Oleh: Dandi Dwi Lisadi 

NIM 21410568

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendahuluan

Dalam kancah hukum modern, dominasi kekuasaan sering kali menyembunyikan diri di balik tirai hukum yang tampak sah dan legitimatif. Di Indonesia, fenomena ini menampakkan diri sebagai otokrasi hukum atau disebut “autocratic legalism“, suatu paradigma di mana hukum bukan hanya menjadi alat keadilan, tetapi alat pengukuh kekuasaan. Ironisnya, alat yang seharusnya menjadi pondasi demokrasi dan keadilan ini malah menjadi senjata paling efektif bagi para otokrat untuk memperkuat cengkeraman mereka atas negara. Merujuk pada ucapan Nelson Mandela, “Hukum yang tidak adil adalah senjata yang paling ampuh di tangan penguasa untuk menjaga status quo yang tidak adil,” menggema keras di ruang ruang kekuasaan, di mana hukum kerap digunakan bukan sebagai sarana pembebasan, tetapi sebagai instrumen penindasan.

Autocratic Legalism: Dari Teori ke Praktik

“Autocratic legalism” menggambarkan penggunaan hukum oleh penguasa untuk memperkuat posisi mereka, sering kali mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi dan konstitusional. Di Indonesia, praktik ini terlihat dari cara hukum dan regulasi disusun untuk menguntungkan kelompok tertentu selama pemilu.

Contoh nyata dari autocratic legalism adalah pembahasan yang tergesa-gesa dan minim partisipasi atas undang-undang penting seperti Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Undang-undang ini, yang seharusnya menegakkan integritas demokrasi dan melawan korupsi, malah digunakan untuk mengukuhkan kekuasaan.

Pada Pemilu 2024, muncul kekhawatiran bahwa pemilu disiapkan untuk memudahkan kemenangan kelompok tertentu. Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Indonesia, mengkritik pemilu ini sebagai salah satu yang terburuk dalam sejarah negara, menyoroti penggunaan regulasi dan sumber daya negara yang bisa mempengaruhi hasil pemilu sebagai bentuk autocratic legalism yang memanipulasi sistem pemilu untuk mempertahankan kekuasaan.

Secara global, praktik serupa terlihat di Venezuela di bawah Hugo Chavez, yang menggunakan hukum untuk memperkuat kekuasaannya, sering melalui amandemen konstitusi dan hukum yang menguntungkannya. Hal ini menunjukkan bahwa autocratic legalism adalah fenomena internasional yang berdampak serius pada integritas sistem demokrasi.

Analisis atas autocratic legalism dalam konteks pemilu Indonesia menekankan pentingnya kewaspadaan dan keterlibatan masyarakat dalam proses demokrasi, memastikan hukum digunakan sebagai pelindung nilai-nilai demokrasi dan keadilan, bukan hanya sebagai alat untuk legitimasi kekuasaan.

Kasus Indonesia: Hukum, Kekuasaan, dan Otokrasi

Di Indonesia, praktik legalisme otokratik bukanlah fenomena baru, namun penyalahgunaan ini terlihat semakin jelas menjelang Pemilu 2024. Dalam hal ini, hukum dan kebijakan tidak hanya diformulasikan untuk mempertahankan status quo, tetapi juga untuk memperluas kekuasaan presiden yang sedang menjabat serta kelompok dan keluarga yang mendukungnya. Ini mencerminkan suatu bentuk otokrasi yang memanipulasi perangkat demokrasi untuk keuntungan pribadi dan politik. Salah satu manifestasi dari autocratic legalism ini adalah penggunaan UU Pemilu dan lembaga-lembaga negara sebagai alat untuk mengontrol dan membatasi kompetisi politik.

Kekhawatiran terbesar yang diungkapkan oleh berbagai pihak, termasuk tokoh politik veteran seperti Jusuf Kalla, adalah bahwa Pemilu 2024 diatur sedemikian rupa sehingga meminimalkan peluang oposisi dan memaksimalkan kontrol oleh pemerintah yang sedang berkuasa. Proses ini tidak hanya mengancam integritas pemilu tetapi juga prinsip dasar dari demokrasi yang bebas dan adil. Lebih jauh, ada indikasi bahwa undang-undang dan kebijakan baru diarahkan untuk mempersulit penyelenggaraan pemilu yang transparan dan partisipatif. Misalnya, regulasi pemilu yang membatasi media dan kampanye di media sosial, yang dianggap oleh banyak pengamat sebagai upaya untuk membatasi informasi yang dapat mengancam atau menantang kelompok yang berkuasa. Ini adalah bentuk lain dari autocratic legalism, dimana hukum digunakan untuk membatasi kebebasan berbicara dan berpendapat.

Selain itu, intervensi dalam lembaga-lembaga independen seperti KPK, yang seharusnya berfungsi sebagai pengawas keadilan dan transparansi, telah dikurangi kewenangannya, menjadikan lembaga ini kurang efektif dalam mengawasi tindakan koruptif yang mungkin terjadi selama periode pemilu. Dalam menghadapi Pemilu 2024, ada urgensi yang besar untuk masyarakat sipil dan pengawas independen untuk lebih proaktif dalam mengamati dan melaporkan setiap bentuk penyelewengan yang dilakukan oleh pemerintah.

Autocratic legalism, jika tidak dihadapi, dapat mengkonsolidasikan kekuasaan di tangan sedikit orang, mengikis fondasi demokrasi, dan menempatkan kepentingan kelompok atas kepentingan umum.

Mahkamah Konstitusi dan Judicial Activism

Di Indonesia, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai pengawas utama kekuasaan eksekutif, khususnya dalam menegakkan konstitusi dan demokrasi. Kepemimpinan Anwar Usman, yang merupakan ipar Presiden Joko Widodo, menimbulkan kekhawatiran serius akan konflik kepentingan, terutama dalam kasus yang berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Jokowi.

Judicial activism, suatu yang dinilai penting sebagai korektif terhadap penyalahgunaan kekuasaan, menghadapi tantangan serius. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya memperjuangkan keadilan dan transparansi, kini dihadapkan pada tantangan signifikan. Hakim-hakim harus mampu membuat keputusan yang berani dan tidak populer demi keadilan, tanpa dipengaruhi oleh tekanan politik atau kekerabatan.

Kondisi ini membutuhkan bentuk aktivisme yudisial yang progresif dan berani untuk mempertahankan integritas dan independensi yudisial dari pengaruh politik yang merusak. Dengan pengawasan ketat dan tekanan publik, diharapkan Mahkamah Konstitusi dapat bertindak adil, menjaga keputusan hukum yang krusial untuk masa depan demokrasi di Indonesia dari pengaruh nepotisme.

Refleksi atas Pemilu 2024 di Indonesia mengungkap bagaimana hukum dan kekuasaan disalahgunakan. Pemilu, yang seharusnya mendukung demokrasi dan representasi rakyat, ternoda oleh autocratic legalism yang menguntungkan penguasa. Manipulasi ini merusak integritas pemilu dan merongrong kepercayaan publik.

Praktik seperti nepotisme dalam Mahkamah Konstitusi dan manipulasi legislatif memperkuat kekuasaan menunjukkan perlunya reformasi hukum yang mendalam. Judicial activism harus diperkuat sebagai mekanisme korektif independen untuk mengembalikan keadilan.

Di tengah krisis ini, masyarakat sipil harus proaktif mengawasi dan menuntut keadilan, terutama mengawasi pengujian hasil pemilu yang saat ini terjadi di Mahkamah Konstitusi, yang menjadi ujian nyata untuk sistem hukum. Setiap warga harus aktif dalam politik, tidak hanya sebagai pemilih tetapi sebagai pengawas yang mengawal demokrasi dari kepentingan sempit. Demokrasi Indonesia di persimpangan kritis memerlukan komitmen bersama untuk integritas dan keberanian dalam menghadapi autokrasi. Ini penting agar demokrasi lebih dari sekadar kata, tetapi juga tindakan dan kebijakan nyata. Hasil Pemilu 2024 akan selalu menjadi catatan sejarah bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.

 

 

Oleh: Muhamamad Haris – 20410577
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Masyarakat telah digemparkan oleh lonjakan dan penggunaan teknologi yang menghasilkan konten melalui perintah promt (command promt), menghasilkan berbagai jenis konten seperti teks, gambar, audio, dan video dengan menggunakan Artificial Intelligence Content Generated (AI-CG). Mengutip dari Explodingtopics.com penggunaan AI-CG ini terbukti dengan adanya 100 (seratus) juta lebih user pada tahun 2023 pada salah satu platform AI-CG yang paling populer, yaitu ChatGPT, angka ini juga belum ditotal dengan AI-CG lainnya seperti Perplexity AI, Google Bard, Bing AI, dan lain sebagainya. Jumlah pengguna yang sangat fantastis ini memang pada dasarnya dikarenakan AI-CG memberikan kemudahan dalam menyelesaikan permasalahan maupun membantu kegiatan sehari-hari user dengan beberapa ketik saja.

Penggunaan AI-CG pada masyarakat tidak lepas dari salah satu permasalahan yang muncul dikarenakan penyalahgunaan terhadap teknologi AI-CG itu sendiri, yaitu kemampuan AI-CG yang disalahgunakan untuk membuat sebuah foto palsu yang bernuansa pornografi atau yang disebut dengan AI-Generated Fake Pornographic Images, yang mana muka dari foto hasil AI-CG dapat disesuaikan dengan hanya memasukan foto seseorang. Penyalahgunaan kemampuan AI-CG dengan membuat konten pornografi tersebut dapat menjadi polemik yang sangat serius bahkan dapat mengancam nama baik seseorang apabila permasalahan ini tidak diselesaikan secepatnya terhadap penyalahgunaan AI-CG.

Penyanyi musik pop asal Amerika Serikat, Taylor Alison Swift atau yang lebih dikenal dengan “Taylor Swift” menjadi salah satu korban AI-Generated Fake Pornographic Images pada awal tahun 2024 tepatnya 26 Januari. Foto-foto palsu dirinya yang telah dibuat ulang dengan AI-CG tersebar di social media “X” (sebelumnya dikenal Twitter) oleh akun anonim. Foto palsu Taylor Swift itu mendapat 47 juta views di X dan telah diunggah ulang hingga 24 ribu kali ke berbagai media sosial lain seperti X, Instagram, dan Facebook.

 

Meskipun akun anonim yang pertama membagikan foto itu akhirnya ditutup, dampak penyebaran AI-Generated Fake Pornographic Images telah mencederai nama baik dan membuat geram penyanyi pop asal Amerika tersebut. Wajahnya disalahgunakan untuk membuat foto palsu yang tidak senonoh. Taylor Swift merasa dilecehkan dan marah atas perbuatan tidak terpuji itu. Pihak manajemennya mempertimbangkan untuk mengambil upaya hukum kepada oknum yang membuat AI-Generated Fake Pornographic Images dari wajah Taylor Swift.

Pada kasus Taylor Swift tersebut dapat dipetik 3 (tiga) permasalahan hukum yang muncul, yaitu: Pertama, pelanggaran privasi dikarenakan telah menyalahgunakan wajah seseorang dengan tanpa izin untuk membuat sebuah konten bernuansa pornografi. Kedua, penggunaan AI-CG di masyarakat secara bebas tanpa adanya pembatasan dari hukum atau regulasi menyebabkan kerusuhan terhadap tertabrak-nya etika sosial di masyarakat. Ketiga, permasalahan yang disebabkan oleh penyalahgunaan AI-CG di masyarakat menjadikan landasan baru bagi para Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan kajian bagaimana untuk memberantas permasalahan penyalahgunaan AI-CG pada masyarakat.

Masyarakat perlu sadar bahwa ketika menggunakan teknologi AI-CG untuk menghasilkan AI-Generated Fake Pornographic Images akan menimbulkan pelanggaran hukum dikarenakan telah menyalahgunakan dengan tanpa izin wajah seseorang atau dalam bahasa Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi Indonesia (UU PDP) dikenal dengan “Data biometrik”. Penyalahgunaan ini dapat menimbulkan pelanggaran data pribadi terhadap pihak yang melakukan tindakan tidak senonoh tersebut.

Maraknya penyalahgunaan teknologi AI-CG Pemerintah Indonesia merespons melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Surat Edaran Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial (SE Etika Kecerdasan Artifisial). Menegaskan bahwa penggunaan AI-CG harus dapat dipastikan sebagai teknologi yang digunakan untuk ke arah yang mempertimbangkan prinsip etis, kehati-hatian, keselamatan, serta berorientasi pada dampak positif. Penyelenggaraan terhadap pemilik teknologi AI-CG juga mesti memperhatikan nilai-nilai etika yang dijalankan ketika memberikan akses teknologi-nya terhadap masyarakat, seperti: Inklusivitas, kemanusiaan, keamanan, aksesibilitas, transparansi, kredibilitas dan akuntabilitas, pelindungan data pribadi, pembangunan dan lingkungan berkelanjutan, dan kekayaan intelektual.

Penulis menilai bahwa seyogianya aksesibilitas terhadap AI-CG harus mulai diawasi oleh para APH maupun masyarakat Indonesia dikarenakan teknologi AI-CG ini sangat berpotensi menyebabkan berbagai permasalahan yang baru dan bahkan tidak diatur oleh undang-undang oleh negara seperti Indonesia dikarenakan barunya teknologi AI-CG yang hadir pada abad ke ke-21 (dua puluh satu). Perlu dipertimbangkan juga untuk langkah pemerintah Indonesia untuk mulai ke langkah yang pro-aktif untuk memberikan awareness terhadap masifnya peningkatan penggunaan terhadap teknologi AI-CG dan melindungi masyarakat dari penyalahgunaan kemampuan AI-CG seperti AI-Generated Fake Pornographic Images.

Kesimpulan yang dapat ditarik terhadap permasalahan AI-CG adalah penggunaan AI-CG telah memberikan kemudahan dalam menciptakan konten multimedia. Namun, terhadap penyalahgunaannya, khususnya dalam pembuatan konten pornografi palsu, menimbulkan permasalahan hukum dan sosial serius. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengembangkan mekanisme yang efektif untuk membatasi dan mengawasi penggunaan AI-CG melalui regulasi yang ketat dan jelas, sementara itu perlu dipersiapkan dengan pengetahuan yang cukup untuk menghadapi kasus-kasus serupa di masa mendatang. Regulasi yang lebih jelas dan komprehensif juga diperlukan untuk mengatur penggunaan AI-CG, mengingat perkembangan teknologi AI yang terus meningkat di masa depan, maka dari itu penggunaan teknologi ini dapat berada dalam batas etika dan hukum yang jelas. (editor: IB)