Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara.

Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (SIGAB) melakukan monitoring pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.

Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan  DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Tidak dipenuhinya template braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan warga difabel.

Pemilu Saat ini

Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat (2) berbunyi, “Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.

Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan pendekatan human rights yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang  Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun  ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel. Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi semua orang, salah satunya bagi warga difabel.

Mengenali Hambatan

Memenuhi hak pilih difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi. [18 Maret Sindo 2019]

 

 

Enviromental law Conference 2019 is an annual Routine activity held by Civil Law Department of Ahmad Ibrahim Kulliyah of Law (AIKOL) of International Islamic University Malaysia (IIUM),  This event was organized directly by a professor of environmental law who is also a lecturer in environmental law in AIKOL, this event aims to increase student awareness of the importance of protecting the environment and also to increase student awareness of the environment, this event focuses on the topic Sustainable Development Goals. Each speaker explained several aspects of the SDGs and also some of the applications and strategies to achieve the SDGs themselves, this event was opened by the Dean of AIKOL, Prof. Dr. Farid Sufian, he also shared some material related to SDGs, in this event the one who acted as the keynote speaker was Assoc. Prof. Dr. Maizatun Mustafa, who is an expert and consultant in the field of environmental law.

The conference also discussed the role of students and universities in achieving some of the goals of the SDGs, this conference was attended by six speakers from three countries, of which two were from Indonesia, two were from Malaysia, and 2 were from Maldives.

First three speaker focused more on conciliation about how  each country of each speaker reached the SDGs which was related to strategy, commitment and so on, final three speakers focused on the role of students and universities in the Sustainable Development Goals, Yuwan Zaghlul Ismail as Universitas Islam Indonesia representative was assigned to be the first speaker which Yuwan successfully presented it titled Indonesia Roadmap on SDGs and Environmental Targets. Which here, Yuwan at the same time became a representative of Indonesia in explaining some important issues related to Indonesia’s strategy, and also Indonesia’s commitment to achieving SDGS itself, Yuwan who is also participating in the credit transfer program was successfuly became a representative of the Universitas Islam Indonesia  in the annual conference of environmental law, Yuwan is committed to continuing to be able to carry the fragrant Universitas Islam Indonesia  name on the world stage. (Ywn)

Author:  Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Jika mencermati hasil perubahan UU KPK (UU Nomor 19 tahun 2019), maka arah politik hukumnya jelas. Mengubah simpul kelembagaan KPK dari lembaga independen, menjadi lembaga pemerintah. Dalam Pasal 3 revisi UU KPK disebutkan bahwa, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun”. Tegasnya, pasal a quo dapat dikatakan sebagai “jantung” atas hasil perubahan UU KPK. Melalui ketentuan tersebut, tak ubahnya KPK sebagai mandataris Presiden.

Mengingat secara hierarkis kelembagaannya berada di bawah kuasa presiden, maka KPK berwarna eksekutif. Tak heran jika manajemen kepegawaian di KPK wajib bercorak eksekutif. Mulai dari status penyidik, sampai dengan promosi mutasi yang tunduk pada regulasi Aparatur Sipil Negara. Bukan hanya soal kepegawaian, kehadiran Pasal 3 juga menginisiasi lahirnya pasal-pasal lain yang menyangkut Dewan Pengawas. Perangkat ini mempunyai kewenangan yang superior, bahkan dibekali kuasa “pro justisia”. Bila tak ada aral membentang, perangkat inipun akan dibentuk melalui kuasa presiden. Meskipun dalam pasal a quo diberikan “irah-irah” independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, kenyataannya sulit untuk dibenarkan. Relasi kuasa yang bersifat vertikal dengan presiden, cenderung membuat KPK berayun menjadi ‘depeden’.

Cabang Ke-4

Dalam perkembangannya, revisi UU KPK menjadi simbol dekadensi terhadap praktik demokrasi di Indonesia. Betapa tidak, dibentuknya KPK merupakan kritik atas lemahnya independensi Kepolisian dan Kejaksaan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Mengingat Kepolisian dan Kejaksaan secara hierarkis berada di bawah kuasa eksekutif, maka KPK hadir sebagai lembaga independen. Baer menuliskan bahwa kehadiran lembaga independen muncul sebagai trigger atas cara kerja lembaga konvensional yang dinilai tak lagi efektif (Susan Baer:1988). Tesis Baer diperkuat oleh Ackerman yang menyatakan bahwa lembaga independen merupakan gejala otokritik terhadap pemisahan kekuasaan secara konvensional antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ackerman melihat kecenderungan Amerika yang telah mengadopsi pemisahan kekuasaan berdasar empat cabang yakni eksekutif, legislatif, yudisial dan organ independen (Bruce Ackerman:2000). Demikian halnya selepas transisi politik bergulir di Indonesia.  Studi Mochtar  mencatatkan bahwa ketidakpercayaan publik terhadap lembaga negara yang telah ada, mendorong lahirnya lembaga independen untuk melaksanakan tugas dan diidealkan memberikan kinerja baru yang lebih terpercaya (Zainal Mochtar:2016).

Dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, justru menjadi sangat kontraproduktif terhadap respon percepatan kebutuhan demokrasi. Sudah menjadi rahasia umum, korupsi di sektor eksekutif menjadi agenda yang tak luput dari kinerja KPK selama ini. Suap di pelbagai sektor kementerian, hingga korupsi kepala daerah seolah menjadi penanda bahwa kekuasaan eksekutif menjadi anasir yang terus memberikan ancaman dari perilaku elit politik. Bisa dibayangkan, sebagai institusi yang berada di bawah kuasa presiden, KPK bisa terjebak pada konflik kepentingan. Bahkan, studi berbobot yang pernah dilakukan Madril menjadi sangat menarik. Madril mencatatkan tak ada lembaga di bawah kuasa presiden yang kinerja dan prestasinya baik dalam memberantas korupsi. Sebagai contoh Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) di bawah Soekrano dan Operasi Tertib (Opstib) di bawah Soeharto (Oce Madril:2018).

Penafsiran MK

Kembali dalam perdebatan pembentukan Pasal 3. Dalam beberapa jajak pendapat media cetak dan elektronik, pembentuk undang-undang mengklaim bahwa politik hukum Pasal 3 perubahan UU KPK merupakan tindak lanjut atas putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017. Bila kembali membuka riwayat putusan MK, ada empat putusan lainnya yang juga memberikan penafsiran atas kedudukan dan independensi kelembagaan KPK. Di antaranya,  Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU-IX/2011dan Putusan No 49/PUU-XI/2013. Empat putusan sebagaimana disebutkan di atas berada pada satu nafas yang sama. Bahwa KPK merupakan lembaga independen, dan mempunyai sifat penting dalam struktur kekuasaan negara. Membaca kondisi demikian, lantas putusan mana yang harus diikuti ? hemat penulis, putusan 36/PUU-XV/2017 tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan pembenar pembentukan Pasal 3 perubahan UU KPK.

Ada dua alasan yang mendasari. Pertama, perkara ini tidak menguji pasal-pasal dalam UU KPK terhadap UUD, melainkan  menguji Pasal 79 ayat (3) UU MD3 terhadap Pasal 28D ayat (1) UUDN RI Tahun 1945. Ihwal pengajuan perkara ini semata-semata untuk memperluas kewenangan DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan melalui hak angket, bukan dalam konteks perubahan format kelembagaan KPK. Mengingat KPK melaksanakan fungsi-fungsi eksekutif, hak angket dapat digulirkan sepanjang tidak mendistorsi fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Kedua, dalam teori interpretasi konstitusi, Strauss mempopulerkan penafsiran “living constitution”. Strauss menuliskan bahwa dalam konteks penemuan hukum,  majelis hakim dimungkinkan mengubah pendiriannya atas putusan-putusan sebelumnya, sepanjang menyebutkan alasan perubahan dalam amar putusannya (David A Strauss:2011). Dalam Putusan No 36/PUU-XV/2017, tak ada satupun alasan di dalam amar putusan (ratio decidendi) yang menegaskan bahwa majelis mengubah pendiriannya atas empat putusan terdahulu. Sehingga dengan menempatkan KPK di bawah kuasa Presiden, pembentuk undang-undang cenderung bersandar pada basis teoritik yang ringkih. Mencermati sejumlah pertimbangan di atas, tentunya pasal 3 perubahan UU KPK menjadi materi yang laik diujikan di Mahkamah Konstitusi.

 

This article have been published in KORAN TEMPO, 5 November 2019.

Demonstrating a true commitment to the International Program’s goal of, “Nurturing Innovative Global Leaders,” a group of lecturers in the Law Faculty’s international program contributed to a successful workshop on creating a truly international environment for legal study.

The workshop, titled, “The Global Classroom,” challenged these lecturers to not only focus using the English language as the language of instruction, but to also expand their repertoire of pedagogy.  The seminar focused on the unique aspects of legal English as well as better integrating problem-based and case study instruction into their curriculum.     The group practiced the Socratic method of instruction, which uses questions to elicit critical thinking and interaction with students.  The participants in the workshop recognized the importance of nurturing these skills as the next generation faces the Industrial Revolution 4.0 and understands the importance of the IRAC legal analysis.

On the second day of the workshop, each participating lecturer showcased their skills by offering a microteaching session based on their particular area of law.  The microteaching sessions, exclusively in English were impressive and demonstrated the groups commitment to the state goal of a truly international learning environment.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Jika hasil revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) telah resmi diundangkan, Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima sejumlah permohonan pengujian dari berbagai pihak. Mungkin, mulai dari kelompok akademisi, pegiat antikorupsi, sampai dengan tokoh masyarakat. Meskipun permohonan diajukan dari golongan yang beragam, substansi kerugian konstitusionalnya akan sama. Memohon kepada majelis hakim, agar pasal-pasal revisi UU KPK dinyatakan inkonstitusional dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum   secara mengikat. Dalam logika penulis, pengujian revisi UU KPK bukan perkara yang mudah. Meskipun hasil revisi mendapatkan tekanan publik secara masif, pandangan majelis hakim belum tentu sejalan dengan kelompok mayoritas yang menolak revisi UU KPK. Ada sejumlah tantangan yang perlu diperhatikan bagi para pemohon, termasuk dalam membangun logika kerugian konstitusional di MK.

Logika Pengujian

Dalam logika pengujian, ada dua alasan yang menjadi basis utama pengujian undang-undang di MK. Pertama, ialah alasan formil. Melihat keabsahan prosedur pembentukan rancangan undang-undang itu dilakukan. Kemudian kedua, ialah alasan materil. Melihat kesesuaian materi muatan undang-undang terhadap norma yang lebih tinggi (dalam hal ini UUD). Secara formil, proses pembentukan revisi UU KPK dinilai cacat formil karena dikebut hanya dalam tiga belas hari, dan tidak berada pada daftar prioritas prolegnas. Tidak heran jika para pegiat antikorupsi menyebut bahwa pembentukan dan pembahasan revisi UU KPK cenderung dilakukan secara “ugal-ugalan”. Minus partisipasi, naskah akademik yang tidak transparan, dan tajam akan kepentingan parpol. Jika merujuk UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 45 mensyaratkan setiap RUU baik dari DPR dan Presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Di samping itu, Pasal 44 juga mengatur bahwa  setiap RUU yang diusulkan wajib disertai dengan naskah akademik. Namun perlu diperhatikan.  Di saat yang sama, akhir masa bakti anggota DPR 2014-2019 juga mengesahkan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam revisi UU yang baru, diatur dalam Pasal 23 ayat (2) bahwa dalam keadaan tertentu DPR atau Presiden dapat mengajukan RUU di luar Prolegnas. Dengan alasan keadaan luar biasa, konflik, bencana alam, atau keadaan tertentu lainnya, yang memastikan adanya urgensi nasional. Kehadiran pasal ini, membuka ruang bagi DPR dan Presiden,  untuk mengusulkan dan membahas secara cepat RUU atas alasan kondisi tertentu. Konsekuensinya, hal ini akan membawa tantangan baru bagi pemohon atas dalil-dalil formil yang akan diajukan di MK.

Selain tantangan pada asepk formil, para pemohon juga akan dihadapkan dengan sejumlah tantangan pada aspek materil. Para pemohon akan dihadapkan pada situasi yang tidak mudah, mengingat KPK tidak memperoleh legitimasi kewenangan secara langsung berdasarkan UUD. Ia dibentuk berdasarkan UU, yang pada prinsipnya merupakan sebuah kebijakan politik hukum terbuka (open legal policy). Sifat pengujian di MK tentu akan bersandar pada kesesuaian norma lebih rendah terhadap norma yang lebih tinggi. Dalam yurisprudensi MK, ada empat putusan yang menyatakan bahwa meskipun KPK dibentuk berdasarkan UU, tetapi KPK mempunyai sifat penting dalam struktur ketatanegaraan (constitutional importance).  Sebagaimana tertuang dalam Putusan No 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan No 37-39/PUU-VIII/2010, Putusan No 5/PUU/IX/2011, dan Putusan MK No 49/PUU-XI/2013. Bahwa KPK merupakan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, sebagaimana bunyi Pasal 24 ayat (3) UUDN RI. Tantangan yang kemudian muncul ialah, dalam Putusan terakhir MK No 36/PUU-XV/2017, majelis mengubah pendiriannya dengan menyatakan bahwa KPK bercorak eksekutif, karena alasan melaksanakan fungsi eksekutif. Artinya ini akan menjadi tantangan tersendiri bagi para pemohon untuk membangun silogisme konstitusional, bahwa pasal-pasal kontroversial dalam revisi UU KPK bertentangan dengan UUD. Selain aspek formil materil, tantangan lain yang perlu diperhatikan ialah perihal imparsialitas hakim konstitusi. Dalam prinsip independensi peradilan, para majelis hakim tidak boleh terpengaruh dengan besarnya tekanan publik atas perkara yang disidangkan (Contini & Mohr:2007). Bisa jadi, gelombang penolakan mahasiswa secara masif tidak akan memengaruhi pendirian hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Logika sederhananya, pengujian undang-undang yang menuai begitu banyak penolakan publik, belum tentu bertentangan dengan norma yang lebih tinggi.

Penalaran Hakim

Terlepas dari segala tantangan yang akan di hadapi para pemohon, hal yang tidak kalah pentingnya ialah mengurai metode penalaran yang akan digunakan para hakim di mahkamah.   Disadari atau tidak, sembilan hakim di MK memiliki preferensi ilmiah yang berbeda-beda. Sebagaimana dituliskan Dahl, bahwa preferensi ilmiah menjadi dasar  keyakinan hakim dalam menjatuhkan vonisnya (Robert Dahl:1963). Tidak heran jika dalam sebuah perkara pengujian undang-undang di MK, adakalanya putusan tidak di ambil secara bulat. Ada yang dissenting, bahkan mungkin ada yang concurrent. Masing-masing akan memiliki basis keyakinan dan interpretasi yang berbeda (Keith E. Whittington:1999). Bagi para penganut judicial restraint, beberapa ketentuan norma undang-undang dan putusan peradilan, menjadi dasar utama menegakkan pertimbangan hukum. Sementara bagi para penganut  judicial activism, hakim bisa saja melampaui beberapa ketentuan tertulis dalam hukum positif. Para hakim bersikap aktif dalam melakukan penemuan hukum. Bahkan tidak menuntut kemungkinan, menghasilkan suatu penerobosan hukum dengan memperhatikan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat. Perdebatan dua kelompok itu yang akan mewarnai pertimbangan sembilan hakim konstitusi dalam pengujian revisi UU KPK. Dengan melihat komposisi hakim konstitusi saat ini, penulis merasa bahwa putusan nanti tidak akan jatuh secara bulat.

This article have been published in REPUBLIKA, 14 October 2019.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) in collaboration with the Universitas Muhammadiya Magelang (UM Magelang) held an International Symposium entitled The 1st Borobudur International Symposium 2019 (BIS 2019), on Wednesday, October 16, 2019. Located in the Ballroom of the Grand Artos Hotel & Convention, Magelang, the Symposium is divided into two sub, namely the 1st  Borobudur International Symposium on Applied Sciences and Engineering (1st BIS ASE) and 1st Borobudur International Symposium on Humanities, Economics, and Social Sciences (1st BIS HESS ).

Faculty of Law UII became one of the co-hosts that organizing BIS 2019. According to the Secretary of the International Undergraduate Program of Faculty of Law UII, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., LL.M., Ph.D., the form of cooperation between UII and UM Magelang is as the organizer of BIS 2019. Faculty of Law UII who co-hosted the organizing of BIS 2019 was mentioned in a Memorandum of Understanding (MoU).

According to Dodik Setiawan, Faculty of Law UII cooperated with UM Magelang regarding two things. First FH UII wants to increase the number of lecturer publications at the international level. Through BIS 2019, especially the 1st BIS HESS, submitting papers will later be published in proceedings indexed with Web of Science. Secondly, this cooperation is expected to be one of the steps to increase the cooperation network between Faculty of Law UII and other universities throughout Indonesia. “Adding networks of cooperation with domestic universities in Indonesia,” said Dodik Setiawan.

Faculty of Law UII sent six papers to participate in BIS 2019. The six papers sent are manifestations of ideas from civitas academics and lecturers at the Faculty of Law UII. The papers and presenter who participated were Dr. Budi Agus Riswandi, SH., MH., Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., LL.M., Ph.D., Prof. Ni’matul Huda, SH., M.Hum., Mahrus Ali, SH., MH., Bagya Agung Prabowo, SH., MH., Ph.D., and Siti Ruhama Mardhatillah, SH., MH.

BIS 2019 was held in three parts of the event. First is the first round table session. Second is the opening session, which was followed by an international seminar. Then the last is the second round table session.

International seminar sessions presenting experts from across the country. The keynote speaker at the international seminar was Prof. Tony Lucey, Ph.D. from Curtin University, Australia, Rajesh Ranolia, B.Com., MBA from the National Institute of Information Technology, India, and Prof. Ts DR. Noreffendy Tamaldin from Universiti Teknik Malaysia Malaysia Melaka, Malaysia.

The event was attended by hundreds of speakers from various tertiary institutions. The speakers were divided into several small groups and occupied a round table. The concept of a round table is fairly new. Speakers present and respond to one another’s papers led by a moderator.

The Doctoral School has just received an A accreditation from BAN-PT, the accreditation institution under Ministry of Education, Research, and Tecnology, Indonesia. The Doctoral Study Program in Law has received the highest score of 370 points. Congratulations.

The Faculty of Law of the Universitas Islam Indonesia (UII) held an International Student Colloquium (ISC) on Saturday, October 12, 2019. The ISC event with the theme Student’s Role in Law and Political Discourse: Digital Era Perspective was attended by four speakers, four presenters, and around 100 students. The event was the result of collaboration between the Judicial Council of International Program (JCI) and the International Undergraduate Program Faculty of Law UII.

There are several interesting happens in the ISC. First, the event was officially opened by Dodik Setiawan Nur Heriyanto SH. MH., L.LM., Ph.D. through video shows. This happened because there was a parents meeting of new student who had to be attended by all faculty leaders. n the five-minute video, Dodik Setiawan expressed his apology for not being able to open the event directly.

Second, ISC speakers are students from across countries. The keynote speaker was Professor Christopher Cason, B.A., J.D. who is an alumnae of the University of Washington. Professor Cason gave his presentation about the role of law students as future leaders. Besides Professor Cason, there were two other speakers, Nur Gemilang Mahardhika, SH, LLM, alumnae from the Post Graduate University of Melbourne, and Fasya Addina, SH, cLLM, students of New York University. Nur Gemilang delivered her scientific material on “Liberalized Students, in Liberalized Education System”. While Fasya delivered scientific material on international humanitarian law.

Third, Fasya delivered his presentation in a video taken directly from the United States, which was recorded the day before the ISC. Fasya who is currently studying in the United States cannot attend directly at ISC. According to Dodik Setiawan, as the committee as well as the Secretary of the Undergraduate Program Faculty of Law UII, the material that was intended to be delivered by Fasya was planned to be done directly from the United States via Skype, but was cancelled due to other activities that Fasya could not leave behind.

Fourth, there were four speakers whose papers were contested in the ISC. The four speakers then presented their papers in front of the participants. The results of the paper and presentation were then assessed by Dodik Setiawan and Professor Cason as the jury. From the four speakers, the best paper and best presentation categories were taken, each of which received a prize from faculty.

Around 378 students took part in the internship debriefing program held by PUSDIKLAT FH UII on Sunday, October 13, 2019. The number jumped sharply from the previous year which was only attended by around 100 students. The apprenticeship activities are a manifestation of the compulsory competence of legal skills carried out by FH UII.

The internship briefing was carried out in two sessions. According to the Head of the Ad Hoc Team of Internship, Eko Rial Nugroho, SH., MH., the internship implementation for this year is still the same as in previous years. “The stages are still the same, there is no change,” Eko added. The debriefing program is conducive. Students are divided into six different classes and get guidance on introductions about general things to technical matters.

Regarding the increasing number of apprenticeship students, according to Eko there were no significant problems. Eko admitted that there were indeed some technical obstacles, but they did not affect the general implementation of the internship. “There are technical problems. (But) Alhamdulillah, it can be handled well “, he stressed.

The internship program itself is divided into two types, namely regular internship and self-internship. Regular internship is an internship in which the destination location is determined and prepared by PUSDIKLAT FH UII, as the internship program implementer. Matters prepared include permits, apprenticeship agreements, until to all administrative matters. As for the self-internship students, they prepare and choose their own internship location.

Students will be placed in various locations. The locations of apprenticeship to be addressed include the notary/PPAT office, the attorney’s office, the lawyer’s office, the court, the local government law firm, the police, and the embassy. All the internship locations will be monitored by the internship committee.

Eko suspected that the cause of the increase in apprenticeship students was the result of the loss of the academic prerequisite system. “It is suspected to have jumped the most because there are no academic prerequisites. “The internship should be in the 2016 class, but 2017 has already taken”, said Eko. However, according to Eko that was not a problem.

According to the Deputy Chair of the Ad Hoc Committee of the Internship, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, SH., MH., L.LM., Ph.D., the most regular internship students chose the Prosecutor’s Office while for the most independent apprentices the notary office. “The most regular apprenticeship is at the prosecutor’s office and self-internship at the notary,” said Dodik Setiawan. “Maybe there are many whose parents are notaries, so they might as well,” joked Dodik Setiawan, who was agreed by some students, when he filled out the debriefing material in class.

The internship must be followed by students for a minimum of 96 working hours in each office location. At the end of the program, students are required to make reports and respond. “All who have followed the internship process from beginning to end will receive internship certificates,” added Dodik Setiawan.

Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M

Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Apakah benar, jika Presiden menetapkan Perppu KPK, maka ia berpotensi besar untuk di impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya. Langkah ini kerap dihubung-hubungkan bahwa jika Presiden mengeluarkan Perppu, sama halnya Presiden tak serius dan tak menghormati DPR sebagai pengusul dan pembahas revisi UU KPK.  Bahkan, sebagian politisi menilai jika tidak cermat,  Perppu KPK bisa menjadi “jebakan batman” bagi Jokowi. Alias pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai Presiden. Narasi itu telah  berseliwiran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar, bahwa Perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini, mencoba mendudukan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana Perppu, serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.

Perppu

Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan Perppu selalu diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, Perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat. Disebut cepat dan sederhana, karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan partai yang ada di parlemen (Ann Seidman:2002). Tak heran jika Pasal 22 UUDN mengatur bahwa  “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Soal ihwal kegentingan yang memaksa, MK telah memberikan kriteria normatif dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat. Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang, atau ada namun dianggap tidak memadai, dan keadaan tidak dapat diatasi  dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan di jatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak, tetap berada pada wilayah subjektivitas Presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa, kecuali Presiden. Karena sifatnya yang subjektif, maka objektivikasinya, diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 UUDN. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undang-undang. Jika tidak, maka Perppu itu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang, sekaligus melaksanakan fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances). Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan judicial review.  Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional, untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan. Kembali pada soal Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah cukup. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan Perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinyu, bahkan telah memakan korban jiwa. Kedua, revisi undang-undang KPK yang tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa, mengingat pembahasan undang-undang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, ini soal subjektivitas Jokowi. Jika ia berani mengambil opsi Perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden, yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi.

Impeachment

Kemudian soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya seorang perdana menteri sangat mungkin di impeach karena alasan politis. Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 7A UUDN, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, atau tindak pidana berat lainnya. Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang super ketat. Bahkan situasinya akan terasa semakin sulit, bila melihat sistem multipartai ekstrim yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan:2014). Konsekuensi logisnya,  partai-partai pendukung cenderung akan memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden, dari ancaman pasal impeachment.  Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan Presiden untuk mendorong dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment. Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi Perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan Perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR, maupun melalui jalur judicial review di MK.

 

This article have been publsihed in rubric Opini of Jawa Pos, 4 October 2019.