Assalamualaikum warohmatullah wabarokatuh

Dear all students of the International Program of Faculty of Law,
We welcome you back to campus!

The International Program of Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia will conduct the Hybrid Learning Class for five classes. The Hybrid Learning Process will be started after the Mid Exam. If you are a student who took these classes, you may apply to get your seat on TS III/08 of the Tamansiswa 158 Campus.
The Hybrid Learning will be opened for:
1. Contract Drafting Class A and B
2. Law of Kinship and Customary Inheritage Class A
3. Labour Law Class A
4. Law of Administrative Procedure Class A

Please register to: https://bit.ly/HybridLearningRegForm
Due (extended) : November 14th, 2021

Of course, the terms and conditions apply. For any information, please visit https://law.uii.ac.id/en/international-program-hybrid-room/

Regards,
IP FH UII

USINDO would like to announce an exciting international exchange program that is part of the Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI). The YSEALI Professional Fellows Program (YSEALI PFP) offers a chance for successful applicants to participate in a fully funded six-week professional development program in the United States in 2022.

YSEALI PFP will be implemented as a hybrid program with virtual activities leading up to the U.S.-based exchange. The program will be offered in two cycles: June-July 2022 (cycle one) and September-October 2022 (cycle two).

Feel free to pass this email directly on to anyone within your network who might be interested in applying or sharing this opportunity.

Additional information can be found on the YSEALI website and those interested can apply online for the program here or by clicking the button below.

The application for both programs in 2022 will close on November 15, 2021.

Author: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

 

Deklarasi pencegahan perkawinan anak yang digagas oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama Pemerintah Kabupaten/kota di Jawa Tengah pada 29 Juni 2019 di Grobogan  patut mendapatkan apresiasi (Koran KR edisi 1 juli 2019). Pencegahan ini dilakukan dalam rangka memperingati Hari Keluarga Nasional dan Hari Anak Nasional di wilayah Jateng. Upaya pencegahan terhadap perkawinan anak tentunya memperhatikan dampak dari terjadinya perkawinan anak dari sisi psikologi, ekonomi, perkembangan dan yang terutama dalam rangka menciptakan ketahanan keluarga. Dampak paling nyata dari perkawinan anak adalah peningkatan perceraian yang selalu meningkat, hal ini dilihat dari data pemerintah kabupaten kota dan berkas masuk di pengadilan bahwa permohonan perceraian didominasi oleh pasangan muda. Tentunya deklarasi tersebut dilataerbelakangi atas dampak perceraian yang meningkat serta demi mewujudkan cita-cita bangsa tentang pembangunan nasional.

Salah satu pembangunan nasional yang terkait dengan masalah ini adalah pembangunan ketahanan keluarga. Ketahanan keluarga merupakan cita-cita yang menjadi tujuan pada Undang-Undang No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, bahwa suatu pembangunan nasional mencakup semua dimensi yang salah satunya adalah pembangunan keluarga. Salah satu modal pembangunan keluarga adalah penduduk yang berkualitas, kata berkualitas ini bila diutarakan akan mengarah pada beberapa aspek seperti pengendalian angka kelahiran, penurunan kematian, peningkatan ketahanan keluarga dan kesejahteraannya. Sehingga penduduk negara yang berkualitas sisi ketahanannya yang dibentuk dibangun, maka akan berdampak pada peningkatan pembangunan nasional.

Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sendiri angka perceraian (pasangan relatif muda) juga mengalami tren peningkatan, khususnya terjadi daerah Gunungkidul. Sebagian besar alasan perceraian tersebut dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi. Sebagian besar pihak yang ingin bercerai justru di inisiasi dari pihak istri sebagai penggugat dari pada suami yang menceraikan istrinya.

Pencegahan terhadap perkawinan anak yang digagas di Jawa Tengah perlu diapresiasi dan didorong agar setiap setiap daerah di Indonesia ini memperhatikan gerakan ini. Artinya pemerintah sudah memberikan atensi terhadap masyarakat terhadap perkawinan yang dilakukan masih dibawah umur (belum dewasa). Sejatinya gerakan ini perlu dikawal serta diimplementasikan di jajaran teknis oleh dinas-dinas terkait dijajaran pemerintahan yang berkaitan dengan urusan perkawinan. disamping itu gerakan ini perlu disosialisasikan ke masyarakat kenapa perlu atensi yang terhadap perkawinan anak ? bisa jadi masyarakat justru mempunyai pemahaman yang berkebalikan dari pemerintah tentang perkawinan anak.

Sosialisasi nyata juga perlu di sampaikan kepada Pengadilan Agama dan Kementerian Agama, mengingat lembaga ini yang mengawal dan berwenang terhadap urusan perkawinan bagi agama Islam. jangan hanya berhenti pada ranah deklarasi tetapi Pengadilan Agama memberikan putusan/penetapan dispensasi perkawinan pada pemohon perkawinan anak. Mengingat dispensasi perkawinan adalah produk hukum yang harus dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah. Jangan sampai gerakan yang sudah baik atas tujuan dan manfaatnya, tetapi dalam praktek berkebalikan dengan masih diizinkannya dispensasi perkawinan dari pengadilan agama.

Dispensasi perkawinan adalah produk hukum (penetapan) berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 apabila ada penyimpangan perkawinan dari sisi usia perkawinan seperti contohnya adalah perkawinan (anak)  dibawah umur. Hal ini tertuang pada pasal 7 ayat 2 dimana Pengadilan atau pejabat lain yang berwenang dengan alasan sudah di izinkan (ditunjuk) oleh kedua orang tua dari masing-masing pasangan. Tentunya bila ada dispensasi dari pengadilan, maka dispensasi merupakan perintah dari Undang-Undang yang ada pada pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, sehingga tidak bijak bila dispensasi disimpangi.

Untuk mewujudkan pencegahan perkawinan anak kiranya perlu di duduk bersama antara unsur eksekutif (pemerintah sebagai pemangku kepentingan perkawinan) bersama unsur yudikatif (Pengadilan) dalam memformulasikan ide dan gagasan pada kontek mencegah perkawinan anak. Tidak mungkin dapat mencegah perkawinan anak bila dalam perkawinan anak secara legal boleh dilakukan yang itu semua didasari didalam Undang-Undang.

Sebagai langkah awal, deklarasi pencegahan perkawinan anak ini patut mendapatkan apresiasi tinggi dan tentunya upaya itu menjadi positif sebagai solusi peningkatan ketahanan keluarga. Secara tidak langsung pemerintah daerah provinsi Jawa Tengah sudah dapat mempelopori gerakan ini.

This article have been published in rubric Opini of Kedaulatan Rakyat Newspaper.

Author: Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Private Law

 

Beberapa waku lalu Direktorat Jenderal Pendudukan dan Catatan SIpil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri mengunggah video tentang “bagaimana membuat akta kelahiran” melalui channel YouTubenya. Salah satu materi yang menarik perhatian masyarakat adalah bahwa pasangan yang sudah menikah (secara agama) tapi tidak memiliki buku nikah dapat memiliki kartu keluarga (KK) dengan diberi tanda khusus. Tujuannya adalah memberikan perlindungan bagi anak yang dilahirkan dari nikah siri. Disamping itu alasan lain adalah seorang anak mempunyai hak untuk tahu siapa ayahnya dan dituntut bertanggung jawab terhadap anaknya. Untuk itu Dukcapil akan mencatatkan dan menerbitkan KK bagi yang bersangkutan. Penerbitan KK ini tentunya disertai beberapa syarat-syarat seperti menunjukkan dokumen telah melakukan perkawinan secara agama (siri), melampirkan surat pernyataan tanggung jawab mutlak (SPTJM), pernyataan dua (2) orang saksi dengan melampirkan identitas kependudukan.

Aktivitas pencatatan bagi nikah siri mendapatkan KK menjadi terobosan hukum baru yang difasilitasi oleh Dukcapil. Tentunya Dukcapil melakukan terobosan ini bukan tanpa sebab salah satunya mengikuti perintah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VII/2010. Putusan ini menggambarkan salah satu solusi bahwa anak dapat dihubungkan dengan orang tuanya bila perkawinan orang tuanya dapat dibuktikan kebenarannya (benar-benar menikah secara agama). Putusan ini jelas mengakui dan memberikan perlindungan hak terhadap anak yang dilahirkan karena nikah siri karena anak tidak boleh menjadi korban akibat perkawinan orang tuanya. Bahkan bila anak hasil nikah siri tidak diakui oleh ayahnya, tetapi bila dapat dibuktikan secara ilmu pengetahuan atau teknologi (Tes DNA) maka anak tersebut mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya. Tentunya pengakuan semacam ini tidak lahir dengan sendirinya, melainkan perlu penetapan dari pengadilan.

Disamping itu Dukcapil sebagai lembaga pencatat juga menjalankan perintah Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 jo 24 tahun 2013 Tentang Administrasi Kependudukan dimana tugas pokoknya adalah mencatatkan peristiwa penting penduduk Indonesia kedalam database kependudukan. Perkawinan dan kelahiran adalah contoh  peristiwa penting yang diakui di Indonesia, sehingga harus dicatatkan kedalam database, tetapi implementasi pencatatan ini seyogyanya harus sejalan dengan syarat-syarat yang ada pula pada peraturan pelaksanaan tentang perkawinan. Persyaratan pemberian KK pada nikah siri memiliki essensi yang hampir sama dengan pencatatan perkawinan hanya saja pelaporanya dilakukan setelah nikah siri dan diberi tanda khusus bahwa itu belum tercatat.

Menilik beberapa alasan sejarah lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia adalah semangat perlindungan hukum bagi kaum wanita dan anak-anak. Perlindungan dari kesewenangan oknum laki-laki ketika melakukan : perkawinan, perceraian, dan poligami sehingga lahirlah syarat-syarat (administrasi) yang cukup ketat untuk melakukannya. Kesemua syarat tertera jelas pada Undang-Undang dan Peraturan pelaksanaannya, sehingga perkawinan yang memenuhi syarat maka para pihak akan mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara. Ada benang merah yang kuat mengapa syarat administrasi melakukan perkawinan itu ketat, karena ketika hendak bercerai pasangan ini akan melalui proses yang ketat juga. Indonesia adalah negara yang menganut asas “mempersulit perceraian” sehingga pasangan yang hendak bercerai harus mampu menunjukkan keinginan bercerai termasuk pembagian tanggung jawab terhadap anak. Patut diuji terobosan Dukcapil ketika pasangan nikah siri itu bercerai, apakah dapat dituntut secara hukum hak dan kewajiban si ayah meskipun telah menggunakan SPTJM.

Sebagai lembaga yang berwenang memberikan KK di Indonesia sebaiknya Dukcapil juga mengajak Kementerian Agama dan Pengadilan untuk selalu mensosialisasikan pentingnya penetapan perkawinan nikah siri (isbat nikah) kepada pelaku nikah siri. Sinergi yang positif diantara masing-masing lembaga seperti memfasilitasi memberikan akses kemudahan tempat, prosedur, biaya, waktu yang singkat hingga dilakukan secara terpusat pada salah satu lembaga dengan mekanisme yang mudah sehingga menarik minat pelaku nikah siri untuk menetapkan perkawinan. Hal ini justru lebih sejalan dengan semangat perlindungan hukum perkawinan, karena tidak hanya memperhatikan tanggung jawab anak, tetapi juga terhadap isteri.

This article have been publsihed in rubric Analisis KR of Kedaulatan Rakyat Newspaper, 20 October 2021.

 

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Dear Culture Enthusiasts,

We cordially invite you to join the International Cultural Festival conducted on 26 October – 6 November 2021. This program is a collaborative activity between the University of Economics and Human Sciences in Warsaw, Institut Francais Indonesia, Youngsan University, Nur Mubarak University, Nanjing Xiaozhuang University, and Universitas Islam Indonesia.

This program will provide you knowledge of culture in some countries.

More details are available on the poster.

Registration: https://bit.ly/ICFRegistration

Thank you very much.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecture in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

Pandemi covid-19 dan globalisasi mewarnai kondisi bangsa saat ini. Saat globalisasi dahsyat menjalar ke seluruh masyarakat dunia, pandemi hadir dan semakin mengobrak abrik kondisi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak dari pandemi yang terjadi bagi masyarakat Indonesia, khusunya pekerja di sektor swasta sangat besar, terutama bagi pekerja yang bekerja di perusahaan yang tidak mampu mempertahankan hingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut UUCK, di mana salah satu ketentuan yang diatur di dalamnya ialah diperbolehkannya melakukan kesepakatan upah antara pemberi kerja dan pekerja.

Hukum Ketenagakerjaan lahir dalam posisi di antara hukum publik dan hukum privat. Hal ini terlihat dari hukum ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat tentang hubungan kerja di mana hubungan tersebut didasarkan pada sebuah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja tersebut merupakan relasi yang sifatnya privat, namun dalam relasi yang terjalin ini perlu diketahui bahwasanya ada ketimpangan kedudukan antara dua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja ini. Adanya ketimpangan tersebut perlu dinetralisir dengan hadirnya pemerintah dalam relasi privat yang terjalin. Kehadiran pemerintah ini menjadi salah satu bentuk proteksi bagi pekerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan dalam sebuah relasi kerja.

Seiring dengan permasalahan globalisasi dan pandemi covid-19 yang berdatangan, memunculkan berbagai macam regulasi baru yang menyesuaikan kondisi tersebut, dalam bidang ketenagakerjaan muncul permasalahan baru yang meresahkan pekerja terkait adanya sebuah “kesepakatan upah”. Mengapa sebuah kesepakatan upah menjadi sebuah masalah baru? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.

Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, terdapat pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang dapat memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, hendaknya dalam hal ini perlu memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut. Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.

This article have been published in rubric Analisis KR, of Kedaulatan Rakyat newspaper, 08 October 2021.

 

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

Dear all,

We proudly announce that the International Program of Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia in collaboration with the Juridical Council of International Program (JCI) will be hosting the International Student Colloquium 2021.  The conference is scheduled for December 15th, 2021, under the theme “The Interface between Law and Technology in the time of Pandemic” There will be several events such as the international paper competition, international seminars, gala ceremony, and awards that will be conducted by the student of International Program of Undergraduate Study Program in Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. We are working hard to make this conference an event that everyone will enjoy and remember. There are several important issues and dates that we would like to bring to your attention:

The Events

There will be two events in the International Student Colloquium 2021, namely: The International Conference and the International Paper Competition.

The International Conference is open for lecturers, students, or others, and will be conducted online. There will be magnificent professors from all over the world who will speak about the role and challenges of Cyber Law from their countries’ perspective.

The International Paper Competition is open for undergraduate Law students from any university around the world. The selected papers will be presented at the International Student’s Colloquium and be given several awards, namely: 1st Best Paper, 2nd Best Paper, 3rd Best Paper, and 4th Best Paper. For presentation: 1st Best Presenter, 2nd Best Presenter, and 3rd Best Presenter. For Participant: 1st Best Participant and 2nd Best Participant. Also, other extraordinary awards from the students will be announced during the event

Registration

To join the International Conference please click on:
https://bit.ly/ISC2021InternationalConference

To register for the International Paper Competition please click on:
https://bit.ly/ISC2021InternationalPaperSubmission

Technical for International Paper Competition

The submission for International Paper will be opened due November 30th, 2021. The submitted papers will be selected through two selection processes. The Preliminary Selection will be conducted to select the 15 best papers from all. The result of the Preliminary Selection will be announced via Instagram @jci_uii and will be contacted by Email and Whatsapp on December 8th, 2021. The selected papers will be presented during the Final Round on December 15th, 2021, which will be conducted online. For further information about the International Paper Competition, please read the guidelines on  https://bit.ly/ISC2021GuidebookforPaper.

 

Awards
Best paper 1 ( Voucher @ IDR 1.000.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper 2 ( Voucher @ IDR 800.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper 3 ( Voucher @ IDR 600.000 + Backpack + Merchandise + medal)
Best paper ( Voucher @ IDR 400.000 + Backpack + medal)

Best presenter 1 ( Voucher @ IDR 500.000 + Merchandise + medal)
Best presenter 2 ( Voucher @ IDR 300.000 + Merchandise + medal)
Best presenter 3 ( Voucher @ IDR 200.000 + Merchandise + medal)

Best participant:
Best participant 1 ( Backpack + Merchandise)
Best participant 2 ( Merchandise)

 

If you have any questions regarding the conference or the paper competition, please feel free to contact us:

M. Agastya Mahendra Ma’ruf ([email protected])

Tata Angelia ([email protected])

Thank you for your participation and we look forward to seeing you.

Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh,

 

Sincerely,

The Committee of the International Students Colloquium 2021

The Juridical Council of International Program (JCI) Faculty of Law, Islamic University of Indonesia on Wednesday, September 29, 2021 held an actual study with the theme “Effectiveness in Enforcement of Criminal Sanctions against Child Violence” which was presented directly by Mr. Ari Wibowo, S.H.I., S.H.M.H. as Lecturer of Criminal Law, Faculty of Law UII. The activity was carried out online via Zoom and was attended by approximately 50 participants

On the occasion of this study, Mr. Ari Wibowo discussed the legal instruments that regulate the protection of children and how effective the impact of the law is in society. When the criminal threat is too light so that it is considered ineffective, the legislators have tried to amend and strengthen the existing Child Protection Law by adding a weighting of the criminal threat as much as 1/3 of the previous criminal sanction. This change is expected to have a deterrent effect for perpetrators so as not to repeat their actions in the future and provide a warning to the public not to commit similar acts.

He also added about his response to why Indonesia chose chemical castration as a punishment, while overseas chemical castration is a common thing, such as someone who doesn’t want to get married and to reduce their lust, they will go to the doctor for the chemical injection. Whereas in Indonesia it is used as a deterrent effect? In answering this question, according to Mr. Ari Wibowo, the policy of penal punishment in the form of chemical castration as a sanction for action in Perpu No.1 of 2016 has indirectly presented that the purpose of punishment is not merely a means of retaliation or deterrence, but as a form of rehabilitation or recovery. condition of the perpetrator so as not to repeat the same mistake.

Mr. Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H.,M,H.,LL.M.,Ph.D who is the secretary of the law study program for the IP undergraduate program was also present. He admitted that there was a lot of new knowledge gained from the material presentation session. It is hoped that with this theme, participants will be more concerned about the issue of violence against children.

Author: Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

“Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya”

Advokat kondang Yusril Ihza Mahen dra membuat sebuah gebrakan dengan mengajukan permohonan pengujian peraturan (judicial review ) ke Mahkamah Agung. Adapun objek yang diuji adalah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat.

Langkah ini boleh dibilang cukup radikal dan revolusioner mengingat berdasarkan hukum positif yang saat ini berlaku, AD/ART partai bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan karena tidak dibuat oleh lembaga ataupejabat negara.

Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan peraturan perundang-udangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun apakah sebuah peraturan yang tidak dibuat oleh pejabat dan lembaga negara secara otomatis akan serta merta dapat dilabeli sebagai bukan peraturan perundang-undangan?

AD/ART Partai sebagai “Peraturan Perundang-Undangan”

Secara teori dan praktik, undang-undang (UU) sebagai produk kesepakatan bersamaan tara Presiden dan DPR sudah pasti tidak akan mungkin mengatur satu hal dengan sangat terperinci dan detail karena hal itu akan menyebabkan terlalu tebalnya produk sebuah UU sehingga akan sulit menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Selain itu parlemen sebagai lembaga legislatif utama tidak punya cukup banyak waktu untuk secara detail memberikan perhatian atas segala urusan teknis mengenai materi muatan suatu UU.

Pada umumnya UU hanya berisi kerangka dan garis besar kebijakan yang penting-penting sebagai parameter. Sementara hal-hal yang bersifat lebih teknis-operasional biasanya akan diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan instrumen peraturan di bawahnya.

Dalam perspektif teori perundang-undangan, pelimpahan kekuasaan atau kewenangan dari pembentuk UU kepada lembaga lain untuk mengatur lebih lanjut suatu materi muatan UU tertentu disebut dengan delegasi (delegation of the rule making power).

Dalam konteks ini, salah satu alasan pembentukan AD/ART parpol karena hal tersebut merupakan perintah dari UU. Ada banyak materi muatan dalam UU Parpol yang aturan terperincinya didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam AD/ART.  Sebagai contoh, Pasal 15 ayat (1) UU Parpol berbunyi: “Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART”. Pasal 22 berbunyi, “Kepengurus n partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.” Sementara Pasal 29 mengamanatkan agar rekrutmen anggota parpol, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART.

Oleh karena fungsi dari AD/ART parpol adalah menerjemahkan dan mengelaborasi lebih detail ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU, sudah selayaknya untuk memperlakukan dan memposisikan AD/ART sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di bidang ke partaian dalam arti luas. Ten tang hal ini, Kennet Janda (2005), seorang ilmuwan parpol kenamaan asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum kepartaian adalah peraturan hukum baik yang ditetapkan oleh pemerintah (external rules) maupun peraturan yang dibuat oleh parpol (internal rules).

Kebutuhan Pengujian

Parpol sejatinya adalah instrumen penting dalam negara demokrasi. Begitu sakralnya peran parpol sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa demokrasi kontemporer adalah demokrasi partai (Katz: 1980).

Namun kehadiran parpol hanya akan memberi kontribusi positif bagi pelembagaan demokrasi apabila parpol dikelola secara demokratis dan profesional. Salah satu ciri pe nge lolaan parpol yang profesional ditandai dengan terjadinya de personalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan de ngan urusan parpol sebagai organisasi.

Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah parpol hanya diposisikan sebagai sarana pemuas ambisi dan ke pentingan politik para elite dan pemimpinnya, bukan menjadi instrumen atau alat demokratisasi. Parpol dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik dengan melanggengkan suksesi kepemimpinannya berdasarkan sistem warisan.

Implikasinya, banyak ke pemimpinan dalam parpol yang kemudian menampilkan karakter yang tidak demokratis dan diktator yang sering kali melakukan intimidasi politik terhadap anggota dan para kadernya dengan memanfaatkan otoritas dan pengaruhnya yang sangat besar. Sebagian dari para pemimpin parpol telah menjadi simbol dari otoritarianisme itu sendiri, sesuatu yang sebenarnya ingin dikikis habis oleh gerakan reformasi.

Semua ini terjadi karena AD/ART sebagai konstitusi parpol yang seharusnya berfungsi secara maksimal dalam memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak anggota justru hanya berisi hal-hal yang mengakomodasi kepentingan penguasa partai. Akibatnya para kader dan ang gota menjadi tidak berdaya di hadapan elite dan ketua umum. Padahal, menurut UU, anggota adalah pemegang kedaulatan dalam partai.

Untuk memastikan bahwa anggota benar-benar berdaulat, berbagai ketentuan yang membelenggu dan merugikan kader dan anggota yang termuat dalam AD/ ART parpol harus diakhiri. Caranya adalah de ngan mem buka peluang bagi siapapun yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengujinya ke muka pengadilan, yaitu di Mahkamah Agung.

Dibukanya peluang untuk men-judicial review AD/ART partai merupakan upaya untuk memberi perlindungan yang maksimal terhadap kepentingan anggota, masyarakat, dan bahkan demi menjaga kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas, yaitu dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kualitas demokrasi.

Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya sehingga cita-cita untuk me lembagakan parpol menjadi jauh panggang dari api. Jika hal ini terus dibiarkan, harapan masyarakat terhadap semakin membaiknya proses beremokrasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.

 

This article have been published in OPINI rubric, of SINDO newspaper, 28 September 2021.

Author: Dr. Siti Anisah, S.H., M.Hum.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (FH UII), Departemen Hukum Perdata

Pemerintah dan Otoritas Jasa Keuangan(OJK) telah menerbitkan sejumlah peraturan untuk mengatasi persoalan dampak ekonomi akibat pandemic covid-19. Namun secara umum persoalan perekonomian masih belum dapat teratasi secara menyeluruh.

Masih terdapat debitur yang gagal bayar dan menjadikan para pihak (khususnya kreditur) lebih memilih melakukan penyelesaian hukum melalui Kepailitan dan PKPU. Hal ini tampak dari naiknya jumlah permohonan pernyataan pailit dan PKPU pada tahun 2020 yakni total 642 perkara jika dibandingkan tahun 2019 yakni 459 perkara. Pilihan kreditur ini antara lain didorong oleh keberadaan pranata hukum Kepailitan dan PKPU yang memberikan kemudahan bagi kreditur untuk menyelesaikan persoalan piutang mereka dengan waktu yang cepat dan syarat yang relatif mudah.

Celah Hukum UU Kepailitan dan PKPU

Perkembangan penerapan Undang-Undang  No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (selanjutnya disebut UU Kepailitan dan PKPU) di Lembaga Jasa Keuangan (LJK) pada masa Pandemi Covid-19 ini telah menimbulkan tren jumlah perkara kepailitan dan PKPU yang cenderung meningkat signifikan. Data Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) pada seluruh Pengadilan Niaga (Jakarta Pusat, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan) menunjukkankenaikan jumlah perkara kepailitan dan PKPU.

Selain disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang mempengaruhi kemampuan debitur untuk membayar utang, kenaikan perkara itu juga akibat ketidakpastian pengaturan mengenai kepailitan dan PKPU di LJK. Bentuk ketidakpastian itu berupa tumpang tindih antar peraturan yang satu dengan peraturan lainnya, dan terdapat aturan yang membuka peluang pailit lebih mudah. Celah hukum ini menjadikan pernyataan pailit dan PKPU selama pandemi covid-19 sebagai jalan pintas (short-cut) untuk menagih utang.

Secara khusus permasalahan hukum Kepailitan dan PKPU di  LJK berkenaan dengan isu legal standing dari pemohon pernyataan pailit dan PKPU. Isu legal standing terjadi karena adanya perbedaan penafsiran mengenai pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan paili dan PKPU untuk LJK. Satu sisi, ada pendapat yang berhak untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU adalah OJK, sedangkan sisi lainnya pihakyang mengajukannya adalah kreditor.

Kewenangan OJK tersebut lahir tidak dari UU Kepailitan dan PKPU. Dalam UU Kepailitan dan PKPU kewenangan OJK itu melekat pada Bank Indonesia, Menteri Keuangan, dan BAPEPAM. Sejak 31 Desember 2012 melalui ketentuan peralihan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK, pihak yang berhak mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK beralih kepada OJK.

Praktiknya ini menyisakan ketidakpastian. Misalnya kewenangan pengaturan dan pengawasan perbankan masih ada di BI dan OJK. Selanjutnya untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK oleh kreditur terjadi karena pemberlakuan Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang menyatakan bahwa apabila masyarakat atau kreditur meminta persetujuan kepada OJK dan dalam waktu sepuluh hari tidak memberikan jawaban, maka OJK dianggap setuju untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.

Optimalisasi LAPS-LJK untuk Penyelesaian Utang Piutang

Banyak perusahaan LJK yang terdampak pandemi covid-19 harus berjuang untuk dapat mempertahankan going concern perusahaan. Ini semakin berat bila memiliki utang atau kewajiban terhadap pihak lain. Pihak lain pun akan kesulitan bila ia tidak segera menerima pembayaran atas piutangnya. Bila mengandalkan bekerjanyan UU Kepailitan dan PKPU sebagai primum remedium, ini menjadi kontraproduktif. Mempertahankan going concern perusahaan LJK seharusnya masih menjadi prioritas. Mengingat halangan berprestasi yang dihadapi oleh debitur pada saat pandemi disebabkan oleh adanya kejadian di luar kemampuan debitur (change of circumstances) dan masih ada potensi kondisi perusahaan LJK dapat diperbaiki setelah pandemi covid-19 terlewati. Dengan demikian, seharusnya upaya hukum kepailitan ini hanya ditempuh sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) terhadap debitur dalam hal ada ketidakmampuan untuk pemenuhan prestasi.

Pandemi covid-19 tidak kunjung berakhir, dan upaya penanggulangannya pun belum optimal, sementara itu dampak nyata terhadap kesulitan atau kemampuan membayar debitur sudah terjadi. Untuk itu upaya penyelesaian utang piutang seyogiyanya ditempuh melalui musyawarah mufakat, atau alternatif penyelesaian sengketa lainnya, sebagai media sharing the pain untuk memperoleh win-win solution. 

Upaya preventif yang dapat dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat ikut menjaga kelangsungan usaha di LJK dari ancaman permohonan pernyataan pailit adalah dengan cara memaksimalkan upaya penyelesaian sengketa dengan memaksimalkan peran dari Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). OJK telah menerbitkan Peraturan OJK Nomor 1/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (POJK LAPS).

Peraturan OJK tersebut disusul keluarnya Keputusan OJK Nomor Kep-01/D.07/2016 tanggal 21 Januari 2016 yang mengesahkan pembentukan 6 (enam) Lembaga APS yaitu:Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Indonesia (LAPSPI); Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI); Badan Mediasi dan Arbitrase Asuransi Indonesia (BMAI); Badan Arbitrase dan Mediasi Perusahaan Penjaminan Indonesia (BAMPPI); Badan Mediasi Pembiayaan dan Pegadaian Indonesia (BMPPI); Badan Mediasi Dana Pensiun (BMDP).

Salah satu persyaratan sengketa yang dapat diselesaikan oleh LAPS adalah sengketa perdata yang timbul di antara para pihak sehubungan dengan kegiatan di sektor industri jasa keuangan. Dengan memaksimalkan peran LAPS untuk menyelesaikan sengketa keperdataan tentunya dapat mengurangi potensi adanya permohonan pernyataan pailit dan PKPU LJK.POJK LAPS mengamanatkan adanya suatu sistem penyelesaian sengketa (khususnya antara konsumen dengan LJK), yang terdiri dari penyelesaian sengketa secara internal di LJK, penyelesaian melalui lembaga peradilan umum (pengadilan), serta melalui LAPS dengan suatu prosedur tertentu.

Prosedur penyelesaian sengketa melalui LAPS LJK melalui 2 (dua) tahapan yaitu penyelesaian pengaduan yang dilakukan oleh LJK (internal dispute resolution) dan penyelesaian sengketa melalui lembaga peradilan atau lembaga di luar peradilan (external dispute resolution). Pasal 2 POJK LAPS menentukan bahwa pada dasarnya penyelesaian pengaduan wajib diselesaikan dahulu oleh LJK melalui unit pengaduan konsumen di tiap-tiap LJK.

Penyelesaian di luar pengadilan dapat dilaksanakan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian pengaduan melalui LAPS. Apabila para pihak memilih penyelesaian pengaduan sengketa dilaksanakan di luar pengadilan, maka penyelesaian pengaduan sengketa akan diselesaikan melalui LAPS yang dimuat dalam daftar LAPS yang ditetapkan OJK.

Efektifitas berlakukan LAPS-LJK akan terjadi bila OJK melakukan beberapa hal, yaitu: pertama, OJK perlu mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam pengawasan LJK agar praktik-praktik penyalahgunaan LJK dapat dicegah dari awal. Kedua, OJK perlu segera bekerjasama dengan Mahkamah Agung untuk melakukan tindakan proaktif antara lain sosialisasi dan edukasi mengenai pranata hukum kepailitan dan PKPU LJK kepada para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atas LJK secara berkelanjutan.

This article have been published in REPUBLIKA,  04 June 2021.