Author: Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M
Lecturer in Faculty of Law, Universitas Islam Indonesia, Departement of Constitutional Law
Apakah benar, jika Presiden menetapkan Perppu KPK, maka ia berpotensi besar untuk di impeach atau diberhentikan dalam masa jabatannya. Langkah ini kerap dihubung-hubungkan bahwa jika Presiden mengeluarkan Perppu, sama halnya Presiden tak serius dan tak menghormati DPR sebagai pengusul dan pembahas revisi UU KPK. Bahkan, sebagian politisi menilai jika tidak cermat, Perppu KPK bisa menjadi “jebakan batman” bagi Jokowi. Alias pintu masuk untuk menggulingkan posisinya sebagai Presiden. Narasi itu telah berseliwiran di ruang publik. Tatkala menjadi pembenar, bahwa Perppu tidak bisa dikeluarkan karena alasan itu. Tulisan singkat ini, mencoba mendudukan kembali stigma yang berkembang di masyarakat. Memahami kembali apa dan bagaimana Perppu, serta pengaruhnya dengan wacana impeachment.
Perppu
Lazimnya sistem presidensial, kuasa pembentukan Perppu selalu diserahkan kepada Presiden sebagai pemegang kuasa pemerintahan. Jika merujuk konvensi, Perppu dikenal sebagai jalur konstitusional untuk membentuk regulasi secara cepat. Disebut cepat dan sederhana, karena dalam proses pembentukannya, ia tidak perlu mengakomodasi ragam kepentingan partai yang ada di parlemen (Ann Seidman:2002). Tak heran jika Pasal 22 UUDN mengatur bahwa “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Soal ihwal kegentingan yang memaksa, MK telah memberikan kriteria normatif dalam Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009. Melalui interpretasinya, MK menetapkan tiga syarat. Kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah secara cepat, kekosongan hukum akibat ketiadaan undang-undang, atau ada namun dianggap tidak memadai, dan keadaan tidak dapat diatasi dengan prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tiga hal itu telah dilimitasi oleh MK. Namun perlu diingat, ketika putusan di jatuhkan, sembilan hakim konstitusi berada dalam satu paradigma yang sama. Bahwa kegentingan atau kebutuhan yang mendesak, tetap berada pada wilayah subjektivitas Presiden. Tak ada institusi lain yang bisa menilai situasi kegentingan memaksa, kecuali Presiden. Karena sifatnya yang subjektif, maka objektivikasinya, diserahkan pada parlemen. Selaras dengan intensi ayat (2) dan ayat (3) Pasal 22 UUDN. Perppu harus mendapatkan persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya untuk menjadi undang-undang. Jika tidak, maka Perppu itu harus dicabut. Intensi pasal tersebut menempatkan DPR sebagai penyeimbang, sekaligus melaksanakan fungsi kontrol terhadap kebijakan presiden (checks and balances). Selain fungsi crosscheck yang bisa dilakukan oleh DPR, MK juga bisa melakukan fungsi korektif melalui kewenangan judicial review. Kanal-kanal ini tersedia secara konstitusional, untuk menutup sifat abuse presiden dalam menetapkan peraturan. Kembali pada soal Perppu KPK. Mungkin dalam logika awam, “kegentingan yang memaksa” sebagaimana dimaksud dirasa telah cukup. Ada tiga kondisi saat ini yang bisa dijadikan alasan pertimbangan menetapkan Perppu. Pertama, akibat tekanan publik yang terjadi secara masif dan kontinyu, bahkan telah memakan korban jiwa. Kedua, revisi undang-undang KPK yang tidak sejalan dengan cita-cita pemberantasan korupsi. Ketiga, tidak lagi dapat ditangani dengan prosedur biasa, mengingat pembahasan undang-undang akan memakan waktu yang relatif lama. Tetapi sekali lagi, ini soal subjektivitas Jokowi. Jika ia berani mengambil opsi Perppu, rasanya tidak berlebihan bila publik akan menilai Jokowi sebagai presiden, yang memiliki komitmen kuat dalam agenda pemberantasan korupsi.
Impeachment
Kemudian soal ancaman impeachment. Ada satu hal yang perlu diingat dalam membedakan ciri sistem parlementer dan ciri sistem presidensial. Dalam sistem parlementer, perdana menteri dapat diberhentikan dalam masa jabatannya akibat kebijakan yang tidak populis. Artinya seorang perdana menteri sangat mungkin di impeach karena alasan politis. Berbeda halnya dengan sistem presidensial. Presiden hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena alasan hukum (Alferd Stephen & Cindy Skach:1993). Sebagaimana telah diatur secara limitatif dalam Pasal 7A UUDN, baik itu perbuatan yang berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, perbuatan tercela, atau tindak pidana berat lainnya. Selain soal alasan hukum, syarat formil impeachment juga diatur dengan prosedur yang super ketat. Bahkan situasinya akan terasa semakin sulit, bila melihat sistem multipartai ekstrim yang diadopsi selepas era transisi politik. Presiden terpilih akan membangun koalisi mayoritas untuk mendapatkan legitimasi politik yang kuat di parlemen (Djayadi Hanan:2014). Konsekuensi logisnya, partai-partai pendukung cenderung akan memuluskan kebijakan-kebijakan pemerintah di hadapan parlemen. Termasuk menjaga dan melindungi presiden, dari ancaman pasal impeachment. Membaca kondisi di atas, tentunya cukup sulit membenarkan bahwa Perppu KPK dapat bermuara pada wacana impeachment. Saat ini, kita hanya membutuhkan keyakinan Presiden untuk mendorong dikeluarkannya Perppu KPK. Para simpatisannya tidak perlu takut dengan wacana impeachment. Begitu juga para anggota DPR yang menilai opsi Perppu tidak begitu tepat untuk dikeluarkan. Saluran konstitusional telah tersedia untuk menilai keabsahan Perppu. Baik itu melalui jalur legislative review di DPR, maupun melalui jalur judicial review di MK.
This article have been publsihed in rubric Opini of Jawa Pos, 4 October 2019.




This program is a credit transfer program. Later these students will still study at AIKOL IIUM for one semester. The courses taken there will be transferred to courses at FH UII. “This is a very beneficial program for students, where they can learn the system and concept of law in Malaysia which has a different base from Indonesia. So that later these students can compare concepts in Indonesia and Malaysia, “said Yuwan. These students take six courses at AIKOL IIUM where one subject is three credits. This is the maximum amount a student can take there.
The topic of the discussion is related with the development of Surabaya during her period of leadership which focuses on the 17 Sustainable Development Goals proposed by United Nations. She explained in regards with the obstacle and the opportunity had by Indonesia especially Surabaya. The other things that were explained by her including how to be a good and responsible leader based on her perspective. “To be a good leader you should not only focus on fulfilling your ego, instead your priority is your own people. I won’t let even one person in Surabaya starving for a day” she said.



The Dean of FH UII, Dr. Abdul Jamil, S.H., M.H., stated that UII was ready to declare a motion of no confidence in any party who supported changes to the KPK Law. UII’s tenet is rejects the revision of the KPK Law. We prepare a motion of no confidence in anyone who supports the weakening of the KPK, including the President “, he said.
After the press conference, Abdul Jamil and other UII leaders joined the crowd of UII students to take demonstration at the Special Region of Yogyakarta’s Representative Council (DPRD DIY) and Malioboro Street. While giving speeches at the pickup truck, Abdul Jamil led the group to the Abu Bakar Ali Parking Park, which had been waiting for the combined mass of students from various universities in DIY.


Among the graduates were foreign students from outside South Korea such as Indonesia, Vietnam, Cambodia, China and several other countries. Among the graduates from Indonesia, there were 3 double degree students in the jurisprudence of the Islamic University of Indonesia batch 3. The three UII students were Dhita Rahma Yanuari (Student Number: 17912009), Rahayu Saraswati Herlambang (Student Number: 17912024), and Intan Griya Purnamasari (Student Number: 17912009), successfully completed his studies at Youngsan University and earned an LLM degree with cum laude with a perfect GPA of 4.50.


