnya jumlah difabel mental di dunia. Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 mendefinisikan difabel mental sebagai orang yang terganggu fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain : (a) psikososial diantaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxitas, dan gangguan kepribadian; dan (b) disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial diantaranya autis dan hiperaktif.

Membesarnya jumlah difabel mental dengan ragam faktornya menjadi tantangan tersendiri, khususnya bagaimana pemangku kebijakan dapat memastikan interaksi sosial, partisipasi, layanan Kesehatan, dan hak-hak difabel mental dapat terpenuhi. Ada banyak sektor yang harus diperbaiki. Salah satu yang penulis ingin ulas ialah sektor di bidang hukum, di mana saat difabel mental berhadapan hukum, baik sebagai korban, pelaku, dan atau pun saksi, proses hukum harapannya dapat menjamin pemenuhan hak atas peradilan yang fair.

Tantangan Hukum

Salah tantangan serius penanganan difabel mental ialah bagaimana mengenali tingkat kesadaran tindakan difabel saat melakukan tindakan hukum. Difabel mental yang terkatagori depresi dan bipolar mungkin mudah identifikasi dan menilai pertanggungjawabannya, tetapi pasti akan sangat sulit kalau difabel mentalnya terkatagori skizofrenia. Butuh pelibatan ahli untuk menilai, apakah tindakan seorang skizofrenia dalam kondisi relaps (kambuh), dan atau dalam kondisi sadar.

Skizofrenia menurut ahli dikatakan sebagai gangguan kejiwaan yang terjadi dalam jangka panjang. Gangguannya menyebabkan penderitanya mengalami halusinasi (mendengar suara atau melihat hal-hal yang bagi orang lain tidak), delusi/waham (keyakinan yang bagi orang lain tidak berdasar), kekacauan berfikir, dan memperlihatkan perubahan perilaku. Saat dalam kondisi relaps penderita skizofrenia umumnya sulit membedakan antara kenyataan dan pikiran lain yang menyelimutinya.

Dalam kasus pidana, pertanyaan yang mengemuka :  apakah seseorang yang mengalami skizofrenia dapat dimintai pertanggugjawaban hukum? Kapan ia bisa bertanggungjawab? Pasal 44  ayat (1) KUHP berbunyi “Tidak dapat dipidana barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabnkan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal.”  Ketentuan ini dikenal dengan alasan pemaaf  pelaku tindak pidana karena dianggap kurang sempurna akalnya.

Dalam kasus perdata, pertanyaan yang mengemuka : apakah seseorang skizofrenia, bipolar, anxietas, dan beberapa difabel mental yang lain dianggap cakap melakukan perbuatan hukum? Merujuk pada Pasal 433 KUH Perdata yang berbunyi, “Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya…” Bunyi pasal ini jelas menghilangkan kapasitas hukum difabel skizofrenia, bahkan ragam difabel yang lebih luas. Tidak cukup jelas juga bagaimana mekanisme dan pengawasan pengampuan difabel mental sehingga hak-hak keperdataannya tidak terciderai sebagaimana terjadi pada sebagian besar difabel mental yang hak miliknya diambil alih oleh pengampunya.

Secara umum, substansi pasal KUHP dan KUH Perdata sudah tidak selaras dengan Undang-Undang No. 19/2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas. Dalam dua regulasi ini sangat tegas bahwa difabel mental dengan ragam hambatannya memiliki legal capacity, diakui sebagai subyek hukum, harus diberlakukan setara di hadapan hukum, dan tidak boleh didiskriminasi atas dasar disabilitasnya.

Pasal 12 Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa negara wajib mengambil Langkah-langkah yang tepat untuk menyediakan akses bagi penyandang disabilitas terhadap bantuan yang mungkin mereka perlukan dalam melaksanakan kapasitas hukum penyandang disabilitas. Saat ini sudah dikembangkan konsep supported decision making, dimana difabel mental tidak serta merta dihilangkan kapasitas hukumnya dengan jalan pengampuan yang tidak jelas kapan berakhirnya, tetapi difabel tersebut semestinya dibantu oleh pihak terpercaya dalam membuat keputusan. Konsep supported decision making dinilai menjadi jalan keluar dimana banyak difabel di Indonesia saat ini telah dimatikan hak-hak keperdataannya.

Tantangan lain saat difabel mental berhadapan hukum ialah pada prosedur acaranya, di mana aparat penegak hukum, baik itu kepolisian, kejaksaan dan hakim di pengadilan harus memastikan pemenuhan akomodasi yang layak. Beberapa hal yang harus dipastikan sesuai Peraturan Pemerintah No. 39/2020 yaitu terkait penilaian personal (profil assessment) yang diajukan kepada dokter atau psikolog/psikiater, penyediaan penerjemah, penyediaan pendamping disabilitas, penyediaan pendamping hukum, pemenuhan layanan dan sarana prasarana yang aksesibel, serta aparat penegak hukum yang menangani kasus harus memahami isu disabilitas.

Tangungjawab berikutnya dan saat ini telah dikawal oleh banyak jaringan aktifis difabel ialah bagaimana prosedur acara yang baru diatur dalam Peraturan Pemerintah semestinya dikembangkan ke dalam peraturan dan kebijakan internal institusi peradilan, baik itu Peraturan Mahkamah Agung, Peraturan Kejaksaan Agung, dan atau Peraturan Kapolri.

This article have been published in Republika Newspaper, 5 November 2021.

Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh

Dear all students of the International Program of Faculty of Law,
We welcome you back to campus!

The International Program of Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia will conduct the Hybrid Learning Class for five classes. The Hybrid Learning Process will be started after the Mid Exam. If you are a student who took these classes, you may apply to get your seat on TS III/08 of the Tamansiswa 158 Campus.
The Hybrid Learning will be opened for:
1. Contract Drafting Class A and B
2. Law of Kinship and Customary Inheritage Class A
3. Labour Law Class A
4. Law of Administrative Procedure Class A

Please register to: https://bit.ly/HybridLearningRegForm
Due (extended) : November 14th, 2021

Of course, the terms and conditions apply. For any information, please visit https://law.uii.ac.id/en/international-program-hybrid-room/

Regards,
IP FH UII

USINDO would like to announce an exciting international exchange program that is part of the Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI). The YSEALI Professional Fellows Program (YSEALI PFP) offers a chance for successful applicants to participate in a fully funded six-week professional development program in the United States in 2022.

YSEALI PFP will be implemented as a hybrid program with virtual activities leading up to the U.S.-based exchange. The program will be offered in two cycles: June-July 2022 (cycle one) and September-October 2022 (cycle two).

Feel free to pass this email directly on to anyone within your network who might be interested in applying or sharing this opportunity.

Additional information can be found on the YSEALI website and those interested can apply online for the program here or by clicking the button below.

The application for both programs in 2022 will close on November 15, 2021.

Author: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

 

Deklarasi pencegahan perkawinan anak yang digagas oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama Pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Tengah pada 29 Juni 2019 di Grobogan  patut mendapatkan apresiasi (Koran KR edisi 1 juli 2019). Pencegahan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional di wilayah Jateng. Upaya pencegahan terhadap perkawinan anak tentunya memperhatikan dampak dari terjadinya perkawinan anak dari sisi psikologi, ekonomi, perkembangan dan yang terutama dalam rangka menciptakan ketahanan keluarga. Dampak paling nyata dari perkawinan anak adalah peningkatan perceraian yang selalu meningkat, hal ini dilihat dari data pemerintah kabupaten kota dan berkas masuk di pengadilan bahwa permohonan perceraian didominasi oleh pasangan muda. Tentunya deklarasi tersebut dilataerbelakangi atas dampak perceraian yang meningkat serta demi mewujudkan cita-cita bangsa tentang pembangunan nasional.

Salah satu pembangunan nasional yang terkait dengan masalah ini adalah pembangunan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga merupakan cita-cita yang menjadi tujuan pada Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa suatu pembangunan nasional mencakup semua dimensi yang salah satunya adalah pembangunan keluarga. Salah satu modal pembangunan keluarga adalah penduduk yang berkualitas, kata berkualitas ini bila diutarakan akan mengarah pada beberapa aspek seperti pengendalian angka kelahiran, penurunan kematian, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraannya. Sehingga penduduk negara yang berkualitas sisi ketahanannya yang dibentuk dibangun, maka akan berdampak pada peningkatan pembangunan nasional.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri angka perceraian (pasangan relatif muda) juga mengalami tren peningkatan, khususnya terjadi daerah Gunungkidul. Sebagian besar alasan perceraian tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi. Sebagian besar pihak yang ingin bercerai justru di inisiasi dari pihak istri sebagai penggugat dari pada suami yang menceraikan istrinya.

Pencegahan terhadap perkawinan anak yang digagas di Jawa Tengah perlu diapresiasi dan didorong agar setiap setiap daerah di Indonesia ini memperhatikan gerakan ini. Artinya pemerintah sudah memberikan atensi terhadap masyarakat terhadap perkawinan yang dilakukan masih dibawah umur (belum dewasa). Sejatinya gerakan ini perlu dikawal serta diimplementasikan di jajaran teknis oleh dinas-dinas terkait dijajaran pemerintahan yang berkaitan dengan urusan perkawinan. disamping itu gerakan ini perlu disosialisasikan ke masyarakat kenapa perlu atensi yang terhadap perkawinan anak ? bisa jadi masyarakat justru mempunyai pemahaman yang berkebalikan dari pemerintah tentang perkawinan anak.

Sosialisasi nyata juga perlu di sampaikan kepada Pengadilan Agama dan Kementerian Agama, mengingat lembaga ini yang mengawal dan berwenang terhadap urusan perkawinan bagi agama Islam. jangan hanya berhenti pada ranah deklarasi tetapi Pengadilan Agama memberikan putusan/penetapan dispensasi perkawinan pada pemohon perkawinan anak. Mengingat dispensasi perkawinan adalah produk hukum yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jangan sampai gerakan yang sudah baik atas tujuan dan manfaatnya, tetapi dalam praktek berkebalikan dengan masih diizinkannya dispensasi perkawinan dari pengadilan agama.

Dispensasi perkawinan adalah produk hukum (penetapan) berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 apabila ada penyimpangan perkawinan dari sisi usia perkawinan seperti contohnya adalah perkawinan (anak)  dibawah umur. Hal ini tertuang pada pasal 7 ayat 2 dimana Pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dengan alasan sudah di izinkan (ditunjuk) oleh kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Tentunya bila ada dispensasi dari pengadilan, maka dispensasi merupakan perintah dari Undang-Undang yang ada pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, sehingga tidak bijak bila dispensasi disimpangi.

Untuk mewujudkan pencegahan perkawinan anak kiranya perlu di duduk bersama antara unsur eksekutif (pemerintah sebagai pemangku kepentingan perkawinan) bersama unsur yudikatif (Pengadilan) dalam memformulasikan ide dan gagasan pada kontek mencegah perkawinan anak. Tidak mungkin dapat mencegah perkawinan anak bila dalam perkawinan anak secara legal boleh dilakukan yang itu semua didasari didalam Undang-Undang.

Sebagai langkah awal, deklarasi pencegahan perkawinan anak ini patut mendapatkan apresiasi tinggi dan tentunya upaya itu menjadi positif sebagai solusi peningkatan ketahanan keluarga. Secara tidak langsung pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah sudah dapat mempelopori gerakan ini.

This article have been published in rubric Opini of Kedaulatan Rakyat Newspaper.

Author: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

 

Beberapa waku lalu Direktorat Jenderal Pendudukan dan Catatan SIpil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mengunggah video tentang “bagaimana membuat akta kelahiran” melalui channel YouTubenya. Salah satu materi yang menarik perhatian masyarakat adalah bahwa pasangan yang sudah menikah (secara agama) tapi tidak memiliki buku nikah dapat memiliki kartu keluarga (KK) dengan diberi tanda khusus. Tujuannya adalah memberikan perlindungan bagi anak yang dilahirkan dari nikah siri. Disamping itu alasan lain adalah seorang anak mempunyai hak untuk tahu siapa ayahnya dan dituntut bertanggung jawab terhadap anaknya. Untuk itu Dukcapil akan mencatatkan dan menerbitkan KK bagi yang bersangkutan. Penerbitan KK ini tentunya disertai beberapa syarat-syarat seperti menunjukkan dokumen telah melakukan perkawinan secara agama (siri), melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM), pernyataan dua (2) orang saksi dengan melampirkan identitas kependudukan.

Aktivitas pencatatan bagi nikah siri mendapatkan KK menjadi terobosan hukum baru yang difasilitasi oleh Dukcapil. Tentunya Dukcapil melakukan terobosan ini bukan tanpa sebab salah satunya mengikuti perintah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010. Putusan ini menggambarkan salah satu solusi bahwa anak dapat dihubungkan dengan orang tuanya bila perkawinan orang tuanya dapat dibuktikan kebenarannya (benar-benar menikah secara agama). Putusan ini jelas mengakui dan memberikan perlindungan hak terhadap anak yang dilahirkan karena nikah siri karena anak tidak boleh menjadi korban akibat perkawinan orang tuanya. Bahkan bila anak hasil nikah siri tidak diakui oleh ayahnya, tetapi bila dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan atau teknologi (Tes DNA) maka anak tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Tentunya pengakuan semacam ini tidak lahir dengan sendirinya, melainkan perlu penetapan dari pengadilan.

Disamping itu Dukcapil sebagai lembaga pencatat juga menjalankan perintah Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 jo 24 tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan dimana tugas pokoknya adalah mencatatkan peristiwa penting penduduk Indonesia kedalam database kependudukan. Perkawinan dan kelahiran adalah contoh  peristiwa penting yang diakui di Indonesia, sehingga harus dicatatkan kedalam database, tetapi implementasi pencatatan ini seyogyanya harus sejalan dengan syarat-syarat yang ada pula pada peraturan pelaksanaan tentang perkawinan. Persyaratan pemberian KK pada nikah siri memiliki essensi yang hampir sama dengan pencatatan perkawinan hanya saja pelaporanya dilakukan setelah nikah siri dan diberi tanda khusus bahwa itu belum tercatat.

Menilik beberapa alasan sejarah lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia adalah semangat perlindungan hukum bagi kaum wanita dan anak-anak. Perlindungan dari kesewenangan oknum laki-laki ketika melakukan : perkawinan, perceraian, dan poligami sehingga lahirlah syarat-syarat (administrasi) yang cukup ketat untuk melakukannya. Kesemua syarat tertera jelas pada Undang-Undang dan Peraturan pelaksanaannya, sehingga perkawinan yang memenuhi syarat maka para pihak akan mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. Ada benang merah yang kuat mengapa syarat administrasi melakukan perkawinan itu ketat, karena ketika hendak bercerai pasangan ini akan melalui proses yang ketat juga. Indonesia adalah negara yang menganut asas “mempersulit perceraian” sehingga pasangan yang hendak bercerai harus mampu menunjukkan keinginan bercerai termasuk pembagian tanggung jawab terhadap anak. Patut diuji terobosan Dukcapil ketika pasangan nikah siri itu bercerai, apakah dapat dituntut secara hukum hak dan kewajiban si ayah meskipun telah menggunakan SPTJM.

Sebagai lembaga yang berwenang memberikan KK di Indonesia sebaiknya Dukcapil juga mengajak Kementerian Agama dan Pengadilan untuk selalu mensosialisasikan pentingnya penetapan perkawinan nikah siri (isbat nikah) kepada pelaku nikah siri. Sinergi yang positif diantara masing-masing lembaga seperti memfasilitasi memberikan akses kemudahan tempat, prosedur, biaya, waktu yang singkat hingga dilakukan secara terpusat pada salah satu lembaga dengan mekanisme yang mudah sehingga menarik minat pelaku nikah siri untuk menetapkan perkawinan. Hal ini justru lebih sejalan dengan semangat perlindungan hukum perkawinan, karena tidak hanya memperhatikan tanggung jawab anak, tetapi juga terhadap isteri.

This article have been publsihed in rubric Analisis KR of Kedaulatan Rakyat Newspaper, 20 October 2021.

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dear Culture Enthusiasts,

We cordially invite you to join the International Cultural Festival conducted on 26 October – 6 November 2021. This program is a collaborative activity between the University of Economics and Human Sciences in Warsaw, Institut Francais Indonesia, Youngsan University, Nur Mubarak University, Nanjing Xiaozhuang University, and Universitas Islam Indonesia.

This program will provide you knowledge of culture in some countries.

More details are available on the poster.

Registration: https://bit.ly/ICFRegistration

Thank you very much.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecture in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

Pandemi covid-19 dan globalisasi mewarnai kondisi bangsa saat ini. Saat globalisasi dahsyat menjalar ke seluruh masyarakat dunia, pandemi hadir dan semakin mengobrak abrik kondisi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak dari pandemi yang terjadi bagi masyarakat Indonesia, khusunya pekerja di sektor swasta sangat besar, terutama bagi pekerja yang bekerja di perusahaan yang tidak mampu mempertahankan hingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut UUCK, di mana salah satu ketentuan yang diatur di dalamnya ialah diperbolehkannya melakukan kesepakatan upah antara pemberi kerja dan pekerja.

Hukum Ketenagakerjaan lahir dalam posisi di antara hukum publik dan hukum privat. Hal ini terlihat dari hukum ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat tentang hubungan kerja di mana hubungan tersebut didasarkan pada sebuah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja tersebut merupakan relasi yang sifatnya privat, namun dalam relasi yang terjalin ini perlu diketahui bahwasanya ada ketimpangan kedudukan antara dua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja ini. Adanya ketimpangan tersebut perlu dinetralisir dengan hadirnya pemerintah dalam relasi privat yang terjalin. Kehadiran pemerintah ini menjadi salah satu bentuk proteksi bagi pekerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan dalam sebuah relasi kerja.

Seiring dengan permasalahan globalisasi dan pandemi covid-19 yang berdatangan, memunculkan berbagai macam regulasi baru yang menyesuaikan kondisi tersebut, dalam bidang ketenagakerjaan muncul permasalahan baru yang meresahkan pekerja terkait adanya sebuah “kesepakatan upah”. Mengapa sebuah kesepakatan upah menjadi sebuah masalah baru? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.

Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, terdapat pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang dapat memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, hendaknya dalam hal ini perlu memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut. Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.

This article have been published in rubric Analisis KR, of Kedaulatan Rakyat newspaper, 08 October 2021.

 

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Dear all,

We proudly announce that the International Program of Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia in collaboration with the Juridical Council of International Program (JCI) will be hosting the International Student Colloquium 2021.  The conference is scheduled for December 15th, 2021, under the theme “The Interface between Law and Technology in the time of Pandemic” There will be several events such as the international paper competition, international seminars, gala ceremony, and awards that will be conducted by the student of International Program of Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. We are working hard to make this conference an event that everyone will enjoy and remember. There are several important issues and dates that we would like to bring to your attention:

The Events

There will be two events in the International Student Colloquium 2021, namely: The International Conference and the International Paper Competition.

The International Conference is open for lecturers, students, or others, and will be conducted online. There will be magnificent professors from all over the world who will speak about the role and challenges of Cyber Law from their countries’ perspective.

The International Paper Competition is open for undergraduate Law students from any university around the world. The selected papers will be presented at the International Student’s Colloquium and be given several awards, namely: 1st Best Paper, 2nd Best Paper, 3rd Best Paper, and 4th Best Paper. For presentation: 1st Best Presenter, 2nd Best Presenter, and 3rd Best Presenter. For Participant: 1st Best Participant and 2nd Best Participant. Also, other extraordinary awards from the students will be announced during the event

Registration

To join the International Conference please click on:
https://bit.ly/ISC2021InternationalConference

To register for the International Paper Competition please click on:
https://bit.ly/ISC2021InternationalPaperSubmission

Technical for International Paper Competition

The submission for International Paper will be opened due November 30th, 2021. The submitted papers will be selected through two selection processes. The Preliminary Selection will be conducted to select the 15 best papers from all. The result of the Preliminary Selection will be announced via Instagram @jci_uii and will be contacted by Email and Whatsapp on December 8th, 2021. The selected papers will be presented during the Final Round on December 15th, 2021, which will be conducted online. For further information about the International Paper Competition, please read the guidelines on  https://bit.ly/ISC2021GuidebookforPaper.

 

Awards
Best paper 1 ( Voucher @ IDR 1.000.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper 2 ( Voucher @ IDR 800.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper 3 ( Voucher @ IDR 600.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper ( Voucher @ IDR 400.000 + Backpack + medal)

Best presenter 1 ( Voucher @ IDR 500.000 + Merchandise + medal)
Best presenter 2 ( Voucher @ IDR 300.000 + Merchandise + medal)
Best presenter 3 ( Voucher @ IDR 200.000 + Merchandise + medal)

Best participant:
Best participant 1 ( Backpack + Merchandise)
Best participant 2 ( Merchandise)

 

If you have any questions regarding the conference or the paper competition, please feel free to contact us:

M. Agastya Mahendra Ma’ruf ([email protected])

Tata Angelia ([email protected])

Thank you for your participation and we look forward to seeing you.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

 

Sincerely,

The Committee of the International Students Colloquium 2021

The Juridical Council of International Program (JCI) Faculty of Law, Islamic University of Indonesia on Wednesday, September 29, 2021 held an actual study with the theme “Effectiveness in Enforcement of Criminal Sanctions against Child Violence” which was presented directly by Mr. Ari Wibowo, S.H.I., S.H.M.H. as Lecturer of Criminal Law, Faculty of Law UII. The activity was carried out online via Zoom and was attended by approximately 50 participants

On the occasion of this study, Mr. Ari Wibowo discussed the legal instruments that regulate the protection of children and how effective the impact of the law is in society. When the criminal threat is too light so that it is considered ineffective, the legislators have tried to amend and strengthen the existing Child Protection Law by adding a weighting of the criminal threat as much as 1/3 of the previous criminal sanction. This change is expected to have a deterrent effect for perpetrators so as not to repeat their actions in the future and provide a warning to the public not to commit similar acts.

He also added about his response to why Indonesia chose chemical castration as a punishment, while overseas chemical castration is a common thing, such as someone who doesn’t want to get married and to reduce their lust, they will go to the doctor for the chemical injection. Whereas in Indonesia it is used as a deterrent effect? In answering this question, according to Mr. Ari Wibowo, the policy of penal punishment in the form of chemical castration as a sanction for action in Perpu No.1 of 2016 has indirectly presented that the purpose of punishment is not merely a means of retaliation or deterrence, but as a form of rehabilitation or recovery. condition of the perpetrator so as not to repeat the same mistake.

Mr. Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H.,M,H.,LL.M.,Ph.D who is the secretary of the law study program for the IP undergraduate program was also present. He admitted that there was a lot of new knowledge gained from the material presentation session. It is hoped that with this theme, participants will be more concerned about the issue of violence against children.