Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Apakah demokrasi dalam hidup bernegara merupakan sistem yang baik? Jawabannya pasti tidak. Demokrasi hanyalah sistem yang paling sedikit kelemahannya jika dibandingkan dengan sistem-sistem lain yang semuanya memuat unsur jelek. Sejak zaman Yunani kuno Plato sudah mengingatkan, demokrasi berpotensi menimbulkan massa liar dan beringas. Demokrasi juga terlalu berisiko memperjudikan nasib negara karena memberikan hak kepada rakyat yang pada umumnya awam untuk menentukan arah dan kepemimpinan negara. Di dalam masyarakat yang kurang terdidik yang muncul bisa-bisa demokrasi jual beli, transaksional, bahkan demokrasi kriminal.

Aristoteles, yang juga murid Plato, mengingatkan bahwa di Jalam demokrasi banyak demagog, agitator ahli pidato, dan jago membuat janji tetapi tidak pernah bisa memenuhinya. Banyak politikus demagog di dalam demokrasi yang tidak bisa memenuhi janjinya baik karena dia tidak tahu atas kompleksitasapayang dijanjikannya maupun karena sejak awal niatnya memang membohongi. Demokrasi, dalam faktanya, juga sering dijadikan mekanisme kolusi untuk berkorupsi. Artinya, korupsi bisa dibangun melalui mekanisme demokrasi oleh pejabat-pejabat yang dipilih melalui mekanisme “formal” demokrasi juga.

Tetapi, demokrasi tetaplah merupakan pilihan terbaik dari alternatif alternatif sistem lain yang juga berpotensi melahirkan praktik-praktik buruk. De mokrasi tetaplah yang terbaik jika dibandingkan dengan oto krasi, oligarki, tirani, monarki, bahkan dengan aristokrasi sekali pun. Para pendiri negara kita, Indonesia, paham benar kekuatan dan kelemahan berbagai sistem itu. Selain soal dasar ideologi negara para pendiri juga sudah memperdebatkan apakah Indonesia akan dibangun berdasar sistem kerajaan atau republik, berdasar monarki atau demokrasi.

Sampai-sampai pilihan atas bentuk pemerintahan republik dan demokrasi dilakukan mela lui voting di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Se telah perdebatan serupadasten (voting) di BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 disepakatilah Indonesia didirikan sebagai negara de ngan bentuk pemerintahan republik yang kemudian disebut Negara Republik Indonesia. Selain memilih negara republik se bagaibentuk pemerintahan, para pendiri negara juga memilih bentuk kesatuan sebagaibentuk negara. Jadilah negara kitasebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pilihan atas demokrasi dengan bentuk pemerintahanrepublik dan bentuk negara kesatuan, dengan demikian, merupakan kesepakatan para pendiri negara yang juga adalah pemimpin bangsa yang kemudian dituangkan di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Begawan konstitusi KC Whe are, penulis buku the Modern Constitutions, memang mendalilkan bahwa konstitusi adalah resultante alias kesepakatan para pembentuknya sesuai dengan situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya pada saat dibuat.

Tetapi, pilihan kita atas demokrasi bukan tidak menghadapi problem serius dalam menjaga kelangsungan negara. Demokrasi ada kalanya mengancam integrasi, prinsip lain yang tak kalah penting dalam bernegara. Integrasi dan demokrasi sama pentingnya bagi kelangsungan negara. Negara dibangun agar terjadi integrasi (ke bersatuan) yang kokoh, demokrasi dibangun guna memberi peluang bagisetiap individu dan kelompok primordial sekali pun untuk menyatakan aspirasinya dalam penyelenggaraan negara.

Dilema antara demokrasi dan integrasi terjadi karena keduanya mempunyai watak yang berlawanan. Demokrasi ingin membebaskan, sedangkan inte grasi ingin mengekang Dilema itu pernah ditulis oleh Clifford Geerta dalam topik the Integrative Revolution, Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States (1971). Kegagalan inengelola keseimbangan antara demokrasi danintegrasibisamenimbulkan disintegrasi, bahkan kehancuran. Pakistan memecahkan diri dari India pada tahun 1947, padahal sebelumnya merupakan kesatuan Hindustan di bawah Britania Raya, karena sentimen agama. India didominasi Hindu, sedangkan Pakistan didominasi Islam.

Selanjutnya Bangladesh me misahkan diri dari Pakistan pada 1971 karena perbedaan primordial kedaerahan, bahasa, dan warna kulit. Orangorang Palcistan tinggal di wilayah barat, berbahasa Urdu, dan berkulit terang sedangkan orang-orang Bangladesh ting. gal di daerah timur, berbahasa Bengali, dan berkulitagakgelap. Kita bersyukur, sampai saat ini Indonesia masih dapat menjaga integrasi dengan sistem demokrasi yang beberapa kali mengalamni uji perubahan.

Meskipun begitu, problem tentang dilemaantara demokrasi dan integrasi bukannya tidak ada di Indonesia. Kasus yang sekarang ramai, sangkaan makar terhadap 12 orang yang antara lain, memunculkan nama tersangka Rachmawati dan Sri Bintang Pamungkas, pada dasarnya merupakan dilema antara membangun demokrasi dan menjaga integrasi. Pada satu pihak para tersangka merasa menggunakan hak-hak politiknya dengan mekanisme demokrasi sesuai dengan jaminan konstitusi.

Di pihak lain, aparat hukum negara melihat penggunaan hak-hak tersebut mengancam integrasi karena disangka, berbaumakar. Disinilah dilemanya, terasa ada perbenturan kepentingan antara membangun de mokrasi dan menjaga integrasi. Maka itu, diperlukan sikap kenegarawanan dari semua pihak, baik yang ingin menggunakan jalur demokrasi maupun yang ingin menjaga integrasi. Integrasi harus dijaga sebagai harga mati, demokrasi harus dibangun sebagai mekanisme pe menuhan ketentuan konstitusi.

Demokrasi dan integrasi harus berjalan harmonis karena keduanya merupakan jiwa konstitusi. Demokrasi tidak boleh liar, integrasi tidak dapat sewenang-wenang. Semua harus bekerja di dalamn koridor konstitusi. Konstitusi kita menentukan, Indonesia bukan negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) semata, tetapi negara nomokrasi (berkedaulatan hukum)juga. Sikap kenegarawananlah yang bisa menyuburkan keduanya.

This article have been published in SINDO newspaper, 14 January 2017.

Kotabaru (21/01/2017) Cashew nut or “mete” is a food product that has a very potential market in the world, based on record the cashew rotation is around 88,000 tons per year. Indonesia as one of the cashew producers has a big contribution to distribute of cashew, in 1997 Indonesia was able to produce 29,666 tons of cashew logs worth USD 19,151,503. The real unique name of the cashew nut as the forerunner of the cashew is that it can only bear good fruit on barren plains. However, this is the hidden wisdom behind the aridity of some dry areas such as West Nusa Tenggara, Central Sulawesi, Wonogiri and Gunung Kidul, Special Region of Yogyakarta (DIY).

In DIY, cashew is one of the commodities produced and cultivated by several areas in Gunung Sewu consisting of; Gunung Kidul and Wonogiri. Gunung Sewu. Cashew has its own characteristics and speciallity, which consist of physical characteristic with a smooth glossy white color and a hard texture, a crunchy, sweet and savory taste, as well as a distinctive chemical content because it has a causal relationship between the geographical environment and human treatment. Thus, it is fitting that the Gunung Sewu Cashew should receive protection from the aspect of Intellectual Property Rights in the form of Geographical Indications (GI)

1st Illustration area of Mete Gunung Sewu

On the basis of this potential, several community formed the Gunung Sewu Cashew Geographical Indication Protection Society (Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis /MPIG) which is now chaired by Sudarto. The establishment of the institution began in 2014 and was facilitated by the Gunung Kidul Forestry and Plantation Service, the DIY Plantation Service and the Wonogiri Regency Plantation Service with the purpose to obtain the geographic indication protection for the “Mete Gunung Sewu”.

The IPR Center Faculty of Law UII has been asked by MPIG Mete Gunung Sewu to prepare everything related to the requirements for GI registration and carry out monitoring activities for the registration of GI at the Directorate General of Intellectual Property Rights, this certification is expected so that legal rules can guarantee and protect the rights of the people of Gunung Sewu. Moreover, Mete Gunung Sewu is one of the cashew suppliers from Indonesia which has a large market in the international cashew trade.

According to Budi Agus Riswandi, as consultant of IPR registered and also as the Executive Director of the IPR FH UII Center, the application for registration of the geographical indication of the Mete Gunung Sewu is carried out through the preparation, registration and monitoring stages of the registration process, and issuance of certificates. According to him, currently the registration of the Gunung Sewu cashew is entering the registration stage. According to the Forestry and Plantation Service, Ibu Budi, it is hoped that in 2017 the registration process for the geographical indication of the Gunung Sewu cashew can be completed immediately.

2nd illustration Logo Georapical Indication of Mete Gunung Sewu

In the end, by accompaniment in the registration geographical indication of the Mete Gunung Sewu, the IPR Center FH UII was able to provide assistance for the geographical indication of seven superior products. Cashew Gunung Sewu is the seventh product that is assisted for registration of geographical indications (Dio)

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Suatu hari menteri hukum dan HAM mendapat tele U pon dari seseorang yang memberi tahu di Bandara Soekarno-Hatta ada 21 orang asing yang sedang diinterogasi karena dicurigai masuk secara ilegal. Sang menteri segera meluncur ke imigrasibandarauntuk memeriksa sendiri. Kesimpulannya, “Merekaharus dipulangkan, saat itu juga”. Perintah diberikan, pelaksana di lapangan menyatakan, “Siap, laksanakan”.

Beberapa hari kemudiansang menteri mendapat telepon lagi. diberitahu, di sebuah rumah di Jakarta telah digerebek beberapa orang asing yang menjadi pekerja seks komersial (PSK). Sang menkum-HAM pun me luncur ke tempat itu untuk memastikan apa yang terjadi dan bagaimana masalah keimigrasiannya. Setiba di lokasi sang menkum-HAM kaget.

Orang-orang yang digerebek sebagai PSK itu adalah orangorang yang sama dengan orangorang yang beberapa hari sebelumnya dipergoki di Bandara Soekarno-Hatta dan sudah diperintahkan agar dipulangkan hari itu juga. Jadi, meskipun aparat di bawahnya menyata kan “siap, melaksanakan” untuk memulangkan orang-orang asing itu, ternyata rombongan pendatang haram itu tetap masuk ke jantung Ibu Kota.

Mereka bisa dengan leluasa menjadi tenaga kerja secara ilegal. Tlegal karena tidak ada izin kerjanya dan ilegal juga jenis pekerjaannya sebagai PSK Mungkin Anda penasaran, siapa gerangan menkum-HAM tersebut?Yang jelas menkum-HAM tersebut bukan menkum-HAM yangsekarang. Pak Yasona Laoly, tetapi seorang menkum-HAM yang menjabat belasan tahun sebelum 2004. Tidaklah terlalupenting untuk tahu menkum HAM yang mana itu.

Yang penting diketahui, sebenarnya urusan tenaga kerja asing (TKA) ilegal itu kalau dari sudut hukum itu sangat simpel, mudah diselesaikan, yaitu dipulangkan dengan paksa atau dideportasi. Dan, kalau pemerintah melakukan itu, tidak akan terlibat konflik dengan negara lain karena setiap negara berwenang untuk memulangkan paksa TKA ilegal. Negara asal TKA ilegal itu tidak akan bisa mempersoalkannya secara hukum. Masalahnya hukumnya mudah, tapi penegakannya di birokrasi sering koruptif.

Harus diyakini pula, kalau berbicara tenaga kerja ilegal, tenaga kerja Indonesia (TKT) di luar negeri diyakini jauh lebih banyak daripada TKA ilegal yang masuk ke Indonesia. Tak perlulah menyebut banyak negara, cukup kitacontohkandi duanegarasaja, TKlilegalsudah mencapai jutaan orang ketika pergi ke Malaysia beberapa waktu lalu saya diberitahu oleh otoritasresmi,adalebih dari 2,5 juta WNI di Malaysia dan sekitar 1,4 juta di antaranya ilegal. Kalau pergi ke Arab Saudi misalnya, kita pun menjaditahu bahwa ada ratusan ribu TKI ilegal di sana.

Kita tentu masih ingat pada awal 2000-an Pemerintah Malaysiayangdipimpin Mahathir Mohammad mengangkut tidak kurang dari 70.000 TKI dari Malaysia dan menurunkannya begitu saja di Nunukan, Kalimantan Utara karena mereka bekerja secara ilegal. Kalau pergi ke Arab Saudi, kita juga langsung tahu ada sebuah rumah tahanan Tarhil Sumaysyi, di Sijjin (di dekat Mekkah) yang menampung ribuan WNI yang akan di-. pulangkan secara paksa karena bekerja secara ilegal di sana.

Secara hukum Indonesia pun bisa melakukan langkah seperti yang dilakukan Malaysia dan Arab Saudi terhadap T’KA ilegalnya. Yakni, tangkap kemudian adili mereka dan atau pulangkan dengan paksa mereka karena pelanggaran hukum keimigrasian. Tetapi, problem kita dalam mengatasi persoalan initerletak di birokrasi kita yang korup.

Dalam banyak kasus, para TKA ilegal dan agen-agennya itu bekerja sama secara melanggar hukum dengan oknum-oknum di birokrasi kita. Caranya, bisa dengan pembiaranpasporpalsu, penyalahgunaan visa, penampungan secara gelap, pemberian izin tanpa wewenang, dan sebagainya. Contoh simpelnya, ya, pengalaman menkum-HAM kita yang saya ceritakan di atas. Diasudah memergokidanlang sung memerintahkan pents langan paksa, tapi ternyata TUA ilegal itu masih bisa masul de ngan leluasa ke rumah pesam pungan PSK.

Kalau tidak bekerja sama dengan oknun dibirolcrasi kita, haltersebut tidak mungkin bisa terjadi. Jadi, kalau urusan TKA ilegalitu, penyelesaiannya secara hukum dan prosedural mudah asalkan birokrasi kita ditata de ngan benar. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh pemerintahan Jokowi dan Saber Punglinya cukup membuktikan betapa virus korup sudah begitu parah menggerogoti linilini birokrasi kita. Pembenahan birokrasi secara cepat dan tegas, dengan demikian, menjadi salah satu kunci utama untuk mengatasi berbagai korupsi di negara kita, termasuk korupsi lolos dan amannya TRA ilegal di negara kita.

Dalam konteksTKA sebenarnya yang juga menjadi masalah penting adalah TKA yang legal atau dilegaikan melalui persetujuan resmi. Menurut berita yang belum dikonfirmasi secara resmi, banyak proyek yang sedang dilakukan di Indonesia sekarang ini yang bahan-bahan atau material dan pekerjapekerjanya dibawa dari negara yang berinvestasi di Indonesia. Mulai dari kayu, semen, paku, pekerja ahli, maupun pekerja kasar sampai pada tukang sapu, tukang angkat-angkat, dan angkut-angkut dibawa dari negara yang berinvestasi.

Pekerja-pekerja yang seperti itu bisa “dianggap” legal karena disetujui oleh dua pemerintah meskipun misalnya TKA yang bersangkutan tak memenuhi syarat harus bisa berbahasa Indonesia. Menurut hukum, kesepakatan yang dibuat secara sah mengikat sebagai UU bagi yang membuatnya. Sebab itu, pihak pengirim TKA legal ini merasa tidak melanggar hukum apapun karena dasarnya adalah kesepakatan antardua pemerintah. Masalah tersebutadalah soal kebijakan (policy), bukan soal hukum.

Pemerintah tentu dihadapkan pada dilema. Kalau kebijakan itu tidak ditempuh, investor yang cocok tidak akan masuk. Tetapi, kalau kebijakan itu ditempuh tenagakerjakitasendiri hanya menjadi penonton dan tak bisa ikut menikmati manfaat ekonomi dari proyek itu. Palingpaling, rakyat hanya bisa berharap daritrickle down effect atau tetesan yang kecil-kecil saja.

Soal TKA legal atau dilegalkan berdasar kebijakan dalam hubungandaganginibelumnada penjelasan resmi dari pemerintah, tetapi dalam pembicaraan dari mulut ke mulut atau di dunia media sosial sudah ramai dibicarakan dan ditunjukkan fakta-faktanya. Ada baiknyapemerintah menjelaskan masalah ini secara terbuka. Dan, oleh karena masalah ini lebih merupakan masalah politik (kebijakan) daripada masalah hukum, penyelesaiannya harus juga melalui jalur politik.

This article have been published in SINDO newspaper, 7 January 2017.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Sangkaan makar atas 11 aktivis (belakangan ditambah 1 orang lagi, yakni Hatta Taliwang yang dilakukan Polri tidak cukup dilihat dari kacamata hukum pidana, tetapi harus juga dilihat dari aspek konstitusi dan hukum tata negara . (HTN). Kita sangat kaget ketika pada 2 Desember 2016 pagi ada berita yang kemudian dikonfirmasi Polri bahwa Rachmawati, putri Bung Karno, dan 10 crang lainnya di amankan (ditangkap) karena diduga (dan kemudian disangka) melakukan makar.

Ini tidak main-main. Sebab jika dirunut dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) Pasal 104 dan seterusnya, ancaman hukuman bagi pemakar sangatlah berat. Ancamannya mulai dari hukuman mati, penjara seumur hidup, penjara 20 tahunan hingga penjara 15 tahun dan seterusnya. Pasal KUHP mana yang disangkakan mereka lakukan? Menurut Polri, mereka, kecuali Ahmad Dhani, disangka melanggar Pasal 107 dan Pasal 110 KUHP.

Sangkaannya sangat serius karena pelakunya diancam hukuman berat. Pasal 107 KUHP mengatur, siapa pun yang secara melawan hukum inelakukan makar dengan usaha menggulingkan pemerintah dipidana dengan pidana makar paling lama 15 tahun penjara, sedang kan pemimpin dan para pengatur makar diancam dengan pidana penjara seuinur hidup atau paling lama 20 tahun.

Jika dilihat dari peristiwa-peristiwayang mendahuluiserta keterangan Polri, tampaknya sulit dipercaya bahwa mereka telah melakukan maicar sebagaimana diatur di dalam Pasal 107 KUHP.

Sebab yang mereka lakukan sebelum itu adalah merencanakan datang ke Gedung MPR pada tanggal 2 Desember 2016 untuk meminta MPR melakukan Sidang Istimewa agar memberlakukan kembali UUD 1945 dan (mungkin) meminta MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Rencana yang dikemukakan secara resmi oleh Rachmawati dan yang menurut istri Sri Bintang Pamungkas, Ernalia, disampaikan secararesmi melalui surat itu tentu tidak bisa disebut makar. Mereka menyampaikan rencananya secara resmi, terbuka, dan tanpa melakukan kekerasan untuk memaksa. Karena langkah mereka itu tidak bisa dikategorikan makar dengan melanggar Pasal 107, pihak Polri melapisinya dengan sangkaan makar dengan menggunakan Pasal 110 KUHP.

Di dalam Pasal 110 disebutkan, antara lain, siapa pun yang melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan seper ti yang diatur Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 diancam karena melakukan makar seperti ketentuan pasal-pasaltersebut. Jadisangkaanyang dikenakan kepada mereka, sangatmungkin adalah sangkaan melakukan permufakatan untuk melakukan tindakan yang dilarang oleh Pasal 107 KUHP, yakni berusaha menggulingkan pemerintah.

Dengan demikian yang perlu ditunggu adalah bukti-bukti yang dimiliki Polri dalam mene tapkan sangkaan bahwa mereka telah melakukan permufakatan. Polri harus mempunyai bukti yang kuat bahwa mereka melakukan permufakatan untuk makar, bukan hanya bukti bahwa mereka pernah bertemu dan berdiskusi sambil makanmakan tentang kemungkinan meminta MPR bersidang agar mengganti lagi UUD dan atau untuk memberhentikan Presiden/Wapres.

Pertemuan-pertemuan sambil makan-makan untuk mengusulkan pemberhentian Presiden dan pemberlakuan UUD (misalnya usul kembali ke UUD 1945 yang asli) yang hendak disampaikan secara resmi dan tanpa kekerasan fisik tentulah bukan makar, melainkan makan. Kegiatan seperti itu adalah kegiatan legal yang dari sudut hukumntata negara merupakan penggunaan hak politik yang dilindungi sepenuhnya oleh konstitusi.

Pada awal-awal Reformasi 1998 kita sudah mencabut keberlakuan UU No 11/PNPS/ 1963 tentang Tindak Pidana. Subversi agar setiap orang memiliki kebebasan serta tidak takut membicarakan dan menyampaikan aspirasi politik dan penilaiannyatentangjalannya pemerintahan. Melalui perubahan UUD kita juga sudah memasukkan perincian hakhak asasi manusia (HAM) sebagaimana diatur oleh berbagai konvensiinternasional

Pasal 28 UUD 1945 ditambah dengan 10 pasal baru (Pasal 28A sampai dengan 28J) guna menegaskan jaminan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Upaya menyampaikan aspirasi politik ke MPR sulit dianggap makar karenada lam hukumtata negara yang sekarang berlaku MPR tidak bisa mengubah UUD atau memberhentikan Presiden/Waprestanpa melalui lembaga lain dengan prosedur yang sangat ketat.

Untuk mengubah UUD,misalnya, harus melibatkan DPR dan DPD dan untuk memberhentikan Presiden harus melis batkan DPR dan Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme impeachment. MPR tidak bisa melanggar syarat dan mekanismeitu, misalnya, hanya karena didatangi oleh Rachma ti dkk. Kalau MPR melangga justru MPR-lah yang melakukan makar.

Rencana kehadiran Rahmawati dkk ke Gedung 1 bisa diartikan sebagai – menyampaikan aspirasi ke MPR untuk memprosesp gantian pemerintah mau UUD sesuai dengan prose yang berlaku secara konst sional. Pembicaraan pemt raan yang mendahului itu, leh jadi, bukan permufaka untuk makar, melainkan sepakatan sambil makan.

Ada baiknya kita coba lami penjelasan Kapolri 1 Karnavian di Gedung DPRa pekan ini. Kapolri menga kan, penangkapan atas Ra mawati dkk dilakukan unt tidak mengambil risiko sek apa pun saat ada Aksi Suj damai2 Desember 2016 (2 Mereka ditangkap agar tak celah untuk memprovo! massa sehingga terjadi ke suhan, misalnya mendud Gedung MPR.

Tindakan Polri mengam kan mereka agar tidak memp vokasi Demo 212 bisa diben kandarisudut kemanfaatan! kum. Tapi kalau memang maksudnya, sebenarnya ma Lahnya sudah selesai dan mere bisa dilepaskan dari bidikan dana makar. Toh mereka tid bisa memprovokasi dan Der 212 sudah berlangsung deng benar-benar superdamai.

Dari semua itu, tentu ki harus menjaga negara ini sesu dengan konstitusi dan huku Kalau hanya ada sekumpuls orang menyatukan aspira sambil makan ya tidak bolehd perlakukan sebagai pelaku m. kar. Masak orang makan d anggap makar? Tapi kalau mnt mang ada bukti permufakata untuk makar, siapa pun haru ditindak tegas tanpa pandan bulu. Mereka harus dijatut sanksi tegas sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

This article have been published in SINDO newspaper, 10 December 2016.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Bertempat di Hotel Santika Premiere, Surabaya, pada Selasa, 22 November 2016, saya berdiskusi dengan teman saya, Hafandi, tentang (waktu itu masih rencana Demo 212. Teman saya sejak kecil ini mengatakan akan hadir dalam Demo 212 sebagai panggilan hati seorang muslim. Katanya, dia dan beberapa temannya sudah membeli tiket pesawat untuk bergabung dengan Demo 212.

Waktu itu saya menyarankan ia agar tidak ikut karena demo itu sudah tidak relevan lagi. Tujuan Demo 411 yang meminta Ahok diproses hukum sudah dicapai, Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka, Tidak ada lagi tuntutan baru yang bisa diajukan karena perkara sudah berjalan. Saya juga bilarig, Demo 212 sedang digembosi, dituduh ada yang menumpangi untuk makar sehingga tidak akan sebesar Demo411.

Di daerah-daerah aparatmelarang warganya ikut demo ke Jakarta, perusahaan-perusahaan bus dilarang mengangkut peserta demo dengan ancaman izin trayeknya akan dicabut. Fatwa yang terburu-buru bahwa salat Jumat di jalanan tidak sah disebar di manamana. “Jadi tak usah ikut, kawan. Kita tidak usah ikutikutan emosi, mari selesaikan masalah ini sesuai dengan jalur yang tersedia dengan kepala dingin,” kata saya kepada Hafandi.

Tetapi gelora masyarakat untuk berdemo itu membesar, Semakin dilarang semakin banyak orang yang mendaftar. Beberapa kawan saya dari berbagai daerah menyatakan akan bergabung dan mengajak saya bertemu di Jakarta. Mereka menginformasikan, di daerahnya ada ribuan orang siap berangkat dengan biaya sendiri. Mereka siap membela kesucian kitabullah, Alquran.

Dari Ciamis ribuan umat. Islamlangsung berjalan kaki, long march, menyikapi berita adanya i larangan oleh aparat kepada perusahaan bus untuk mengangkut para peserta demo. Dari berbagai daerah dilaporkan bahwa tiket tiket pesawat, kereta api,dankapallautsudah ludes diboronguntuk ke Jakarta. Mobilmobil pribadi siap berkonvoi ke Jakarta. Seorang pemilik perusahaan bus berkata, “Bus-bus saya tetap akan mengangkut peserta demo, apalagi cuma diancam pencabutan izin trayek, dibakar pun tak apa-apa, demi perjuangan suci.”

Intelijen Polri rupanya bekerja dengan bagusketika segera menyimpulkan bahwa Demo 212 tak mungkin dihalangi. Itulah sebabnya pada 28 November 2016 pihak Polri berembuk dengan GNPF-MUI, MUI, FPI, dan lain-lain untuk akhirnya menyepakati Demo 212 boleh berlangsung dan Polri akan memfasilitasi serta memberikan pengamanan asal acaranya dimodifikasi menjadi doa superdamai. Tujuannya bukan unjuk rasa, melainkan doa untuk kebaikan Indonesia.

Sampai di titik kesepakatan dan sikap akomodatif dari Polri itu saya masih tak yakin Demo 212 akan menyamai Demo 411 sebab persetujuan aparat ke amanan baru diberikan tangg 29 November 2016, hanya dy setengah hari menjelanghari. Tetapi saya menjadi terkesiap dan (terus terang) terharu meLihat semangat kaum muslim yang berunjukrasa untuk membela kitab sucinya. Meskipun saya sendiri tidak ikut dalam demo itu, tetapi saya merasa sangathormat kepada mereka.

Pada Jumat dini hari kawan saya Hafandi yang tinggal di Surabaya itu mengirim pesan pendek. “Kawan, saya sudah di Jakarta, menunggu subuh di Masjid Istiqlal. Pukul 8.00 saya akan ke Monas. Kamu di mana? Ponsel saya pun penuh dengan pesan dari kawankawan yang sebenarnya tinggal di berbagai daerah, tapirupanya sudah ikut numplek di Jakarta.

Sudah dapat dipastikan peserta Demo 212 jauh lebih besar dari 411 karena pada konferensi pers 29 November Kapolri mengatakan bahwa lapangan Monas saja menampung 600.000 orang. Nah, ini membludak sampai ke Bundaran BI, Jalan Thamrin, dan sekitarnya. Yang mengharukan, Demoitu didukung oleh masyarakat, bukan hanya di Jakarta, tetapi juga di daerah-daerah. Banyak orang ikut menyumbang spontan untuk membekali para pendemo.

Menko Polhukam Wiranto menyaksikan sendiri banyak ibu-ibu yang mengirim ribuan bungkus nasi, kudapan, dan minum-minuman gratis di sepanjang perjalanan. Ini meng ingatkan kita pada sejarah gerilya Panglima Sudirman melawan penjajah Belanda, di sepanjang jalan yang dilalui selalu disuplai dengan logistik oleh inasyarakat. Juga meng ingatkan kita pada Reformasi 1998 yang mempersaksikan bahwa banyak warga, termasuk istri-istri pejabat, yang menyuplai logistik terhadap mahasiswa-mahasiswa yang berdemo di gedung MPR/DPR saat itu.

Sebenarnya, meskipun namanya dihaluskan menjadi doa superdamai, acara 212 itu tetaplah demo. Dan demo seperti itu dalam pandangan Islam yang lebih komprehensif dan dianut oleh pendukungpendukung demo, bukan hanya tidak bertentangan dengan prinsip ibadah, tetapi bisa menjadi bagian dari ibadah itu sendiri. Di dalam Islam ibadah dibedakanatas ibadah mahdhah (seperti salat, puasa, doa, zikir) dan ibadah muamalah atau ibadah sosial kemasyarakatan (seperti politik, pendidikan, Seni, dan sebagainya).

Para pengikut Demo 212 itu berpegangan pada dalil yang kuat bahwa beribadah mahdhah yang dikaitkan dengan ibadah muamalah sah, boleh, dan tidak dilarang. Menyampaikan aspirasi politik yang dikemas dan dibersamakan dengan ibadah mahdhah seperti doa bersama dan salat Junat di luar masjid dianggap sebagai ibadah yang sah dan berpahala dalam memperjuangkan aspirasi politik umat.

Kita tak bisa selalu berbohong dengan mengatakan bahwa peristiwa 212 hanya doa bersama dan bukan demo. Peristiwa 212 kemarin itu adalah demo, tepatnyaibadah Demo 212. Karenaitu, kita harus bersungguh-sungguh menangkap pesan dari ibadah demo itu, yakni berpolitiklah secara fair dan tegakkan hukum tanpa pandang bulu agar tidak menimbulkan huru-hura.

Petuah Mantan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi perlu digarisbawahi ketilamengatakan ada tiga hal yang sangat menyentuh sensitivitas dan emosi umat Islam, kapan pun dan di mana pun: keagungan Allah SWT, ke muliaan Nabi Muhammad SAW, dan kesucian Alquran. Mari kita rawatnegara tercinta, Indonesia, ini dengan penuh kejujuran dan kearifan.

This article have been published in SINDO newspaper, 3 December 2016.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Judul tulisan di atas timbul dari dan sengaja saya kaitkan dengan masalah penegakan hukum dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok yang kini menjadi tersangka dalam tindak pidana penistaanagama. Seperti diketahui, pada saat ini sedang bergemuruh suara dan gerakan agar, setelah dua pekan lalu dinyatakan sebagai tersangka, Ahok segera ditahan. Bahkan ada yang mengancam akan menggerakkan demo yang lebih besar daripada demo 4 November 2016 (411) jika Ahok tidak segera ditahan.

Upaya mengawal tegaknya hukum memang menjadi kewajiban kita untuk melakukannya, lebih-lebih jika karena suatuke adaan, misalnya karena permainan politik, hukum sulit ditegakkan. Tapi tetaplah harus diingat bahwa menegakkan hukum itu harus bersabar dan tidak boleh terburu-buru. Mene gakkan hukum harus sabar mengikuti prosesnya yang mungkin memerlukan waktu dan harus berhati-hati agar tidak salah dan menyebabkan terjadinya kezaliman. Ini berlaku bagi semua kasus, termasuk kasus Ahok yang kini sedang menyedot perhatian kita.

Jika dilihat dari perkembangannya sejak terjadi demo 411 itu, penanganan terhadap kasus Ahok sudah cukup cepat waktunya dan kinerja polisi sudah cukup proporsional. Ketika menerima pimpinan demo 411, pemerintah yang dipimpin Wapres jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Ahok akan diselesaikan dalam dua minggu oleh dan di kepolisian. Janji itu sudah ditepati, bahkan belum sampai dua minggusetelah itu Ahok sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Setelah menetapkan status Ahok sebagai tersangka, pada Jumat tanggal 25 November 2016 kemarin pihak kepolisian pun telah melimpahkan kasus tersebut ke kejaksaan agar segera bisa diajukan ke pengadilan. Terlepas daritekanan situasi yang mungkin ada, faktanya kita melihat bahwa pihak kepolisian sudah bekerja dengan cepat. Oleh sebab itu demo yang lebih besar daripada demo 411 tidak diperlukan lagi karena tidak ada relevansinya. Apalagi pihak kejaksaan telah menjanjikan, perkara Ahok akan dilimpahkan ke pengadilan dalam 14 hari ke depan.

Dalam berhukum kita harus bersabar mengikuti urut-urutan proses yang diatur oleh hukum itu sendiri, yakni hukum acara. Jangan sampai terjadi aparat penegak hukum menersangkakan dan menggiring seseorang ke pengadilan karena tekanan dari luar. Sebab kalau kita membiarkarapalagi mendorong cara itu, kita pun bisa menjadi korban dari cara-cara seperti itu. Kalau sekarang Anda mampu menggerakkan begitu banyak orang untuk menekan aparat agar menggelandang orang ke pengadilan, bukan tidak mungkin suatu saat ada orang yang mampu menggerakkan dan menekan aparat untuk menggelandang Anda ke pengadilan melalui apa yang biasa disebut kriminalisasi.

Itulah relevansi seruan kita harus bersabar dan berhati-hati dalam berhukum. Tapi aparat  penegak hukum pun tidak boleh bermain-main dalam tugas untuk menegakkan hukum. Mereka tidak boleh tunduk pada tekanan politik dari arah manapun dalam menegakkan hukum. Aparat penegak hukum harus cekatan dan profesional dalam menangani kasus. Aparat hukum ti dak bisa memanipulasi dalil “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tak bersalah untuk melindungi seseorang. Yang bersalah, meskipun hanya satu orang, harus dicaridan ditemukan.

Penegak hukum tidak boleh juga memanipulasi dalil agama yang menyatakan, “Janganlah kebencianmu kepada seseorang menyebabkan kamu berlaku tidak adil.” Sebab dalil itu pun bisa dibalik dengan metode mafhum mukhalafah sehingga berbunyi, “Janganlah kesukaanmu atau ketakutanmu terhadap tekanan seseorang menyebabkan kamu tidak berlaku adil.” Ini sangat penting ditekankan karena kenyataan kita dalam berhukum sering kali dihantui permainan hukum antara aparat, politisi, dan cukong.

Permainan hukum oleh aparat penegak hukum memang kerap kali terjadi di Indonesia. Buktinya, banyak penegak hukum, yakni hakim, jaksa, polisi, pengacara, bahkan pegawai administrasi pengadilan, yang digelandang ke pengadilan karena tertangkap memperjualbelikan kasus. Itu pun banyak yang meyakini bahwa tertangkapnya mereka hanya karena “apes”, sebab selain yang tertangkap itu masih banyak penjual dan pembeli kasus yang berkeliaran dan tidak atau belum tertangkap.

Dengan demikian, bersabar dalam menegakkan hukumbisa diartikan, minimal, dalam dua hal. Pertama, kita harus bersabar mengikuti urut-urutan penanganan sebuah kasus agar dilakukan secara berhati-hatidan tidak menimbulkan kezaliman bagi seseorang yang diduga telah melakukan kesalahan. Kedua, penegak hukum harus bersikap profesional dan berani menghadapi tekanan dari arah manapun, dari penguasa politik maupun pernilik uang suap.

Aparat tidak boleh ditekan oleh kekuatan politik dari atas dan oleh cukong-cukong penyuap dari samping. Aparat juga tidak boleh dipaksa-paksa oleh kekuatan massa yang mengepung untuk memaksakan kehendaknya.. Aparat harus berani menolak, kalau perlu melawan, tekanan-tekanan yang mendorong dirinya untuk berlaku tidak profesional dan tidak adil. Itulah wujud kesabaran yang harus ditunjukkan oleh aparat dalam menegakkan hukum.

Berhukum mencakup pembuatan aturan hukum dan penegakan aturan hukum itu sendiri. Maka itu para pembuat aturan hukumjuga harus bersabar dalam arti tekun dan berhati-hati serta tangguh menolak dan melawan tekanan, termasuk menolak suap yang akanmenyesatkannya dari tugas pembuatan aturanhukur yang benar dan baik.

This article have been publsihed in SINDO newspaper, 26 November 2016.

 

 

 

 

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Pada Minggu (4/12) Group Chairman & CEO L MNC Group Hary Tanoesoedibjo (HT) meluncurkan Yayasan Peduli Pesantren (YPP). Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang didapuk menjadi salah seorang Pembina YPP mengungkapkan alasan keikutsertaannya dalam yayasan ini. Berikut pertik-an wawancaranya kepada KORAN SINDO.

Betulkah Anda ikut menjadi pengurus YPP yang dipimpin Pak HT?

Ya betul, saya ikut dalam YPP. Saya menjadi salah seorang anggota Dewan Pembina. Saya banyak terlibat dalam yayasan-yayasan yang bergerak di bidang pendidikan seperti perguruan tinggi atau bidang dakwah seperti Yayasan Takmir Masjid dan berbagai yayasan untuk memberdayakan masyarakat.

Mengapa Anda bergabung dengan yayasan tersebut?

Itu pertanyaan banyak orang, terutama di Twitter, grup grup WA SMS, dan sebagainya. Saya bisa balik bertanya, mengapamemangnya kalau saya bergabung keYPP? Secarhukum, yayasan adalah lembagayang bergerak di bidang sosial dan bersifat rirlaba. Tidak mencari untung dan tidak digaji.

Bagaimana ceritanya Anda bisa bergabung?

Saya dihubungi dan dimintabergabung dalam sebuah yayasan yang bergerak untuk memajukan pondok pesantren. Saya tanya, siapa saja yang akan bergabung? Dijanta bahwa selain HT, juga ada Gus plah (KH Salahuddin Wahid), Hajriyanto JThohari, dan lain-lain. Oh, banyak orang-orang baik dan ikhlas, oke saya bergabung, tetapi tidak di eksekutifnya. Saya bagian yang menasihati saja.

Apa ada alasan yang lebih spesifik?

Ya, saya adalah lulusan pe santren. Pernah hidup beberapa tahun di pesantren dengan fasilitas yang sangat tidak memadai, bahkan terbelakang dalam banyak hal yang ada hanya semangat belajar agama dan meneguhkanjiwa keagamaan. Sampai sekarang masih banyak pesantren-pesantren yang seperti itu, padahal di sana banyak bibit unggulyang harus diangkat. Maka itu, saya bergabungke YPP.

Banyak yang mempertanyakan keikutsertaan Anda di YPP, ya?

Ya, ada sedikit. Di media, sosial ada saja yang nyinyir. Katanya, YPPhanya tunggangan politik. Ada juga yang mengatakan seharusnya mencari dana dari orangorang muslim saja. Menurut saya, tak ada keharusan mencari dana dari orang muslim saja untuk pesantren. Lagi pula, di antara kita ini banyak yang suka ngomong harus menggalang dana dari kalangan Islam sendiri, tapi giliran disuruh menyumbang atau mencari hanya bisa angkat tangan dan senyum-senyum tak jelas.

Kalau nanti benarbenar dijadikan tunggangan politik bagaimana?

Bagaimana caranya dijadikan tunggangan politik? Ini kan yayasan yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum kepada negara dan secara moral kepada rakyat. Lagi pula, politikus taupun parpol dengan caranya sendiri banyak juga yang membantu pesantren pada event politik masak yayasan tidak boleh? Pokoknya, YPP ini tujuannya baik, dananya legal dan halal, maka saya setuju diajak. Yang penting pesantren bisa tetap bebas memilah dan memilih sendiri mana yang akan didukung dari se kian banyak penyumbang. Sumbangannya diterima saja.

This article have been published in SINDO newspaper, 9 Desember 2016.

 

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Kolom saya, “Melihat Derita Koruptor”, yang dimuat di rubrik ini Sabtu (12-11-16) pekan lalu mendapat tanggapan beragam. Ada yang merespons melalui Twitter, ada yang melalui grup grup WA, dan ada yang mengirim SMS atau direct messages kepada saya. Pada umumnya, penanggap merasa ikut sedih melihat koruptor yang keluarganya berantakan.

Seperti yang saya tulis, koruptor itu hidupnya sangat menderita. Ada yang anaknya menghilang karena malu, istrinya hidup susah ke sana kemari tidak ada lagi yang menghormati. Ada yang anaknya dijauhi oleh teman-temannya dan tidak ada yang mau mengambilnya sebagai jodoh.

Ada yang harus menjadi wali nikah, tapi berangkat dari penjaradandikawalsehingga pernikahan menjadi mencekam, bukan hikmat.

Mantan mahasiswa saya, Iwan Wibisono, yang kini tinggal Melbourne, Australia menyatakan setuju dengan tengarai saya bahwa banyak pejabat yang buang badan dan menimpakan korupsi yang dilakukannya kepada anak buahnya. Na mun, Iwan menunjuk juga bahwa banyak pejabat yang pasang badan untuk mengelola pemerintahan dengan baik dan membuat kebijakan namun akhirnya dikriminalisasi dan masuk penjara. Soalnya, apakah membuat kebijakan itu bisa dikriminalisasikan?

Untuk masalah yang diajukan Iwan itu sebenarnya sudah pernah menjadi diskusi gemuruh di Indonesia, baik pada masa pemerintahan Pak SBY dulu maupun pada masa pemerintahan Pak Jokowi sekarang. Pemerintah menyerukan agar kebijakan yang dibuat oleh para pejabat tidak dikriminalisasikan agar para pejabat tidak takut membuat kebijakan. Saya sendiri sering mengatakan, secara hukum, sejak dulu memang kebijakan tidak boleh dikriminalisasikan.

Membuat kebijakan adalah bagian penting dari tugas-tugas pemerintahan. Jadi tidak perlu ada seruan, apalagi instrumen hukum baru, agar kebijakan tidak dikriminalisasikan. Sejak dulu pun sudah begitu hukumnya. Sampai kini, rasanya, belum ada kasus pembuat kebijakan dikriminalisasi. Semua pejabat yang dihukum memang dihukum karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi. Se baliknya yang bisa membuktikan bahwa yang dilakukannya adalah kebijakan,yatidakdiapaapakan. Clear, kalau soalitu.

Banyak juga penanggap yang membandingkan dengan fakta lain, misalnya, banyak koruptor yang tidak tampak menderita. Bahkan keponakan saya, Firman, mengatakan ada temannya yang baru keluar penjara karena korupsi sekarang menjadi pejabat lagi di satu kabupaten di Jawa Timur. Jadi, adakoruptoryang tidak menderita seperti yang saya gambarkan dalam tulisan Melihat Derita Koruptor” itu. Buktinya lagi, mereka masih bisa tersenyum-senyum sambil melambaikan tangan kepada para wartawan pada saat digelandang ke tempat tahanan ataudigiringke ruangsidang pengadilan.

Itupun adalah fakta yang tak terbantahkan. Banyak koruptor yang bertingkah, misalnya, masih marah-marah kepada wartawan seakan-akan dia masih pejabat. Ada juga yang, seperti kata beberapa penanggap, yang tertawa-tawa dan tiba-tiba berubah penampilan menjadi religius misalnya memakai baju koko atau berjilbab. Tetapi itu semua tidak mengurangi keyakinan saya bahwa di dalam batinnya para koruptor itu tetap sangat menderita. Mereka tahu bahwa harga diri mereka sudah tergeletak di comberan, mereka tahu bahwa anak dan istrinya sudah tersisih dari pergaulan normal masyarakat. Dapatlah dikatakan bahwasenyum merekaitu sebenarnya senyum iblis.

Kok disebut senyum iblis? Ya, karena menurut agama, sebenarnya, predikat koruptor itu sama dengan predikat iblis, yakni makhluk terlaknat. Di dalam kitab suci disebutkan bahwa iblis dilaknat karena tidak patuh pada perintah Tuhan dan di dalam Hadis Nabi ditegaskan bahwa Tuhan melaknat penerima suap dan pemberi suap alias koruptor. Jadi, koruptor itu statusnya sama belaka dengan iblis, kelompok makhluk terlaknat.

Sekelompok penanggap lain yang masuk melalui WA dan Twitter kepada saya mengatakan, tidak benarjuga kalaudikatakan koruptor itu menderita. Buktinya, banyak koruptor yang masih bisa bergembira di dan dari penjara. Bahkan, ada yang menyebut penjara itu menjadi kantor atau hotel me wah bagi para koruptor karena bisa mengatur sendiri tempat tidur dan tempat menerima tamulayaknya pejabatyang memimpin kantor.

Ada yang bisa berkeliaran dan dipergoki di tempat umum dengan full dress yang mewah. Tentangitusemua pun tidak dapat dibantah. Mantan Wakil Menkumham Denny Indrayana saat melakukan inspeksi mendadak pernah menemukan ruangan mewah yang di-setting seperti kantor dengan fasilitas elektronik yang canggih di sebuah lembaga pemasyarakatan. Ada home theatre segala.

Tempat itu ternyata menjadi semacam kantor seorang narapidana yang terbukti menyuap seorang jaksa dan keduanya sama-sama dipenjarakan. Melaluirubrikini pada tahun 2012, saya juga pernah menuliskesaksian sahabat saya (almarhum) Slamet Effendi Yusuf kepada saya. Ceritanya, suatu har: Slametmengontaktemannya yang sedang meringkuk di penjara karena korupsi. Slamet ingin menyambung silaturahim dengan temannya itu dan ingin menunjukkan bahwa rasa persahabatannya masih melekat.

Disepakatilah, sang napikoruptor itu akan menerima kunjungan Slamet pada Minggupukul 8.00 pagi. Pada waktu yang dijanjikan, Slamet datang ke lapas tersebut. Ternyata begitu tiba disana, melaluicallyangmasuk ke telepon genggamnya, Slamet diminta datar.g ke sebuah hotel mewah. Temannya yang statusnya dipenjarakan itu sudah menunggu untuk breakfast di hotel mewah tersebut.

Bayangkan, orang dijebloskan ke lapas ternyata masih bisa berkeliaran dan menjamu pembesuknya di hotel mewah. Jadi benarlah, para koruptor itu tak semuanya terlihat menderita, tetapi masih bisa berjalan-jalan dan tersenyum lebar. Tetapi bagi saya, senyuman mereka itu tak lebih dari senyuman iblis yang terkutuk. Bahkan, para pejabat dan pegawai yang memfasilitas koruptor dengan kemewahan dan berkeliaran bisa juga digolongkan iblis-iblis yang harus ditertibkan oleh pemerintah.

This article have been published in SINDO newspaper, 19 November 2016.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Begitu pintu kamar hotel tempat saya menginap saya buka, tamu saya itu langsung menubruk dan meme luk saya sambil menangis menggerung gerung. “Pak, saya mohon maaf Pak. Saya telah mempermalukan Bapak dan almamater kita. Tapi demi Allah, Pak, saya tidak korupsi sepeser pun. Saya menjadi korban karena jabatan dan atasan. Keluarga saya berantakan, Pak,” katanya sambil terus menangis hingga air matanya membasahi baju saya.

Tamu itu adalah teman kuliah saya yang saat sama-sama kuliah di Yogya (awal 1980-an) dulu biasa saling panggil nama atau”mas” saja dengan saya. Dia bekerja sebagai sekretaris daerah (sekda) di sebuah kantor pemerintah daerah dan baru memanggil bapak”kepada sayasejak saya menjadi pejabat negara. Saya tidak begitu suka dengan panggilan “bapak dari teman itu, tetapi saya tak bisa menghalanginya karena begitulah budaya birokrasi kita.

Orang yang bekerja di kantor-kantor pemerintah se lalu memanggil “bapak kepada pejabat yang lebih tinggi. Maka saya biarkan sajapanggilan “bapak itu kepada saya meski saya sudah tidak pejabat pegara lagi.

Dia meminta maat kepada saya, katanya, karena teman-temannya mengenaldirinyaseba gafteman saya sehingga dia merasa telah mempermalukan saya yang dikenal selalu menyerukan perang terhadap korupsi.

Dia juga meminta maaf kepada saya karena, katanya, telah mempermalukan almamater kami berdua, sedangkan saya adalah ketua umum ikatan keluarga alumni universitas kami tersebut. “Mohon maaf, Pak, mohon maaf saya telah mempermalukan Bapak dan almamater kita,” ucapnya lagi sambil menangis lebih histeris dan pelukannya semakin menguat ke tubuh saya.

Setelah saya beri segelas air putih dan tangisnya agak mereda, bertanyalah saya tentang apa yang sesungguhnya telah menimpanya. Dia bercerita diriaya dijatuhi hukuman karenta dinyatakan terbukti me lakukan tindak pidana korupsi, padahal dirinya tidak korupsi. Kasusnya, dia mengeluarkan dana bantuan sosial (bansos) kepada beberapa LSM yang dibawa pardanggota DPRD, tetapi banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena beberapa di antara LSM itu ternyata fiktif belaka.

Beberapa anggota DPRD yang membawa proposal LSM fiktif itu memang telah dijebloskan ke penjara sebagai pelaku korupsi, tetapi sekda itu merasa dizalimi karena dijatuhi hu kuman pidana juga. Saya mengatakan kepadanya bahwa dari sudut hukum dia memang bersalah karena mencairkan dana yang ternyata dikorupsi para penerima. Tapi di situlah dia merasa dizalimi. “Saya diperintah oleh atasan,” katanya.

“Mengapa tidak ditunjuk kan bukti di pengadilan bahwa Saudara hanya diperintah oleh atasan?” tanya saya, Berceritalah dia bahwa kepala daerah yang memerintahkannya tidak mau memberi disposisi ataupe rintah tertulis, Dia hanya memerintahkan agar proposal proposal dari LSM yang diajukan anggota-anggota DPRD itu diberi jatah bansos. Ketika diminta disposisi atau memo, si kepala daerah tidak mau, tapi malah mengatakan bahwa itu sudah disetujui bersama dengan DPRD. Sebagai bawahan dia tak bisa mengelakan untuk melaksanakan perintah itu. Tapi itulah akibatnya.

Karena tidak punya bukti perintah tertulis dari atasannya, dihukumlah sekda ini dengah dasar turut memperkaya orang lain dengan cara melanggar hur kum yangmerugikan kenangan negara. Bagi sang sekda, masalahnya memang dilematis. Kalau dia tidak mencairkan dana itu bisa dijepit oleh pimpinan eksekutif dan DPRD sehingga bisa terlempar dari posisinya. Disini, meski mungkin tidak setuju, kita maklum, mengapa ke mudian sekda tersebut mencairkan uang bansos yang sangat berisiko itu.

Kawan saya itu mendekam di penjara selama dua tahun dan tak lama setelah bebas diamenemui saya di hotel yang saya sebut di atas. Kehancuran hatinya tidak berbenti di situ. Anaknya yang tadinya dikenal sangat pandai, rajin salat dan mengajt, patuh kepada orang tua, menjadi teladan di sekolah ikut menjadi rusak. Saat ayahnya mulai disebut-sebut dimedia massa sebagai tersangka korupsi, sang anak sangat ter pukul, malu, dan frustrasi.

Anak itu mulai jarang pulang tanpa memberitahu, kemudian pernah sekali-sekali pulang te tapi tubuhnya sudah bertato dan tak hormat lagi kepada keluarga. Pada titik cerita ini dia menangis lagi dengan keras. “Keluarga saya hancur, Pak. Anak saya sampai sekarang tidak pulang, entah ke mana, ka tanya di sela-sela tangisnya. Saya sungguh terharu dan tak tahu apa yang harus saya sampaikan sebagai nasihat, sebab siapa pun tidak akan bisa menerima kenyataan itu tanpa menangis dan menyesali diri.

Saya memiliki seorang teman lain yang juga sekda di sebuah provinsi. Dla dihukum empat tahun penjara karena mengeluarkan dana bansos atas perintah atasan, padahal dana bansos atas perintah atasan, padahal dana-dana itu sudah ditarik kembali dan disetor ke kas daerah sesuai dengan perintah BPK. Dia tetap dipenjara dengan dasar, tindakan yang telah memenuhi unsur korupsi tetap dihukum meski uang riya dikembalikan. Dia terpuruk, harga dirinya runtuh, keluarganya menjadi berantakan.

Dulu, anggota DPR yang divonis karena kasus korupsi pengadaan Alquran menangis tersedu-sedu di sidang pengadilan karena cucu yang sangat disayanginya melihatnya dengan inalu dan terpukul, sedangkan keluarganya menjadi ikut ter bawa-bawa oleh sanksi sosial.

Ada dua hal yang patut dica tat di sini. Pertama, para korup tor dan orang yang dijatuhi hukuman hidupnya akan hancur berantakan. Diri dan keluarga nya menjadi seperti sampah di tengah-tengah masyarakat, Anak menjadi malu, bahkan mungkin akan sulit mendapat teman dan jodoh.

Seumpama mendapat jodoh pun sang ayah harus hadir  dipernikahan anaknya dengan berangkat dari penjara dan dikawal ketat sebagai narapidana. Kedua, siapa pun yang menjadi kepala daerah tidak boleh buang badan menyuruh mengeluarkan uang, tetapi jika menjadi kasus yang dikorbankan adalah bawahan yang melaksanakan perintahnya. Itu biadab.

This article have been published in SINDO newspaper, 12 November 2016.

Author: Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, S.H., S.U.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

 

Seperti diduga sebelumnya, apa pun isi putusan hakim atas kasus pembunuhan Mirna yang memicu kontroversi panas. Demikianlah, setelah Ketua Majelis Hakim Kisworo mengetukkan palu penghukuman penjara selama 20 tahun kepada Jessica pada pukul 17.00 WIB, Kamis kemarin, lusa kontroversi betul-betul memanas. Televisitelevisi besar menjadikannya sebagai berita “pro-kontra” sepanjang malam tanpa henti, sosial media ribut juga penuh kontroversi.

Sebagai mantan hakim yang pernah menangani banyak kasus, saya tahu persis dan sudah pernah menulis di harian ini bahwa tak ada putusan hakim yang bisa diterima oleh semua orang. Setiap hakim mengetukkan palu dan menjatuhkan vonis selalu saja ada yang mencelanya. Ya, sekurang-kurangnya orang yang dikalahkan dalam perkara itu atau orang yang tuntutannya tidak dikabulkan oleh pengadilan biasanya marah-marah kepada hakim.

Ada saja caci maki dan tudingan berlaku tidak adil terhadap hakim oleh orang-orang yang kalah atau mempunyai keterikatan emosional tertentu terhadap satu perkara atau oleh orang-orang yang tidak memahami persoalan secara utuh. Tetapi pada saat yang sama, banyak juga pujian-pujian yang dipersembahkan kepada hakim sebagai hakim yang adil dan benar-benar mewakili Tuhan oleh orang-orang yang menang dan terpuaskan oleh putusan hakim.

Oleh sebab itu, kita harus paham betul para hakim yang mengadilikasus perbunuhan Mirna Salihin sendiri menyadari bahwa posisinya akan dijepit secara keras oleh opini publik, apa pun yang diputuskan. Jika menjatuhkan hukuman kepada Jessica, tentu sudah dihitung akan menuai bermacam-macam tudingan seperti sekarang ini.

Sebaliknya, seandainya mereka memutus dengan membebaskan Jessica dari segala dakwaan, tentu juga akan dibanjiri hujatan yang tak kalah besar di samping tentu saja akan ada yang memujinya. Pokoknya kalau menjadi hakim jangan pernah berharap akan dipuji oleh semua orang, tetapijangan pula takut dicaci maki oleh banyak orang. Putus saja sesuai bisikan nurani dan sikap profesional dan penuh kejujuran. Kalau itu dilakukan, pastilah akan memberi kepuasan batin kepada hakimyang bersangkutan.

Yang penting bagi hakimitu bersikap prozesional, berusaha jujur, dan bersih dari pengaruh kasar maupun pengaruh halus. Dalam kasus pengadilan Jessica ini, saya mencatat secara umum hakimnya cukup leluasa untuk bersikap objektif. Perkara initidak terkait dengan urusan politik sehingga tak tampak ada te kanan politik dari manapun kepada para hakim. Perkara ini juga tak terkait dengan uang dan tak melibatkan bisnis besar sehingga tidak terdengar adanya kecurigaan telah terjadinya penyuapan atas kasus ini. Kontroversinya murni berkisar pada penafsiran atas fakta di persidangan yang pada akhirnyahalitu memang menjadiwe wenang hakim.

Rasanya dalam menangani kasus ini para hakim telah memutus sesuai dengan keyakinannya sendiri sesuai dengan rangkaian fakta hukumdipersidangan. Kesimpulan majelis hakim tidaklah berdasar pada satu fakta, tetapi didasarkan pada rangkaian fakta-fakta yang menuntun kepada keyakinan tertentu. Soal kita setuju atau tidak setujuatas keyakinan hakim itu, adalah lain soal. Se tuju atau tidak setuju itu lebih dipengaruhioleh informasi,posisi. atau ikatan emosional kita terhadap kasus itu.

Keluarga Darmawan Salihin dan jaksa penuntut umum tentu berbeda pandangan dan sikapnya dengan keluarga Jessica dan para pengacaranya yang dipimpin oleh Otto Hasibuan. Kita pun yang melihat dari luar bisa juga berbeda-beda dalam memandang kasus itu, bergantung pada persepsi dan informasi yang kita asup masing-masing.

Kita harus memaklumi jika Darmawan Salihin sering kali terlihat kalap dan kurang proporsional dalam mengekspresikan kemarahannya terhadap setiap kecenderungan yang ingin membebaskan Jessica. Kita harus maklum juga jika jaksa penuntut umum ngotot membuktikan kebe naran dakwaannya, sebab memang itulah tugas profesional jaksa jika berani membawa satu kasus ke pengadilan.

Sebaliknya kita tidak boleh marah kepada jessica jika dia berusaha melakukan semua upaya yang bisa dilakukan untuk membebaskan dirinya. Kita tak boleh gusar kepada Otto Hasibuan yang setiaphariselalupasang badan melawan arus kencang yang menyasar Jessica, se babmemang sepertiitulah sikap yang harus ditunjukkan oleh advokat. Itutakharusselaludikaitkan dengan bayaran seperti yang dikatakan oleh Darmawan bahwa pengacara membela Jessica mati-matian karena dibayar. Itu adalah bagian dari sikap profesional advokat.

Yang penting, sekarang kasus itu telah divonis melalui sidang yang terbuka dan bisa dicerna oleh akal sehat publik. Majelis hakim telah melakukan tugasnya sesuai hak dan kewenangannya hingga mencapai keyakinan tanpa diwarnai hal-hal yang kolutif dan mencurigakan. Kita boleh bersetuju atau tidak bersetuju de ngan keyakinan dan vonis hakim itu, tetapi putusan hakim sudah sah tanpa memerlukan persetujuan kita.

Jessica boleh marah dan tidak menerima bahkan menganggapputusan hakimitu tidak adil dan kejam sehingga melalui ketua tim pembelanya, Otto Pasibuan, langsung menyata kan naik banding. Itu adalah hak Jessica yang tak bisa dihalangi oleh siapapun. Jadi untuk pengadilan pertama, kasus pembunuhan Mirna Salihin ini sudah selesai tetapi kasus ini masih akan berlanjut ke babak berikutnya karena Jessica me nyatakan naik banding.

Mungkin setelah pengadilan tingkat banding pun, kasus ini masih akan berlanjut sebab Jessica maupun jaksa penuntut umum masih bisa melakukan perlawanan hukum ke tingkat kasasi di MA atas apa pun yang nanti diputus oleh pengadilan tingkat banding

Kita berharap agar para hakim tetap bersikap profesional menegakkan hukumdan keadilan. Mereka tidak boleh terpengaruh oleh masifikasi opini yang sangat mungkin akan terus digelombangkan oleh Otto Hasibuan maupunoleh Darmawan Salihin. Pastilah sulit menjadi hakim yang benar-benarjujur dan adil, tetapi cukuplah bagi setiap hakim “berusaha secara sungguh-sungguh untuk jujur dan adil.

This aerticle have been published in SINDO newspaper, 29 October 2016.