Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pertarungan politik sepertinya sedang memasuki masa panas-panasnya. Kampanye terbuka telah dilakukan di beberapa tempat, dan semua orang sedang kasak-kusuk tentang kandidat pilihannya. Di arena persaingan para politisi ini, hadir para agamawan yang biasa membawa dalil-dalil agama untuk mendukung kandidatnya, dan dalam banyak kasus merendahkan kandidat yang lain dengan dasar informasi yang salah.

Di satu daerah, ibu-ibu yang datang dari pengajian tiba-tiba bercerita tentang isi pengajian tokoh agama yang isinya menjelek-jelekkan salah satu kandidat Presiden dan Wakil Presiden, di mana jika kandidat tersebut terpilih PKI akan muncul di mana-mana, pernikahan sejenis akan disahkan, dan suara adzan akan dilarang. Pada saat yang lain, Bapak-bapak yang selesai pengajian cerita bahwa ada kandidat Presiden yang beragama non Islam dan berasal dari keturunan Cina sehingga tidak boleh dipilih. Pada kesempatan yang sama, agamawan tersebut meminta jemaahnya agar memilih kandidat tertentu dengan dasar pikiran yang tidak detail.

Cerita beberapa Jemaah pengajian membuat hati miris karena apa yang dikatakan para tokoh agama sumbernya adalah berita hoax dan tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral untuk disampaikan kepada khalayak umum, khususnya para jemaah pengajian yang notabene hadir dengan kesucian hati dan pikiran untuk mempelajari pesan-pesan agama yang lurus dan mencerahkan. Informasi hoax yang dijadikan sumber ceramah memperlihatkan betapa agamawan bukanlah sosok yang bersih virus berita bohong yang saat ini bertebaran di media sosial, seperti facebook, whatsapp, dan youtube.

Pada sisi yang lain, dukungan politik agamawan pada kandidat tertentu semestinya juga ditopang oleh informasi yang detail dan utuh, utamanya terkait visi misi, tawaran program dan pertimbangan yang bersifat substantif, yakni pentingnya memilih pemimpin yang berintegritas yang harapannya dapat membawa bangsa Indonesia menjadi negara yang berkeadilan, makmur, dan terbebas dari sistem yang koruptif.

Politik Agamawan

Agamawan tidak bisa dipisahkan dari suara agama, apa pun yang dilakukan agamawan, baik perkataan dan tindakannya selalu akan dikaitkan dengan ekspresi keagamaan. Karena itu, mandat penting agar pemeluk agama tidak berprilaku kacau merupakan tanggungjawab utama para agamawan. Ketika terjadi kekacauan di internal pemeluk agama, maka yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku para agamawannya yang kita tahu sangat rutin memberikan doktrin keyakinan agama.

Konteks kontestasi politik juga demikian, kisruh pemeluk agama karena adanya perbedaan preferensi politik, yang harus diperiksa pertama adalah cara pandang dan perilaku politik agamawannya. Pertanyaannya, apakah para agamawan sudah memberikan pendidikan politik yang baik dan benar kepada jemaahnya? Atau, yang mereka lakukan adalah menyebarkan politik kebencian dan adu domba yang secara langsung dan tidak langsung akan mendorong disharmoni sosial dan retaknya relasi bernegara kedepannya.

Disinilah letak penting mengapa para agamawan harus memiliki pengetahuan dan pemahaman politik yang paripurna, di mana ada keniscayaan agar mereka secara utuh memahami ajaran agama dalam konteks hubungan sosial masyarakat (muamalah), bernegara (siyasah), dan dalam hal bagaimana agama semestinya menjadi penguat persaudaraan antar manusia (ukhuwah insaniyah/basyariah) dan  persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah). Dalam hal ini, agamawan dituntut tidak hanya ahli dalam hal ceramah dan pengetahuan agama yang bersifat ritual, tetapi lebih jauh memahami ajaran agama secara holistik.

Politik agamawan dengan demikian tidak bisa dimaknai secara sempit sekedar dukung mendukung, atau sekedar mengeluarkan dalil-dalil agama untuk mendukung kandidat tertentu, lebih jauh para agamawan punya tanggungjawab agar berpolitik sesuai dengan tuntunan agama yang luhur, terhormat, dan mulia. Saat politik luhur ini dijalankan, maka ajaran agama tetap akan berada di posisinya yang suci, dan para pemeluk agama akan memahami kontestasi politik bukan lagi sebagai ruang permusuhan dan perang antar sesama anak bangsa, tetapi lebih substantif menjadi ruang untuk secara sungguh-sungguh mencari pemimpin yang berkualitas.

Tantangan

Menghadirkan perilaku politik agamawan yang luhur tentu tidaklah mudah, mengingat ada begitu banyak tantangan di negari ini, utamanya terjadinya tarik menarik yang terus menerus antara politik dan agama, dan para agamawan pada sisi yang lain. Agamawan yang mejadi bagian kekuasaan biasanya akan selalu membela perilaku kekuuasaan, sebaliknya agamawan yang berada di luar kekuasaan umumnya akan mengkritik kekuasaan.

Di tengah tarik menarik tersebut, agamawan dimana pun posisinya idealnya dituntut untuk menjadi manusia yang harapannya dapat melampaui kepentingan diri sendiri, kelompok dan menghindari pertarungan politik yang bersifat sesaat. Agamawan dituntut untuk lebih mengamalkan pesan-pesan agung agama yang suci dengan selalu mendorong kebaikan dan kebajikan di tengah-tengah umat manusia yang beragam.

This article have been publsihed in Jawa Pos Newspaper, 28 March 2019.

 

Author: M. Syafi’ie, S.H., M.H.

Lecturer in Faculty of Law,  Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law

Pemilihan umum serentak sebentar lagi. Pada tanggal 17 April 2019 rakyat Indonesia akan terfasilitasi hak pilihnya, baik Presiden-Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Rakyat Derah (DPRD), Provinsi dan Kabupaten/Kota. Begitu pentingnya pemilihan kepemimpinan Indonesia ini, penting mengingat kembali bagaimana praktek pemenuhan hak pilih difabel dalam kontestasi pemilihan telah lewat, sekaligus mempertanyakan bagaimana kesiapan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang beberapa hari lalu telah melakukan simulasi pemungutan suara.

Pada tahun 2014, Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel  (SIGAB) melakukan monitoring pemilu dan menemukan beberapa catatan penting, pertama, di lapangan ditemukan kondisi tidak pekanya Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan berdampak pada perlakuan yang tidak tepat untuk pemilih difabel. Hal itu terlihat dari desain tempat pemilihan yang tidak aksesibel dan para petugas yang tidak dapat berinteraksi dengan selayaknya. Kedua, form yang berisi pernyataan pendamping pemilih, terabaikan. Petugas KPPS hanya membantu pencoblosan difabel netra sehingga tidak terjamin hak pilihnya yang bebas dan rahasia. Ketiga, beberapa pemilih difabel harus merangkak ke lokasi TPS karena tempat pemilihannya yang bertangga, licin, dan terdapat selokan tanpa titian. Keempat, pemilihan yang rahasia juga tidak terjamin karena lokasi TPS yang bilik suaranya berdekatan satu sama lain, desain bilik suara yang tanpa sekat, TPS berada di lorong pemukiman yang sempit, dan meja pencoblosan di bilik suara tidak kokoh, padahal pemilih difabel daksa tertentu membutuhkan tumpuan berpengangan, ditambah lagi desain kotak suara yang terlalu tingi dan tidak terjangkau pemilih difabel daksa. Kelima, di lokasi pemilihan difabel banyak yang tersudutkan karena kerap menjadi tontonan.

Monitoring yang dilakukan SIGAB memperlihatkan betapa belum jelasnya pemenuhan hak pilih difabel pada tahun 2014. Bahkan, pada saat itu sekelompok difabel netra atas nama Suhendar, Yayat Ruhiyat, Yuspar dan Wahyu mengajukan judicial review Pasal 142 ayat (2) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan  DPR ke Mahkamah Konstitusi, yang intinya mempermasalahkan Pasal 142 ayat (2) karena tidak memasukkan frase ‘template braile’ yang berakibat difabel netra tidak dapat memilih secara fair di pemilihan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Para pemohon menyatakan bahwa Pasal 142 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif.

Tidak dipenuhinya template braile dalam pemilu 2014 bagi difabel netra berakibat pada pelanggaran hak pilih difabel, khususnya hak pilih yang semestinya bebas dan rahasia. Situasi tersebut kemudian mendorong sebagian komunitas difabel netra melakukan uji materi di Mahkamah Konsitusi. Dan pada sisi yang lain, difabel secara umum memberikan catatan serius betapa sarana prasana penyelengaraan pemilu masih belum aksesibel dan petugas layanannya belum memahami etiket beriteraksi dengan warga difabel.

 

Pemilu Saat ini

Setelah melihat kenyataan penyelenggaraan pemilu yang telah lewat, bagaimanakah jaminan hukum pemenuhan hak memilih difabel saat ini? Pasal 356 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berbunyi, “Pemilih disabilitas netra, disabilitas fisik, dan yang mempunyai halangan fisik lainnya pada saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu oleh orang lain atas permintaaan pemilih.” Pada ayat (2) berbunyi, “Orang lain yang membantu Pemilih dalam memberikan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan pilihan Pemilih.” Aturan serupa termaktub pada Pasal 364 yang mengatur pemilih difabel yang memberikan suaranya di TPSLN.

Norma yang spesifik mengatur tentang pemilu di atas memperlihatkan betapa perumus Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 belum memahami bagaimana pemenuhan hak pilih difabel semestinya difasilitasi dalam rumusan norma yang sesuai dengan tuntutan komunitas warga difabel. Bahkan Undang-Undang tersebut mengulang pendekatan lama yang bersifat charity, di mana difabel masih perlu dibantu dan dikasihani dalam pencoblosan. Pendekatan ini sudah tidak relevan karena sudah tidak sesuai dengan pendekatan human rights yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang  Disabilitas dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Terlepas dari titik lemah Undang-Undang No. 7 Tahun 2017, beberapa hal yang harus dikawal adalah komitmen Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memastikan agar penyelenggaraan pemilihan umum serentak pada tahun  ini tidak mengulang kesalahan pemilu-pemilu sebelumnya, dimana warga difabel terlanggar hak dengan sedemikian rupa. Karena itu, penulis mengapresiasi komitmen beberapa komisioner anggota KPU, semisal KPU DIY yang meminta tempat pemungutan suara agar didesain akses bagi difabel. Bahkan dalam satu kesempatan, salah seorang anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan agar penyelenggaraan pemilu tahun ini tidak diskriminatif kepada difabel. Karena dari 13 etika penyelenggaraan pemilu, salah satunya adalah mandate agar Penyelenggara Pemilu wajib memastikan aksesibilitas pemilu, yaitu tersedianya sarana prasarana yang memudahkan bagi semua orang, salah satunya bagi warga difabel.

 

Mengenali Hambatan

Memenuhi hak pilih difabel, pertama-tama yang harus dipahami Penyelenggara Pemilu adalah hambatan difabel. Secara umum, difabel ada yang mengalami hambatan penglihatan, ada yang mengalami hambatan pendengaran, hambatan mobilitas, komunikasi, mengingat dan berkonsentrasi, serta ada yang memiliki hambatan perilaku dan emosi. Dari hambatan tersebut, kewajiban yang harus dilakukan Penyelenggara Pemilu diantaranya adalah memastikan agar disediakan template braile untuk pemilih difabel netra, tempat pemilihan harus didesain aksesibel atau memudahkan bagi pemilih yang memiliki hambatan bergerak atau bermobilitas, dan di tempat pemilihan umum semestinya juga disediakan penerjemah bahasa isyarat untuk kepentingan difabel tuli atau orang pada umumnya yang memiliki hambatan untuk berkomunikasi.

 

 

On Monday, March 18 2019 at the Main Meeting Room (3rd floor) of the Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, a Memorandum of Agreement (MoA) was signed between the Faculty of Law Universitas Islam Indonesia (FH UII) and Center for International Language and Cultural Studies Universitas Islam Indonesia (Cilacs UII). There were two MoAs signed on this occasion, which were concerning to the English Matriculation Program and CEPT Preparation. The two programs are designed as new model for the bridging program for International Program Students.

“The English Matriculation Program is address to even semester students of the 2018/2019 academic year International Program, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. Furthermore, for the CEPT Preparation Program is designed for students of 5th (fifth) semester of International Programs, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia. We do not have common consensus with the International Office of UII to continue the program as they do not want to customise with our new curriculum. Some of the substances are having similarities with the current curriculum – this is part of the reason for us to introduce the new program for the international program.” said Dr. Budi Agus Riswandi, S.H., M.Hum.

The event was attended by the Dean of the Faculty of Law UII, Head of Study program of the FH UII, Secretary Study Program of the International Program and the head of Cilacs UII. In his remarks, Dr. Abdul Jamil SH, MH, as Dean of the Faculty of Law UII, said that “Hopefully this MoA can bring better benefits to students who hope our students will not only be competent in law practice but also have good ability of English in order to expand coverage of his career to the international level. We do hope also that this program could be implemented for the regular program students.”. Furthermore, this event was followed by a speech delivered by Director of Cilacs UII. “Basically, legal English with English in general is different. Because legal English has several terms that are not possessed in English in general, therefore through this program, we hope that it can improve the ability of students in understanding of legal english”, she said.

The event was closed with an exchange of souvenirs from the Faculty of Law UII and Cilacs UII. May through this program the level of English language proficiency of UII Law Faculty students can be develop and able to answer global competition.

Undergraduate Study Program of Law, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia invites the university/academic community to an international seminar to be held as follows:

Topic: International Law within Domestic Legal Systems: Diverse Approaches
Date: Monday, 22nd April 2019 (time: 08.00 AM – 12.30 PM)

Place: Ruang Sidang Utama (Main Meeting Room, 3rd Floor, Law Faculty UII)

Speakers:

  1. Professor Dr. Sefriani, S.H., M.Hum. (Professor of International Law, UII)
  2. Professor Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum. (Professor of Constitutional Law, UII)
  3. Professor Farid Sufian Shuaib, LL.B., LL.M., PhD. (Dean and Professor of Constitutional Law, AIKOL, IIUM, Malaysia)
  4. Dr. Csaba Gondola (Legal Adviser, to the Deputy Minister of the Hungarian Prime Minister Office, Hungary)
  5. Christopher Cason, J.D. (University of Washington)

Moderator:
Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., L.LM., Ph.D.

To joint this seminar, please register via this link

Contact Person: Yaries (+6287865100588)

 

 

 

 

Student at International Program, Undergraduate of Law Study Program, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia just won the first place for the Outstanding Student Selection (Pemilihan Mahasiswa Berprestasi) at Higher Education Unit Service Region 5 Yogyakarta (Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi). After going through several assessments from the Jury/Panel such as Interview which was conducted in English and also Presented the paper that has been made by each competitor. He successfully presented his paper with the topic of The Obligation of Ecolabel Certification and Innovation in the Voluntary Ecolabel Policy as Alternative to create Responsible Consumption and Production. Previously, Alif also won the first place for the same competition at the university level (in the scope of Universitas Islam Indonesia Students). During the competition, he supervised by Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., L.LM., Ph.D. The paper talks upon the Ideas on how to achieve Responsible Consumption and Production one of the Sustainable Development Goals. The competition was held at LLDIKTI building on Tuesday, 19th of March 2019.

This event was attended by 14 Private University in the scope of Higher Education Unit Service Region 5 Yogyakarta. Each student has their own ideas in order to achieve the Sustainable Development Goals. “Alhamdulillah, today the selection process and the announcement of the Outstanding Student Selection has been conducted, which was attended by great students from these 14 universities. This reward becoming a new responsibility for me in order to bring the good name of Universitas Islam Indonesia in the future. I need the support and also prayers from all UII academics in order to face the next level of this Outstanding Student Selection and for sure, hope for the best according to Allah Subhanahu Wa Ta’ala” Alif Said.

After the announcement, Alif immediately met with Ms. Hazhira Qudsyi from the academic affairs to discuss the next strategy in facing the Outstanding Student Selection at the national level.

LIMUN (London International Model United Nations) is an annual event of LIMUN Foundation which consist for more than 2500 delegation from all over the world. Located in cosmopolitan city of United Kingdom, it spend almost 3 days in facilitating intensive debate among the delegates. This year as the 20th edition of LIMUN was held on 22-24 February 2019. The participants acted as state representative of members in UN (United Nations) and was given the chance to represent that state in a council with analysing and formal debate about international issues. As the delegates of particular state, they have their own stances to resolve the issues, negotiate their state interest and then form best solution for the international issues.

Ardya Syafhana is one of the official delegates of Universitas Islam Indonesia which have been selected as the best representation and passed several selection (Administration, interview and speech assessment also simulation test). She was chosen as the person who got highest score and defeat other 25 applicants and was assumed had consistently worked hard and improve her skills to join LIMUN. She joined SPECPOL or (Special Political and Decolonisation Committee) of General Assembly and represented State of Peru. This Council discussed the topic “Belt and Road Initiative – Addressing Concerns of ‘Recolonisation’ “. In the Committee session, Hana or Delegation of Peru argued its perspective about BRI (Belt and Road Initiatives) as an opportunity and foreign policy and it can help the world economic development but did not eliminated several issues which appeared from such China’s Foreign Policy.

The main issues was then raised in how China give loans to some states but such states were not able to pay the debt back. In rectifying their absence of payment, they give China possession over vital public facility like port and military bases. It also covers the problem of collapsing project of BRI in infrastructure sectors. Peru believes that those states must have been considered all the risk and condition so that they finally agreed on the project, so the issue of “Recolonisation” can’t be connected with BRI and it is necessary for the partners to pay the debt and fulfil their performances. The Committee session was closed by adopting Draft Resolution of China and allies (includes Peru).The Document consist of the conclusion of discussion and several solutions and it used the formal form of United Nations Resolutions.LIMUN 2019 gave not only certificate but also prestigious chances for the participants to communicate beyond different culture and nationality. Depending on the knowledge, experience and networks they have been taken from LIMUN, participants were expected as the next generation of world leaders which will be equipped with the ability to deal with global issues in the spirit of cooperation

March 12, 2019, at the Main Session Room, Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, UII’s Faculty of Law’s held a Guest Lecture on the topic “Sport as a catalyst for Social change: Aiming for the real gold”. The event was led by Ginanjar Gailea S.Pd., M.A. as the moderator invited Monsieur Arnaud Amouroux as the speaker in this Guest Lecture.

A former United Nations staff, with 12 years’ experience in the field of peacekeeping, peacebuilding and conflict resolution, Mr. Amouroux explained that sport can be ‘more than just a game’ and introduced the concept of ‘Sport for Development and Peace’ (SDP). Sport can serve as a ‘low-cost and high impact tool for social change’. Sport has the unique ability to transcend differences, connect people and elevate/inspire them. The presentation also addressed the recognition by the United Nations of sport as an important ‘enabler of sustainable development’, especially with regard to SDG 3 on Health, SDG 4 on Education and SDG 5 regarding Gender equality. Mr. Amouroux specifically referred to 4 domains where Indonesia could use sport-based approaches to tackle some of the challenges the country is faced with: need to invest in disaster risk reduction and preparedness; fostering tolerance and living-together; fighting sedentary and unhealthy behaviours and promoting open, safe and inclusive spaces as part of urban regeneration initiatives.

Mr. Amouroux also made a comparative review of the 1962 and 2018 Asian Games held in Indonesia noting the tangible and intangible legacies of each event. The successful organisation of the 2018 Asian Games is testimony to Indonesia’s ability to host even larger mega-sporting events, such as the Olympic Games, however this would require a fully integrated sustainability strategy within the candidacy proposal (i.e. focusing on generating social benefits for the communities after the event as well).

The lecture ended with a question and answer session given by UII Faculty of Law students, participants were actively involved in this session. One of them is the question raised by Rangga, “Changes in the times that have occurred at this time have affected changes in social activities carried out by children, particularly who used to be active in carrying out social activities through sports and gatherings but now they use their gadget or handphone to socialize. How does the government see this incident? “He concluded. Finally, the event was closed with the handed over of token of appreciation by Dodik Setiawan Nur Heriyanto S.H., M.H., LL.M., P.hD as Secretary of the International Program of the Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia to the speaker.

As part of an effort for the continuous improvement, the law school audited by the internal audit from the Waqf Foundation of Universitas Islam Indonesia (Yayasan Badan Wakaf). The audit is not only evaluating the working performance of the law school in the past 2018 year but also the financial audit. The whole expenditure of the 2018 budget also evaluated by the internal auditor.

The audit process started on Tuesday, 5th of March 2019 and ended on Wednesday 6th of March 2019. All units audited by the internal auditor was the Dean Leadership, Division of Financial Management Administration, Undergraduate Study Program, Postgraduate Study Program of Law, Public Notary Study Program, Doctoral Study Program of Law, Advocate Profession Unit, Centre for Legal Training and Education, and International Program. Those all units were successfully followed the audit process with the average performance percentage 85%. The International Program performance has the highest percentage of working performance from all the units (98%).

“Based on the audit result, we received some notes from the auditor. Mostly about the incomplete documents to support the accountability of the use of certain budget. Fortunately, we could share the supporting documents. With this condition, we need to improve our administration process.” said the Dean.

English Courses for Batch 2 and 3 just finished last week on Friday, 1 March 2019. There were around 50 participants that took part in the courses. The courses started in early January 2019. “Participants were enthusiastic and they did a great job. I am really proud of their progress. Now, our law school has supporting staffs with their English capability to support their daily job.” said Christopher Cason, the course tutor.

At the closing ceremony, the Vice Dean for Resource Management (Hanafi Amrani, SH, MH, LLM, PhD) said in his speech “as the representative of the leadership, we would like to congratulate for all the participants. Please remember two things: do not forget and do not hesitate. Do not forget the things that you learned from the course. Do not hesitate to practice English in our daily activities. We do hope that this English course will provide more benefit for all participants as well as for the law school.”

As part of the internationalization of the law school, the basic understanding of English is important for supporting staffs because they are the key to our academic services. The law school itself had already visited by the AUN-QA assessors to get certified at the regional level.