Diskursus partisipasi masyarakat atau pun partisipasi politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan belakangan sangat mengemuka -utamanya sejak pemerintah menerbitkan berbagai regulasi mulai dari rancangan perubahan sejumlah undang-undang, misalnya UU KPK, UU Minerba, UU P3, UU MK, dan berbagai regulasi untuk penanganan pandemi Corono Virus Disease (Covid-19). Ditambah lagi, ketika masyarakat masih dalam suasana yang serba tidak menentu dan ketakutan menghadapi maraknya serangan pandemi Covid-19 yang melanda Indonesia awal Maret 2020, pemerintah justru mengesahkan UU Cipta Kerja (UU CK) yang menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat karena minimnya informasi yang bisa diserap terhadap RUU CK tersebut. Di samping itu, Pemerintah juga membuat kebijakan tetap menyelenggarakan Pemilukada pada 9 Desember 2020 melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perppu) No. 2 Tahun 2020, di saat masih tingginyajumlah warga ataupun penyelenggara Pemilukada yang terpapar positif Covid-19. Polemik di berbagai media massa dan media sosial berkenaan keberatan masyarakat yang diajukan oleh organisasi keagamaan (misalnya NU, Muhammadiyah, dan Wali Gereja), organisasi sosial, dan lainlain, nampaknya kurang mendapatkan respon yang memadaidari pemerintah.
Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari aktifitas mengatur masyarakat, sehingga dalam merancang dan membentuk peraturan perundangundangan harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian, cermat dan adil agar tidak merugikan masyarakat atau bahkan melanggar hak asasi warga negara. Bagaimana pun dalam pembentukan peraturan perundang-undangan terkandung visi, misi, dan nilai yang ingin ditransformasikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan kepada masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum.
Melalui amandemen UUD 1945 telah diletakkan fondasi konstitusional dalam berdemokrasi dan meneguhkan prinsip negara hukum, sebagaimana tercermin dalam Pasal 1 ayat (2) dan ayat (3). Kedua ayat tersebut menyiratkan pesan bahwa kedaulatan rakyat harus diimplementasikan sesuai dengan prinsip konstitusi. Produk hukum yang dilahirkan juga harus mendapat persetujuan dari rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen (DPR, DPR danDPRD). Dengan kata lain, bangsa Indonesia meletakkan prinsip demokrasi dan negara hukum sebagai suatu sinergi yang bersimbiose-mutualistik dalam mewujudkan adanya national legal order2 yang demokratis dalam negara. Jadi, keberadaan peraturan perundang-undangan yang merupakan sub sistem dari sistem hukum nasional menempati peran yang penting dalam rangka pembangunan sistem hukum nasional yang demokratis di Indonesia.
Dalam rangka membentuk tertib hukum nasional yang demokratis tersebut, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan pada era reformasi terasa meningkat seiring dengan situasi politik yang semakin terbuka dalam mewujudkan demokratisasi di Indonesia. Namun belakangan, setelah 22 tahun berlalu dari reformasi, ruang-ruang publik untuk berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan semakin dipersempit dan dipersulit aksesnya. Mengapa partisipasi masyarakat menjadi topik yang menarik dalam kajian demokrasi dan khususnya
pembentukan perundang-undangan? Mengapa sebagian masyarakat ‘keberatan’ terhadap revisi UU KPK dan pengesahan UU CK? Tulisan ini akan mencoba menganalisis urgensi partisipasi politik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.