TAMBAHAN KEWENANGAN DPR DALAM EVALUASI BERKALA PEJABAT LEMBAGA NEGARA

SIARAN PERS

Nomor: 09/SP/II/2025

PERNYATAAN PUSAT STUDI HUKUM KONSTITUSI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM IDONESIA (PSHK FH UII)

TERHADAP

“TAMBAHAN KEWENANGAN DPR DALAM EVALUASI BERKALA PEJABAT LEMBAGA NEGARA”

 

Assalamualaikum Wr. Wb.

Dengan Hormat,

Rekan Media

Selasa, 4 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Revisi Peraturan DPR tentang Tatib). PSHK FH UII memberikan catatan sekaligus pencerahan kepada publik, sebagai berikut:

  1. Bahwa terdapat kewenangan tambahan yang kontroversial dan menjadi sorotan publik yakni sebagaimana diatur di dalam Pasal 228 A Revisi Peraturan DPR tentang Tatib, yang berbunyi:
    1. ayat (1): dalam rangka meningkatkan fungsi pengawasan dan menjaga kehormatan DPR terhadap hasil pembahasan Komisi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 227 Ayat 2, DPR dapat melakukan evaluasi secara berkala terhadap calon yang telah ditetapkan dalam rapat paripurna DPR; dan
    2. ayat (2): hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 bersifat mengikat dan disampaikan oleh Komisi yang melakukan evaluasi kepada pimpinan DPR untuk ditindaklanjuti sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Kewenangan tersebut secara tidak langsung memberikan kewenangan tambahan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala yang tidak mustahil berujung pada pencopotan/pemberhentian kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), hingga hakim Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan, disetujui atau diberikan pertimbangan oleh DPR.

  1. Bahwa tambahan kewenangan DPR tersebut telah mengeliminasi prinsip pembatasan kekuasaan sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi dan mandat reformasi. Kewenangan tambahan tersebut jelas merupakan kegagalan DPR dalam memahami sistem ketatanegaraan di Indonesia. Fungsi pengawasan DPR seharusnya cukup dilakukan dengan mekanisme check and balances yang selama ini dilakukan melalui rapat dengar pendapat dan sejenisnya;
  2. Bahwa perluasan terhadap kekuasaan DPR dalam mencampuri lembaga lain yang konstitusional hanya terbatas pada apa yang diatur di dalam konstitusi dan Undang-Undang yang mengatur tentang DPR yakni DPR menjadi salah satu lembaga yang hanya mengajukan, menyetujui dan memberikan pertimbangan kepada calon pejabat indepeden tertentu bukan untuk mengevaluasi atau bahkan mencopotnya (Excessive authority of legislative basic function). Sehingga selain kewenangan yang telah dibatasi dalam konstititusi, maka penambahan kewenangan DPR dalam mencopot pejabat lembaga negara yang muncul dalam Revisi Peraturan DPR tentang Tatib merupakan pelampauan kewenangan atau bahkan abuse of power yang inkonstitusional.
  3. Bahwa sesuai dengan Undang-Undang pada masing-masing lembaga negara tersebut, telah tersedia mekanisme pengawasan atau evaluasi terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang, di antaranya sebagai berikut:
    1. Pimpinan KPK diawasi oleh Dewan Pengawas KPK;
    2. Komisioner KPU dan Bawaslu diawasi oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP);
    3. Hakim MA diawasi oleh Badan Pengawas MA;
    4. Hakim MK diawasi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK).

Sehingga, penambahan kewenangan DPR dalam mengevaluasi bahkan mencopot pejabat lembaga negara merupakan penyelenggaran negara yang salah kaprah, karena mengabaikan prinsip pembatasan kekuasaan, konstitusi dan beberapa undang-undang terkait DPR maupun lembaga negara tersebut.

  1. Logika DPR dalam mengatur evaluasi berkala calon pejabat negara yang telah ditetapkan adalah sesat. karena seolah menyepadankan dengan konsep pergantian antar waktu (recall) anggota legislatif yang identik dengan jabatan politik. Sedangkan pejabat negara yang proses seleksinya melalui DPR seperti Pimpinan KPK, Komisioner KPU, Bawaslu, Hakim Agung, Hakim Konstitusi sejatinya bukanlah pejabat politik. Melainkan pejabat negara yang dijamin independensinya dalam Konstitusi.
  2. Bahwa DPR telah salah dalam meletakkan penambahan kewenangan tersebut. Peraturan DPR tentang Tata Tertib merupakan peraturan internal yang tidak seharusnya mengikat keluar. Muatan penambahan kewenangan seharusnya diatur di dalam Konstitusi atau selevel Undang-Undang.
  3. Bahwa kewenangan tambahan tersebut kental akan kepentingan politik yang ingin mengatur, mengendalikan bahkan dapat membungkam dan menelanjangi lembaga negara melalui upaya sentralisasi penyelenggaraan negara hanya melalui jalur politik praktis (politization of state bodies), sehingga telah mengukuhkan DPR sebagi legislative heavy, lembaga super power, yang sangat rentan akan perilaku-perilaku koruptif.

Terhadap beberapa catatan di atas, PSHK FH UII menyatakan dan/atau merekomendasikan:

  1. Kepada DPR untuk segera mencabut ketentuan mengenai kewenangan tambahan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala kepada pejabat lembaga negara sebagaimana diatur di dalam Revisi Peraturan DPR tentang Tatib dan fokus mengoptimalkan fungsi dan kewenangan yang tersedia sehingga menghasilkan kerja-kerja yang membawa kesejahteraan bagi rakyat.
  2. Kepada Ketua Umum Partai Politik untuk mengingatkan kadernya di DPR untuk patuh dan tunduk pada konstitusi dan tidak membuat gaduh dengan akrobat politik yang kontraproduktif.
  3. Kepada aktivis, akademisi, dan masyarakat untuk mengawal bersama pencabutan ketentuan yang menambah kewenangan DPR dalam melakukan evaluasi berkala kepada pejabat lembaga negara demi menyelamatkan independensi lembaga negara lain.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kamis, 6 Februari 2025

 

 

Yuniar Riza Hakiki

M Erfa Redhani

(Peneliti PSHK FH UII)

Loader Loading...
EAD Logo Taking too long?

Reload Reload document
| Open Open in new tab