Oleh: M. Mustofah Bisri – 24410277

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (International Program) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kasus Harvey Moeis telah menjadi sorotan publik Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Pengusaha yang dikenal sebagai suami dari selebriti Sandra Dewi ini terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun. Perjalanan hukumnya mengalami dinamika yang menarik perhatian, terutama setelah vonis awal yang dianggap ringan dan kemudian diperberat secara signifikan. 

 Kasus Harvey Moeis, yang melibatkan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun, menjadi sorotan utama dalam konteks hukum di Indonesia. Dalam putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Harvey dihukum penjara selama 6 tahun 6 bulan berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal-pasal yang diterapkan dalam kasus ini, khususnya Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 12B, menekankan pada tindakan memperkaya diri sendiri dan penerimaan suap yang merugikan keuangan negara. Meskipun jumlah kerugian sangat besar, keputusan hukuman yang dijatuhkan dianggap tidak sebanding oleh banyak pihak, menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan ketegasan hukum di Indonesia.

Pada Desember 2024, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara kepada Harvey Moeis. Vonis ini jauh lebih rendah dibandingkan tuntutan jaksa yang menginginkan hukuman 12 tahun penjara. Selain hukuman penjara, Harvey juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 1 miliar dan uang pengganti senilai Rp 210 miliar. Putusan ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Banyak yang menilai hukuman tersebut tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan. Media sosial dipenuhi oleh kritik dan kekecewaan terhadap sistem peradilan yang dianggap tidak adil. Tagar #KeadilanUntukIndonesia sempat menjadi trending topic, menunjukkan besarnya perhatian publik terhadap kasus ini.

Menanggapi reaksi publik dan atas dasar rasa keadilan, jaksa penuntut umum mengajukan banding. Pada Februari 2025, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta mengabulkan permohonan tersebut dan memperberat hukuman Harvey Moeis menjadi 20 tahun penjara. Selain itu, denda yang harus dibayar tetap sebesar Rp 1 miliar, namun uang pengganti yang harus disetor meningkat menjadi Rp 420 miliar. Jika tidak dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 10 tahun. Perubahan signifikan dalam putusan ini menimbulkan berbagai spekulasi di kalangan netizen. Banyak yang berpendapat bahwa tekanan publik dan viralnya kasus ini di media sosial berperan besar dalam peningkatan hukuman. Pandangan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah keadilan hanya akan ditegakkan jika suatu kasus menjadi viral?

Fenomena ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Beberapa kasus sebelumnya menunjukkan pola serupa, di mana perhatian publik yang masif memengaruhi proses hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi lembaga peradilan dan potensi trial by public opinion. Di sisi lain, ada juga pandangan bahwa keterlibatan publik melalui media sosial dapat menjadi alat kontrol sosial yang efektif untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam proses hukum. Namun, penting untuk dicatat bahwa dalam sistem hukum yang ideal, putusan pengadilan harus didasarkan pada fakta dan bukti yang ada, bukan pada tekanan publik. Jika pengadilan mulai terpengaruh oleh opini publik, maka prinsip independensi peradilan bisa terancam. Oleh karena itu, meskipun partisipasi publik penting dalam mengawasi jalannya proses hukum, perlu ada batasan agar tidak mengintervensi independensi peradilan.

Dalam kasus Harvey Moeis, meskipun ada anggapan bahwa viralnya kasus ini memengaruhi putusan banding, tidak ada bukti konkret yang menunjukkan bahwa hakim terpengaruh oleh opini publik. Majelis hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dalam pertimbangannya menyatakan bahwa peningkatan hukuman didasarkan pada besarnya kerugian negara dan dampak luas yang ditimbulkan oleh tindakan korupsi tersebut. Kasus ini juga menyoroti peran media dalam membentuk opini publik. Media massa dan media sosial memiliki kekuatan besar dalam mengangkat suatu isu dan mempengaruhi persepsi masyarakat. Namun, dengan kekuatan tersebut datang tanggung jawab untuk menyajikan informasi yang akurat dan tidak memprovokasi. Penyebaran informasi yang tidak tepat atau berlebihan dapat memicu trial by media, di mana seseorang sudah dianggap bersalah atau tidak bersalah oleh publik sebelum ada putusan resmi dari pengadilan.

Di sisi lain, viralnya suatu kasus juga dapat membawa dampak positif, seperti mendorong penegak hukum untuk bekerja lebih transparan dan akuntabel. Dalam konteks ini, peran masyarakat sebagai pengawas jalannya proses hukum menjadi sangat penting. Namun, perlu diingat bahwa keterlibatan publik harus dilakukan dengan bijak dan tidak melanggar asas praduga tak bersalah. Kasus Harvey Moeis menjadi refleksi bagi sistem peradilan Indonesia tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara independensi peradilan dan keterlibatan publik. Transparansi dalam proses hukum harus ditingkatkan agar masyarakat mendapatkan informasi yang jelas dan akurat. Dengan demikian, kepercayaan publik terhadap sistem peradilan dapat terjaga tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip dasar hukum.

Pada akhirnya, kasus Harvey Moeis mengajarkan kita bahwa keadilan tidak boleh bergantung pada seberapa viral suatu kasus. Setiap individu berhak mendapatkan proses hukum yang adil dan transparan, terlepas dari besarnya perhatian publik. Sebaliknya, masyarakat juga memiliki peran penting dalam mengawasi jalannya proses hukum, namun harus dilakukan dengan cara yang bijak dan tidak mengintervensi independensi peradilan.

 

DAFTAR PUSTAKA

  • Buku

Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. Sinar Grafika, 2023.

Feka, Mikhael, Rahmad Masturi, Citranu Citranu, I. Kadek Kartika Yase, Latifah Nur’aini, Dimas Ramadhansyah, Siti Farhani, Ahmad Rifa’i, And Anis Rifai. Buku Ajar Hukum Pidana Korupsi. Pt. Sonpedia Publishing Indonesia, 2024.

  • Jurnal/Artikel

Handayani, Putri Happy. “Rekontruksi Politik Hukum Pidana Eksaminasi Penjatuhan Hukuman Dalam Kasus Harvey Moeis.” Jurnal Hukum Dan Kebijakan Publik 7, No. 1 (January 31, 2025). Accessed March 13, 2025. Https://Journalpedia.Com/1/Index.Php/Jhkp/Article/View/4406.

Sari, Dian Permata, Laila Fatia Maharani, Mila Agustin, And Nourel Islamay Diandra. “Analisis Hubungan Antara Kasus Korupsi Harvey Moeis Dan Setya Novanto Serta Kaitannya Dengan Hukum Tata Negara Dan Undang-Undang Nri 1945.” Eksekusi : Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara 3, No. 1 (2025): 112–122.

Subagja, Rakha Elwansyah Giri, Zahra Febriani Nugraha, Muhammad Alwan Ramadhana, And Asmak Ul Hosnah. “Tindak Pidana Di Luar Kuhp Mengenai Pencucian Uang Berdasarkan Kasus Korupsi Timah Rp 271 T.” Jurnal Studi Multidisipliner 8, No. 6 (June 30, 2024). Accessed March 13, 2025. Https://Oaj.Jurnalhst.Com/Index.Php/Jsm/Article/View/2018.

Oleh: Barlian Najma Elhanuna – 24410720

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

 

Lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Grup Band Sukatani asal Purbalingga Jawa Tengah menarik perhatian publik tidak hanya karena melodinya, tetapi juga karena liriknya, seperti “mau korupsi, bayar polisi” yang dianggap mencerminkan realitas sosial di Indonesia. Dalam lagu ini banyak mengundang pro dan kontra dari masyarakat karena menyoroti praktik korupsi atau suap yang melibatkan aparat kepolisian. Kritik sosial melalui seni musik semacam ini sebenarnya memiliki peran penting dalam mendorong kesadaran publik tentang masalah sistemik yang perlu diperbaiki. Di balik kontroversi tersebut, lagu ini juga menimbulkan pertanyaan tentang apakah lagu “Bayar Bayar Bayar” termasuk ke dalam kritik sosial atau hate speech (ujaran kebencian)? dan bagaimana implikasi lagu tersebut terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia?

Kritik sosial sejatinya berperan sebagai wahana yang merupakan wujud ekspresi dalam masyarakat yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap jalannya sistem sosial. Hal ini sebagai upaya menjaga keteraturan sistem sosial yang mempengaruhi kehidupan masyarakat. Melalui kritik sosial, berbagai perilaku sosial suatu kelompok dan individu yang menyeleweng dari norma atau tatanan moral dapat diidentifikasi dan dicegah agar sistem sosial tetap berjalan sesuai dengan asas keadilan dan kepatutan. Lagu “Bayar Bayar Bayar” merefleksikan hal ini dengan menyoroti praktik korupsi dan suap. Terlepas dari pro dan kontra yang ada, esensinya adalah upaya konstruktif untuk mendesak pembenahan sistem.

Hate speech biasanya merujuk pada ekspresi yang mengandung ujaran kebencian atau stigmatisasi terhadap kelompok atau individu tertentu yang dapat menyebabkan permusuhan. Dilihat dari segi tujuan maupun dampaknya diatas, kritik sosial dan hate speech merupakan dua hal yang berbeda. Kritik sosial sendiri merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan merupakan hak asasi yang dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) tepatnya dalam Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.  Dalam konteks lagu “Bayar Bayar Bayar”, meskipun liriknya dinilai keras dan menyindir, namun, pihak Band Sukatani telah mengklarifikasi bahwa isi dari lagu tersebut tidak ditujukan untuk menyindir institusi kepolisian secara keseluruhan, melainkan hanya mengkritik oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam praktik korupsi atau suap.

Dalam analisa penulis, lirik lagu “Bayar Bayar Bayar” dari Band Sukatani bukan merupakan hate speech. Dengan merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) tentang ujaran kebencian dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 310-311 tentang pencemaran nama baik. Ada beberapa hal yang dapat menjadi bahan acuan bahwa lagu tersebut tidak mengandung unsur hate speech: Pertama, lirik tidak mengandung kata-kata yang bersifat menyerang, memaki atau merendahkan suatu kelompok atau individu. Kedua, niat dan tujuan di balik lirik lagu dimaksudkan untuk mengkritik atau menyampaikan isu sosial. Ketiga, lirik tidak mengusung kekerasan atau tindakan diskriminatif terhadap suatu kelompok atau individu. Dengan demikian, lagu ini tidak memenuhi unsur-unsur ujaran kebencian dan lebih tepat dikategorikan sebagai kritik sosial daripada hate speech, karena tujuannya adalah menyoroti ketidakadilan yang merujuk pada penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang oleh oknum polisi tertentu untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Kebebasan berekspresi memungkinkan Band Sukatani untuk menyampaikan kritik sosial melalui medium musik, menjadikan karya mereka sebagai kritik sosial yang terjadi di masyarakat. Namun, perlu diperhatikan untuk dipahami bahwa kebebasan ini tidak bersifat mutlak. Terdapat batasan-batasan hukum yang mengatur kebebasan berekspresi, seperti dalam UU ITE Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) dan KUHP Pasal 310-311. Batasan tersebut pada hakikatnya dimaksudkan untuk melindungi hak dan reputasi pihak lain, tetapi sering kali disalahartikan atau disalahgunakan untuk membungkam suara kritis. Band Sukatani sendiri dikabarkan menghadapi berbagai bentuk tekanan, seperti mendapat intimidasi hingga penghapusan terhadap lagu “Bayar Bayar Bayar”, yang memunculkan perdebatan serius mengenai pembatasan kebebasan berekspresi di Indonesia. Alih-alih menjadi alat untuk menjaga ketertiban, regulasi tersebut justru rentan digunakan sebagai alat represif untuk membatasi ruang ekspresi seniman dan kreator musik. Hal ini menimbulkan kekhawatiran atas masa depan kebebasan ruang berekspresi khususnya bagi karya seni yang bersifat kritik sosial.

Dari pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa lagu “Bayar Bayar Bayar” hendaknya disikapi secara positif bahwa itu adalah bentuk ekspresi Grup Band Sukatani sebagai kritik sosial. Adapun implikasi dari kasus ini terhadap kebebasan berekspresi di Indonesia cukup berpengaruh. Terutama di era digital di mana media sosial menjadi sarana utama menyebarkan suatu gagasan. Seniman sudah semestinya memiliki hak untuk dapat dengan bebas, namun, tidak melewati batas dalam menyampaikan kritik sosial melalui karyanya selama kritik tersebut dapat meningkatkan suatu sistem menuju perubahan yang positif. Selain itu, regulasi yang menjadi payung hukum juga harus ditegakkan agar hak dari pihak kritikus dan target kritik tetap terlindungi. Kasus Grup Band Sukatani mengingatkan kita akan urgensi menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dengan regulasi yang menjadi payung hukum. Tanpa ruang untuk berekspresi, masyarakat mungkin kehilangan salah satu alat penting untuk mengadvokasi perubahan dan memastikan akuntabilitas institusi publik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5952)

 

Artikel Jurnal

Akbar, Ahmad Zaini. “Kritik Sosial, Pers Dan Politik Indonesia.” Unisia 17, no. 32 (2016): 44–51. https://doi.org/10.20885/unisia.vol17.iss32.art5.

Ilmu, Jurnal, Komunikasi Dan, and Sosial Politik. “Framing Media , Kebebasan Ekspresi , Dan Sistem Politik Pada Pencabutan Lagu Bayar Bayar Bayar” 02, no. 03 (2025): 850–54.

Karo Karo. “Hate Speech: Penyimpangan Terhadap UU ITE, Kebebasan Berpendapat Dan Nilai-Nilai Keadilan Bermartabat.” Jurnal Lemhannas RI 10, no. 4 (2023): 52–65. https://doi.org/10.55960/jlri.v10i4.370.

Susanti, Winda, and Eva Nurmayani. “Kritik Sosial Dan Kemanusiaan Dalam Lirik Lagu Karya Iwan Fals.” Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia 3, no. 1 (2020): 1–8.

 

Website

Febriari, S. (2025). Lagu “Bayar Bayar Bayar” Viral, Sukatani Band Buat Klarifikasi Permintaan Maaf. Metro TV News. https://www.metrotvnews.com/play/K5nC7DRW-lagu-bayar-bayar-bayar-viral-sukatani-band-buat-klarifikasi-permintaan-maaf

Maharani, D. (2025). Lirik Lagu Bayar Bayar Bayar dari Band Sukatani. Kompas.Com. https://www.kompas.com/hype/read/2025/02/20/162617766/lirik-lagu-bayar-bayar-bayar-dari-band-sukatani

Munawaroh, N. (2024). Pasal-Pasal Ujaran Kebencian dalam Hukum Positif Indonesia. Hukum Online. https://www.hukumonline.com/klinik/a/pasal-pasal-ujaran-kebencian-dalam-hukum-positif-indonesia-lt5b70642384e40/

Oleh: Ahmad Harland Fadhilah – 24410398

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui secara universal. Hak ini memungkinkan setiap orang untuk bersuara, tanpa ada rasa takut akan pembungkaman dari pihak yang dikritik. HAM sendiri merupakan hak paling mendasar yang diberikan oleh Tuhan pada manusia sejak manusia itu diciptakan. Di Indonesia sendiri kebebasan untuk menyuarakan pendapatan ataupun kritikan telah menjadi bagian penting dari panjangnya perjalanan demokrasi pasca-Reformasi tahun 1998. Akan tetapi di bawah rezim yang baru ini, tentunya kebebasan ini mendapat tantangan yang baru pula dan membawa kekhawatiran di kalangan masyarakat.

Sejarah HAM di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Pada era Orde Baru, kisaran tahun 1970 sampai periode 1980an masalah terkait HAM mengalami kemunduran, karena kebebasan bersuara dibatasi oleh rezim yang ada kala itu dengan menggunakan berbagai instrumen hukum dan bahkan kekuatan militer untuk membungkam krtitik. Pada masa Presiden Habibie, Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan dalam hal kebebasan berekspresi dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM. Di era kepemimpinan Presiden Prabowo, kebebasan berekspresi Kembali menjadi sorotan. Meski Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM, praktik di lapangan menunjukan adanya upaya pembungkaman suara, terutama terhadap kelompok maupun individu yang dianggap terlalu mengkritisi pemerintah. 

Beberapa kasus muncul sebagai bukti pembungkaman kebebasan berekspresi di era Presiden Prabowo Subianto. Mulai dari pelarangan lagu Sukatani yang berjudul Bayar Bayar Bayar, yang dianggap lirik lagunya terlalu mengkritik institusi kepolisian. Meskipun lagu tersebut sebenarnya mencerminkan suara hati banyak masyarakat yang muak dengan ketidakadilan, pihak berwenang justru memilih untuk membungkamnya dengan alasan bahwa liriknya dianggap menyinggung dan tidak pantas. Ada juga kasus lain seperti Pameran Lukisan Yos Suprapto yang Gagal Digelar di gedung Galeri Nasional Indonesia, dengan judul Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan.  Lukisan-lukisan tersebut dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan isu agraria dan kedaulatan pangan. Alih-alih membungkam, pemerintah seharusnya merespons dengan dialog terbuka dan solusi konstruktif. Pembungkaman hanya akan memperkuat citra otoriter dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah. 

Secara konstitusional, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara ideal sudah diatur dalam pasal diatas akan tetapi seringkali realitanya tidak sesuai dengan pasal tersebut. Dari perspektif HAM internasional, pembungkaman suara merupakan pelanggaran terhadap standar global yang diatur dalam Deklarasi Universal HAM pasal 19 yang secara eksplisit menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Dan diatur juga dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politika, atau yang biasa dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dalam pasal 19 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan apa pun, terlepas dari batasan, baik secara lisan, tertulis, atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain sesuai pilihannya.” Kebebasan individu untuk bersuara seharusnya tidak boleh dihalangi, yang harus dihalangi ialah kepentingan individu berbasis oligarki.

Pembungkaman kebebasan berekspresi memiliki dampak yang amat serius terhadap demokrasi negara kita. Pilar institusional demokrasi bisa tergerus, seperti kebebasan pers. pers yang bebas adalah penjaga demokrasi (the fourth estate). Ketika kebebasan pers dibatasi, fungsi kontrol terhadap pemerintah melemah, dan ruang untuk investigasi dan pelaporan isu-isu publik menjadi sempit. Dan partisipasi publik, pembungkaman suara menciptakan iklim ketakutan di mana masyarakat takut untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ini mengurangi partisipasi dalam diskusi publik, protes damai, atau bahkan dalam proses pemilihan, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi demokrasi.

Mempertahankan kebebasan berekspresi di tengah tekanan politik dan sosial memerlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak, yang paling utama adalah pemerintah harus menghentikan penggunaan undang-undang yang represif, seperti UU ITE dan pasal-pasal karet dalam KUHP, yang digunakan untuk membungkam suara kritis. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak dikorbankan demi kepentingan politik jangka pendek. Selain itu, lembaga seperti Komnas HAM perlu diberikan kewenangan yang lebih besar dan independensi untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM secara efektif, termasuk kasus pembungkaman suara. Tanpa dukungan struktural dan politik yang memadai, upaya Komnas HAM akan terus terbentur oleh keterbatasan. Di sisi lain, masyarakat sipil memainkan peran krusial dalam mempertahankan ruang demokrasi. Masyarakat harus terus meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kebebasan berekspresi melalui kampanye edukasi, diskusi publik, dan advokasi media. Selain itu, komunitas internasional juga dapat memberikan tekanan dan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk mematuhi standar HAM global, baik melalui diplomasi, laporan HAM, maupun kerja sama teknis. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional, kebebasan berekspresi dapat terus dijaga sebagai pilar penting demokrasi Indonesia.

 

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-undangan:

Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

Buku:

Gerung Rocky, Habis Dungu Terbitlah Bajingan Tolol Filsafat untuk Indonesia Selamat, Ctk.1, Komunitas Bambu, Depok, 2024.

Herdiawanto Heri, dkk., Kewarganegaraan dan Masyarakat Madani, Ctk. 1, PRENADAMEDIA GROUP, Jakarta, 2019.

Jurnal:

Julianja Sufiana, “Pembatasan Kebebasan Berkespresi dalam Bermedia Sosial : Evaluasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Padjadjaran Law Review Volume 6, Desember 2018, hlm. 21. (https://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/plr/article/view/387/271). 

Berita:

Nurmalasari Titik, ”Sederet Kasus Pembungkaman Seni di Awal Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto”, 

(https://www.tempo.co/teroka/sederet-kasus-pembungkaman-seni-di-awal-pemerintahan-presiden-prabowo-subianto-1211374).

Web:

KOMNASHAM, “DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK MANUSIA”, (https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi–$R48R63.pdf).

 

Oleh: Raditya Alif Akmal – 22410003

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler  Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara. Indriyanto Seno Adji menyebutkan korupsi sebagai White Collar Crime dengan modus operandi yang dinamis. Kesimpulannya adalah korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang sulit ditangani dan berdampak besar terhadap kerugian keuangan negara serta kesejahteraan masyarakat. Korupsi masih terus berkembang dengan berbagai modus baru yang tidak hanya melibatkan pejabat negara, tetapi juga aparat hukum dan sektor swasta, menunjukkan bahwa korupsi telah mengakar dalam sistem pemerintahan. Berdasarkan laporan ICW tahun 2023, terdapat 791 kasus dengan 1.695 tersangka, termasuk di sektor BUMN. Korupsi dalam proyek strategis dapat menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Bicara tentang korupsi. baru baru ini, PT Pertamina terlibat dalam kasus dugaan korupsi. Kerugian yang dialami oleh negara tidaklah sedikit. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian yang dialami mencapai Rp. 193,7 triliun yang mana itu merupakan kerugian negara dalam satu tahun, apabila dihitung dari tahun 2018 hingga 2023 maka kerugian yang dialami Rp. 980 triliun. Kejaksaan Agung telah menetapkan 9 orang tersangka kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang enam di antaranya merupakan pejabat Sub Holding PT Pertamina, sedangkan tiga diantaranya dari pihak swasta.

Kasus korupsi oleh PT Pertamina ini menimbulkan pertanyaan di khalayak umum. Pertanyaannya adalah hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada para tersangka, ditambah lagi banyak media berita yang memberitakan bahwa para tersangka dapat dijatuhi hukuman mati. Masalahnya apakah para tersangka bisa dijatuhi hukuman mati? Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memang telah membuka kemungkinan tersebut, mengacu pada Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor, yang memungkinkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam keadaan tertentu. Namun, hingga kini belum ada keputusan final mengenai penjatuhan hukuman mati , dan hal tersebut masih sebatas pertimbangan yang akan ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan lebih lanjut​. Apakah langkah ini akan benar-benar diambil, mengingat dalam sejarah hukum Indonesia, hukuman mati bagi koruptor belum pernah diterapkan. 

Sistem hukum di Indonesia, telah mengatur hukuman mati bagi koruptor yang tercantum dalam  Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor. Pasal tersebut menyatakan bahwa hukuman mati itu dapat dikenakan apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukakun dalam “keadaan tertentu”. Keadaan tertentu menurut penjelasan undang-undang adalah jika korupsi dilakukan dalam keadaan yang salah satunya ketika negara mengalami bencana alam nasional. Korupsi dalam situasi tersebut dapat menghambat distribusi bantuan, memperlambat pemulihan infrastruktur, serta meningkatkan jumlah korban jiwa akibat keterlambatan respons pemerintah. 

Keppres No. 12 Tahun 2020 secara resmi menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional,. Kasus Korupsi di Pertamina terjadi dalam kurun waktu 2018 hingga 2023, yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia saat itu sedang menghadapi bencana nasional, yaitu pandemi COVID-19. Artinya, segala bentuk tindak pidana korupsi yang terjadi selama kurun waktu ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam “keadaan tertentu” yang memungkinkan penerapan hukuman mati. Pada masa pandemi pemerintah berjuang mengalokasikan anggaran untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan, namun korupsi pertamina ini justru menambah beban untuk pemerintah. Modus seperti pengadaan minyak mentah sebesar 13-15% secara impor,dan mengesampingkan minyak mentah dalam negeri, serta memanipulasi harga BBM menyebabkan potensi lonjakan harga energi. Sedangkan pada masa pandemi, hidup masyarakat saat itu sedang dalam krisis karena mengalami kesulitan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan penurunan daya beli. Mempertimbangkan faktor-faktor di atas, sangat jelas bahwa korupsi di PT Pertamina terjadi dalam kondisi bencana nasional dan berdampak luas terhadap ekonomi negara serta kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan hukuman mati bagi para tersangka dalam kasus ini, seharusnya dapat menjadi opsi yang dipertimbangkan secara serius. 

Meski begitu apakah penjatuhan hukuman mati untuk para tersangka benar-benar dapat dilakukan? Apabila kita melihat kasus korupsi yang lain dengan kurun waktu yang sama dengan Korupsi PT Pertamina, seperti korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19, di mana pejabat negara melakukan mark-up harga sembako yang seharusnya diberikan kepada rakyat yang terdampak pandemi. Korupsi ini, menyebabkan kerugian negara hingga Rp5,9 triliun dan menghambat penyaluran bantuan bagi masyarakat yang sangat membutuhkannya. Apabila kita mengacu pada keadaan tertentu ketika negara mengalami bencana alam nasional seharusnya kasus tersebut sudah memenuhi kriteria dari keadaan tertentu dan seharusnya terpidana Juliari Peter Batubara dapat dijatuhi hukuman mati. Namun nyatanya sesuai dengan putusan nomor 29 /Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst hakim tidak memutus hukuman mati dan hanya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta saja.

Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor memang memungkinkan penerapan hukuman mati bagi koruptor dalam keadaan tertentu, namun pada realitasnya penerapan hukuman ini masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu hambatan utama adalah interpretasi yang fleksibel terhadap istilah “keadaan tertentu”, yang tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang. Ketidakjelasan akan batasan untuk menentukan suatu tindak pidana korupsi telah memenuhi “keadaan tertentu” ini menjadi pertanyaan besar bagi penegak hukum di Indonesia, yaitu siapa yang berwenang untuk menentukan kondisi “keadaan tertentu”? Secara hierarki dalam sistem peradilan, hakim memang menduduki posisi tertinggi dalam fungsi yudikatif, karena mereka memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi hukum. Kendati demikian hakim dalam memutus suatu perkara hanya dapat menginterpretasikan hukum dalam suatu perkara secara yuridis saja. Sedangkan unsur “keadaan tertentu” ini, merupakan aspek non yuridis yang bukan kewenangan hakim. Kesimpulannya adalah hukuman yang akan dijatuhkan pada para tersangka kasus korupsi PT Pertamina ini, akan sulit untuk dijatuhi hukuman mati, mengingat kendala yang ada serta melihat pada yurisprudensi sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 140.

Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 134.

Indonesia. (2020). Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2010). Putusan No. 46/PUU-VIII/2010.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2021). Putusan No. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Jurnal

Arianto, H. (2012). Peranan hakim dalam upaya penegakkan hukum di Indonesia. Lex Jurnalica, 9(3), 151-162.

Jupri, J. (2019). Diskriminasi hukum dalam pemberantasan korupsi politik di daerah. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 11(1), 114–131. https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1997 

Sabila, N. I., Syadida Az Zahro, M. Q., & Putriga, B. R. (2023). Dilematika “keadaan tertentu” dalam penjatuhan sanksi pidana mati terhadap koruptor di Indonesia. Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum, 12(2). https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi

Artikel 

Kompas.com. (2025, Februari 25). Korupsi Pertamina rugikan negara Rp 193,7 triliun, bagaimana awal kasus ini? https://www.kompas.com/tren/read/2025/02/25/144500565/korupsi-pertamina-rugikan-negara-rp-193-7-triliun-bagaimana-awal-kasus-ini 

Kompas.com. (2025, Maret 6). Soal hukuman mati tersangka korupsi Pertamina, Jaksa Agung tunggu hasil. https://nasional.kompas.com/read/2025/03/06/17335791/soal-hukuman-mati-tersangka-korupsi-pertamina-jaksa-agung-tunggu-hasil

Tempo.co. (2024, Februari 5). ICW catat sepanjang 2023 ada 791 kasus korupsi, meningkat signifikan 5 tahun terakhir. https://www.tempo.co/hukum/icw-catat-sepanjang-2023-ada-791-kasus-korupsi-meningkat-singnifikan-5-tahun-terakhir-57431

Oleh: Bagus Putra Handika Pradana23410912
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 

Mengutip dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada Juni 2024 bahwa RUU Perampasan Aset sudah disusun sejak tahun 2008 dan baru masuk di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) pada tahun 2023. RUU ini sangat krusial karena sebagai formulasi aturan hukum pidana khusus terkait perampasan aset, RUU ini diharapkan bisa membantu pemberantasan korupsi. Konsep perampasan aset diperkirakan mampu untuk memulihkan kerugian negara karena negara menyediakan alternatif untuk menyita dengan paksa keuntungan yang didapatkan dari tindakan korupsi dan pencucian uang. Meninjau prospek positif dari perampasan aset ini, masyarakat sangat mendukung agar DPR segera menjadikan RUU ini prioritas agar cepat disahkan dan   diundangkan karena sampai sekarang masyarakat sudah khawatir banyaknya korupsi yang menjerat para pejabat kerah putih (white collar criminal)

Melihat data dari ICW pada Juni 2023, negara telah mengalami kerugian yang dilakukan oleh pejabat kerah putih terkhusus dalam tindak pidana korupsi, dengan nominal sebanyak Rp 238, 14 triliun. Ditambah dengan adanya korupsi dari PT. Pertamina, PT. Antam, dan BLBI yang telah merugikan negara sebanyak Rp. 1.368,5 triliun. Melihat fakta tersebut pentingnya RUU segera berlaku menjadi hukum positif karena RUU Perampasan aset mempunyai mekanisme yang berbeda dengan peraturan yang lain dalam menyelesaikan kasus korupsi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana akan diharmonisasikan dengan adanya UU Perampasan aset. Walaupun penegak hukum, seperti Jaksa, KPK, dan Polri telah menggunakan tiga peraturan tersebut dalam menangani perkara tipikor tetap saja belum bisa memaksimalkan dalam penyidikan dan pemberian sanksi.

Pasal 6 huruf (f) dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memberikan kewenangan bagi KPK dalam melakukan tindakan hukum setelah putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Akan tetapi, pada kasus Lukas Enambe yang meninggal dunia selama persidangan kasasi diajukan, ketika belum ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap maka KPK yang bertanggung jawab atas tindakan hukum perihal korupsi, maka tidak dapat berbuat apapun. Praktik ini memperlihatkan bahwasanya tidak ada kepastian hukum dalam tindakan penyitaan dan meminta mengganti kerugian. Melihat kasus tersebut kita merasa bingung karana kasus itu belum mendapatkan putusan berkekuatan hukum tetap dari hakim karena pelakunya telah meninggal dunia, jelas bahwa KPK tidak mempunyai otoritas dalam melaksanakan perbuatan hukum untuk menyita dan mengganti kerugian yang seharusnya dapat diberlakukan.

Selanjutnya, Jaksa Pasal 18 UU Tipikor menjelaskan bahwa Jaksa dapat mengajukan gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian negara yang terjadi karena tindak pidana korupsi. Pengajuan gugatan perdata di pengadilan perdata diharuskan dipisah dengan proses penyelesaian pidana yang sedang berlangsung. Jaksa berwenang untuk menggugat terdakwa atau pihak ketiga yang telah mendapatkan harta hasil korupsi, agar mengganti kerugian yang muncul karena perbuatannya. 

Kemudian, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berperan penting dalam perampasan aset dan selalu dipastikan berhasil dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Polri menjadi garda terdepan ketika mengungkap tindak pidana, mengumpulkan bukti, dan mengamankan aset hasil tindak pidana. Dalam penyelidikan polri dapat bekerja sama dengan KPK dan Kejaksaan ketika ada kasus korupsi yang melibatkan dua negara. Polri berperan ketika ada pelacakan aset yang didapat secara ilegal dan berhak menyita sebagaimana yang diatur pada peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, ada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) juga berperan penting dalam menganalisis transaksi keuangan yang kurang valid sebelum pemberian laporan kepada penegak hukum. PPATK berperan untuk mencegah dan memberantas pencucian uang dan membantu lembaga penegak hukum dalam menelusuri aset yang berkaitan dengan tidak pidana. Berdasarkan Pasal 65 UU TPPU, perampasan aset diawali dengan pemberhentian transaksi yang dilakukan oleh penyedia jasa keuangan (PJK). Berdasarkan pengamatan penyidik, pengadilan berhak untuk memutuskan terkait harta kekayaan yang diduga didapatkan dari hasil tindak pidana korupsi, maka aset tersebut berhak dikembalikan kepada negara.

Lembaga yang lain, ada pejabat pegawai negeri sipil (PPNS), jika dilihat dari faktor yuridis semua PPNS sekarang sudah mempunyai dasar hukum yang kuat dalam melakukan penyidikan TPPU yang diduga dari tindak pidana asal, PPNS sekarang dapat menyuruh lembaga yang berwenang untuk memblokir rekening dan mengumpulkan bukti, seperti harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana asalnya. Pasal 71 ayat (1) PPTPPU, bahwa “penyidik, penuntut umum, dan hakim berwenang memerintahkan pihak pelapor untuk melakukan pemblokiran harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana TPPU. 

Maka dari itu, Pembentukan lembaga ad hoc untuk mengatasi potensi permasalahan yang dapat timbul di masa yang akan datang, terutama dalam implementasi Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Dalam RUU ini, terdapat lima lembaga yang berwenang melakukan penyidikan, namun mereka semua tidak mempunyai batasan kewenangan yang jelas. Ketidakjelasan tersebut dapat memicu tumpang tindih kewenangan (overlapping function) serta potensi tarik-menarik atau saling merebutkan kasus. Oleh karena itu, keberadaan lembaga ad hoc diharapkan mampu mengurangi dampak dari overlapping function dan konflik kewenangan dalam implementasi RUU Perampasan Aset apabila dapat disahkan dikemudian hari.

Konsep lembaga ad hoc ini mempunyai dua prinsip utama. Pertama, anggota lembaga ad hoc diambil dari perwakilan masing-masing lima lembaga yang telah mempunyai kewenangan berdasarkan undang-undang yang berbeda. Dengan demikian, setiap lembaga tetap berperan dalam proses penyidikan tanpa kehilangan otoritasnya. Kedua, kepemimpinan dalam lembaga ad hoc akan ditentukan oleh Badan Keuangan Negara (BKN). BKN akan menentukan lembaga yang mempunyai kapasitas terbaik untuk memimpin jalannya penyidikan kasus korupsi tersebut. Dengan adanya lembaga ad hoc ini, diharapkan implementasi RUU Perampasan Aset dapat berjalan lebih efektif, transparan, serta menghindari konflik kewenangan yang dapat menghambat proses penyidikan dan penegakan hukum.

Daftar Pustaka

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999, Tambahan Lembaga Negara Nomor.3874.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 5164.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2019, Tambahan Lembaran Negara Nomor. 6409.

JURNAL

Arianto, Andhie Fajar. (2024). Peran Lembaga Penegak Hukum Dalam Proses Perampasan Aset, Jurnal USM Law Review, Vol. 7, No. 3, 1609-1610.

Astaman. (2023). Tindakan Penyelidikan Kepolisian Terhadap Pengembalian Kerugian Keuangan Negara Terkait Dugaan Tindak Pidana Korupsi, Indonesian Journal of Legality of Law, Vol. 6, No. 1.

Afandi. (2018). Profesionalisme Penegak Hukum Terhadap Penetapan Tersangka Setelah Putusan Praperadilan Yang Menyatakan Tidak Sahnya Penetapan Tersangka, Jurnal Bina Mulia Hukum, Vol. 2, No.2.

Daenunu, Annisa. (2023). Analisis Batas Kewenangan Antara Penyidik Kepolisian Republik Indonesia dan BNN Dalam Melakukan Koordinasi Penyidikan Kasus Tindak Pidana Narkotika, Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Politik, Vol.1, No.4.

Lutfi, Khoirur Rizal dan Retno Anggoro Putri. (2020). Optimalisasi Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Pengembalian Aset Hasil Tindak Pidana Korupsi, Undang: Jurnal Hukum,Vol.  3, No.1.

Saputro, Heri Joko dan Tofik Yanuar Chandra. (2021). Urgensi Pemulihan Kerugian Keuangan Negara Melalui Tindakan Pemblokiran Dan Perampasan Aset Sebagai Strategi Penegakan Hukum korupsi, Mizan: Jurnal of Islamic Law, Vol.5, No. 2. 

Tanjung, Zikril Akbar. (2024). Perampasan Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi, National Journal of Law, Vol. 8, No.1.

Oleh: Wahyu Nurindah Kharisma – 22410756

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendahuluan 

Kemajuan teknologi pada era modern ini menjadi sebuah keberuntungan sekaligus menjadi sebuah kesialan peradaban dunia, pasalnya di era digital ini membuat dunia semakin chaos karena banyak masyarakat/penduduk yang belum menguasai dasar-dasar kebenaran media digital, namun disisi lain bagi masyarakat/penduduk yang bisa menguasai media digital ini juga turut andil dalam membuat kekacauan di dunia karena mereka cenderung memanfaatkan media digital ini untuk hal-hal yang negatif. Hal-hal negatif di sini contohnya  menggunakan media digital untuk penipuan online, perdagangan organ manusia dengan membuat dark web, menghack `situs instansi Pemerintahan/Bank, dan kasus yang paling menonjol dan menjadi darurat bagi Negara kita saat ini adalah maraknya judi online terutama di kalangan pemuda Indonesia. Dilansir dari Kompas.com, menurut Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahtanto mengatakan terdapat 2,37 juta Warga Negara Indonesia yang menjadi korban dari judi online. Terdapat 2% pemain dengan total 80.000 penduduk usia di bawah 10 tahun, terdapat 11% pemain dengan total kurang lebih 440.000 penduduk usia 10-20 tahun, kemudian sebanyak 13% pemain dengan total 520.000 penduduk berusia 21-30 tahun, dan persentase tertinggi diduduki oleh pemain dengan rentang usia 30-50 tahun yaitu sejumlah 40% dengan total 1.640.000 penduduk. Dari data kasus judi online di atas disimpulkan oleh Menko Polhukam bahwa 80% pemain tersebut merupakan penduduk kalangan menengah ke bawah.

Fenomena judi online merupakan suatu bentuk permasalahan sosial yang telah ada sejak zaman dahulu. Hal ini selain bertentangan dengan norma sosial dalam masyarakat, perjudian juga memberikan dampak buruk dalam kehidupan pribadi maupun kelompok masyarakat. Hingga sekarang seiring berkembangnya zaman dan banyaknya pengguna alat elektronik berbasis internet, perjudian yang dahulu kala dilakukan secara manual sekarang di ekstrak menjadi Perjudian online. Perjudian Online adalah  permainan yang dilakukan menggunakan uang sebagai taruhan dengan ketentuan permainan serta jumlah taruhan yang ditentukan oleh pelaku perjudian online serta menggunakan media elektronik dengan akses internet sebagai perantara.

Pemerintah dalam fungsinya sebagai pengawasan sosial (social control) telah menetapkan aturan-aturan mengenai perjudian dalam Peraturan Perundang-undangan yaitu di antaranya terdapat dalam Pasal 303 KUHP dan Pasal 303 bis Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), sedangkan sanksi pidananya diperberat dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian. Sedangkan kebijakan Pemerintah pada Perjudian Online diatur dalam Ketentuan Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Lantas yang menjadi permasalahan di sini bukanlah Dasar Hukum untuk mengadili perkara judi online tersebut, tetapi bagaimana usaha Pemerintah sekaligus bagaimana peran masyarakat untuk memberantas dan mencegah problematik judi online ini sehingga Indonesia tidak semakin chaos karena permasalahan judi online. Dalam hal ini penulis memutuskan untuk membahas bagaimana Optimalisasi Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Pemberantasan Kasus Judi Online di Era Digitalisasi.

Pembahasan 

Urgensi dilakukannya pemberantasan terhadap maraknya kasus judi online

Pada dasarnya perjudian ataupun judi online atau apapun bentuknya sudah dilarang oleh Pemerintah bahkan sejak dahulu kala. Kemudahan akses internet merupakan penyebab utama semakin maraknya judi melalui situs online saat ini di Indonesia. Judi online merupakan persoalan serius yang membutuhkan perhatian tersendiri atau khusus dari Pemerintah Indonesia. Pasalnya apabila dibiarkan begitu saja hal ini akan menjadikan Negara krisis SDM, karena aktor utama dari judi online ini adalah para pemuda-pemuda Indonesia yang sebenarnya dibebani tanggung jawab untuk memajukan dan mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia. Namun faktanya mereka sekarang hancur dan bahkan bisa dianggap minim semangat untuk memajukan dan mewujudkan cita-cita Bangsa Indonesia hanya karena kecanduan judi online.

Namun perlu diingat meskipun pemberantasan judi online ini dianggap urgensi dan harus segera diberantas oleh negara, tetapi pemberantasan judi online di Indonesia cukuplah berat karena situs atau aplikasi yang terus bermunculan dengan nama yang berbeda meskipun aksesnya telah ditutup oleh KOMINFO. Hal ini menjadikan tantangan tersendiri bagi Pemerintah agar memberikan perhatian khusus terhadap pemberantasan judi online tersebut.

Peran Pemerintah dan masyarakat guna mendukung pelaksanaan pemberantasan kasus judi online 

Menurut Hardiyanto Kenneth dalam tesisnya, yang berjudul “Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet”, terdapat 2 faktor lain yang melatar belakangi perkembangan judi online di Indonesia yaitu upaya preventif yang dilakukan Pemerintah masih minim, hal ini dapat dilihat dari terdapat ribuan situs judi online yang masih beroperasi dimana mereka secara terang-terangan memasang iklan pada mesin pencarian. Dan yang kedua kemudahan akses fasilitas perbankan saat ini disalahgunakan pelaku judi online untuk melakukan transaksi judi online itu sendiri.

Pemerintah Indonesia saat ini berusaha sekuat tenaga melakukan berbagai upaya dalam memberantas judi online. Dilansir dari CNN Indonesia, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan bahwa pemberantasan judi online membutuhkan kerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk melakukan pemblokiran rekening, dan pelaporan pada pihak berwenang. Presiden Joko Widodo juga memerintahkan untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) untuk memberantas kasus judi online, yang kemudian ditindaklanjuti melalui Keputusan Presiden Nomor 21 tahun 2024. Selama periode 17 Juli 2023 hingga 23 Juli 2024, Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika telah melakukan pemutusan akses terhadap 2.645.081 konten perjudian online. Kementerian Kominfo juga telah mengajukan pemblokiran atas 573 akun e-wallet dan 6.199 rekening bank yang berkaitan dengan judi online kepada Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Mengenai penyusupan konten judi online di situs pemerintah dan lembaga pendidikan, Kementerian Kominfo telah menangani 23.616 sisipan halaman judi di situs pemerintah dan 22.205 di situs lembaga pendidikan. Kementerian Kominfo juga telah mengidentifikasi dan menyerahkan 20.595 kata kunci terkait judi online kepada Google dan 3.961 kata kunci kepada Meta untuk ditangani. Upaya ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam memberantas judi online dan melindungi masyarakat dari dampak negatif aktivitas ilegal. Pemerintah saat ini mengklaim bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan di atas mampu menurunkan akses masyarakat ke situs judi online sebesar 50%.

Selain peran Pemerintah, pemberantasan dalam kasus judi online ini sendiri juga memerlukan peran dari masyarakat. Dimana tanpa adanya peran dari masyarakat semua upaya ataupun peraturan yang dibuat Pemerintah tidak akan pernah terlaksana dengan baik. Sehingga dibutuhkan sebuah kesadaran hukum sekaligus kesadaran sosial yang cukup tinggi dari masyarakat untuk mengetahui bahwa judi online ataupun perjudian sangat merugikan diri sendiri ataupun kelompok dan Bangsa Indonesia. Pasalnya ketika masyarakat melakukan judi online mereka mengeluarkan uang sebagai bentuk depo untuk taruhan, dan apabila mereka kalah dalam taruhan tersebut maka uang tersebut lenyap atau hangus. Di mulai dari uang yang habis tersebut maka akan berdampak pada emosional, perekonomian dan kesehatan mental.

Dengan berbagai penjelasan dari penulis di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemberantasan judi online memerlukan perhatian khusus dari Pemerintah untuk menghindari chaos Negara karena maraknya kasus judi online akan menyebabkan pemuda Indonesia krisis SDM dan ekonomi. Pemerintah Indonesia saat ini mengklaim penurunan akses judi online sekitar 50% atas dasar upaya dari dilakukannya pembentukan Satgas berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2024.  Kemudian dalam hal pemberantasan ini diperlukan juga peran dari masyarakat dengan menumbuhkan terhadap diri sendiri mengenai sebuah kesadaran hukum sekaligus kesadaran sosial agar menghindari judi online yang dapat merusak generasi emas Indonesia sekaligus menghancurkan kesehatan mental dan ekonomi masyarakat Indonesia kedepannya.

DAFTAR PUSTAKA 

  • Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 1974 tentang Penerbitan Perjudian.

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

  • Tesis 

Hardiyanto Kenneth. (2013). Tindak Pidana Perjudian Online Melalui Media Internet.     Jakarta: Perpustakaan Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK). 

  • Jurnal 

Agus Rodani. (2022). Judi Online, Penyakit Sosial Yang Sulit Diberantas. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara. 

  1. Suhendra. (2018). Tinjauan tentang Judi Online. E-Journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta. 18. 
  • Berita 

Nirmala Maulana Achmad dan Dani Prabowo. (2024). Ada 2,37 Juta Pelakuk Judi Online, 80.000 di Antaranya Berusia di Bawah 10 Tahun [Berita Online Kompas.com].

tersedia di situs : https://nasional.kompas.com/read/2024/06/19/19141101/ada-237-juta-pelaku-judi-online-80000-di-antaranya-berusia-di-bawah-10-tahun

Tim CNN Indonesia. (2024). Judi Online Jerat 2,7 Juta Warga RI, Mayoritas Anak Muda [Berita Online CNN Indonesia].

tersedia di situs : https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20240419204045-192-1088301/judi-online-jerat-27-juta-warga-ri-mayoritas-anak-muda

Handoyo. (2024). Pemerintah Klaim Berhasil Turunkan Akses Masyarakat ke Situs Judi Online Sebesar 50% [ Berita Online Kontan.co.id].

tersedia di situs : https://nasional.kontan.co.id/news/pemerintah-klaim-berhasil-turunkan-akses-masyarakat-ke-situs-judi-online-sebesar-50.

 

Oleh: Almaira Faza Syahida – 23410133

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pendahuluan

Perizinan usaha dan AMDAL merupakan komponen krusial dalam proses pendirian sebuah usaha atau bisnis. Perizinan usaha memastikan bahwa kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku, sementara AMDAL dampak yang akan ditimbulkan pada lingkungan dari proyek tersebut. Keduanya bertujuan untuk memastikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan. Sering kali, proses perizinan dan AMDAL tidak berjalan seiring, sehingga izin tidak dapat diterbitkan jika AMDAL tidak memenuhi persyaratan.

Seperti, isu beberapa tahun terakhir, banyak pengalihan fungsi lahan lindung dengan pemberian izin untuk mendirikan usaha pada kawasan tersebut. Proses perizinan yang dipermudah, seringkali tanpa memperhatikan aspek lingkungan secara konservatif, telah memicu kekhawatiran bahwa kawasan lindung menjadi semakin rentan untuk dieksploitasi. AMDAL merupakan substansi penting dalam sahnya perizinan suatu usaha yang kini rentan untuk dikesampingkan. Fenomena ini tampak nyata dalam kasus-kasus pembukaan lahan untuk usaha yang dilakukan oleh oknum investor yang mendirikan usaha diatas lahan atau kawasan yang dilarang.

Isu beberapa waktu lalu usaha yang dimiliki oleh artis terkenal Raffi Ahmad di Gunung Kidul telah menjadi sorotan bagi aktivis pemerhati lingkungan.  Proyek ini, yang mencakup pembangunan fasilitas pariwisata besar, dapat merusak keseimbangan alam di kawasan batuan kapur yang berada di Gunung Kidul yang merupakan kawasan yang dilindungi. Diduga pembangunan bisnis tersebut tidak memenuhi syarat Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Oleh karena itu, sangat penting untuk meninjau kembali kebijakan perizinan ini dan memastikan bahwa setiap langkah dalam proses pengembangan ekonomi tidak mengorbankan keberlanjutan ekosistem yang dilindungi.

Pembahasan

      1. Kemudahan Perolehan Izin dari Pejabat Setempat

UU Ciptaker memperkenalkan konsep perizinan berbasis risiko, yang membagi jenis usaha berdasarkan tingkat risiko yang ditimbulkan terhadap lingkungan dan kesehatan Berdasarkan tingkat risiko ini, persyaratan AMDAL dapat bervariasi:

  1. Usaha Risiko Rendah: Usaha dengan risiko rendah tidak diwajibkan untuk memiliki AMDAL, cukup dengan persyaratan yang lebih ringan seperti dokumen lingkungan yang lebih sederhana.
  2. Usaha Risiko Menengah: Usaha yang masuk dalam kategori risiko menengah wajib memiliki Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL), yang merupakan bentuk pengelolaan lingkungan yang lebih sederhana dibandingkan AMDAL.
  3. Usaha Risiko Tinggi: Usaha dengan risiko tinggi tetap diwajibkan untuk menyusun AMDAL yang komprehensif.

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) dalam sistem hukum Indonesia awalnya diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009. Namun, regulasi ini mengalami perubahan setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam undang-undang ciptaker, substansinya dinilai kurang memberikan perhatian pada partisipasi publik. Persyaratan seperti adanya partisipasi publik untuk penerbitan AMDAL sering kali diabaikan demi kelancaran pembangunan di kawasan lindung.

Selain permasalahan dalam persyaratan AMDAL, dalam UU Ciptaker yang membahas soal perizinan juga menimbulkan kekhawatiran mengenai potensi kesewenang-wenangan pejabat dalam proses penerbitan izin. Diskresi dalam Penerbitan Izin memberikan kewenangan lebih besar kepada pejabat pemerintah untuk mengambil keputusan dalam penerbitan izin usaha. Hal ini bisa berpotensi menimbulkan keputusan yang tidak transparan dan mengarah pada praktik korupsi dan kolusi. Selain itu, proses perizinan yang lebih cepat seringkali mengabaikan partisipasi publik yang memadai. Padahal, keterlibatan masyarakat sangat penting untuk memastikan bahwa dampak lingkungan dan sosial dari sebuah proyek dapat diminimalisir. Kurangnya pengawasan dan hukum yang kuat dapat menjadi celah yang dapat menimbulkan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan izin.

  1. Problematika yang timbul

Pengabaian AMDAL dan kelonggaran izin menyebabkan dampak serius seperti kerusakan lingkungan, ketidakadilan sosial, rusaknya ekosistem alami, dan hilangnya kepercayaan publik. Tanpa penilaian lingkungan yang memadai, proyek pembangunan bisa menimbulkan konflik sosial, mengancam manfaat keberlanjutan, serta hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Pengabaian terhadap aspek-aspek ini juga dapat memperburuk masalah krisis iklim, karena pembangunan yang tidak terkendali seringkali meningkatkan emisi gas rumah kaca dan mempercepat perubahan iklim. Selain itu, proses perizinan yang tidak transparan dan akuntabel menjadi celah praktik korupsi, yang pada akhirnya merugikan perekonomian negara. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat pelaksanaan AMDAL dan memastikan proses perizinan yang ketat dan transparan demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

3. Kebijakan dan Solusi

Agar tidak terjadi penyalahgunaan dalam pemberian izin usaha di kawasan lindung, pemerintah dapat menerapkan beberapa kebijakan sebagai berikut. Pertama, meningkatkan penegakan hukum dengan memberikan sanksi tegas atas pelanggar perizinan izin usaha kawasan lindung. Kedua, membuat proses perizinan lebih transparan dan akuntabel dengan melibatkan pemangku kepentingan seperti masyarakat lokal, organisasi lingkungan, dan lembaga independen. Ketiga, meningkatkan pengawasan dan pengendalian terhadap pelaksanaan izin usaha kawasan lindung agar sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak merusak lingkungan. Selanjutnya, melibatkan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan izin usaha di kawasan lindung untuk memastikan bahwa suara mereka terdengar dan kekhawatiran mereka terpenuhi. Seluruh izin usaha kawasan lindung juga harus melalui evaluasi AMDAL yang ketat dan transparan, dengan memperhitungkan dampak lingkungan jangka panjangnya.

Daftar Pustaka

Luhukay, Roni Sulistyanto. “Penghapusan Izin Lingkungan Kegiatan Usaha Dalam Undang Undang Omnibus Law Cipta Kerja.” Jurnal Meta-Yuridis 4.1 (2021).

Herlina, Nina, and Ukilah Supriyatin. “Amdal Sebagai Instrumen Pengendalian Dampak Lingkungan Dalam Pembangunan Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan.” Jurnal Ilmiah Galuh Justisi 9.2 (2021): 204-218

Prianto, Yuwono, et al. “Penegakan Hukum Pertambangan Tanpa Izin Serta Dampaknya  Terhadap Konservasi Fungsi Lingkungan Hidup.” Bina Hukum Lingkungan 4.1 (2019): 1-20.

Oleh: Zul Azmi – 22410690

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Hutan Papua, sebagai salah satu ekosistem paling kaya di dunia, menyimpan keanekaragaman  hayati yang melimpah dan merupakan jantung kehidupan bagi masyarakat adat setempat.  Namun, proposal untuk mengkonversi hutan-hutan ini menjadi perkebunan kelapa sawit telah  memicu kritik global, dengan tagar #ALLEYESONPAPUA menjadi sorotan utama. Artikel ini  mengulas peran hukum lingkungan dalam melindungi ekosistem Papua serta dampaknya  terhadap pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terkait aksi iklim dan  konservasi keanekaragaman hayati.

Hutan Papua berfungsi sebagai reservoir keanekaragaman hayati yang sangat penting dan  memiliki peran krusial dalam pengaturan iklim global. Oleh karena itu, keberadaan hukum  lingkungan yang kuat sangat diperlukan untuk melindungi hutan ini dari ancaman konversi  menjadi perkebunan kelapa sawit. Tanpa perlindungan hukum yang memadai, risiko  deforestasi akan meningkat, mengancam keanekaragaman hayati dan memperburuk perubahan  iklim. Hukum lingkungan yang efektif tidak hanya mencegah kerusakan yang lebih besar tetapi  juga memastikan bahwa ekosistem hutan Papua tetap utuh dan berfungsi secara optimal dalam  stabilitas iklim global.

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit menghadapi ancaman serius terhadap  keanekaragaman hayati unik Papua dengan menghancurkan habitat penting bagi banyak  spesies. Misalnya, spesies seperti cendrawasih merah (Cendrawasih rubra) dan kanguru pohon  Papua (Dendrolagus ursinus) terancam punah akibat kehilangan habitatnya. Selain itu, proses  konversi mempercepat perubahan iklim melalui pelepasan karbon dioksida yang tersimpan  dalam hutan serta menyebabkan erosi tanah yang parah. Hingga saat ini, sekitar 70.000 hektar  hutan di Papua telah dikonversi, mengancam keberlangsungan ekosistem yang sangat vital.  Dampak ini semakin diperburuk oleh efek negatif pada masyarakat adat yang bergantung pada  hutan untuk mata pencaharian dan budaya mereka, memperdalam krisis ekologis dan sosial di kawasan tersebut.

Untuk menghadapi ancaman terhadap keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekologi yang  disebabkan oleh konversi hutan, implementasi solusi dan strategi pelestarian harus dilakukan  secara menyeluruh dan terintegrasi. Memperkuat penegakan hukum lingkungan merupakan  langkah awal yang krusial untuk mencegah pembalakan liar dan konversi lahan, dengan  menerapkan sanksi yang lebih berat serta meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas ilegal.  Kebijakan yang lebih ketat dapat secara signifikan mengurangi laju deforestasi. Selain itu,  penerapan teknik berkelanjutan seperti wanatani yang mengintegrasikan pohon dengan  tanaman dan ternak dapat berkontribusi pada pelestarian keanekaragaman hayati sekaligus  meningkatkan penyerapan karbon. Keberhasilan teknik wanatani di Kalimantan, yang  menunjukkan peningkatan biodiversitas dan kualitas tanah, serta studi kasus di Bogor yang  mengilustrasikan integrasi tanaman dan pohon untuk meningkatkan produktivitas tanah,  merupakan contoh nyata dari efektivitas pendekatan ini. Pemberdayaan masyarakat lokal juga  merupakan elemen penting; memberikan hak legal kepada masyarakat adat melalui inisiatif  seperti “Hutan Desa” memastikan keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan yang  berkelanjutan, seperti yang terbukti dari program Hutan Desa di Aceh yang berhasil  mengurangi deforestasi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terakhir, dukungan  internasional sangat vital, terutama melalui implementasi perjanjian seperti REDD+ dan  sertifikasi keberlanjutan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). REDD+, yang  mendukung pembiayaan untuk pelestarian hutan di negara-negara berkembang, termasuk  Papua New Guinea, dan sertifikasi RSPO, yang menetapkan standar praktik berkelanjutan di  industri kelapa sawit, memainkan peran penting dalam memastikan bahwa praktik industri  tidak merusak dan mendukung pelestarian hutan. Kombinasi dari strategi-strategi ini  diharapkan dapat memitigasi dampak negatif dan melindungi ekosistem hutan secara efektif..

Demi memastikan perlindungan yang efektif bagi hutan adat Papua, reformasi hukum yang  mendalam serta perlindungan hak masyarakat adat menjadi sangat krusial. Modifikasi  peraturan yang mendefinisikan secara jelas apa yang dimaksud dengan hutan adat dalam  regulasi perlu dilakukan, dengan tujuan untuk melindungi hutan dari eksploitasi komersial  yang merusak. Misalnya, peraturan baru yang menetapkan batasan tegas terhadap konversi  hutan adat dan memberikan hak pengelolaan yang jelas kepada masyarakat adat akan  meningkatkan perlindungan. Selain itu, penyusunan rencana penggunaan lahan yang  komprehensif harus menjadi prioritas, dengan penekanan pada pelestarian hutan serta  pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat yang bergantung pada hutan tersebut.  Contohnya, di Kalimantan, rencana penggunaan lahan yang melibatkan masyarakat lokal  dalam perencanaan dan pengelolaan terbukti berhasil mengurangi konversi lahan. Terakhir,  untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi dan perlindungan hak-hak masyarakat adat,  pembentukan organisasi pengawasan otonom yang dapat secara independen mengawasi dan  menegakkan aturan menjadi sangat penting. Organisasi ini akan berfungsi sebagai pengawas  independen yang memastikan pelaksanaan peraturan dan memberikan ruang bagi masyarakat  adat untuk menyuarakan keberatan mereka, sehingga menjamin perlindungan yang  menyeluruh dan efektif.

Melestarikan hutan adat Papua merupakan upaya penting dari segi ekologis dan etis.  Kolaborasi antara masyarakat lokal, pemerintah, perusahaan, dan komunitas global sangat  diperlukan untuk menghadapi krisis ekologis dan mencapai Tujuan Pembangunan  Berkelanjutan (SDGs). Melalui peningkatan kerangka hukum dan penerapan praktik  berkelanjutan, kita dapat menjaga warisan alam Papua dan memastikan masa depan yang  berkelanjutan untuk generasi mendatang. Upaya ini harus disertai dengan kesadaran global dan  tindakan nyata untuk melindungi lingkungan serta hak-hak masyarakat adat, sebagai komitmen  kita terhadap pelestarian budaya dan masa depan yang berkelanjutan.

Oleh: M. David Hanief -22410457

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Belakangan ini masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan kebijakan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Hal ini dipicu dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (PP Tapera) pada tanggal 20 Mei 2024. Sejatinya, Tapera bukanlah program yang baru diluncurkan oleh pemerintah tahun ini, melainkan telah ada sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat pada 24 Maret 2016. Kendati demikian, Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2020 tentang Tabungan Perumahan Rakyat memberikan waktu pendaftaran kepesertaan Tapera hingga tahun 2027. Adanya jeda waktu 7 tahun sejak PP tersebut ditetapkan yang membuat isu mengenai Tapera menjadi hilang timbul dan kembali mencuat ke publik pada akhir bulan Mei kemarin. Munculnya isu Tapera ke permukaan ternyata mendapat respon negatif dari berbagai pihak, mengapa demikian?

Pasal 1 angka 1 PP Tapera menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Tapera adalah penyimpanan yang dilakukan oleh peserta secara periodik dalam jangka waktu tertentu yang hanya dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan perumahan dan/atau dikembalikan berikut hasil pemupukannya setelah kepesertaan berakhir. Dari definisi tersebut, sudah dapat tergambar bahwa tujuan utama dari adanya program Tapera adalah untuk menghimpun dan menyediakan dana murah jangka panjang yang berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan rumah yang layak dan terjangkau bagi para pesertanya. Niat baik ini secara harfiah sejalan dengan amanat Pasal 28I ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang memberikan tanggung jawab kepada pemerintah untuk memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asas manusia setiap warga negaranya. Kebutuhan akan rumah merupakan hak dasar yang harus dimiliki oleh manusia selain pakaian dan makanan.

Keberadaan Tapera juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk usaha dari pemerintah dalam rangka memberikan tempat tinggal yang layak kepada setiap warga negara sebagaimana amanat Pasal 28H ayat (1) UUD 1945, memberikan pemenuhan kebutuhan dan ketersediaan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah, menghasilkan solusi atas permasalahan mahalnya biaya perumahan, dan membuat dana efektif jangka panjang untuk pembiayaan perumahan yang murah. Dalam rangka mewujudkan niat mulia ini pemerintah membentuk Badan Pengelola Tapera untuk menjalankan tugas, fungsi dan wewenangnya sebagai regulator Tapera. Dengan tujuan yang sedemikian bermanfaat, lantas mengapa terjadi penolakan terhadap Tapera di tengah masyarakat?

Penolakan terhadap program Tapera yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi tidak hanya berasal dari pekerja yang menjerit karena gajinya akan dipotong kembali, melainkan juga dari pengusaha itu sendiri. Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) berpandangan bahwa pemotongan gaji sebesar 3% (dengan rincian 2,5% bagi pekerja dan 0,5% bagi pengusaha) untuk iuran Tapera menambah beban bagi pekerja dan pengusaha. Mengingat, telah banyak potongan gaji yang harus disisihkan oleh pekerja dan pengusaha untuk membayar iuran jaminan sosial ketenagakerjaan. Secara logika matematika sederhana, program Tapera ini tidak dapat benar-benar mencapai tujuan utamanya yakni menyediakan rumah bagi para pesertanya. Hal ini dikarenakan potongan yang disetorkan hanya berjumlah 3% dari gaji pekerja. Jika kita mencoba menghitung untuk menarik potongan dari pekerja yang memiliki gaji sebesar 10 juta, maka setiap bulannya yang disetor sebesar 300 ribu (3% dari 10 juta). Jika kita hitung selama 50 tahun pekerja itu bekerja, maka total biaya yang disetor hanya berjumlah 180 juta. Dengan jumlah yang tidak mencapai angka 200 juta, dengan fakta bahwa harga rumah terus meningkat setiap tahunnya, apalagi 50 tahun sejak tahun sejak uang 300 ribu itu pertama kali disetor, maka program ini menjadi tidak realistis untuk mencapai tujuannya.

Fakta selanjutnya yang harus diingat baik-baik adalah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) tertinggi di Indonesia tidak menyentuh angka 10 juta, melainkan hanya berkisar di angka Rp5.343.430.00 (UMK Bekasi). Kenyataan ini menambah sulit terwujudnya tujuan dari diadakannya Tapera itu sendiri. Jika ada yang berpikir bahwa Tapera akan menjadi realistis karena konsep yang digunakan adalah subsidi silang, dimana pekerja yang telah memiliki rumah jika ikut berpartisipasi membayar iuran dan dana yang telah diperoleh akan dikembangkan oleh pengelola Tapera, maka ini adalah sesuatu yang sangat diharapkan terjadi. Namun, sederet fakta korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara belakangan ini membuat kita harus berpikir ulang mengenai harapan keberhasilan Tapera ini. Mulai dari kasus korupsi yang dilakukan oleh Rafel Alung Sambodo yang merupakan mantan Kepala Bagian Umum Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Selatan hingga kasus Syahrul Yasin Limpo, Mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia yang belakangan viral karena ternyata tujuan korupsinya sangat di luar nalar (terungkap dalam persidangan).

Kehadiran pemerintah dalam rangka memastikan ketersediaan rumah bagi seluruh warga negara memanglah sesuatu yang sangat mulia. Namun, jika dirasa Tapera merupakan solusi tepat yang dapat dilakukan, maka pemerintah harus menimbang-nimbang ulang terkait kesimpulan itu. Hal ini dikarenakan program Tapera ini secara logika matematika sederhana tidak masuk akal untuk dapat mencapai tujuan, apalagi kondisi ini diperparah dengan ketidakpercayaan masyarakat terhadap integritas pejabat publik dalam mengelola keuangan. Alih-alih menjadi Tabungan Perumahan Rakyat, Tapera dapat menjelma menjadi Tabungan Penderitaan Rakyat dengan hanya menjadi alat untuk memperkaya diri oknum pejabat yang di kemudian hari menyiksa masyarakat dengan iuran yang berkelanjutan. Kendati meluncurkan program Tapera, seharusnya pemerintah fokus untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat dengan menjamin pengelolaan yang baik terhadap jaminan sosial ketenagakerjaan yang selama ini telah dipotong dari gaji para pekerja. Selain itu, pemerintah juga dapat menaruh perhatian lebih untuk menyelesaikan persoalan gaji yang layak bagi para pekerja. Dengan gaji yang layak, harapannya para pekerja dapat membeli rumah sendiri dengan menyisihkan sebagian gajinya secara mandiri.

 

Oleh: Ahmad Kushay – 22410697

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia 

Dunia saat ini terus berkembang dan mengalami peningkatan kekayaan yang pesat. Pada saat yang sama, pemahaman masyarakat tentang keadilan juga terus berkembang dan menyebar luas. Maka, sangatlah miris mengamati realita di mana semua perkembangan ini hanya dinikmati oleh sebagian kecil orang, sementara mayoritas masyarakat justru semakin tertindas dan menurun kualitas hidupnya. Dalam konteks ekonomi internasional, teknologi dan globalisasi memungkinkan terbentuknya banyak perusahaan yang meraup keuntungan amat besar dari aktivitas bisnis mereka. Namun, keuntungan ini seringkali diperoleh melalui pelanggaran HAM, mengeksploitasi dan menindas golongan masyarakat yang paling rentan.

Laporan dari World Benchmarking Alliance (WBA) yang dirilis awal bulan Juli ini menunjukkan bahwa 90% dari 2000 perusahaan paling berpengaruh di dunia gagal menegakkan HAM. Secara spesifik, kurang dari 10% perusahaan menggaji pekerjanya dengan upah layak hidup (living wage), dan persentase yang sama juga berlaku untuk kepatuhan terhadap standar jam kerja yang ditetapkan oleh International Labor Organization (ILO). Lebih lanjut, hanya sekitar 20% perusahaan yang memonitor keamanan dan kesehatan di tempat kerja atau melakukan tindakan uji tuntas (due diligence) terkait penegakan HAM di tempat kerja mereka.

Hal ini sangatlah disayangkan mengingat kewajiban menegakkan HAM yang telah disetujui dalam banyak perjanjian internasional. Pasal 7 dari International Covenant of Civil, Economic and Social Rights (ICESCR) menetapkan hak atas kondisi kerja yang adil, termasuk gaji yang cukup, lingkungan kerja yang aman dan sehat, dan jam kerja yang masuk akal. Norma dari kovenan ini juga tercerminkan dalam perjanjian internasional lain seperti European Convention on Human Rights (ECHR), dan hukum nasional seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Jelas terdapat ketidakselarasan antara idealita dan realita terkait pemenuhan hak ini. Menurut penulis, terdapat dua faktor utama yang menyebabkan ketidakselarasan tersebut; Pertama, terkait dengan perusahaan itu sendiri. Kedua, dari konsumen.

Perusahaan, terutama perusahaan yang besar, seringkali memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap suatu negara, dan dapat bertindak seenaknya meskipun tindakannya menindas masyarakat yang rentan. Hal ini disebabkan berbagai alasan; di antara lain, lobi yang membuat aparat pemerintah menutup mata akan aktivitas

perusahaan yang melanggar hukum, atau bahkan dengan mengancam akan melitigasi negara dan menarik investasi mereka kecuali bila negara tersebut membebaskan perusahaan dari berbagai macam kewajiban, termasuk kewajiban menegakkan HAM.

Studi kasus yang paling terkenal akan hal ini adalah pertikaian antara Philip Morris International dengan Togo. Pertikaian ini berawal dari pemerintah Togo yang berencana menerapkan regulasi pengendalian tembakau yang lebih ketat, melalui, di antara lain, pencantuman gambar peringatan kesehatan di kemasan rokok, selaras dengan Framework Convention on Tobacco Control yang ditetapkan World Health Organization (WHO). Sebagai respon dari kebijakan tersebut, Philip Morris International, bersama dengan konglomerat tembakau lainnya, mengancam akan melitigasi Togo dan menarik investasi mereka. Karena Togo merupakan negara terbelakang dengan kemampuan ekonomi yang lemah, pada akhirnya pemerintah Togo membatalkan kebijakan tersebut. Hingga saat ini, kemasan rokok di Togo hanya mencantumkan peringatan kesehatan merokok dalam bentuk teks – di negara yang sekitar sepertiga populasinya buta huruf. Studi kasus ini hanyalah satu contoh. Terlihat bahwa keserakahan dari perusahaan yang disetir oleh mentalitas keuntungan diatas segalanya merupakan sebuah masalah besar.

Masalah dari perusahaan tersebut sebenarnya dapat ditangani dengan baik bila terdapat aksi kolektif dari masyarakat. Sebagai konsumen, masyarakat memiliki daya tawar terhadap perusahaan, dan dapat membuat perusahaan pelanggar HAM rugi melalui pemboikotan produknya. Sayangnya, kesadaran masyarakat untuk menginisiasi aksi kolektif tersebut masih minim. Kehidupan pada zaman ini sangat nyaman dan serba instan. Akibatnya, masyarakat seringkali sekedar mengkonsumsi suatu produk tanpa mengecek apakah pembuatan produk tersebut melibatkan praktek pelanggaran HAM. Lebih parahnya lagi, setelah praktek pelanggaran HAM diketahui pun seringkali masyarakat cenderung apatis dan tidak peduli. Korban pelanggaran HAM ini dilihat sebagai orang lain semata, dan bukan sebagai sesama manusia yang layak mendapatkan bantuan.

Lihat saja AICE. Perusahaan ini telah sering terdokumentasi menerapkan praktek bekerja yang buruk. Pelanggaran HAM seperti larangan cuti hamil dan cuti sakit, kondisi bekerja yang buruk bagi kesehatan, paksaan bekerja lama tanpa istirahat yang cukup, pemberian gaji lembur yang lebih sedikit dari yang dijanjikan, dan masih banyak masalah lainnya telah sering diberitakan media massa. Namun, AICE masih menjadi merek yang populer di Indonesia. AICE bahkan dapat menjadi sponsor es

krim resmi untuk acara besar seperti Asian Games. Hal ini menunjukkan bahwa apatisme konsumen juga merupakan isu yang harus diselesaikan dalam upaya penegakan HAM di lingkungan kerja.

Kedua faktor yang telah dijabarkan diatas tentu tidak mencakup semua tantangan dalam upaya penegakan HAM di lingkungan kerja. Namun, tetap terlihat bagaimana pentingnya meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mendorong perilaku yang lebih baik dari perusahaan pelanggar HAM. Untungnya, situasi sekarang tidak terlihat terlalu putus asa. Terdapat peningkatan dalam kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi produk yang diproduksi dengan praktek bekerja yang baik. Masyarakat di Uni Eropa semakin selektif dalam menentukan produk apa yang mereka konsumsi, dan hanya memilih produk yang memiliki sertifikasi tertentu (contoh: sertifikasi lingkungan). Terlebih lagi, budaya viral di media sosial saat ini juga dapat berkontribusi untuk menegur perusahaan yang melanggar HAM dan mendorong mereka untuk menghentikan pelanggaran tersebut. Tentunya semua hal ini masih merupakan suatu proses yang panjang. Maka dari itu, orang-orang yang sadar akan isu ini, seperti golongan akademisi, perlu menjadi garda terdepan dalam menyuarakan masalah ini dan melakukan apa yang kita bisa untuk mewujudkan pemenuhan HAM sebagaimana mestinya.