Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

RUU Cipta Kerja akhirnya disahkan dalam rapat paripurna DPR. RUU ini sejak tahap perencanaan telah dikritik banyak kalangan, utamanya para akademisi yang menilai  adanya cacat serius pada aspek metodologi, paradigma, dan substansi pengaturannya. Secara metodologi undang-undang ini menggunakan pendekatan omnibus law yang dalam teknis penyusunannya melingkupi banyak bidang sehngga akan berdampak pada perubahan dan penghapusan sekitar 79 Undang-Undang terkait yang notabene memiliki muatan filosofi dan pertimbangan sosilogis yang berbeda.

Pada aspek paradigmatik, Undang-Undang Cipta Kerja berorientasi pada tujuan bisnis dan investasi. Cara pandang ini adalah bagian dari ideologi kapitalisme dan neoliberal yang diantara cirinya ialah penghilangan semua hal yang menghambat kepentingan investasi, liberalisasi perdagangan, privatisasi Badan Usaha Milik Negara, membuka kran tanpa batas investasi asing,, dan deregulasi dengan cara mengurangi  peran, tanggungjawab dan pengawasan pemerintah.

Pada aspek substansi, sudah pasti Undang-Undang ini meletakkan kepentingan investasi dan investor sebagai hal yang utama. Dalam hal ini yang sangat terlihat ialah sentralisasi peridzinan, aktor dan kran investasi diperbesar/diperluas, penghapusan dan pengurangan beberapa jaminan hak para pekerja, minimalisasi sanksi pelanggar lingkungan hidup, dan pemberian akses yang lebih mudah untuk alih fungsi lahan.

Beberapa catatan di atas sudah terdengar saat pembahasan RUU Cipta Kerja. Pengesahan RUU dan adanya reaksi penentangan yang sangat besar dari kalangan buruh, aktifis, dan akademisi ini bermakna bahwa tidak ada akomodasi yang cukup baik dari pemerintah dan parlemen untuk memperbaiki rancangan undang-undang. Pengesahan RUU Cipta Kerja oleh parlemen mengulangi kesalahan pengesahan Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang  Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batubara, dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

 

Minus Kepercayaan

Pengesahan beberapa Undang-Undang oleh parlemen dan mendapat perlawanan dari masyarakat dan akademisi memperlihatkan betapa serius permasalahan politik legislasi hukum di Indonesia. Pemerintah dan parlemen sekedar memaksakan kehendak untuk membuat hukum dan merusak secara total kepercayaan publik tentang makna agung penormaan hukum dan dalam skala yang panjang mendorong masyarakat  untuk melawan dan menyepelekan aturan hukum.

Satjipto Rahardjo pernah mengatakan, hukum tidak berlaku karena ia memiliki otoritas untuk mengatur, melainkan karena hukum tersebut diterima oleh masyarakat. Pernyataan ini menjelaskan betapa penting bagi pemerintah dan parlemen yang memiliki otoritas untuk membuat hukum agar tidak menafikan pertimbangan filosofis dan sosiologis daripada  hukum.

Dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 menegaskan tentang makna penting naskah akademik yang didalamnya harus menghadirkan analisis secara detail landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Naskah akademik Undang-Undang Cipta Kerja dalam ketiga aspek tersebut masih menuai kritik dan mendapatkan banyak masukan substantif dari kalangan masyarakat dan akademisi.

Pada aspek filosofis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk harus memasukkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan, serta falsafah bangsa yang bersumber pada Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada aspek sosilogis, sebuah perundang-undangan yang dibuat harus menghadirkan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat semata-mata untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspeknya. Dalam hal ini, Undang-Undang tentang Pembentukan Perundang-undangan menyebut bahwa pertimbangan landasan sosiologis terkait dengan fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara. Sebuah peraturan tidak boleh melahirkan dampak-dampak merusak bagi tatanan masyarakat dan negara.

Pada aspek yuridis, sebuah  undang-undang yang dibuat harus memastikan bahwa ada pertimbangan atau alasan yang memperlihatkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi pertamasalahan hukum atau untuk mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan hukum yang telah ada. Dalam hal ini, harus dipastikan bahwa Undang-Undang yang akan dibuat tidak berbenturan dengan norma-norma pokok, utamanya terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Landasan filosofis, sosilogis dan yuridis selalu menjadi dasar dalam pembuatan perundang-undangan. Dalam hal ini, pembuatan Undang-Undang baru akhirnya harus dirancang dengan sangat serius dan melibatkan banyak kalangan, utamanya masyarakat yang menjadi pihak atau korban langsung dari sebuah aturan. Catatan serius Undang-Undang-Undang Cipta Kerja ialah proses pembahasan dan pengessahannya yang berlangsung cepat, minimnya partisipasi masyarakat, tidak mempertimbangkan masukan masyarakat dan akademisi, dan pengesahannya dilakukan dalam suasana yang sangat dipaksakan.

Pencapaian Hukum

Satjipto Rahardjo mengatakan, hukum itu tertanam ke dalam dan berakar dalam masyarakat. Hukum merupakan pantulan masyarakatnya. Hukum tidak berada di dunia yang abstrak, tetapi sebenarnya berada dalam kenyataan masyarakat. Karena itu, sebuah Undang-Undang semestinya tidak dilihat semata pencapaian hukum (legal achievment), tetapi lebih serius harus dilihat sebagai pencapaian sosial (sosiological achievment) dan dampak sosial (sociological impact).

Pengesahan RUU Cipta Kerja, perubahan Undang-Undang KPK, Perubahan UU Minerba dan perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi merupakan capaian tersendiri dalam pembuatan hukum di era pemerintaham dan perlemen periode ini. Namun demikian, perlu dipikirkan dampak sosial dan capaian yang terjadi : apakah konstruktif atau desktruktif  untuk penghargaan para pekerja, lingkungan yang sehat, dan tata kelola bernegara yang bertanggungjawab.

 

This arcticle have been pubslished in Kompas Newspaper, 14 October 2020.

 

Hello INTERNATIONAL EXPLORER!

Are you ready for a more International Conference Experience?
Faculty of Law UII Collaboration with JCI will hold the INTERNATIONAL STUDENT CONFERENCE “Law and Development in the Era of Pandemic”

Date: November 28th, 2020
Time: 8.30 am – 3.00 pm

Invited Speakers:
1. Prof. Park Jihyun (Youngsan University, South Korea)
2. Assoc. Prof. Sonny Zulhuda (AIKOL, IIUM, Malaysia)
3. Dr. Budi Agus Riswandi (Universitas Islam Indonesia)

Awards:
Best paper 1 (Voucher @IDR 500.000 + Backpack + Merchandise + Trophy)
Best paper 2 (Voucher @IDR 300.000 + Backpack + Trophy)
Best paper 3 (Voucher @IDR 200.000 + Backpack + Trophy)
Best presenter (Voucher @IDR 500.000 + UII Merchandise + Trophy)

There will be a door prize for the 2 best participants!
Best participant 1 (Backpack + UII Merchandise)
Best participant 2 (UII Merchandise)

Paper Detail: http://bit.ly/ISCTemplate20

Paper Submission: http://bit.ly/ISCPaper20

Participant Registration: http://bit.ly/ISCParticipant20

For further information please contact:
+6282141531153 (Yuwan)
+6281227188182 (Affan)

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

PEMBAHASAN omnibus law RUU Cipta Kerja kian mem anas di Indonesia. Bidang ketenagakerjaan yang menjadi salah satu pembahasan dalam RUU Cipta Kerja tentu tak lep as dari permasalahan. Pada klaster ketenagakerjaan terdapat degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia, mu atannya tidak lebih baik dari yang diatur dalam regulasi sebe lumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK. Problematika tersebut antara lain mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), upah, dan sebagainya.

Pemerintah berkeyakinan, pembentukan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law ini mampu meningkatkan investasi di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Hanya, pemerintah tidak boleh melupakan bahwasanya regulasi di Indonesia disusun dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila didalamnya yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische grondslag). Termasuk dalam bidang ketenagakerjaan Indonesia.

Hubungan Industrial Indonesia yang merupakan ruh ketenagakerjaan di Indonesia sejatinya berjalan berlandaskan Pancasila. Ada nilai-nilai Pancasila yang terkandung dan diimplementasikan dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Sila pertama Pancasila diimplementasikan dalam UUK tentang larangan melakukan PHK ketika pekerja sedang melaksanakan kewajiban agama menurut agama dan keyakinan masing-masing. Sila kedua Pancasila, sebagaimana tergambar dalam UUK bahwasanya kedudukan pekerja laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada pembedaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan. Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia diimplementasikan dalam UUK pada norma larangan PHK bagi pekerja yang memiliki perbedaan suku dengan pemberi kerja.

Selanjutnya, sila keempat Pancasila menggambarkan bahwasanya pembentukan UUK dilakukan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan mengakomodasi kepentingan pihakpihak dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah, pemberi kerja dan pekerja. Jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia lahir dengan latar belakang untuk mampu menyelenggarakan jaminan sosial bagi seluruh akyat Indonesia tanpa terkecuali, termasuk pekerja.

Founding fathers mencitakan Pancasila sebagai penawar atas segala permasalahan bangsa. Namun hal ini tidak diimplementasikan dengan baik dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Dalam bidang ketenagakerjaan terdapat penurunan nilai kesejahteraan bagi pekerja. Hak bekerja bagi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengalami penurunan dalam hal penghapusan jenis pekerja tetap menjadi pekerja kontrak untuk keseluruhan. Selain itu, alih daya bukan lagi untuk jenis pekerjaan noncore melainkan diperbolehkan untuk segala jenis pekerjaan.

Ketidakadilan akan terjadi manakala RUU Cipta Kerja disahkan yang memuat penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) yang notabene besaran UMP lebih kecil dari UMK. Saat ini diberlakukannya UMK tidak menjamin pemberi kerja taat untuk melaksanakannya, lalu bagaimana jika ada penghapusan? Bagaimana bentuk keadilan bagi pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya?

Degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia yang sangat terlihat jelas dalam RUU Cipta Kerja menggambarkan adanya pengesampingan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang dicitakan founding fathers. Hubungan Industrial yang terjalin antara pemerintah, pemberi kerja dan pekerja sejatinya harus berjalan secara harmonis. Pemberi kerja dan pekerja dapat mengimpelmentasikannya dengan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan fair dan baik. Pemerintah dapat mewujudkannya dengan membuat kebijakan yang tidak berat sebelah. Menjadikan Pancasila sebagai pakem utama tanpa meninggalkan satu nilai apapun dari Pancasila. Menjaga bersama Pancasila, demi keutuhan bangsa.

This article have been published in Analisis KR, 3 October 2020.

Author: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration of Law

 

Kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap akan dilaksanakan tahun ini, di tengah wabah Covid-19. Persiapan penyelenggaraan pilkada yang digelar ini tidak lepas dari beberapa polemik. Salah satunya menyinggung netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, masih saja terdapat pelanggaran netralitas. Data yang dihimpun lembaga pengawas norma dan kode etik ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat setidaknya ada 456 ASN yang sudah dilaporkan melanggar netralitas hingga 31 Juli 2020 (KASN.go.id).

Salah satu permasalahan netralitas ini adalah banyaknya ASN yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun belum mengikuti prosedur yang sesuai peraturan perundang-undangan, misalnya belum mundur sebagai ASN. Tidak kalah penting adalah, pada tahun ini jumlah petahana cenderung meningkat dan mendominasi untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Realita ini dapat memicu kekhawatiran, yaitu mobilisasi oleh petahana kepada ASN menjadi catatan penting.

Menteri Dalam Negeri telah mencatat banyaknya permintaan mutasi ASN. Terdapat 720 usulan mutasi yang ditolak hingga bulan September. Penolakan tersebut untuk menghindari adanya mutasi atas dasar kepentingan. Disamping itu, masih ditemukan banyaknya ASN yang melakukan kampanye. Lalu bagaimana persoalan terkait dengan pelanggaran netralitas ASN ini ditinjay dari perspektif hukum kepegawaian?

Pengaturan tentang netralitas ASN ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan. Dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Terkait dengan pencalonan sebagai Kepala Daerah bagi ASN sebenarnya telah diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di kedua pasal ini diaturn, pada intinya ASN harus mengundurkan diri secara tertulis sejak mendaftar sebagai calon.

Lalu, konsekuensi berat apabila tidak mengundurkan diri ini dapat dilihat pada di Pasal 346 ayat (4) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Apabila PNS tidak mengajukan diri sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan sejak PNS yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.

Permasalahan kedua adalah mobilisasi petahana menjelang pilkada pada ASN. Pasal 71 ayat (2) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, menyatakan antara lain, Kepala Daerah tidak boleh melakukan penggatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Kemudian ayat (3) pada intinya menyatakan Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpillih. Jika hal itu dilakukan oleh petahana, maka terdapat sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Konsekuensi hukum dari pelanggaran netralitas PNS tersebut adalah hukuman disiplin sedang dan berat. Sesuai dengan Pasal 7 dalam peraturan pemerintah tersebut hukuman disiplin sedang dan ringan berupa penundaan gaji sampai dengan pemberhentian tidak denan hormat.

Penegakan hukum sangat diperlukan untuk mengatasi netralitas tersebut, yaitu dari segi pengawasan maupun pemberian sanksi. Baik dari KASN, Badan Pemilu (Bawaslu), Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tidak terkecuali masyarakat harus terus dapat bersinergi untuk mengawal netralitas ASN.

This article have been published in Anaslisis KR rubric, Kedaulatan Rakyat newspaper, 30 September 2020.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) held a 2020 Coordination Meeting to Concepting Working Plan (Rakorja) on Sunday (27-09-2020). The UII FH Coordination Meeting 2020 this time carries the theme theme “Bertahan; Berbenah; Tumbuh; dalam Rangka Mencetak Lulusan FH Berintegritas dan Profesional (Defending; Clean up; Grow; in Order to Produce Faculty of Law’s Graduate with Integrity and Professional)”. Implementation of this Rakorja is different from previous years because it is carried out online. This is a reminder of the high number of cases of Covid-19 transmission in Indonesia. The implementation of this Rakorja was carried out in a hybrid manner from the Main Meeting Room, 3rd Floor of FH UII and was attended by around 25 people. Although many participants realized, the implementation of the Faculty of Law’s Rakorja 2020  was carried out in accordance with health protocols.

In his speech, the Dean of Faculty of Law UII, Assoc Professor Dr. Abdul Jamil, SH., MH., said that the implementation of this Rakorja had complied with the existing health protocols. Abdul Jamil, who is also the Chairperson of the UII Siaga Covid 19 Team, said that all coordination meetings paid attention to existing health protocols. “We have opened the windows, we have also opened the doors so that the air can circulate properly”, said Abdul Jamil.

The Rakorja was opened by the Rector of UII, Prof. Fathul Wahid, ST, M, Sc., Ph.D ,. In his remarks, Fathul Wahid praised the willingness of Faculty of Law UII lecturers to organize activities amidst the existing busy schedule. “This is proof that you are good people, because they volunteered for the meeting on Sunday,” said Fathul Wahid, responded with laughter from the participants.

According to Fathul Wahid, the pandemic condition is the main challenge for universities in Indonesia, including UII. “This pandemic condition has a tremendous impact. This condition will greatly affect our future policy direction”, he said. According to Fathul Wahid, many private universities could barely survive this pandemic. “Alhamdulillah, UII after doing the ‘belt tightening” managed to survive until it has a salary cash reserve of up to 12 months, “added Fathul Wahid optimistically.

Fathul Wahid conveyed that this pandemic condition should not be considered merely as an obstacle, but must also be seen as a momentum. This is the meaning of the UII’s Rakorja theme. “We have to quickly adapt,” said Fathul Wahid. The online learning system is one form of momentum referred to by Fathul Wahid. According to him, during the pandemic, UII has been ‘forced’ to develop a good online learning system. It is projected that this system will not continue to end after the pandemic is over, but will continue to be developed. The main objective is to increase the usefulness of UII’s existence in Indonesia. “I imagine if we can make online meetings permanent. It can also be used as a mixture of online and offline. ”, Said Fathul Wahid.

The Faculty of Law UII itself has an optimistic view in welcoming this Rakorja. According to Abdul Jamil, Faculty of Law of the UII will aim to have at least five professors in the next 2021 period. This was as conveyed by Abdul Jamil in his presentation of the 2021 FH UII Dean Work Program. “The 2021 target will be 5 professors,” said Abdul Jamil.

The implementation of the Faculty of Law’s Rakorja was carried out with strict health protocols. The organizing committee provides medical masks for all participants. “The Faculty of Law UII gives full concentration on how to maintain the health of the Faculty of Law UII civitas academica during the pandemic period,” said Abdul Jamil.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 sudah memasuki tahapan penting, yaitu pandaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan audit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT, dan puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan : jangan lupakan lagi difabel. Aksesibilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan oleh komunitas rentan, utamanya oleh warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominiasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara, dan lebih jauh dihilangkan suara dan perannya dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutaakhiran Data Pemilih (PPDP). Lebih jauh, difabel menceritakan bahwa PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesibilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan Pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang memudahkan semua orang. Aksesibilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi, mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesibilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik. Pasal 29 dinyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib menjamin kepada penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesamaan dengan orang lain.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk didalamnya memastikan prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan.

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesibilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa yang lain. Namun demikian, PKPU ini berlaku untuk Pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel, dan belum harmonis dengan Undang-Undang Disabiitas.

Berpijak pada kondisi di atas, sudah seharusnya Penyelenggara Pilkada serentak 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesibilitas bagi warga negara yang memiliki hambatan, utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

This article have been published in Kedaulatan Rakyat newspaper, 17 September 2020.

Faculty of Law Universitas Islam Indonesia (UII) becoming a co-host on The International Conference on Environmental and Technology of Law, Business and Education on Post Covid 19 – 2020 (ICETLAWBE 2020), Saturday (26 September 2020). The event was held at Ruang Sidang Utama 3rd Floor, Muh. Yamin Building, Faculty of Law UII, and broadcasted online via Zoom with other universities co-host of ICETLAWBE 2020. The event was opened by Vice Dean of Human Resource, Associated Professor Hanafi Amrani, SH., MH., LLM., Ph.D.

During his opening speech, Hanafi Amrani, appreciate the performance of ICETLAWBE 2020. According to him, this agenda has the same vision with UII, that UII refuse to stop achieving research during pandemic. “Pandemic condition is not barrier to us to do research and spread our ideas”, said Hanafi.

Faculty of Law UII presented seven papers on ICETLAWBE 2020. The first paper presented by Chritopher M. Cason, JD. entitled Fighting Corruption through the Federal System: Independence as the Key to Corruption Eradication. Second paper was presented by Dodik Setiawan N. Heriyanto, SH., MH., LLM., Ph.D., entitled Diplomatic as One of the Alternatives to Returning Corruption Assets Abroad. The third paper presented by Hanafi Amrani, SH., MH., LLM., Ph.D., entitled Criminal Policy on Environmental Crimes: Indonesia’s Perspective. The fourth paper presented by Bagya Agung Prabowo, SH., MH., Ph.D., entitled the Implementation of Sharia Compliance in the Dropshipping Buying and Selling Scheme During the Pandemic Covid-19 in Indonesia. The fifth was presented via video stream by Dr. Mahrus Ali, SH., MH., entitled Strict Liability for Environmental Offense. The sixth paper presented by Dr. Abdul Jamil, SH., MH., entitled Recognition and Enforcement of Arbitral Award of National Sharia Arbitration Board (Basyarnas) Aboard. The last paper presented by Jamaludin Ghafur, SH., MH., entitled Constitutionalization of the Political Party: Impressions of Indonesia.

The ICETLAWBE 2020 was hosted by Universitas Lampung, Universitas Teknologi Mara, Asia E University, and STEBI Lampung. Faculty of Law UII has become one of co-host during this event, together with other co-host such as Universitas Dian Nusantara, Universitas Diponegoro, and others. This event conducted live streaming via zoom from more than ten different campus as host and co-host. This event on Faculty of Law UII was moderated by Dodik Setiawan N. Heriyanto, SH., MH., LLM., Ph.D., and Haekal Al Asyari, SH., LLM.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Penyelenggaraan Pilkada 2020 sudah melewati tahapan penting, yaitu pendaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan uadit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT. Puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan jangan lupakan lagi difabel. Aksebilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan komunitas rentan, utamanya warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Difabel menceritakan, PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesbilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang memudahkan semua orang. Aksesbilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi. Juga mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesbilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2021 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas. Atas dasar kesamaan dengan warga lainnya terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik.

Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin hak dan kesempatannbagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah wajib menjamin hak politk penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas.

Pendekatan

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemiihan Umumn (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesbilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa lain. Namun, demikian, PKPU ini berlaku untuk pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel.

Berpijak pada kondisi diatas, sudah seharusnya penyelenggara Pilkada 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesbilitas bagi warga negara yang memilkiki hambatan. Utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

This article have been published in Kedaultan Rakyat, 17 September 2020.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) held the Coordination Meeting to Gather Inputs for Civitas academics (Pra Rakorja) of Faculty of Law UII, on Monday (21-09-2020). This Pra-Rakorja organizing is different from previous years because it is carried out online. This is due to the fact that there are still high cases of Covid-19 transmission in Indonesia. The pre-coordination meeting was attended by more than 150 participants.

In the implementation of this Pra-Rakorja, the Dean of Faculty of Law UII, Associate Professor Dr. Abdul Jamil, SH., MH., conveyed several points of explanation on the dean’s work program. One of them is professor acceleration. “The target in 2021, we will have five professors,” said Abdul Jamil.

Currently, Faculty of Law UII has six professors. This was conveyed in Abdul Jamil’s presentation at the 2020 Pra-Rakorja with the theme “Bertahan; Berbenah; Tumbuh; dalam Rangka Mencetak Lulusan FH Berintegritas dan Profesional (Defending; Clean up; Grow; in Order to Produce Faculty of Law’s Graduate with Integrity and Professional”. According to Abdul Jamil, currently Faculty of Law UII has 107 lecturers, but only has six professors. So, a stimulus is needed to immediately accelerate professors at Faculty of Law UII.

Abdul Jamil also said that this year’s Pra-Rakorja was carried out under special conditions. The Pra-Rakorja meeting was forced to not be carried out ‘face-to-face’ or offline due to the Covid-19 pandemic. The condition of the Covid-19 Pandemic is also the biggest challenge for Faculty of Law UII in implementing this year’s work program. Therefore, according to Abdul Jamil, Faculty of Law UII must ‘clean up’ and try to adjust to the situation in the new normal period. “In 2021 we must improve, we must be able to adjust the site. When we can make adjustments to the situation, and when the situation is normal, we must immediately ‘run’, to achieve the achievements for 2021, “said Abdul Jamil.

During the Pra-Rakorja presentation, Abdul Jamil also conveyed several flagship programs and activities in 2021. One of the flagship work programs is preparing the international accreditation of the Foundation for International Business Administration Accreditation (FIBAA). “We will prepare FIBAA accreditation for the undergraduate program, and international accreditation for the Master of Law Program and Notary Program”, said Abdul Jamil.

Beside the Professors Acceleration Program and FIBAA Accreditation, Faculty of Law UII also launched many internationalization programs in 2021. One of them is to conducting Research Collaboration with Ahmad Ibrahim Kuliyah of Laws International Islamic University Malaysia (AIKOLS IIUM).

The Pra-Rakorja will be followed by a Coordination Meeting to Concepting Working Plan (Rakorja) on Sunday (27-09-2020). Through the Pra-Rakorja, which was attended by all lecturers and education staff at Faculty of Law UII, it is hoped that it can provide constructive input for the implementation of the Coordination Meeting. “Therefore, we hope for input from all ladies and gentlemen for the smooth running of the Pra-Rakorja today,” said Abdul Jamil.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Hasil perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu berbagai spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Berbagai kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.

Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.

Sedari awal pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenail hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.

Kita tidak bisa memaafkan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.

Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengkalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.

Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahuluannya. Imbasnya interprestasi hakim dalam memutus perkara kerap bersebrangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.

Pola kedua, sebaliknya hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.

Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interprestasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa diantaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mencoba berjudi dengan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interprestasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya insititusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.

 

This article have been publsihed in Tempo Newspaper, 10 September 2020.