The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) held the Coordination Meeting to Gather Inputs for Civitas academics (Pra Rakorja) of Faculty of Law UII, on Monday (21-09-2020). This Pra-Rakorja organizing is different from previous years because it is carried out online. This is due to the fact that there are still high cases of Covid-19 transmission in Indonesia. The pre-coordination meeting was attended by more than 150 participants.

In the implementation of this Pra-Rakorja, the Dean of Faculty of Law UII, Associate Professor Dr. Abdul Jamil, SH., MH., conveyed several points of explanation on the dean’s work program. One of them is professor acceleration. “The target in 2021, we will have five professors,” said Abdul Jamil.

Currently, Faculty of Law UII has six professors. This was conveyed in Abdul Jamil’s presentation at the 2020 Pra-Rakorja with the theme “Bertahan; Berbenah; Tumbuh; dalam Rangka Mencetak Lulusan FH Berintegritas dan Profesional (Defending; Clean up; Grow; in Order to Produce Faculty of Law’s Graduate with Integrity and Professional”. According to Abdul Jamil, currently Faculty of Law UII has 107 lecturers, but only has six professors. So, a stimulus is needed to immediately accelerate professors at Faculty of Law UII.

Abdul Jamil also said that this year’s Pra-Rakorja was carried out under special conditions. The Pra-Rakorja meeting was forced to not be carried out ‘face-to-face’ or offline due to the Covid-19 pandemic. The condition of the Covid-19 Pandemic is also the biggest challenge for Faculty of Law UII in implementing this year’s work program. Therefore, according to Abdul Jamil, Faculty of Law UII must ‘clean up’ and try to adjust to the situation in the new normal period. “In 2021 we must improve, we must be able to adjust the site. When we can make adjustments to the situation, and when the situation is normal, we must immediately ‘run’, to achieve the achievements for 2021, “said Abdul Jamil.

During the Pra-Rakorja presentation, Abdul Jamil also conveyed several flagship programs and activities in 2021. One of the flagship work programs is preparing the international accreditation of the Foundation for International Business Administration Accreditation (FIBAA). “We will prepare FIBAA accreditation for the undergraduate program, and international accreditation for the Master of Law Program and Notary Program”, said Abdul Jamil.

Beside the Professors Acceleration Program and FIBAA Accreditation, Faculty of Law UII also launched many internationalization programs in 2021. One of them is to conducting Research Collaboration with Ahmad Ibrahim Kuliyah of Laws International Islamic University Malaysia (AIKOLS IIUM).

The Pra-Rakorja will be followed by a Coordination Meeting to Concepting Working Plan (Rakorja) on Sunday (27-09-2020). Through the Pra-Rakorja, which was attended by all lecturers and education staff at Faculty of Law UII, it is hoped that it can provide constructive input for the implementation of the Coordination Meeting. “Therefore, we hope for input from all ladies and gentlemen for the smooth running of the Pra-Rakorja today,” said Abdul Jamil.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Hasil perubahan Undang-undang Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah disetujui oleh Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memicu berbagai spekulasi atas performa dan masa depan Mahkamah sebagai pengawal konstitusi. Berbagai kritik muncul sejak rancangan undang-undang ini diinisiasi oleh DPR karena dilakukan secara tergesa-gesa dan tidak partisipatif. Proses legislasinya diklaim irasional dan materi perubahan jauh dari kebutuhan faktual Mahkamah.

Materi perubahan itu perihal perubahan masa jabatan hakim konstitusi yang diperpanjang hingga usia 70 tahun. Aturan ini juga bersifat retroaktif atau berlaku juga bagi hakim saat ini. Dengan begitu, para hakim saat ini akan memegang jabatannya paling cepat sampai 2024 dan paling lama hingga 2034.

Sedari awal pemerintah terlihat gagap memberikan alasan yang rasional untuk memperpanjang masa jabatan hakim. Bahkan dalam pembahasannya hampir tidak ada perdebatan yang muncul mengenail hal ini. Politik hukumnya tampak menjadi sangat kompromistis antara Presiden dan DPR.

Kita tidak bisa memaafkan bahwa substansi hukum dalam undang-undang sangat dipengaruhi oleh berbagai macam faktor termasuk kepentingan politik kekuasaan dan kekuatan-kekuatan lain. Dengan perubahan ini kepentingan politik kekuasaan dengan mudah dapat dijalankan karena undang-undang merupakan alat legitimasi untuk menyalurkan dan mewujudkan kekuatan-kekuatan pemerintah terhadap peradilan.

Mustahil jika pemerintah tidak memperhitungkan motif penambahan masa jabatan hakim konstitusi ini. Bahkan, pemerintah telah mengkalkulasi jika pada akhirnya undang-undang ini diujikan di Mahkamah, para hakim akan terjebak dalam pusaran konflik kepentingan. Tegasnya, sembilan hakim konstitusi akan mengadili perkara yang menyangkut kepentingan jabatannya sendiri.

Dalam lanskap doktrin yang dicatatkan oleh Spitzer dan Genovese (2005), hubungan pemerintah dan peradilan umumnya dibagi atas dua pola. Pertama, hubungan yang bersifat konfrontatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan merupakan kelompok anti-mayoritas yang terbentuk dari hasil seleksi rezim pendahuluannya. Imbasnya interprestasi hakim dalam memutus perkara kerap bersebrangan dengan pemerintah karena peradilan kerap memainkan peran sebagai antitesis kelompok mayoritas. Fase ini sebenarnya pernah dialami oleh MK pada periode 2003-2008. Banyak putusan-putusan MK saat itu lahir untuk mewakili suara kelompok-kelompok minoritas yang hak-haknya dilanggar oleh pemerintah.

Pola kedua, sebaliknya hubungan pemerintah dan peradilan bersifat kooperatif. Dalam mode ini, hakim-hakim yang duduk di institusi peradilan diseleksi untuk menjadi kelompok pro-mayoritas atau sekurang-kurangnya menjadi bagian dari koalisi presidensial. Meskipun proses seleksi dilakukan secara merit, lembaga pengusul sangat paham dengan rekam jejaknya. Calon hakim yang duduk di Mahkamah dipilih karena memiliki preferensi politik yang sama dengan pemerintah.

Singkatnya, pemerintah mencoba berspekulasi untuk mendapatkan sebanyak mungkin dukungan dari institusi peradilan ketika menetapkan kebijakan strategis pemerintah melalui pembentukan undang-undang. Implikasinya, interprestasi para hakim cenderung akan menahan diri terhadap perkara-perkara penting yang melibatkan kepentingan pemerintah. Beberapa diantaranya revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi, revisi Undang-Undang Mineral dan Batu Bara, serta Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Pada titik inilah pemerintahan Jokowi-Ma’ruf mencoba berjudi dengan Undang-Undang MK. Harapannya, pemerintahan mereka yang mendapatkan dukungan kuat di parlemen, akan sejalan dengan interprestasi sembilan hakim konstitusi dalam mengadili dan memutus perkara-perkara strategis yang melibatkan pemerintah. Berdasarkan sejarah politik dan peradilan, demokrasi terpimpin dan Orde Baru pernah membangun strategi yang sama. Pemerintah memperdagangkan pengaruhnya dalam seleksi dan pengangkatan hakim hingga pada akhirnya insititusi peradilan hanya menjadi bagian dari kekuatan politik pemerintah atau lebih dikenal dengan perpanjang tangan pemerintah. Inilah yang menjadi perjudian besar pemerintah terhadap perubahan Undang-Undang MK.

 

This article have been publsihed in Tempo Newspaper, 10 September 2020.

Innalillahi wa inna Illaihi raji’un

Faculty of Law Universitas Islam Indonesia expressed its condolences for the passing of Dr. Zairin Harahap, S.H., M.Si. Rest in Peace. May Allah give him the best place on Jannah.

The pandemic and the social distancing policy did not prevent the Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia from continuing to work. FH UII held an Seminar on International Journal Publication, on Tuesday (07/28-2020), as a manifestation of the commitment to achieve acceleration professor program. This seminar is held in a hybrid, which is a combination of online and offline methods, with due regard to strict health protocols. The seminar was attended by lecturers through the Zoom application and guided by the committee directly from the VIP Conference Room, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. This seminar presented speakers, namely Prof. Dr. Tulus Suryanto, S.E., M.M., A.kt., C.A., CMA., CERA., ACPA., And Yuli Andriansyah, S.E., M.Sc.

The event was opened by the Dean of Faculty of Laaw, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H. In his remarks, Dr. Abdul Jamil explained that this seminar was a form of Faculty of Law’s commitment in supporting and implementing the professor acceleration program for its lecturers. According to Dr. Abdul Jamil, the committee initially planned a two-day offline training activity for lecturers. However, a pandemic outbreak forced these activities to not be carried out. Instead of being fully cancelled, Faculty of Law remains committed to carrying out activities in different forms and concepts, through seminars that utilize a hybrid system.

Dr. Abdul Jamil himself gave remarks and opened the event directly from his office in the Faculty of Law Building. Even though the committee was in one building, the number of people in the room was taken into consideration in the holding of this seminar. “We limit the number of participants (in the room), up to five people,” explained the Head of the Organizing Team, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H. Faculty of Law itself still applies policies to work and lectures from home. However, the enthusiasm of the lecturers in participating in this activity seemed unshakeable. The seminar was attended by dozens of FH UII lecturers through the Zoom Meeting Platform.

The first speaker, Prof. Tulus Suryanto gave his material presentation on tips on how to publish in internationally reputable journals. Through Zoom from Lampung, Prof. Tulus Suryanto explained how important research and publications are for lecturers. According to him, research and publications are common in the academic world, even before someone becomes a lecturer. However, lecturers often find it difficult to sort out the research that has been done. “Like we have a tree that has a lot of fruit, but we have difficulty to collect the fruits”. According to Prof. Tulus Suryanto, often lecturers assume that publication is the main thing. In fact, according to him, research is more important than publication. “Publication is the result of good research work, good research work is certainly accepted in good publications,” he said. According to him, the publication process is very important to maintain the scientific elements in a work. “Why should we publish it and why should it be in a reputable journal? Reputable journal publication is a scientific stage called peer review with scientific processes. This peer review is important through the stages of editing”, he said.

The second speaker, Yuli Andriansyah, explained more about the practice to participants: about the use of the Mendeley. Yuli Andriansyah practically provides training to lecturers on the use of Mendeley in manuscripts. Apparently, there are still many lecturers who do not know about Mendeley. Even though Universitas Islam Indonesia itself has subscribed to Mendeley as a facility for its civitas academia. “The Mendeley application has been subscribed to by Universitas Islam Indonesia so that it can have greater capacity and features,” said Yuli Andriansyah.

This hybrid seminar program was positively appreciated by the lecturers. However, this hybrid method is still considered less effective. The lecturers hope that in the future similar training can be held as a continuation of activities using the offline method. Of course, this can only be done if conditions return conducive. “Hopefully the pandemic will end soon and the teaching and learning activities will return to normal,” Dodik Setiawan said.

 

Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) have an impact to all of activity in this world. The system changed to online not only at the studying process, but also all academic activities were held online. Online system such an alternative to reduce transmission rate of coronavirus.

Youngsan University organize 6th Joint International Conference at June 30, 2020. This activity was usually carried out offline by presenting several speakers who presented their own topics. Committee of this international conference was struggled some way to held this agenda with paid some attention to the situation during this pandemic. This 6th Joint international conference was held online by the title “The 6th Joint International Webinar on Freedom and Responsibilities”.

The webinar was organized by inviting speakers from four different universities who presented their topics online. There were 11 speakers from four participating universities. They were Prof. Jawahir Thontowi, Ari Wibowo SH, S.H.I., M.H., Dr. Abdul Jamil and Dodik Setiawan, Ph.D as speakers from Islamic University of Indonesia. Dr. Beumhoo Jang, Yulio Iqbal, Galih Dwi Ramadhan, Malik Arslan and Fawad Mustafa as representatives from Youngsan University. Prof. Eddy Pratomo from Pancasila University, and Prof. Edy Lisdyono from University of 17 August 1945 Semarang.

Speakers were also came from various groups, they were lecturers and students. Yulio Iqbal and Galih Dwi were student speakers form Faculty of Law who currently taking a joint degree at Youngsan University. Both of them came from Indonesia, exactly they were alumnus from bachelor degree at Islamic University of Indonesia. Malik Arslan and Fawad Mustafa are also students speakers who are studying at Youngsan University, both from Pakistan. They presented the topic very well, look like lecturer speakers who had doctorates and professors.Speakers were presented different topics in this webinar. The combination of topics presented makes the webinar more interesting. Prof. Jawahir Thontowi attended the topic of Freedom of Human Rights and Discrimination which raised the conditions of human rights freedom in Indonesia and international. Dr. Abdul Jamil along with Dodik Setiawan, Ph.D. conveyed issue of the readiness of the justice system related to the existing pandemic under the title “The Readiness of E-Court System in Indonesia Post Covid-19”. Both of them said that e-court system was a good alternative to reduce physical contact between humans, especially in this pandemic condition. Ari Wibowo, S.H., S.H.I., M.H., shared his knowledge about The Restriction on the Right to Hold Opinions and Freedom of Expression in the Indonesian Context, this topics closely related to the recent condition of Indonesia where freedom of opinion was disrupted. Prof. Beumhoo Jang as a representative of Youngsan University brought the topic of Financial Disputes Settlement System in Korea and The U.K. Prof. Eddy Pratomo from Pancasila University firmly related the Legal Prespective: Freedom and Responsibility. Prof. Edy Lisdiyono discussed the Indonesian government’s policies related to the existence of a pandemic, by the title “Indonesian Government Legal Policies to Business Activities During the Corona Virus Pandemics”. The topic presented by the student speakers was interested too, Yulio Iqbal conveyed the Freedom of Academic, The Freedom of Speech of Academician Indonesia Case Study by raising the terror case of the Constitutional Law Professor in Indonesia lately. Galih Dwi Ramadhan discussed freedom in the world of technology with the title of presentation “Freedom and Responsibility of the Internet to Use Digital Image and Software Based on the Copyright Law Prespective”. Malik Arslan came with the topic “Impact of Covid-19 on Pakistan Domestic Industries and Regional Trade”, while Fawas Mustafa related the comparison of existing bank systems in Pakistan and other countries with the title presentation “Pakistan Banking Policies and International Banking Policies”.

All of speakers gave presentations in a very interesting, concise and clear manner so as to make the webinar held smoothly even though it was held online. The webinar was attended by around 50 participants from various different universities. Carried out for approximately two and a half hours, the webinar that was held successfully made the participants let go of each other long since the majority of participants who participated knew each other.

Juridical Council of International Program (JCI) Faculty of Law Universitas Islam Indonesia held Webinar with the theme: Polemic on Issue of Leniency in Sentence Demand for Criminal Offender of Novel Baswedan, on Saturday, (27/06/2020). This webinar is for the response toward sentence demand by the public prosecutor on the case of first degree aggravated assault toward Novel Baswedan.

This webinar invites speakers who are criminal law experts, namely: Dr. Mahrus Ali, SH., MH., Ahmad Wirawan Adnan, SH., MH., and Muhammad Fatahillah Akbar, SH., LLM. Also, this webinar has been moderated by Sabiyllafitri Azzahra, Students and Chairwoman of Education and Advocacy Division of JCI.

Adnan Wirawan gave his material on the comparison of midwife legal arrangements in the United States. According to Adnan Wirawan, the Baswedan Novel case can be categorized as a first degree aggravated assault. According to him, first degree aggravated assault means as an intentional with plan to inflict great bodily harm to someone resulted in injury or permanent disfigurement. Adnan Wirawan discussed the parties that convened in the case. Scientifically, Adnan Wirawan criticized the act of appointing legal counsel for the defendants, Ronny Bugis and Rahmat Kadir, Inspector General Rudi Heriyanto. According to him, it’s because ethically an attorney was prohibited from carrying out his profession when he was serving as a state apparatus, while currently the Inspector General Rudi Heriyanto is serving as a police officer. Inspector General Rudi Heriyanto has also been an investigator in the search for suspects in cases of first degree aggravated assault toward Novel Baswedan since 2017. “How can we expect a fair trial, if the investigation just stands between ‘two legs’”, said Wirawan Adnan.

Meanwhile, according to Muhammad Fatahillah, this case cannot be separated from the issue of corruption eradication in Indonesia. According to Muhammad Fatahillah, this case delayed because the Corruption Eradication Commission (KPK) did not have the authority to. The government needs various steps to form a Joint Fact-Finding Team (TGPF) to conduct an investigation. According to Muhammad Fatahillah, the Novel Baswedan case is not the only case that occurs justice delay. There are many cases of this kind in Indonesia when it involves violations by police officers. Muhammad Fatahillah then gave his views on the application of independent institutions in other countries to deal with crimes committed by the police.

This event opened by the Secretary of International Undergraduate Program in Law, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., LLM., Ph.D. During his opening speech, Dodik Setiawan gives his congratulation to JCI for its new management structure. “I hope, during this new structure, JCI can become much better as the representation of International Program of Faculty of Law’s Students”, he said.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Ada dua poin besar dalam draft revisi UU MK yang menuai kritik dan penolakan dari sejumlah kelompok masyarakat. Pertama, menambah syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun. Kedua, mengubah ketentuan aturan masa jabatan hakim  konstitusi dari model periodesasi ke batas usia maksimum 70 tahun. Dalam lanskap politik dan tehnik legislasi, dua kalusul ini cenderung sangat spekulatif. Belum ada satupun hasil studi yang membenarkan bahwa menambah syarat usia hakim konstitusi bisa memengaruhi kualitas interpretasi terhadap sebuah perkara.

Sungguhpun itu dibentuk sebagai syarat, pengaturan batas minimal usia tak lebih dari sebuah kompromi politik. Dan adakalanya, rasionalisasi pilihan angka itu jatuh secara insidentil. Begitu juga dalam konteks masa jabatan hakim konstitusi. Terlalu dini kiranya jika ada persepsi yang menyatakan bahwa pembatasan masa jabatan hakim dengan klausul usia maksimum akan menguatkan independensinya dalam mengadili perkara. Sebab independensi jabatan hakim tidak dipengaruhi dengan syarat usia, melainkan pada prinsip meritokrasi yang melekat dalam proses seleksi dan pengangkatan hakim. Tak heran kiranya, jika masyarakat dibuat bingung dengan kebutuhan revisi UU MK. Apa yang menjadi motif di balik dua kalusul itu? Poin perubahan yang sama sekali tidak substantif, bahkan membuka konflik kepentingan antara hakim konstitusi dan pembentuk undang-undang.

Legislasi

Menjadi menarik bila meletakkan konteks ini jauh lebih luas. Di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, fungsi legislasi menjadi anasir yang secara signifikan mendapatkan krisis legitimasi sosial. Begitu masifnya penolakan publik dalam fungsi legislasi (Presiden-DPR) tentu tidak bisa hanya dimaknai sebagai bekerjanya kontrol kewargaan dalam negara demokrasi. Melainkan juga harus dilihat sebagai bentuk pentingnya evaluasi kinerja Presiden dan DPR dalam melaksanakan fungsi legislasi. Berawal dari proses politik yang buruk pada perubahan UU KPK dan juga diikuti dengan perubahan UU Minerba, krisis legitimasi publik kemudian mengerangkai pada pembentukan undang-undang lainnya. Sebut saja RUU Cipta Kerja, sampai dengan yang paling anyar revisi UU MK. Dalam konsepsi hukum dan masyarakat, undang-undang bukan hanya soal legalitas formal melainkan juga legitimasi sosial (Sulistiyowati Irianto:2019). Luc Wintgens: 2012 menuliskan bahwa krisis legitimasi publik terhadap pembentukan undang-undang disebabkan akibat proses legislasi yang buruk baik dari segi prosedur maupun isi dari undang-undang itu sendiri. Rasionalitas publik ditabrak atas dasar kehendak partai, partisipasi publik lemah  dan suara rakyat dibajak dengan kelompok-kelompok penekan yang memiliki kepentingan sektoral atas pembentukan sebuah undang-undang.

Independensi

Studi Larkins dalam  “judicial independence and democratization” membenarkan bahwa pola intervensi pemerintah terhadap lembaga peradilan salah satunya dilakukan dengan proses politik pembentukan undang-undang yang mengatur lembaga peradilan (Christoper M Larkins:1996). Polanya sederhana. Pemerintah memperdagangkan pengaruh dalam materi muatan pembentukan hukum, agar hakim terjebak pada pusaran konflik kepentingan.  Praktik di berbagai negara merefleksikan keadaan yang hampir mirip. Intervensi pemerintah dilakukan dengan proses politik pada revisi undang-undang kekuasaan kehakiman. Hungaria contohnya, pemerintah Orban mengubah aturan dengan menambah jumlah hakim konstitusi dari delapan menjadi lima belas. Kemudian memberikan peran bagi partai penguasa untuk melakukan penunjukan langsung terhadap hakim-hakim yang baru. Demikian juga Polandia. Partai pemenang pemilu menolak calon hakim yang diusulkan oleh partai pendukung pemerintah sebelumnya. Kemudian partai pemenang pemilu mengangkat lima hakim konstitusi yang baru untuk mendelegitimasi calon yang lama. Semua itu dilakukan agar pemerintah dapat memberikan pengaruh terhadap hakim ketika dan akan mengadili perkara yang melibatkan kepentingan pemerintah. Ketika hakim tidak lagi independen, proses peradilan menjadi sangat transaksional.

Kepentingan

Dalam draft revisi UU MK,  Pasal 87 huruf c mengatur apabila hakim konstitusi berakhir masa jabatannya di usia 60, maka hakim yang bersangkutan dapat meneruskan jabatannya hingga usia 70 tahun. Tanpa adanya kejelasan dalam ketentuan peralihan, pasal ini bisa mengancam dan mengakibatkan hakim konstitusi terjebak dalam kubangan konflik kepentingan. Artinya akan ada hakim konstitusi yang dirugikan ataupun diuntungkan dengan ketentuan perubahan UU MK.  Sebagai contohnya Hakim Saldi Isra. Periodesasi jabatannya habis sebelum usia enam puluh tahun. Berbanding terbalik dengan Hakim Aswanto yang periodesasi jabatannya bisa berhenti di usia enam puluh tahun. Dengan merujuk ketentuan revisi pasal a quo akan ada hakim konstitusi yang mungkin saja bisa menjabat hingga dua puluh tahun lamanya. Bisa dibayangkan ketika revisi UU a quo pada akhirnya diujikan di MK, majelis hakim konstitusi tidak hanya mengadili kepentingan lembaganya, melainkan juga mengadili kepentingan jabatannya sendiri. Oleh karena itu revisi UU MK sebaiknya lebih ditujukan untuk mengoptimalisasi pemenuhan hak konstitusional warga negara. Menelaah kebutuhan kelembagaan MK yang jauh lebih substantif dari pada sekedar mengatur usia jabatan hakim. Bukan sebaliknya, momentum revisi UU MK justru hanya menjadi langkah mundur dalam upaya perlindungan hak konstitusional warga negara.

This article have been published in detikNews, 16 June 2020.

Author: Ari Wibowo, S.HI., S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Criminal Law

Pada zaman Orde Baru, istllah ‘subversi” dan “makar’ sangat tidak asing di telinga masyarakat, Bagalnrana tidak, delik subversi dan”nnkaLsant ltu sering terucap dari mulut para pejatbat untuk mengancam kelompok tertenru yang dianggap membahayakan kekuasaan. Pascareformasl, kedua istilah tersebut terdengar asing. Bahkan, Benerasi baru barangkall tak mengenalnya, “Subversi” sudah menjadi sejarah hukum yang hanya terdengar dl ruang-ruang kuliah fakultas hukum karena undang-undangnya telah dicabut. lstilah “makar’ nyaris tak pernah diucapkan lagi oleh penguasa meskipun sampai dengan saat lni pengaturannya masih eksis dalam KUHP.

Makar, terutarna yang dlatur dalam Pasal 1 07 KUHP, menl,:di salah satu delik primadona madona bagl penguasa Orde Baru untuk menghabisi musuh politiknya. Tidak jarang aktivis yang kritis dengan kebijakan penguasa dilibas dengan pasal makar karena dianggap punya maksud menggulingkan pem€rlntah yang sah. Lama tak terdengar, saat ini istilah “makar” kembali akrab di telinga publik.

Dalam beberapa kesempatan, menteri pertahanan era Presiden Jokowi kembali memopulerkan istilah “makar” kepada publik terutama saat ada beberapa orang yang menyuarakan ajakan people power.

Masyarakat pun akhlrnya mulai latah, ikut’ikutan rnenggunakan istilah “makar” yang sebenarnya tldak ia pahaml artinya. Seolah dianggap hal biasa, padahal makar merupakan kejahatan serius dengan ancaman pidana berat bagi pelakunya.

lsu makarjuga berpotensi mengakibatkan kegaduhan di tengah masyarakat. Seperti yang terjadi beberapa waktu yang lalu, adanya agenda diskusi bertajuk “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” yang diselenggarakan sekelompok mahasiswa akhirnya dibatalkan karena ada teror kepada narasumber dan penyelenggaranya.

Padahal, darijudulnya, diskusi tersebut sama sekali tidak mengindikasikan adanya upaya makar menggulingkan pemerintah yang sah. Maka, aneh jika peneror menganggapnya sebagai makar, bahkan sampai rnengancam akan membunuh panitia penyelenggaranya.

Adanya keanehan tersebut mendorong publik untuk mencari-cari apa pemicu di balik teror tersebut. Salah satu yang ditemukan dan menjadiviral adalah artikel yang ditulis seorang akadernisi berinisial BPW dengan judul “Gerakan Makar di UGM Saat jokowi Sibuk Atasi Covid-l9”. Dalam tulisannya, BPW menilai bahwa rencana diskusi tersebut adalah makar. Meski diakuinya hanya sebatas opini sederhana, bukan berarti orang bebas dalam beropini. Ada batasan tertentu kapan opini merppakan bagian dari kebebasan berpendapat dan kapan sudah masuk dalam ranah pidana.

Jauh dari Makar

Menurut Abdul Hakirn G Nusantara (1995), hukum pidana politik merupakan sarana hukum untuk melindungi kepentingan negara dari musuh-musuh politiknya yang memiliki maksud mengubah sistem politik dan pemerintahan negara. Perbuatan yang dilarang di dalamnya dikenal dengan sebutan delik atau kejahatan politik. Sekalipun bukan merupakan istilah hukum (juridicatterm), istilah ini sudah sejak lama dikenal dalam perbincangan akadernik dan masyarakat {academic and social term).

Stephen Schafer, misalnya, mengidentifikasi setidaknya ada sembilan jenis kejahatan yang dapat dikategorikan sebagai kejahatan politik, salah satunya kejahatan terhadap negara/keamanan negara. Dalam KUHP, kejahatan terhadap keamanan negara diatur dalam Bab I Buku Kedua yang salah satunya adalah makar.

Dengan melihat konstelasi politik saat ini, pasal makaryang potensial digunakan penguasa atas nama melindungi kepentingan negara adalah pasal 107, yakni makar yang dilakukan dengan maksud menggulingkan pernerintah yang sah. Maksud menggulingkan pemerintah yang sah di sini dapat berupa perbuatan mengubah bentuk pemerintahan dengan cara tidak sah, mengubah tata cara penggantian kepala negara dengan cara tidak sah, atau mengubah sistem pemerintahan dengan cara tidak sah.

Pasal 107 KUHP inilah yang digunakan untuk menjerat beberapa pihak yang menyuarakan ajakan people powerselepas pemilihan presiden dan wakil presiden pada 2019 lalu. Pasal ini pula yang tampaknya oleh BPW dianggap layak digunakan untuk menjerat para pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan diskusi hanya karena dalam judulnya menyantumkan frasa “pemecatan presiden”.

Tidak sesederhana itu. KUHP memang tidak memberikan definisi mengenai makar (aanslag). Namun, Pasal 87 KUHP menjelaskan bahwa “makar untuk melakukan suatu perbuatan” dianggap ada apabila niat untuk itu telah ternyata dengan dilakukannya perbuatan permulaan pelaksanaan.

Dalam berbagai literatur hukum pidana, suatu perbuatan dlkatakan sudah sampai pada tahap perrnulaan pelaksanaan jika perbuatannya benar-benar telah mendekatkan pada delik yang dituju atau dimaksud dan harus tidak ada keraguan lagi bahwa apa yang telah dilakukan ditujukan atau diarahkan untuk mewujudkan delik yang diinginkan.

Dari ciri tersebut, agenda diskusiyang akan membahas pemberhentian presiden sangat jauh dari makar karena sama sekali tidak ada perbuatan yang dekat dengan upaya menggulingkan presiden secara tidak sah. Bahkan, indikasi niat ke arah sana saja belum ada. Apalagi, dalam judul diskusi jelas disebutkan “ditinjau dari sistem ketatanegaraan” dan dalam UUD 1945 menrang ada pengaturan mengenai pemakzulan presiden sehingga mendiskusikannya merupakan hal yang wajar.

Perlu Ada Pelajaran

Dalam kasus teror terkait agenda diskusi pemberhentian presiden, setidaknya ada dua pihak yang bisa diproses secara hukum. Pertama, pihak peneror. Kedua, BPW. Pihak peneror dapat dikenakan ketentuan Pasal 45B7uncro Pasal 29 UU ITE yang mengatur perbuatan dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang berlsi ancaman kekerasan atau menakuti-nakuti yang ditunjukkan secara pribadi. Karena peneror melakukan perbuatannya menggunakan telepon seluler dan nomor yang digunakan sudah pasti tidak aktif lagi, tentu akan ada hambatan untuk melacaknya.

Meski ada hambatan, hal ini menjadi tantangan bagi pihak kepolisian untuk menemukan penerornya. Terlebih, dalam pesan yang sudah tersebar, peneror mengaku berasal dari salah satu ormas keagamaan besar di lndonesia. Pengakuan tersebut sangat konyol dan secara nalar nyaris mustahil ada peneror yang ‘Jujur” menyebut afiliasinya. Selain itu, ormas tersebut belakangan ini banyak menunjukkan sikap kritis terhadap pemerintah, mulai dari RUU minerba, RUU cipta lapangan kerja, RUU revisi UU KPK, hingga kebijakan pemerintah dalam
penanganan pandemi Covid-19.

Dari sinilah publik mulai berasumsi ada campur tangan penguasa di balik aksi teror tersebut. Terlebih, pola teror semacam ini pernah identik dengan penguasa pada era Orde Baru. Asumsi publik tersebut dapat ditepis jika kepolisian berhasil menangkap pelakunya, apalagi jika di pengadilan dapat dibuktikan bahwa aksi tersebut steril clari campur tangan penguasa. Namun, sebaliknya, jika kepolisian gagal menangkap pelakunya, bukan mustahil asumsi itu akan semakin menguat, seperti yang terjadi pada kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK Novel Baswedan, dan pada gilirannya akan menurunkan martabat pemerintah di mata publik.

Adapun untuk BPW, artikelnya sudah mengarah pada ujaran kebencian sehingga masuk ke ranah pidana. la bisa dikenai Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) UU ITE atas perbuatannya yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan SARA.

Pasal tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Artirrya, tidak harus telah menimbulkan akibat tertentu, tetapi cukup ada unsur kehendak untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan. Ada juga inclikasi bahwa artikel itu menjadi pemicu terjadinya tindakan teror kepada narasumber dan penyelenggara diskusi. Meskipun semua itu nanti bergatung pada pembuktian di pengadilan, paling tidak fakta dan indikasi yang ada dapat menjadi dasar bahwa BPW layak untuk diproses secara hukum.

Proses hukum terhadap dua pihak tersebut penting dilakukan. Jika pengadilan menyatakan bersalah, pidana yang dijatuhkan nantinya bukan sebagai bentuk pembalasan, melainkan untuk kebaikan pelaku sendiri dan masyarakat. Sebagaimana dikatakan Plato: “nemo prudents punit, quia peccatum, sed ne peccetur’ (seorang bijak tidak menghukum karena dilakukannya dosa, tetapi agar tidak lagi dilakukan dosa). Jadi, melakukan proses hukum dalam kasus ini merupakan jalan kemuliaan.

 

This article have been publsihe in REPUBLIKA.co.id,  2 June 2020.

Sumber gambar: https://assets.rappler.com/

Tanggal 10 Desember 1948 adalah tonggak sejarah hak asasi manusia di dunia dengan disahkannya Universal Declaration of Human Rights (UDHR). Sehingga pemenuhan, perlindungan dan penghormatan mesti dijalankan oleh bangsa yang beradab. Termasuk Indonesia yang sudah meratifikasi beberapa konvenan tentang hak aasi manusia (HAM) mulai dari konvensi hak sipil politik, hak ekonomi sosial dan budaya, dan yang lain. Oleh karena itu sudah sepatutnya Indonesia yang besar dan multikultural menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Sejak disahkannya deklarasi universal hak asasi manusia ada beberapa hal yang seharusnya menjadi tolok ukur penyelenggaraan negara khususnya pemerintahan agar hak asasi manusia betul-betul hidup di tengah masyarakat. Yaitu perlindungan dari negara terhadap warga negara dari gangguan pihak ketiga, pemenuhan kebutuhan warga negara yang meliputi hak sosial, ekonomi, dan budaya dari penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara untuk hidup aman, damai dan tenteram. Hak asasi manusia menjadi perbincangan yang sangat hangat di masyarakat di era modern sehingga seluruh lini kehidupan yang berhubungan dengan tanggung jawab negara selalu dikorelasikan dengan hak asasi manusia. Hal ini akibat sejarah umat manusia pada masa lampau yang penuh kekerasan dan kekejaman penguasa.

Implementasi hak asasi manusia dewasa ini belum sampai pada substansi. Seperti yang dikatakan oleh Alfridson, banyak persoalan hak asasi manusia sekarang ini bukan lagi pada pengakuan hak tersebut, tetapi memiliki lebih banyak untuk menyelesaikan masalah dalam implementasi hak itu sendiri seperti pemenuhan dan perlindungan. Sehingga perlu tindakan lebih dari negara untuk membumikan hak asasi manusia di Indonesia.

Indonesia sebagai negara demokrasi sudah selayaknya mengimplementasikan hak asasi manusia dalam segala lini kehidupan bernegara dan tidak hanya sebatas pengakuan dalam konstitusi sehingga cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang disusun oleh founding fathers kita dapat tercapai dan bisa dirasakan oleh segenap warga negara Indonesia. Penegakan hak asasi manusia harus tercermin dari segala lini, baik itu di pemerintahan atau masyarakat. Pertama, dalam pemerintahan penegakan hak asasi manusia paling tidak yang menjadi cerminan adalah perlindungan dan pemenuhan penegakan hukum yang tidak boleh membeda-bedakan warga negara di depan hukum, serta beberapa kebijakan yang diambil oleh penyelenggara negara yang berwenang tidak boleh melanggar hak warga negara. Kedua, penegakan hak asasi manusia dalam masyarakat implementasinya adalah penghormatan terhadap sesama warga negara.

 

By : Mahrus Ali

Student at Faculty of Law UII & Staff of Forum Kajian dan Penulisan Hukum (FKPH) FH UII

Since the World Health Organization (WHO) announced its pandemic status on 11 March 2020, Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) has become a major challenge that must be addressed and resolved by all countries in the world. The rapid spread and distributed of this virus has led to the death of a large number of infected victims. On the other hand, the impact caused by Covid-19 is like a domino effect that not only attacks one sector but almost all sectors related to the needs of humanity around the world.

Responding to the situation, the Base for International Law and ASEAN Legal Studies (BILALS) in collaboration with Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia (UII) held an online seminar on “New Global Governance System Post-Covid-19 Pandemic” on Thursday, 14 May 2020. The seminar also invited speakers from different countries, including Dr. Da Lu (China), Cristopher Cason JD (United States), Dodik Setiawan Nur Heriyanto S.H., M.H., LL.M., Ph.D., Gemilang Nur Mahardika S.H., LL.M., and Yaries Mahardika Putro S.H. (Indonesia). The seminar, moderated by Haekal Al Asyari S.H, opened with remarks made by Dodik, as Director of BILALS. In his remarks, he said, “These conditions should not prevent us from continuing to learn and spreading benefits the community, and hopefully this seminar can bring new knowledge and experience to the wider community,” Dodik said.

As the first speaker, Dr. Da Lu presented the theme of the presentation in the form of “Chinese Perspective: Timeline of the Pandemic and WHO Communication during Post-Covid-19.” In his presentation, he explained the development of Covid-19 in China, particularly in Wuhan, where he lived. ‘Beginning on January 23, 2020, Wuhan officially adopted a lock-down policy for its citizens. This policy was adopted to break the chain of distribution of Covid-19 in Wuhan. However, the implementation of this policy has an impact on the cessation of the economic wheels in Wuhan during the lock-down period and also, from the point of view of the Constitutional, the implementation of the state of emergency is often a half-way point”.

With the spread of Covid-19 to all countries around the world, not a few countries around the world are trying to hold China liable for this situation. Such as the United States, a few time ago, the United States openly asked for compensation for the losses suffered as a result of the Covid-19 outbreak in the country. However, it is undeniably true that this stance is more politicized than the legal facts that arise. “The stance of the U.S. government is nothing more than a political stance, and if the law is examined, the evidence will not be found,” said Christopher Cason.

In addition, on the international trade issue, Covid-19 has an impact on international trade transactions and global investment. Restrictions and even the closure of the territory of a country have almost stopped the transaction process in these two sectors. Therefore, in order to overcome this, Gemilang suggested that “it is very necessary to take a firm stance in a situation like this. There are only two options available in this situation, that is, to keep implementing the international trade law regime with all its limitations or to create a new legal regime in the field of international trade in order to adapt to current conditions”.

 

As a next speaker, Yaries stated that “With the large number of infected and dead victims caused by the Covid-19 in Europe, the EU Government agreed to disburse large funds in order to prevent this case. The funds are allocated, among others, to the needs of medical equipment, support funds to Member States, funding of vaccine research and other activities to break the chain of spread of this virus in Europe, “said Yaries.

As a closing presentation, the Director of BILALS presented a presentation entitled “WHO Governance during Post-Covid-19.” He explained that “A health policy reform is needed at both the international and national levels from all aspects affected by Covid-19. Policy reforms include the imposition of sanctions, punishment and rewards for each party in order to improve compliance with the policy, increase collaboration and cooperation to prevent incidents such as this, and increase the transparency of information provided by the WHO to all its Member States so that the country’s alertness process in dealing with the similar cases may be as high as possible.’

A total of 453 registered participants came from different regions of Indonesia and abroad with different professional backgrounds, such as students, lecturers, academics, civil servants, judges, notaries and lawyers.