, ,

FH UII Belajar Hak Perempuan Bersama Pegiat HAM

[KALIURANG]; Pada hari Selasa (9/7) telah diselenggarakan Kuliah Umum di Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia (UII) dengan menghadirkan pegiat masyarakat dan Pakar Hak Asasis Manusia (HAM) Nursyahbani Katjasungkana. Beliau merupakan co-founder dari Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). Ditengah kesibukannya di Belanda,  Nursyahbani menyempatkan diri memberikan Kuliah Umum secara daring melalui Zoom Meeting kepada mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana FH UII.

Kegiatan ini mengusung tema “Perlindungan Perempuan dalam Kerangka Critical Legal Studies (CLS) dan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Acara ini diawali dengan sambutan dari Ketua Program Studi Hukum Program Sarjana (PSHPS) FH UII, Dodik Setiawan Nur Heriyanto, S.H., M.H., LL.M., Ph.D. menyebutkan dalam sambutannya, “Program ini sangat bagus dan kita berharap Ibu Nursyahbani Katjasungkana dapat memberikan wawasan yang mendalam khususnya isu-isu terkait hak-hak terhadap perempuan yang mana masih sangat sedikit dibahas di Indonesia, dan kita berharap kita mengawali di Fakultas Hukum UII untuk berani memperluas dan memperdalam keilmuwan terkait hak-hak atas perempuan.” pungkasnya.

Acara dihadiri oleh 60 lebih mahasiswa dan turut serta diikuti beberapa dosen UII.Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Kuliah Umum Program Studi Hukum Program Sarjana Fakultas Hukum UII sehingga mahasiswa mendapatkan tambahan ilmu dari narasumber yang berasal dari non-UII. Ibu Nursyahbani menyampaikan bahwa hak-hak perempuan selama ini diatur dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap hak perempuan (CEDAW).

 

Konvensi ini mengatur dengan sangat rinci bagaimana pemberian hak-hak perempuan mulai dari proses sampai kepada bagaimana aturan-aturan domestik di semua negara dapat memberikan Affirmative Actions terkait dengan hak-hak perempuan. “Di indonesia sendiri sudah mulai mengembangkan hak-hak tersebut kedalam peraturan perundang-undangan domestik, hanya saja memang perempuan seharusnya tidak formalistik tapi diharapkan nanti bisa aplikatif dan bisa memberikan nilai kesetaraan di semua lini yang ada didalam berbangsa dan bernegara” tuturnya. Demikian penjelasan dari Nursyahbani Katjasungkana.