Author: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration of Law

 

Kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap akan dilaksanakan tahun ini, di tengah wabah Covid-19. Persiapan penyelenggaraan pilkada yang digelar ini tidak lepas dari beberapa polemik. Salah satunya menyinggung netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, masih saja terdapat pelanggaran netralitas. Data yang dihimpun lembaga pengawas norma dan kode etik ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat setidaknya ada 456 ASN yang sudah dilaporkan melanggar netralitas hingga 31 Juli 2020 (KASN.go.id).

Salah satu permasalahan netralitas ini adalah banyaknya ASN yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun belum mengikuti prosedur yang sesuai peraturan perundang-undangan, misalnya belum mundur sebagai ASN. Tidak kalah penting adalah, pada tahun ini jumlah petahana cenderung meningkat dan mendominasi untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Realita ini dapat memicu kekhawatiran, yaitu mobilisasi oleh petahana kepada ASN menjadi catatan penting.

Menteri Dalam Negeri telah mencatat banyaknya permintaan mutasi ASN. Terdapat 720 usulan mutasi yang ditolak hingga bulan September. Penolakan tersebut untuk menghindari adanya mutasi atas dasar kepentingan. Disamping itu, masih ditemukan banyaknya ASN yang melakukan kampanye. Lalu bagaimana persoalan terkait dengan pelanggaran netralitas ASN ini ditinjay dari perspektif hukum kepegawaian?

Pengaturan tentang netralitas ASN ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan. Dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Terkait dengan pencalonan sebagai Kepala Daerah bagi ASN sebenarnya telah diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di kedua pasal ini diaturn, pada intinya ASN harus mengundurkan diri secara tertulis sejak mendaftar sebagai calon.

Lalu, konsekuensi berat apabila tidak mengundurkan diri ini dapat dilihat pada di Pasal 346 ayat (4) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Apabila PNS tidak mengajukan diri sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan sejak PNS yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.

Permasalahan kedua adalah mobilisasi petahana menjelang pilkada pada ASN. Pasal 71 ayat (2) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, menyatakan antara lain, Kepala Daerah tidak boleh melakukan penggatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Kemudian ayat (3) pada intinya menyatakan Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpillih. Jika hal itu dilakukan oleh petahana, maka terdapat sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Konsekuensi hukum dari pelanggaran netralitas PNS tersebut adalah hukuman disiplin sedang dan berat. Sesuai dengan Pasal 7 dalam peraturan pemerintah tersebut hukuman disiplin sedang dan ringan berupa penundaan gaji sampai dengan pemberhentian tidak denan hormat.

Penegakan hukum sangat diperlukan untuk mengatasi netralitas tersebut, yaitu dari segi pengawasan maupun pemberian sanksi. Baik dari KASN, Badan Pemilu (Bawaslu), Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tidak terkecuali masyarakat harus terus dapat bersinergi untuk mengawal netralitas ASN.

This article have been published in Anaslisis KR rubric, Kedaulatan Rakyat newspaper, 30 September 2020.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) held a 2020 Coordination Meeting to Concepting Working Plan (Rakorja) on Sunday (27-09-2020). The UII FH Coordination Meeting 2020 this time carries the theme theme “Bertahan; Berbenah; Tumbuh; dalam Rangka Mencetak Lulusan FH Berintegritas dan Profesional (Defending; Clean up; Grow; in Order to Produce Faculty of Law’s Graduate with Integrity and Professional)”. Implementation of this Rakorja is different from previous years because it is carried out online. This is a reminder of the high number of cases of Covid-19 transmission in Indonesia. The implementation of this Rakorja was carried out in a hybrid manner from the Main Meeting Room, 3rd Floor of FH UII and was attended by around 25 people. Although many participants realized, the implementation of the Faculty of Law’s Rakorja 2020  was carried out in accordance with health protocols.

In his speech, the Dean of Faculty of Law UII, Assoc Professor Dr. Abdul Jamil, SH., MH., said that the implementation of this Rakorja had complied with the existing health protocols. Abdul Jamil, who is also the Chairperson of the UII Siaga Covid 19 Team, said that all coordination meetings paid attention to existing health protocols. “We have opened the windows, we have also opened the doors so that the air can circulate properly”, said Abdul Jamil.

The Rakorja was opened by the Rector of UII, Prof. Fathul Wahid, ST, M, Sc., Ph.D ,. In his remarks, Fathul Wahid praised the willingness of Faculty of Law UII lecturers to organize activities amidst the existing busy schedule. “This is proof that you are good people, because they volunteered for the meeting on Sunday,” said Fathul Wahid, responded with laughter from the participants.

According to Fathul Wahid, the pandemic condition is the main challenge for universities in Indonesia, including UII. “This pandemic condition has a tremendous impact. This condition will greatly affect our future policy direction”, he said. According to Fathul Wahid, many private universities could barely survive this pandemic. “Alhamdulillah, UII after doing the ‘belt tightening” managed to survive until it has a salary cash reserve of up to 12 months, “added Fathul Wahid optimistically.

Fathul Wahid conveyed that this pandemic condition should not be considered merely as an obstacle, but must also be seen as a momentum. This is the meaning of the UII’s Rakorja theme. “We have to quickly adapt,” said Fathul Wahid. The online learning system is one form of momentum referred to by Fathul Wahid. According to him, during the pandemic, UII has been ‘forced’ to develop a good online learning system. It is projected that this system will not continue to end after the pandemic is over, but will continue to be developed. The main objective is to increase the usefulness of UII’s existence in Indonesia. “I imagine if we can make online meetings permanent. It can also be used as a mixture of online and offline. ”, Said Fathul Wahid.

The Faculty of Law UII itself has an optimistic view in welcoming this Rakorja. According to Abdul Jamil, Faculty of Law of the UII will aim to have at least five professors in the next 2021 period. This was as conveyed by Abdul Jamil in his presentation of the 2021 FH UII Dean Work Program. “The 2021 target will be 5 professors,” said Abdul Jamil.

The implementation of the Faculty of Law’s Rakorja was carried out with strict health protocols. The organizing committee provides medical masks for all participants. “The Faculty of Law UII gives full concentration on how to maintain the health of the Faculty of Law UII civitas academica during the pandemic period,” said Abdul Jamil.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Penyelenggaraan Pilkada serentak 2020 sudah memasuki tahapan penting, yaitu pandaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan audit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT, dan puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan : jangan lupakan lagi difabel. Aksesibilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan oleh komunitas rentan, utamanya oleh warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominiasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara, dan lebih jauh dihilangkan suara dan perannya dalam setiap tahapan penyelenggaraan pemilihan.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan Pencocokan dan Penelitian Data Pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutaakhiran Data Pemilih (PPDP). Lebih jauh, difabel menceritakan bahwa PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesibilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan Pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah yang memudahkan semua orang. Aksesibilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi, mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesibilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesamaan dengan warga lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik. Pasal 29 dinyatakan bahwa Negara-Negara Pihak wajib menjamin kepada penyandang disabilitas hak-hak politik dan kesempatan untuk menikmati hak-hak tersebut atas dasar kesamaan dengan orang lain.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah Wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak politik penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas, termasuk didalamnya memastikan prosedur, fasilitas, dan alat bantu pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan.

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesibilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa yang lain. Namun demikian, PKPU ini berlaku untuk Pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel, dan belum harmonis dengan Undang-Undang Disabiitas.

Berpijak pada kondisi di atas, sudah seharusnya Penyelenggara Pilkada serentak 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesibilitas bagi warga negara yang memiliki hambatan, utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

This article have been published in Kedaulatan Rakyat newspaper, 17 September 2020.

Faculty of Law Universitas Islam Indonesia (UII) becoming a co-host on The International Conference on Environmental and Technology of Law, Business and Education on Post Covid 19 – 2020 (ICETLAWBE 2020), Saturday (26 September 2020). The event was held at Ruang Sidang Utama 3rd Floor, Muh. Yamin Building, Faculty of Law UII, and broadcasted online via Zoom with other universities co-host of ICETLAWBE 2020. The event was opened by Vice Dean of Human Resource, Associated Professor Hanafi Amrani, SH., MH., LLM., Ph.D.

During his opening speech, Hanafi Amrani, appreciate the performance of ICETLAWBE 2020. According to him, this agenda has the same vision with UII, that UII refuse to stop achieving research during pandemic. “Pandemic condition is not barrier to us to do research and spread our ideas”, said Hanafi.

Faculty of Law UII presented seven papers on ICETLAWBE 2020. The first paper presented by Chritopher M. Cason, JD. entitled Fighting Corruption through the Federal System: Independence as the Key to Corruption Eradication. Second paper was presented by Dodik Setiawan N. Heriyanto, SH., MH., LLM., Ph.D., entitled Diplomatic as One of the Alternatives to Returning Corruption Assets Abroad. The third paper presented by Hanafi Amrani, SH., MH., LLM., Ph.D., entitled Criminal Policy on Environmental Crimes: Indonesia’s Perspective. The fourth paper presented by Bagya Agung Prabowo, SH., MH., Ph.D., entitled the Implementation of Sharia Compliance in the Dropshipping Buying and Selling Scheme During the Pandemic Covid-19 in Indonesia. The fifth was presented via video stream by Dr. Mahrus Ali, SH., MH., entitled Strict Liability for Environmental Offense. The sixth paper presented by Dr. Abdul Jamil, SH., MH., entitled Recognition and Enforcement of Arbitral Award of National Sharia Arbitration Board (Basyarnas) Aboard. The last paper presented by Jamaludin Ghafur, SH., MH., entitled Constitutionalization of the Political Party: Impressions of Indonesia.

The ICETLAWBE 2020 was hosted by Universitas Lampung, Universitas Teknologi Mara, Asia E University, and STEBI Lampung. Faculty of Law UII has become one of co-host during this event, together with other co-host such as Universitas Dian Nusantara, Universitas Diponegoro, and others. This event conducted live streaming via zoom from more than ten different campus as host and co-host. This event on Faculty of Law UII was moderated by Dodik Setiawan N. Heriyanto, SH., MH., LLM., Ph.D., and Haekal Al Asyari, SH., LLM.

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Penyelenggaraan Pilkada 2020 sudah melewati tahapan penting, yaitu pendaftaran dan penetapan pasangan calon. Tahapan ini akan berlanjut dengan produksi dan pendistribusian logistik, laporan dan uadit dana kampanye, kampanye dan debat publik, pembentukan KPPS dan pengumuman DPT. Puncaknya pemungutan dan rekapitulasi suara pada bulan Desember. Dari proses yang telah dilewati, penting dikemukakan jangan lupakan lagi difabel. Aksebilitas fundamental untuk demokrasi.

Pemilu akses sudah kerap disuarakan komunitas rentan, utamanya warga difabel yang selalu terlanggar hak-haknya dalam setiap penyelenggaraan kontestasi politik, baik dalam pemilihan pemimpin di tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota, dan bahkan di level desa. Pelanggaran hak didominasi hilangnya hak pilih difabel di saat pemungutan suara.

Pilkada tahun ini berpotensi mengulangi pelanggaran hak sama. Dalam sebuah pertemuan, penulis mendengarkan keluh kesah difabel yang belum terdata dalam tahapan pencocokan dan penelitian data pemilih yang telah dilakukan Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP). Difabel menceritakan, PPDP tidak menggali hambatan-hambatan apapun yang nantinya perlu difasilitasi hak dan aksesbilitasnya dalam setiap proses penyelenggaraan pilkada.

Pilkada Akses

Pilkada akses merupakan upaya mendorong proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yang memudahkan semua orang. Aksesbilitas sendiri bermakna segala kemudahan yang disediakan untuk mewujudkan kesamaan kesempatan. Tujuan pokoknya agar setiap orang yang mengalami hambatan dapat mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam setiap prosesnya.

Hambatan secara umum meliputi hambatan mobilitas, penglihatan, pendengaran, wicara, komunikasi, mengingat dan konsentrasi, intelektual, perilaku dan emosi. Juga mengurus diri sendiri, dan atau hambatan lain yang umumnya terjadi pada setiap manusia. Hambatan-hambatan ini semestinya digali dan layak untuk menjadi pijakan bagaimana sarana prasarana dan layanan yang semestinya dibuat aksesibel.

Dalam konteks hukum, ada beberapa aturan yang tegas menjamin aksesbilitas. Pasal 9 UU No. 19 Tahun 2021 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Negara-negara pihak wajib mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas. Atas dasar kesamaan dengan warga lainnya terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi dan komunikasi, serta akses terhadap fasilitas dan jasa pelayanan lain yang terbuka dan tersedia untuk publik.

Undang-undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas memberikan penegasan yang sama. Pasal 75 ayat (2) dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin hak dan kesempatannbagi penyandang disabilitas untuk memilih dan dipilih. Pasal 77 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah wajib menjamin hak politk penyandang disabilitas dengan memperhatikan keragaman disabilitas.

Pendekatan

KPU sendiri telah membuat Peraturan Komisi Pemiihan Umumn (PKPU) No. 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Perhitungan Suara dalam Pemilihan Umum. Dalam PKPU diatur beberapa hal terkait aksesbilitas, antara lain pemilihan TPS yang harus mudah dijangkau, Pemilih Tuna Netra dalam pemberian suara Pemilu Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dan Pemilu anggota DPD dapat menggunakan alat bantu tuna netra yang disediakan TPS, dan beberapa lain. Namun, demikian, PKPU ini berlaku untuk pemilu, masih menggunakan pendekatan kecacatan dalam melihat difabel.

Berpijak pada kondisi diatas, sudah seharusnya penyelenggara Pilkada 2020 memikirkan dengan serius pemenuhan aksesbilitas bagi warga negara yang memilkiki hambatan. Utamanya difabel yang setiap momen kontestasi politik selalu terpinggirkan. Dalam hal ini, sudah selayaknya KPUD dan Bawaslu Daerah mendengarkan aspirasi kelompok marginal yang ada di wilayahnya.

This article have been published in Kedaultan Rakyat, 17 September 2020.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) held the Coordination Meeting to Gather Inputs for Civitas academics (Pra Rakorja) of Faculty of Law UII, on Monday (21-09-2020). This Pra-Rakorja organizing is different from previous years because it is carried out online. This is due to the fact that there are still high cases of Covid-19 transmission in Indonesia. The pre-coordination meeting was attended by more than 150 participants.

In the implementation of this Pra-Rakorja, the Dean of Faculty of Law UII, Associate Professor Dr. Abdul Jamil, SH., MH., conveyed several points of explanation on the dean’s work program. One of them is professor acceleration. “The target in 2021, we will have five professors,” said Abdul Jamil.

Currently, Faculty of Law UII has six professors. This was conveyed in Abdul Jamil’s presentation at the 2020 Pra-Rakorja with the theme “Bertahan; Berbenah; Tumbuh; dalam Rangka Mencetak Lulusan FH Berintegritas dan Profesional (Defending; Clean up; Grow; in Order to Produce Faculty of Law’s Graduate with Integrity and Professional”. According to Abdul Jamil, currently Faculty of Law UII has 107 lecturers, but only has six professors. So, a stimulus is needed to immediately accelerate professors at Faculty of Law UII.

Abdul Jamil also said that this year’s Pra-Rakorja was carried out under special conditions. The Pra-Rakorja meeting was forced to not be carried out ‘face-to-face’ or offline due to the Covid-19 pandemic. The condition of the Covid-19 Pandemic is also the biggest challenge for Faculty of Law UII in implementing this year’s work program. Therefore, according to Abdul Jamil, Faculty of Law UII must ‘clean up’ and try to adjust to the situation in the new normal period. “In 2021 we must improve, we must be able to adjust the site. When we can make adjustments to the situation, and when the situation is normal, we must immediately ‘run’, to achieve the achievements for 2021, “said Abdul Jamil.

During the Pra-Rakorja presentation, Abdul Jamil also conveyed several flagship programs and activities in 2021. One of the flagship work programs is preparing the international accreditation of the Foundation for International Business Administration Accreditation (FIBAA). “We will prepare FIBAA accreditation for the undergraduate program, and international accreditation for the Master of Law Program and Notary Program”, said Abdul Jamil.

Beside the Professors Acceleration Program and FIBAA Accreditation, Faculty of Law UII also launched many internationalization programs in 2021. One of them is to conducting Research Collaboration with Ahmad Ibrahim Kuliyah of Laws International Islamic University Malaysia (AIKOLS IIUM).

The Pra-Rakorja will be followed by a Coordination Meeting to Concepting Working Plan (Rakorja) on Sunday (27-09-2020). Through the Pra-Rakorja, which was attended by all lecturers and education staff at Faculty of Law UII, it is hoped that it can provide constructive input for the implementation of the Coordination Meeting. “Therefore, we hope for input from all ladies and gentlemen for the smooth running of the Pra-Rakorja today,” said Abdul Jamil.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Hasil perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu berbagai spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Berbagai kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.

Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.

Sedari awal pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenail hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.

Kita tidak bisa memaafkan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.

Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengkalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.

Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahuluannya. Imbasnya interprestasi hakim dalam memutus perkara kerap bersebrangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.

Pola kedua, sebaliknya hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.

Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interprestasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa diantaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mencoba berjudi dengan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interprestasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya insititusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.

 

This article have been publsihed in Tempo Newspaper, 10 September 2020.

Innalillahi wa inna Illaihi raji’un

Faculty of Law Universitas Islam Indonesia expressed its condolences for the passing of Dr. Zairin Harahap, S.H., M.Si. Rest in Peace. May Allah give him the best place on Jannah.

The pandemic and the social distancing policy did not prevent the Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia from continuing to work. FH UII held an Seminar on International Journal Publication, on Tuesday (07/28-2020), as a manifestation of the commitment to achieve acceleration professor program. This seminar is held in a hybrid, which is a combination of online and offline methods, with due regard to strict health protocols. The seminar was attended by lecturers through the Zoom application and guided by the committee directly from the VIP Conference Room, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. This seminar presented speakers, namely Prof. Dr. Tulus Suryanto, S.E., M.M., A.kt., C.A., CMA., CERA., ACPA., And Yuli Andriansyah, S.E., M.Sc.

The event was opened by the Dean of Faculty of Laaw, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. In his remarks, Dr. Abdul Jamil explained that this seminar was a form of Faculty of Law’s commitment in supporting and implementing the professor acceleration program for its lecturers. According to Dr. Abdul Jamil, the committee initially planned a two-day offline training activity for lecturers. However, a pandemic outbreak forced these activities to not be carried out. Instead of being fully cancelled, Faculty of Law remains committed to carrying out activities in different forms and concepts, through seminars that utilize a hybrid system.

Dr. Abdul Jamil himself gave remarks and opened the event directly from his office in the Faculty of Law Building. Even though the committee was in one building, the number of people in the room was taken into consideration in the holding of this seminar. “We limit the number of participants (in the room), up to five people,” explained the Head of the Organizing Team, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H. Faculty of Law itself still applies policies to work and lectures from home. However, the enthusiasm of the lecturers in participating in this activity seemed unshakeable. The seminar was attended by dozens of FH UII lecturers through the Zoom Meeting Platform.

The first speaker, Prof. Tulus Suryanto gave his material presentation on tips on how to publish in internationally reputable journals. Through Zoom from Lampung, Prof. Tulus Suryanto explained how important research and publications are for lecturers. According to him, research and publications are common in the academic world, even before someone becomes a lecturer. However, lecturers often find it difficult to sort out the research that has been done. “Like we have a tree that has a lot of fruit, but we have difficulty to collect the fruits”. According to Prof. Tulus Suryanto, often lecturers assume that publication is the main thing. In fact, according to him, research is more important than publication. “Publication is the result of good research work, good research work is certainly accepted in good publications,” he said. According to him, the publication process is very important to maintain the scientific elements in a work. “Why should we publish it and why should it be in a reputable journal? Reputable journal publication is a scientific stage called peer review with scientific processes. This peer review is important through the stages of editing”, he said.

The second speaker, Yuli Andriansyah, explained more about the practice to participants: about the use of the Mendeley. Yuli Andriansyah practically provides training to lecturers on the use of Mendeley in manuscripts. Apparently, there are still many lecturers who do not know about Mendeley. Even though Universitas Islam Indonesia itself has subscribed to Mendeley as a facility for its civitas academia. “The Mendeley application has been subscribed to by Universitas Islam Indonesia so that it can have greater capacity and features,” said Yuli Andriansyah.

This hybrid seminar program was positively appreciated by the lecturers. However, this hybrid method is still considered less effective. The lecturers hope that in the future similar training can be held as a continuation of activities using the offline method. Of course, this can only be done if conditions return conducive. “Hopefully the pandemic will end soon and the teaching and learning activities will return to normal,” Dodik Setiawan said.

 

Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) have an impact to all of activity in this world. The system changed to online not only at the studying process, but also all academic activities were held online. Online system such an alternative to reduce transmission rate of coronavirus.

Youngsan University organize 6th Joint International Conference at June 30, 2020. This activity was usually carried out offline by presenting several speakers who presented their own topics. Committee of this international conference was struggled some way to held this agenda with paid some attention to the situation during this pandemic. This 6th Joint international conference was held online by the title “The 6th Joint International Webinar on Freedom and Responsibilities”.

The webinar was organized by inviting speakers from four different universities who presented their topics online. There were 11 speakers from four participating universities. They were Prof. Jawahir Thontowi, Ari Wibowo SH, S.H.I., M.H., Dr. Abdul Jamil and Dodik Setiawan, Ph.D as speakers from Islamic University of Indonesia. Dr. Beumhoo Jang, Yulio Iqbal, Galih Dwi Ramadhan, Malik Arslan and Fawad Mustafa as representatives from Youngsan University. Prof. Eddy Pratomo from Pancasila University, and Prof. Edy Lisdyono from University of 17 August 1945 Semarang.

Speakers were also came from various groups, they were lecturers and students. Yulio Iqbal and Galih Dwi were student speakers form Faculty of Law who currently taking a joint degree at Youngsan University. Both of them came from Indonesia, exactly they were alumnus from bachelor degree at Islamic University of Indonesia. Malik Arslan and Fawad Mustafa are also students speakers who are studying at Youngsan University, both from Pakistan. They presented the topic very well, look like lecturer speakers who had doctorates and professors.Speakers were presented different topics in this webinar. The combination of topics presented makes the webinar more interesting. Prof. Jawahir Thontowi attended the topic of Freedom of Human Rights and Discrimination which raised the conditions of human rights freedom in Indonesia and international. Dr. Abdul Jamil along with Dodik Setiawan, Ph.D. conveyed issue of the readiness of the justice system related to the existing pandemic under the title “The Readiness of E-Court System in Indonesia Post Covid-19”. Both of them said that e-court system was a good alternative to reduce physical contact between humans, especially in this pandemic condition. Ari Wibowo, S.H., S.H.I., M.H., shared his knowledge about The Restriction on the Right to Hold Opinions and Freedom of Expression in the Indonesian Context, this topics closely related to the recent condition of Indonesia where freedom of opinion was disrupted. Prof. Beumhoo Jang as a representative of Youngsan University brought the topic of Financial Disputes Settlement System in Korea and The U.K. Prof. Eddy Pratomo from Pancasila University firmly related the Legal Prespective: Freedom and Responsibility. Prof. Edy Lisdiyono discussed the Indonesian government’s policies related to the existence of a pandemic, by the title “Indonesian Government Legal Policies to Business Activities During the Corona Virus Pandemics”. The topic presented by the student speakers was interested too, Yulio Iqbal conveyed the Freedom of Academic, The Freedom of Speech of Academician Indonesia Case Study by raising the terror case of the Constitutional Law Professor in Indonesia lately. Galih Dwi Ramadhan discussed freedom in the world of technology with the title of presentation “Freedom and Responsibility of the Internet to Use Digital Image and Software Based on the Copyright Law Prespective”. Malik Arslan came with the topic “Impact of Covid-19 on Pakistan Domestic Industries and Regional Trade”, while Fawas Mustafa related the comparison of existing bank systems in Pakistan and other countries with the title presentation “Pakistan Banking Policies and International Banking Policies”.

All of speakers gave presentations in a very interesting, concise and clear manner so as to make the webinar held smoothly even though it was held online. The webinar was attended by around 50 participants from various different universities. Carried out for approximately two and a half hours, the webinar that was held successfully made the participants let go of each other long since the majority of participants who participated knew each other.