Tag Archive for: Departemen Hukum Administrasi Negara (HAN)

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecture in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

Pandemi covid-19 dan globalisasi mewarnai kondisi bangsa saat ini. Saat globalisasi dahsyat menjalar ke seluruh masyarakat dunia, pandemi hadir dan semakin mengobrak abrik kondisi masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Dampak dari pandemi yang terjadi bagi masyarakat Indonesia, khusunya pekerja di sektor swasta sangat besar, terutama bagi pekerja yang bekerja di perusahaan yang tidak mampu mempertahankan hingga harus melakukan pemutusan hubungan kerja dengan pekerjanya. Selain itu juga muncul berbagai permasalahan terkait disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, selanjutnya disebut UUCK, di mana salah satu ketentuan yang diatur di dalamnya ialah diperbolehkannya melakukan kesepakatan upah antara pemberi kerja dan pekerja.

Hukum Ketenagakerjaan lahir dalam posisi di antara hukum publik dan hukum privat. Hal ini terlihat dari hukum ketenagakerjaan yang di dalamnya memuat tentang hubungan kerja di mana hubungan tersebut didasarkan pada sebuah perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha. Relasi yang terjalin antara pengusaha dan pekerja tersebut merupakan relasi yang sifatnya privat, namun dalam relasi yang terjalin ini perlu diketahui bahwasanya ada ketimpangan kedudukan antara dua belah pihak yang terlibat dalam perjanjian kerja ini. Adanya ketimpangan tersebut perlu dinetralisir dengan hadirnya pemerintah dalam relasi privat yang terjalin. Kehadiran pemerintah ini menjadi salah satu bentuk proteksi bagi pekerja yang memiliki kedudukan yang lebih rentan dalam sebuah relasi kerja.

Seiring dengan permasalahan globalisasi dan pandemi covid-19 yang berdatangan, memunculkan berbagai macam regulasi baru yang menyesuaikan kondisi tersebut, dalam bidang ketenagakerjaan muncul permasalahan baru yang meresahkan pekerja terkait adanya sebuah “kesepakatan upah”. Mengapa sebuah kesepakatan upah menjadi sebuah masalah baru? Jika dikupas dari sudut pandang hukum ketenagakerjaan, upah adalah salah satu unsur yang disepakati dalam sebuah perjanjian kerja, selain pekerjaan dan perintah. Hal tersebut sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, atau yang dikenal dengan UUK.

Hanya saja yang perlu diingat bahwasanya, upah yang disepakati sebagaimana dimaksud dalam UUK bukan tanpa batasan dan bukan murni dari kehendak para pihak dalam hubungan kerja seperti layaknya perjanjian biasa. Dalam sebuah perjanjian kerja, upah adalah hal inti yang menjadi tujuan pekerja dalam bekerja, demi mencapai kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, terdapat pengaturan terkait upah minimum. Tujuan dari upah minimum ini ialah untuk memberikan batas bawah dari jumlah pemberian upah yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja, atau disebut sebagai jaring pengaman.

Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan mengatur tentang kesepakatan upah ini berlaku bagi pelaku usaha mikro kecil yang tidak lagi diwajibkan menerapkan upah minimum sebagai batasan pengupahan yaitu dengan batasan 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi dan nilai upah yang disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi. Lebih lanjut disebutkan data-data sebagaimana dimaksudkan di atas adalah data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik.

Lalu bagaimanakah pengukuran yang dapat dilakukan dengan gambaran yang diberikan pasal dalam PP Pengupahan terbaru tersebut? Hal tersebut masih menjadi tanda tanya besar. Pemerintah sebagai pihak yang dapat memberikan rasa aman bagi pekerja dalam menjalin sebuah hubungan kerja dengan pengusaha, hendaknya dalam hal ini perlu memberikan sebuah gambaran teknis yang tegas yang dapat dilaksanakan terkait dengan penerapan regulasi tersebut dalam wujud regulasi yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dan terdapat sanksi jika ada pelanggaran atas regulasi pengupahan tersebut. Jika sebuah aturan tentang upah tidak diimbangi dengan keberadaan sanksi maka akan membuka peluang terjadinya pelanggaran yang berakibat tidak terpenuhinya hak pekerja yang paling fundamental dan tentunya berpengaruh terhadap kesejahteraan pekerja dan keluarga yang ingin dicapai.

This article have been published in rubric Analisis KR, of Kedaulatan Rakyat newspaper, 08 October 2021.

 

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecture in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

PANDEMI yang tak kunjung usai memberikan dampak luar biasa bagi pekerja di Indonesia. Berbagai permasalahan muncul di masing-masing perusahaan tempat pekerja bekerja. Seperti penjatuhan PHK saat pekerja menjadi penyintas Covid-19, tidak dibayarkan upah saat mengalami serangan Covid-19, pemaksaan melakukan pekerjaan saat terjangkit Covid-19 hingga menyebabkan besarnya penularan di lingkungan kerja.

Bahkan tak terpenuhinya hak jaminan sosial bagi pekerja serta hak memperoleh keselamatan dan kesehatan kerja yang layak menyesuaikan kondisi pandemi yang terjadi saat ini. Ketika pekerja menjadi penyintas Covid-19 adalah suatu hak bagi pekerja tersebut untuk beristirahat dan menjadi kewajiban untuk melakukan isolasi guna mencegah penularan virus ini. Perlu diingat bahwasanya yang sedang dihadapi dunia bukan sekadar penyakit biasa, melainkan wabah. Wabah yang mudah menular dari satu orang ke orang yang lain. Sehingga perlu penyikapan khusus terkait dengan kondisi yang saat ini terjadi.

Hukum Ketenagakerjaan Indonesia mengenal sebuah asas no work, no pay yang bermakna jika pekerja tidak bekerja, maka tidak akan mendapatkan upah. Hal ini juga sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, pada Pasal 40 ayat (1). Pasal ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa tanggung jawab pada pekerja atas amanah pekerjaan yang dimilikinya di tempat kerja.

Ketentuan tersebut harus dipahami lebih lanjut sebagaimana yang telah disebutkan dalam pasal-pasal lanjutan tentang adanya pengecualian kondisi terkait pemberlakuan no work, no pay ini. Pada Pasal 40 ayat (2) dan (3) PP No 36 Tahun 2021 disebutkan bahwasanya pengecualian atas no work, no pay tersebut salah satunya dalam kondisi pekerja berhalangan melaksanakan pekerjaan karena sakit sehingga menyebabkan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan. Pengecualian tersebut bermakna, pekerja tetap memperoleh haknya berupa upah walaupun tidak melaksanakan pekerjaan karena kondisi sakit. Sehingga tidak dibenarkan adanya pemberlakuan no work, no pay dalam suatu tempat kerja bagi para pekerja yang menjadi penyintas Covid-19.

Pada kasus-kasus yang terjadi di lapangan terkait kondisi pekerja yang dipaksa tetap bekerja walau sedang terpapar Covid-19 yang dianggap tidak bergejala berat tidak dapat dibenarkan. Karena hal ini sama dengan melenggangkan persebaran virus dan tentunya merugikan banyak pihak termasuk perusahaan itu sendiri.

Pemenuhan alat keselamatan dan kesehatan kerja yang sesuai dengan kondisi pandemi saat ini juga menjadi hal yang sangat penting. Keselamatan yang bermakna kondisi lingkungan kerja yang tidak membahayakan pekerja dalam masa pandemi Covid-19, misalnya dengan memastikan dan menjamin tempat kerja memiliki sirkulasi udara yang baik sehingga dapat meminimalisasi penyebaran virus. Kemudian kondisi keselamatan pekerja dalam melaksanakan pekerjaan di masa pandemi ini dengan menyediakan alatalat yang mencegah penularan virus. Seperti masker, disinfectan spray, handsanitizer, pemberian multivitamin, dan sebagainya.

Regulasi telah mengatur sedemikian rupa tentang pengecualian ketentuan no work, no pay. Hanya saja ketentuan ini belum menjadi sempurna karena tidak ada ancaman sanksi administratif maupun pidana manakala tidak dipatuhi. Hal ini bukan menjadi alasan untuk tidak menegakkan ketentuan. Karena pada UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial mengatur mengenai upaya hukum yang dapat ditempuh, manakala terjadi sengketa hubungan industrial. Juga diatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa terkait dengan sengketa hubungan industrial yang terjadi di Indonesia. Termasuk sengketa hubungan industrial yang terjadi saat pandemi ini.

This article have been published in Analisis KR, 29 July 2021.

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

PEMBAHASAN omnibus law RUU Cipta Kerja kian mem anas di Indonesia. Bidang ketenagakerjaan yang menjadi salah satu pembahasan dalam RUU Cipta Kerja tentu tak lep as dari permasalahan. Pada klaster ketenagakerjaan terdapat degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia, mu atannya tidak lebih baik dari yang diatur dalam regulasi sebe lumnya yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK. Problematika tersebut antara lain mengenai Tenaga Kerja Asing (TKA), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), alih daya (outsourcing), upah, dan sebagainya.

Pemerintah berkeyakinan, pembentukan RUU Cipta Kerja dengan metode omnibus law ini mampu meningkatkan investasi di Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan perekonomian di Indonesia. Hanya, pemerintah tidak boleh melupakan bahwasanya regulasi di Indonesia disusun dengan mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila didalamnya yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische grondslag). Termasuk dalam bidang ketenagakerjaan Indonesia.

Hubungan Industrial Indonesia yang merupakan ruh ketenagakerjaan di Indonesia sejatinya berjalan berlandaskan Pancasila. Ada nilai-nilai Pancasila yang terkandung dan diimplementasikan dalam regulasi ketenagakerjaan Indonesia.

Sila pertama Pancasila diimplementasikan dalam UUK tentang larangan melakukan PHK ketika pekerja sedang melaksanakan kewajiban agama menurut agama dan keyakinan masing-masing. Sila kedua Pancasila, sebagaimana tergambar dalam UUK bahwasanya kedudukan pekerja laki-laki dan perempuan adalah sama. Tidak ada pembedaan hak bagi pekerja laki-laki dan perempuan. Sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia diimplementasikan dalam UUK pada norma larangan PHK bagi pekerja yang memiliki perbedaan suku dengan pemberi kerja.

Selanjutnya, sila keempat Pancasila menggambarkan bahwasanya pembentukan UUK dilakukan lembaga legislatif sebagai wakil rakyat dan mengakomodasi kepentingan pihakpihak dalam hubungan industrial, yaitu pemerintah, pemberi kerja dan pekerja. Jaminan sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh UUD 1945 merupakan perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial di Indonesia lahir dengan latar belakang untuk mampu menyelenggarakan jaminan sosial bagi seluruh akyat Indonesia tanpa terkecuali, termasuk pekerja.

Founding fathers mencitakan Pancasila sebagai penawar atas segala permasalahan bangsa. Namun hal ini tidak diimplementasikan dengan baik dalam omnibus law RUU Cipta Kerja. Dalam bidang ketenagakerjaan terdapat penurunan nilai kesejahteraan bagi pekerja. Hak bekerja bagi warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 mengalami penurunan dalam hal penghapusan jenis pekerja tetap menjadi pekerja kontrak untuk keseluruhan. Selain itu, alih daya bukan lagi untuk jenis pekerjaan noncore melainkan diperbolehkan untuk segala jenis pekerjaan.

Ketidakadilan akan terjadi manakala RUU Cipta Kerja disahkan yang memuat penghapusan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) menjadi Upah Minimum Provinsi (UMP) yang notabene besaran UMP lebih kecil dari UMK. Saat ini diberlakukannya UMK tidak menjamin pemberi kerja taat untuk melaksanakannya, lalu bagaimana jika ada penghapusan? Bagaimana bentuk keadilan bagi pekerja yang telah melaksanakan kewajibannya?

Degradasi nilai kesejahteraan bagi pekerja di Indonesia yang sangat terlihat jelas dalam RUU Cipta Kerja menggambarkan adanya pengesampingan nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang dicitakan founding fathers. Hubungan Industrial yang terjalin antara pemerintah, pemberi kerja dan pekerja sejatinya harus berjalan secara harmonis. Pemberi kerja dan pekerja dapat mengimpelmentasikannya dengan melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing dengan fair dan baik. Pemerintah dapat mewujudkannya dengan membuat kebijakan yang tidak berat sebelah. Menjadikan Pancasila sebagai pakem utama tanpa meninggalkan satu nilai apapun dari Pancasila. Menjaga bersama Pancasila, demi keutuhan bangsa.

This article have been published in Analisis KR, 3 October 2020.

Author: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration of Law

 

Kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada) tetap akan dilaksanakan tahun ini, di tengah wabah Covid-19. Persiapan penyelenggaraan pilkada yang digelar ini tidak lepas dari beberapa polemik. Salah satunya menyinggung netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN). Pasalnya, masih saja terdapat pelanggaran netralitas. Data yang dihimpun lembaga pengawas norma dan kode etik ASN, yaitu Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) mencatat setidaknya ada 456 ASN yang sudah dilaporkan melanggar netralitas hingga 31 Juli 2020 (KASN.go.id).

Salah satu permasalahan netralitas ini adalah banyaknya ASN yang mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Namun belum mengikuti prosedur yang sesuai peraturan perundang-undangan, misalnya belum mundur sebagai ASN. Tidak kalah penting adalah, pada tahun ini jumlah petahana cenderung meningkat dan mendominasi untuk menjadi bakal calon kepala daerah. Realita ini dapat memicu kekhawatiran, yaitu mobilisasi oleh petahana kepada ASN menjadi catatan penting.

Menteri Dalam Negeri telah mencatat banyaknya permintaan mutasi ASN. Terdapat 720 usulan mutasi yang ditolak hingga bulan September. Penolakan tersebut untuk menghindari adanya mutasi atas dasar kepentingan. Disamping itu, masih ditemukan banyaknya ASN yang melakukan kampanye. Lalu bagaimana persoalan terkait dengan pelanggaran netralitas ASN ini ditinjay dari perspektif hukum kepegawaian?

Pengaturan tentang netralitas ASN ini sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan. Dalam Pasal 2 huruf f dan penjelasannya di UU No. 5 Tahun 2014 dinyatakan tentang asas netralitas, bahwa setiap Pegawai ASN tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun. Terkait dengan pencalonan sebagai Kepala Daerah bagi ASN sebenarnya telah diatur dalam Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN. Di kedua pasal ini diaturn, pada intinya ASN harus mengundurkan diri secara tertulis sejak mendaftar sebagai calon.

Lalu, konsekuensi berat apabila tidak mengundurkan diri ini dapat dilihat pada di Pasal 346 ayat (4) Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 tentang Manajemen PNS. Apabila PNS tidak mengajukan diri sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberhentikan tidak dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan sejak PNS yang bersangkutan ditetapkan sebagai calon oleh lembaga yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.

Permasalahan kedua adalah mobilisasi petahana menjelang pilkada pada ASN. Pasal 71 ayat (2) UU No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota, menyatakan antara lain, Kepala Daerah tidak boleh melakukan penggatian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri. Kemudian ayat (3) pada intinya menyatakan Kepala Daerah dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpillih. Jika hal itu dilakukan oleh petahana, maka terdapat sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota.

Konsekuensi hukum dari pelanggaran netralitas PNS tersebut adalah hukuman disiplin sedang dan berat. Sesuai dengan Pasal 7 dalam peraturan pemerintah tersebut hukuman disiplin sedang dan ringan berupa penundaan gaji sampai dengan pemberhentian tidak denan hormat.

Penegakan hukum sangat diperlukan untuk mengatasi netralitas tersebut, yaitu dari segi pengawasan maupun pemberian sanksi. Baik dari KASN, Badan Pemilu (Bawaslu), Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Tidak terkecuali masyarakat harus terus dapat bersinergi untuk mengawal netralitas ASN.

This article have been published in Anaslisis KR rubric, Kedaulatan Rakyat newspaper, 30 September 2020.

Authir:  Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

INDONESIA — juga sekitar 200 negara lain — menghadapi ancaman global pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19). Bukan hanya dampak kesehatan, namun seluruh sektor termasuk perburuhan di Indonesia, terkena dampak. Kebijakan work from home ( WFH) tentu berpengaruh terhadap kondisi jalannya suatu usaha yang juga berdampak pada situasi perburuhan di lapangan. Bahkan kebijakan dan imbauan pemerintah untuk WFH dan social distancing juga tidak serta merta dapat dilaksanakan sepenuhnya. Pada jenis-jenis pekerjaan tertentu yang membutuhkan kontinuitas dalam proses produksinya.

Pandemi menyerang berbagai lini kehidupan. Di Indonesia, roda perekonomian semakin melambat, permintaan akan barang dan jasa di masyarakat tentu berkurang yang berimbas pada menurunnya faktor produksi. Permintaan yang menurun tentu mempengaruhi modal yang pasti angkanya mengalami penurunan secara signifikan. Tenaga kerja sebagai motor penggerak dalam proses produksi keberadaannya semakin lemah. Karena dampak dari pandemi bermuara pada ketidakmampuan pemberi kerja dalam membayar upah dalam kondisi pandemi.

Tanggal 17 Maret 2020 Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/3/HK.04/III/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dan Kelangsungan Usaha dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19. Pada intinya berisi pencegahan penyebaran dan penanganan Covid-19 di lingkungan kerja
serta pelindungan pengupahan bagi pekerja dalam kondisi pandemi. SE tersebut sejalan dengan Pasal 93 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) tepatnya Pasal 93. Bahwasanya pengusaha tetap diberi kewajiban membayar upah dalam hal pekerja sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan.
Namun dalam situasi yang berkembang saat ini, terjadi peningkatan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan secara sepihak oleh pengusaha karena ketidakmampuan membayar upah pekerja. Pekerja tidak dapat menuntut banyak karena situasi dan kondisi dalam ketidakjelasan kapan berakhir. Dampak dari PHK sepihak ini semakin meningkatkan jumlah pengangguran di Indonesia. Tak ghanya pada sektor formal, dampak pandemi ini sangat dirasakan pekerja informal yang notabene tidak memiliki hubungan dengan siapapun.

Tak kalah mirisnya kondisi pekerja informal yang semakin lesu dari hari ke hari sejak di berlakukannya WFH dan imbauan social distancing. Bagi pengemudi ojek, hanya satu dua orang atau bahkan sama sekali tidak ada penumpang. Bagi pemilik warung makan, hiruk-pikuk pembeli di warung makan sudah tidak ada lagi. Setiap harinya berusaha mengurangi porsi jualan yang berujung pada tutupnya warung makan, padahal di satu sisi uang kontrakan warung harus tetap dibayar. Penjual-penjual kecil yang menjajakan dagangannya di tempat wisata ternyata tidak ada lagi wisatawan yang menyambanginya. Sungguh pemandangan yang membuat trenyuh.

Relasi perburuhan Indonesia melibatkan pemerintah di dalamnya, terutama dalam kondisi pandemi seperti saat ini. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 disebutkan bahwasanya pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi segenap Bangsa Indonesia dan menjaminkan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Sejauh mana peran pemerintah dalam relasi perburuhan dalam situasi seperti sekarang ini? Menjadi tanda tanya besar melihat kondisi perburuhan di lapangan yang semakin tak menentu.

Saat ini yang dibutuhkan para pekerja di Indonesia adalah jaminan kesejahteraan berupa terpenuhinya kebutuhan sehari-hari, obat-obatan serta kemudahan memperoleh fasilitas kesehatan. Pascapandemi ini berakhir diharapkan akan ada jaminan bagi pekerja untuk mempertahankan pekerjaan serta memperoleh pekerjaan (kembali) guna keberlangsungan hidup pekerja dan keluarganya. Suatu harapan besar masyarakat Indonesia khususnya pekerja di Indonesia tentang langkah tegas pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini. Ada hak-hak pekerja yang perlu diperhatikan dan dilindungi pemerintah sebagai pemangku kewajiban perlindungan pekerja dalam relasi perburuhan di Indonesia.

This article have been published in Analisis KR, 4 April 2020.

Author: Ayunita Nur Rohanawati, S.H., M.H.
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

AWAL 2020 mencuat kabar adanya mogok kerja yang dilakukan pekerja PT AFI, produsen es krim. Aksi dilakukan karena beberapa hal. Di antaranya tahun 2019 ada tingkat keguguran dan kematian bayi sebanyak kurang lebih 20 kasus. Mencuatnya kembali kasus terkait tidak terpenuhinya alat-alat keselamatan dan kesehatan kerja di perusahaan. Serta terlalu ketatnya waktu kerja yang terbagi atas shift. Padahal, 2017 menjadi saksi bisu mogok kerja yang dilakukan perusahaan tersebut. Karena banyaknya jumlah pekerja yang mengalami kecelakaan kerja akibat tidak diberikannya alat-alat keselamatan kerja dalam bekerja.

Sebagaimana diatur Pasal 78 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan atau yang lebih dikenal dengan UUK, buruh yang sedang hamil dilarang untuk dipekerjakan pada shift malam. Hal ini berkaitan dengan kondisi kesehatan. Sebab perempuan hamil membutuhkan perhatian yang lebih terkait dengan kondisi kesehatannya. Ini terkait ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.

Regulasi Perburuhan

Wacana pemerintah untuk membuat regulasi dengan mekanisme omnibus law dengan salah satu RUU yang masuk adalah RUU Cipta Kerja, bertentangan dengan kondisi perburuhan Indonesia saat ini. Jika benar nantinya RUU Cipta Kerja ini disahkan, tak ada lagi tempat buruh menaikkan posisi tawarnya di depan pengusaha. Selain posisi pemerintah lemah pada regulasi ini, RUU Cipta Kerja menghapus sanksi pidana bagi pengusaha.

Jika pembiaran terhadap ketidakadilan ada di lapangan, apakah efektif sebuah regulasi disusun dengan posisi berat sebelah? Belum diberlakukan RUU tersebut, ternyata masih ada kondisi perburuhan yang masih jauh dari kata adil dan sejahtera. Bagaimana jika benar adanya RUU itu nantinya disahkan? Keseimbangan posisi antara buruh dan pengusaha dalam perjanjian kerja hanyalah semu belaka.

Sejatinya, buruh bekerja untuk memperoleh penghidupan yang layak demi menyejahterakan keluarganya. Hanya saja, praktik di lapangan dalam bekerja, tujuan buruh untuk mencapai kedua tujuan tersebut masih ada yang mengalami kesukaran. Dalam proses ini sangat diperlukan itikad baik dari pengusaha dalam memberi kerja serta kesadaran pengusaha akan tujuan Hubungan Industrial Indonesia yang sejalan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945 yaitu Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Perempuan Buruh

Bukan kali pertama di Indonesia permasalahan perempuan buruh terenggut haknya untuk hamil dan melahirkan secara damai. Angan-angan menimang anak seketika runtuh dengan berbagai kondisi kerja yang dialami sehingga harus mengikhlaskan kehilangan janin dan bayi. Perempuan memang tidak memiliki kedudukan utama sebagai pencari nafkah dalam keluarga, namun ada kondisi-kondisi yang mengharuskan perempuan mengambil peranan untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.

Dalam UUK ketentuan perlindungan bagi buruh perempuan yang melahirkan sudah tertera di sana dengan sangat jelas. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (1) UUK yang menyebutkan bahwasanya buruh perempuan memiliki hak istirahat melahirkan selama 3 bulan, kemudian berlanjut pada kewajiban pengusaha untuk mengikutsertakan pekerjanya pada jaminan sosial di mana berkaitan erat dengan cakupan biaya melahirkan. Selain itu berlanjut pada hak si jabang bayi berupa tunjangan anak yang juga menjadi komponen gaji yang berhak didapatkan buruh tersebut.

Kondisi itukah yang melatarbelakangi pengusaha memberikan beban kerja yang semakin berat pada buruh perempuan yang hamil sehingga mengakibatkan kematian janin dan bayi dalam kandungan, demi menghindari tumpukan kewajiban-kewajiban bagi pengusaha yang berdampak pada kondisi keuangan perusahaan? Bukankah Indonesia telah mengatur dengan indahnya dalam hitam di atas putihnya pada Pasal 28A UUD NRI 1945 tentang jaminan hak hidup warga negara?

This article have been published in Opini Rubric of Kedaulatan Rakyat Newspaper, 14 March 2020.

 

Author: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

RADIKALISME kini menjadi satu hal yang sangat disoroti di lingkungan Aparatur Sipil Negara (ASN), baik Pegawai Negeri Sipil (PNS) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). ASN yang berfungsi sebagai pelayan publik memiliki kewajiban untuk menjaga loyalitasnya kepada UUD 1945 dan ideologi Pancasila. Namun meningkatnya temuan terhadap kasus ASN yang melakukan penyimpangan terhadap UUD 1945 dan ideologi Pancasila ini ditindaklanjuti pemerintah untuk mengeluarkan keputusan bagi pencegahan bagi radikalisme tersebut. Disamping itu juga terdapat layanan online yang berupa portal pengaduan PNS yang terlibat radikalisme dan pembentukan satgas penanganan radikalisme ASN.

Pada bulan November tahun ini, terdapat 11 lembaga negara yang menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Penanganan Radikalisme bagi ASN. Jika ditilik isi dari SKB tersebut salah satu ketentuannya menyatakan bahwa, salah satu pelanggaran adalah apabila ASN menyampaikan pendapat baik lisan maupun tertulis dalam format teks, gambar, audio. atau video melalui medsos yang bermuatan ujaran kebencian terhadap Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila, dan Pemerintah. Sebenarnya pada Pasal 3 angka 3 dalam Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS menyatakan bahwa, Pegawai Negeri Sipil harus setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila. UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Pemerintah. Jadi dapat dikatakan apabila ASN melakukan ketentuan yang ada di dalam SKB tersebut ini berarti ASN melakukan pelanggaran disiplin.

Di Peraturan Pemerintah tersebut dinyatakan sanksi bagi ASN yang melanggar kewajiban tersebut adalah berupa disiplin ringan, sedang dan berat. Karenanya, sanisi berat bisa didapatkan ASN tersebut yaitu berupa pemberhentian baik dengan hormat maupun dengan tidak hormat. Namun, yang sebenarnya perlu diperhatikan bahwa perlu kehati-hatian dalam memutuskan ASN apakah telah melanggar ketentuan dalam SKB tersebut atau tidak. Misalnya, jika dikorelasikan dengan ketentuan pelanggaran karena ASN melakukan ujaran kebencian melalui medsos kepada pemerintah Ujaran Kebencian terhadap pemerintah ini dapat menimbulkan ambiguitas dan ketidakpastian Hukum kan tidak diatur secara restriktif dan rinc oleh pemerintah, seperti apa muatan yang mengandung ujaran kebencian kepada pemerintah. Terlebih aduan online yang diperbuat ASN.

Sebenarnya pengawasan secara preventif agar ASN tidak terpapar radikalisme lebih dapat dimaksimalkan Pemerintah, bahkan sejak masih menjadi calon ASN. Contohnya CASN melalui Pelatihan Prajabatan. Adapun di dalam Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017 dinyatakan bahwa, Pendidikan dan Pelatihan Terintegrasi yang selanjutnya disebut Pelatihan Prajabatan adalah proses pelatihan untuk membangun integri tas moral, kejujuran, semangat dan mativasi nasionalisme dan kebangsaan, karakter kepribadian yang unggul dan bertanggung jawab, dan memperkuat profesionalisme serta kompetensi bidang bagi calon PNS pada masa percobaan.

Selain itu, dalam pengangkatan dalam jabatan tertentu di lingkungan instansi pemerintah, seorang PNS harus memenuhi beberapa kompetensi tertentu yang terkait dengan wawasan kebangsaan Pasal 54 Peraturan Pemerintah No 11 Tahun 2017. jika seorang PNS akan diangkat dalam jabatan administrator, maka harus memiliki kompetens! soglal kultural sesuai standar kompeten sl yang dibuktikan berdasarkan hasil evaluasi oleh tim penilai kinerja PNS di instansinya.

Pasal 1 angka 15 disebutkan bahwa antara lain, Kompetensi Sosial Kultural diukur dari pengalaman kerja berkaitan dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku, dan budaya sehingga memiliki wawasan kebangsaan. Kompetensi Sosial Kultural adalah pengetahuan, keterampilan dan sikap/perilaku yang dapat diamati, diukur, dan dikembangkan terkait dengan pengalaman berinteraksi dengan masyarakat majemuk dalam hal agama, suku dan budaya, perilaku, wawasan kebangsaan etika, nilai-nilai, moral, emosi dan prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap pemegang jabatan untuk memperoleh hasil kerja sesuai dengan peran, fungsi dan jabatan.

Maka, keberadaan Salgas Antiradikalisme ASN jangan menjadi suatu yang sia-sia. Sebab sebenarnya sebelum dibentuk salgas tersebut, pemerintah dapat mengoptimalkan kinerja pengawas internal maupun Komisi Aparatur Spill Negara (KASN) sebagai pengawas ekstemal. Karenanya, Ini yang baik dari pemerintah untuk memberantas radikalisme pertu dukungan dari ber bagai pihak, terutama kesadaran ASN tersebut.

This article have been published in Anaslisis KR, Kedaulatan Rakyat Newspaper, 7 December 2019.

Author: Nurmalita Ayuningtyas Harahap, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Public Administration Law

 

REVISI Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah disahkan DPR, Selasa (17/9) lalu. Sebelumnya, rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut tidak sedikit menuai respons dari masyarakat, baik dalam bentuk kritik maupun dukungan Revisi dilakukan terhadap beberapa pasal-pasal di undang-undang tersebut, antara lain adalah menyangkut perubahan status Pegawai KPK Dimana Pegawai Tetap KPK dialihkan menjadi Pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN).

Jika merujuk pada Undang-undang No 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, maka ASN terdiri dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Pada draft rancangan perubahan Undang-undang No 30 Tahun 2002 tersebut nantinya diatur bahwa Pegawal Negeri yang dipekerjakan di KPK akan berstatus PNS. Sedangkan Pegawai tetap KPK yang bukan merupakan PNS akan dikategorikan sebagai PPPK

Jika telah beralih status, bagaimana independensi dari Pegawai KPK itu sendiri?

Ditinjau dari hukum kepegawalan, maka ASN merupakan Pegawai Negeri Pegawai Negeri mempunyai ciri khusus, yaitu Hubungan Dinas Publik (DHP) yaitu sifat monoloyalitas kepada Pemerintah. Dalam hubungan ini kemudian melekat hubungan subordinatie antara atasan bawahan (Ridwan dan Nurmalita: Hukum Kepegawaian: 2018) Jika ditilik dari ciri tersebut, otomatis Pegawai KPK yang menjàdi ASN tersebut akan tunduk dan patuh kepada pemerintah atau eksekutif atau yang dapat dikatakan mempunyai hubungan monoloyalitas dengan pemerintah.

Sedangkan di dalam UU No 5/2014 diatur apa yang dinamakan Manajemen ASN. Dalam pasal 52. dinyatakan bahwa Manajemen ASN terdiri dari Manajemen PNS dan Manajemen PPPK. Pada Pasal 55, manajemen PNS antara lain meliputi, pengadaan, mutasi, disiplin, pemberhentian. Begitu juga pada pasal 93, manajemen PPPK antara lain meliputi pengadaan, penilaian kinerja, disiplin dan pemutusan hubungan kerja. Jika nantinya Pegawai KPK berubah status menjadi ASN, maka manajemen sumber daya manusia, yang terdiri dari pengadaan hingga pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja menjadi kewenangan dari pemerintah atau eksekutif. Tidak lagi bersifat independen dari lembaga KPK itu sendiri.

Persoalan kemudian, pertama jika berbicara tentang pengadaan, maka selama ini sebenarnya terdapat Peraturan Pemerintah No 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia Komisi Pemberantasan Korupsi. Di pasal 7 ayat (2) Peraturan Pemerintah menyatakan bahwa, Pegawai Negeri yang telah diangkat menjadi Pegawai Tetap pada Komisi diberhentikan dengan hormat sebagai Pegawai Negeri. Hal ini juga dapat dikatakan agar independensi pegawai KPK tersebut tetap terjaga. Namun dengan peralihan status sebagai Pegawai Negeri, yang kemudian proses penentuan formasi dan rekrutmen akan diambil alih sepenuhnya pemerintah atau eksekutif bukan lagi kewenangan KPK secara penuh.

Kemudian yang kedua, terkait dengan mutasi. Penentuan perpindahan pegawai ini baik tempat maupun jabatannya akan menjadi kewenangan pemerintah atau eksekutif. Hal ini justru akan rentan dengan berbagai macam yang mempengaruhi mutasi tersebut. Ketiga, terkait dengan disiplin dan pemberhentian atau pemutusan hubungan kerja. Pegawai KPK akan tunduk kepada aturan disiplin ASN disamping nantinya masih terdapat aturan tentang disiplin KPK yaitu, Peraturan Komisi Pemberantasan Korupsi No. 10 Tahun 2016 tentang disiplin pegawai dan penasihat KPK, yang nantinya mesti diharmonisasikan dengan aturan disiplin ASN yang saat ini berlaku.

Dengan begitu pengenaan hukuman disiplin jika Pegawai KPK melanggar disiplin dan pemberhentian menjadi kewenangan dari eksekutif atau pemerintah Hal ini pun juga menimbulkan pertanyaan terkait dengan independensi dan bebas dari berbagai macam kepentingan. Meskipun nantinya telah menjadi ASN, besar harapan masyarakat untuk pegawai KPK dapat menjunjung nilai-nilai independensi dan tidak adanya intervensi dari pemerintah jika hal tersebut kemudian dapat memberikan hambatan bagi penegakkan hukum nantinya.

Kini diharapkan pula, tugas tim transisi KPK untuk menganalisis poin-poin yang telah disahkan Termasuk perubahan status KPK yang nantinya pun perlu di harmonisasi dan disinkronisasi dengan Peraturan yang menyangkut ASN. Tentu agar independensi tetap ada.

This article have been pubslihed in rubric  Anaslisis KR of  Kedaulatan Rakyat, 21 September 2019.