Lembaga Ad Hoc Sebagai Formulasi Dinamika Penyidikan Dalam RUU Perampasan Aset
Oleh: Bagus Putra Handika Pradana – 23410912
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Mengutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juni 2024 bahwa RUU Perampasan Aset sudah disusun sejak tahun 2008 dan baru masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2023. RUU ini sangat krusial karena sebagai formulasi aturan hukum pidana khusus terkait perampasan aset, RUU ini diharapkan bisa membantu pemberantasan korupsi. Konsep perampasan aset diperkirakan mampu untuk memulihkan kerugian negara karena negara menyediakan alternatif untuk menyita dengan paksa keuntungan yang didapatkan dari tindakan korupsi dan pencucian uang. Meninjau prospek positif dari perampasan aset ini, masyarakat sangat mendukung agar DPR segera menjadikan RUU ini prioritas agar cepat disahkan dan diundangkan karena sampai sekarang masyarakat sudah khawatir banyaknya korupsi yang menjerat para pejabat kerah putih (white collar criminal).
Melihat data dari ICW pada Juni 2023, negara telah mengalami kerugian yang dilakukan oleh pejabat kerah putih terkhusus dalam tindak pidana korupsi, dengan nominal sebanyak Rp 238, 14 triliun. Ditambah dengan adanya korupsi dari PT. Pertamina, PT. Antam, dan BLBI yang telah merugikan negara sebanyak Rp. 1.368,5 triliun. Melihat fakta tersebut pentingnya RUU segera berlaku menjadi hukum positif karena RUU Perampasan aset mempunyai mekanisme yang berbeda dengan peraturan yang lain dalam menyelesaikan kasus korupsi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana akan diharmonisasikan dengan adanya UU Perampasan aset. Walaupun penegak hukum, seperti Jaksa, KPK, dan Polri telah menggunakan tiga peraturan tersebut dalam menangani perkara tipikor tetap saja belum bisa memaksimalkan dalam penyidikan dan pemberian sanksi.
Pasal 6 huruf (f) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan kewenangan bagi KPK dalam melakukan tindakan hukum setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, pada kasus Lukas Enambe yang meninggal dunia selama persidangan kasasi diajukan, ketika belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka KPK yang bertanggung jawab atas tindakan hukum perihal korupsi, maka tidak dapat berbuat apapun. Praktik ini memperlihatkan bahwasanya tidak ada kepastian hukum dalam tindakan penyitaan dan meminta mengganti kerugian. Melihat kasus tersebut kita merasa bingung karana kasus itu belum mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap dari hakim karena pelakunya telah meninggal dunia, jelas bahwa KPK tidak mempunyai otoritas dalam melaksanakan perbuatan hukum untuk menyita dan mengganti kerugian yang seharusnya dapat diberlakukan.
Selanjutnya, Jaksa Pasal 18 UU Tipikor menjelaskan bahwa Jaksa dapat mengajukan gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian negara yang terjadi karena tindak pidana korupsi. Pengajuan gugatan perdata di pengadilan perdata diharuskan dipisah dengan proses penyelesaian pidana yang sedang berlangsung. Jaksa berwenang untuk menggugat terdakwa atau pihak ketiga yang telah mendapatkan harta hasil korupsi, agar mengganti kerugian yang muncul karena perbuatannya.
Kemudian, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berperan penting dalam perampasan aset dan selalu dipastikan berhasil dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Polri menjadi garda terdepan ketika mengungkap tindak pidana, mengumpulkan bukti, dan mengamankan aset hasil tindak pidana. Dalam penyelidikan polri dapat bekerja sama dengan KPK dan Kejaksaan ketika ada kasus korupsi yang melibatkan dua negara. Polri berperan ketika ada pelacakan aset yang didapat secara ilegal dan berhak menyita sebagaimana yang diatur pada peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga berperan penting dalam menganalisis transaksi keuangan yang kurang valid sebelum pemberian laporan kepada penegak hukum. PPATK berperan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang dan membantu lembaga penegak hukum dalam menelusuri aset yang berkaitan dengan tidak pidana. Berdasarkan Pasal 65 UU TPPU, perampasan aset diawali dengan pemberhentian transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan (PJK). Berdasarkan pengamatan penyidik, pengadilan berhak untuk memutuskan terkait harta kekayaan yang diduga didapatkan dari hasil tindak pidana korupsi, maka aset tersebut berhak dikembalikan kepada negara.
Lembaga yang lain, ada pejabat pegawai negeri sipil (PPNS), jika dilihat dari faktor yuridis semua PPNS sekarang sudah mempunyai dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyidikan TPPU yang diduga dari tindak pidana asal, PPNS sekarang dapat menyuruh lembaga yang berwenang untuk memblokir rekening dan mengumpulkan bukti, seperti harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana asalnya. Pasal 71 ayat (1) PPTPPU, bahwa “penyidik, penuntut umum, dan hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana TPPU.
Maka dari itu, Pembentukan lembaga ad hoc untuk mengatasi potensi permasalahan yang dapat timbul di masa yang akan datang, terutama dalam implementasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Dalam RUU ini, terdapat lima lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, namun mereka semua tidak mempunyai batasan kewenangan yang jelas. Ketidakjelasan tersebut dapat memicu tumpang tindih kewenangan (overlapping function) serta potensi tarik-menarik atau saling merebutkan kasus. Oleh karena itu, keberadaan lembaga ad hoc diharapkan mampu mengurangi dampak dari overlapping function dan konflik kewenangan dalam implementasi RUU Perampasan Aset apabila dapat disahkan dikemudian hari.
Konsep lembaga ad hoc ini mempunyai dua prinsip utama. Pertama, anggota lembaga ad hoc diambil dari perwakilan masing-masing lima lembaga yang telah mempunyai kewenangan berdasarkan undang-undang yang berbeda. Dengan demikian, setiap lembaga tetap berperan dalam proses penyidikan tanpa kehilangan otoritasnya. Kedua, kepemimpinan dalam lembaga ad hoc akan ditentukan oleh Badan Keuangan Negara (BKN). BKN akan menentukan lembaga yang mempunyai kapasitas terbaik untuk memimpin jalannya penyidikan kasus korupsi tersebut. Dengan adanya lembaga ad hoc ini, diharapkan implementasi RUU Perampasan Aset dapat berjalan lebih efektif, transparan, serta menghindari konflik kewenangan yang dapat menghambat proses penyidikan dan penegakan hukum.
Daftar Pustaka
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Tambahan Lembaga Negara Nomor.3874.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 5164.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 6409.
JURNAL
Arianto, Andhie Fajar. (2024). Peran Lembaga Penegak Hukum Dalam Proses Perampasan Aset, Jurnal USM Law Review, Vol. 7, No. 3, 1609-1610.
Astaman. (2023). Tindakan Penyelidikan Kepolisian Terhadap Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi, Indonesian Journal of Legality of Law, Vol. 6, No. 1.
Afandi. (2018). Profesionalisme Penegak Hukum Terhadap Penetapan Tersangka Setelah Putusan Praperadilan Yang Menyatakan Tidak Sahnya Penetapan Tersangka, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 2, No.2.
Daenunu, Annisa. (2023). Analisis Batas Kewenangan Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan BNN Dalam Melakukan Koordinasi Penyidikan Kasus Tindak Pidana Narkotika, Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Politik, Vol.1, No.4.
Lutfi, Khoirur Rizal dan Retno Anggoro Putri. (2020). Optimalisasi Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Undang: Jurnal Hukum,Vol. 3, No.1.
Saputro, Heri Joko dan Tofik Yanuar Chandra. (2021). Urgensi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara Melalui Tindakan Pemblokiran Dan Perampasan Aset Sebagai Strategi Penegakan Hukum korupsi, Mizan: Jurnal of Islamic Law, Vol.5, No. 2.
Tanjung, Zikril Akbar. (2024). Perampasan Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi, National Journal of Law, Vol. 8, No.1.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!