Simpang Siur Hukuman Mati Para Tersangka Kasus Korupsi Pertamina

Oleh: Raditya Alif Akmal – 22410003

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler  Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 (UU Tipikor) mendefinisikan korupsi sebagai perbuatan yang merugikan keuangan negara. Indriyanto Seno Adji menyebutkan korupsi sebagai White Collar Crime dengan modus operandi yang dinamis. Kesimpulannya adalah korupsi sebagai penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang sulit ditangani dan berdampak besar terhadap kerugian keuangan negara serta kesejahteraan masyarakat. Korupsi masih terus berkembang dengan berbagai modus baru yang tidak hanya melibatkan pejabat negara, tetapi juga aparat hukum dan sektor swasta, menunjukkan bahwa korupsi telah mengakar dalam sistem pemerintahan. Berdasarkan laporan ICW tahun 2023, terdapat 791 kasus dengan 1.695 tersangka, termasuk di sektor BUMN. Korupsi dalam proyek strategis dapat menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Bicara tentang korupsi. baru baru ini, PT Pertamina terlibat dalam kasus dugaan korupsi. Kerugian yang dialami oleh negara tidaklah sedikit. Kejaksaan Agung mengungkapkan bahwa kerugian yang dialami mencapai Rp. 193,7 triliun yang mana itu merupakan kerugian negara dalam satu tahun, apabila dihitung dari tahun 2018 hingga 2023 maka kerugian yang dialami Rp. 980 triliun. Kejaksaan Agung telah menetapkan 9 orang tersangka kasus tindak pidana korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang di PT Pertamina, Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), yang enam di antaranya merupakan pejabat Sub Holding PT Pertamina, sedangkan tiga diantaranya dari pihak swasta.

Kasus korupsi oleh PT Pertamina ini menimbulkan pertanyaan di khalayak umum. Pertanyaannya adalah hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada para tersangka, ditambah lagi banyak media berita yang memberitakan bahwa para tersangka dapat dijatuhi hukuman mati. Masalahnya apakah para tersangka bisa dijatuhi hukuman mati? Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin memang telah membuka kemungkinan tersebut, mengacu pada Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor, yang memungkinkan hukuman mati bagi pelaku korupsi dalam keadaan tertentu. Namun, hingga kini belum ada keputusan final mengenai penjatuhan hukuman mati , dan hal tersebut masih sebatas pertimbangan yang akan ditentukan berdasarkan hasil penyelidikan lebih lanjut​. Apakah langkah ini akan benar-benar diambil, mengingat dalam sejarah hukum Indonesia, hukuman mati bagi koruptor belum pernah diterapkan. 

Sistem hukum di Indonesia, telah mengatur hukuman mati bagi koruptor yang tercantum dalam  Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor. Pasal tersebut menyatakan bahwa hukuman mati itu dapat dikenakan apabila suatu tindak pidana korupsi dilakukakun dalam “keadaan tertentu”. Keadaan tertentu menurut penjelasan undang-undang adalah jika korupsi dilakukan dalam keadaan yang salah satunya ketika negara mengalami bencana alam nasional. Korupsi dalam situasi tersebut dapat menghambat distribusi bantuan, memperlambat pemulihan infrastruktur, serta meningkatkan jumlah korban jiwa akibat keterlambatan respons pemerintah. 

Keppres No. 12 Tahun 2020 secara resmi menetapkan pandemi COVID-19 sebagai bencana nasional,. Kasus Korupsi di Pertamina terjadi dalam kurun waktu 2018 hingga 2023, yang tidak dapat dipungkiri lagi bahwa Indonesia saat itu sedang menghadapi bencana nasional, yaitu pandemi COVID-19. Artinya, segala bentuk tindak pidana korupsi yang terjadi selama kurun waktu ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam “keadaan tertentu” yang memungkinkan penerapan hukuman mati. Pada masa pandemi pemerintah berjuang mengalokasikan anggaran untuk pemulihan ekonomi dan kesehatan, namun korupsi pertamina ini justru menambah beban untuk pemerintah. Modus seperti pengadaan minyak mentah sebesar 13-15% secara impor,dan mengesampingkan minyak mentah dalam negeri, serta memanipulasi harga BBM menyebabkan potensi lonjakan harga energi. Sedangkan pada masa pandemi, hidup masyarakat saat itu sedang dalam krisis karena mengalami kesulitan ekonomi, peningkatan pengangguran, dan penurunan daya beli. Mempertimbangkan faktor-faktor di atas, sangat jelas bahwa korupsi di PT Pertamina terjadi dalam kondisi bencana nasional dan berdampak luas terhadap ekonomi negara serta kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, penerapan hukuman mati bagi para tersangka dalam kasus ini, seharusnya dapat menjadi opsi yang dipertimbangkan secara serius. 

Meski begitu apakah penjatuhan hukuman mati untuk para tersangka benar-benar dapat dilakukan? Apabila kita melihat kasus korupsi yang lain dengan kurun waktu yang sama dengan Korupsi PT Pertamina, seperti korupsi dana bantuan sosial (bansos) COVID-19, di mana pejabat negara melakukan mark-up harga sembako yang seharusnya diberikan kepada rakyat yang terdampak pandemi. Korupsi ini, menyebabkan kerugian negara hingga Rp5,9 triliun dan menghambat penyaluran bantuan bagi masyarakat yang sangat membutuhkannya. Apabila kita mengacu pada keadaan tertentu ketika negara mengalami bencana alam nasional seharusnya kasus tersebut sudah memenuhi kriteria dari keadaan tertentu dan seharusnya terpidana Juliari Peter Batubara dapat dijatuhi hukuman mati. Namun nyatanya sesuai dengan putusan nomor 29 /Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst hakim tidak memutus hukuman mati dan hanya dijatuhi hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500 juta saja.

Pasal 2 Ayat (2) UU Tipikor memang memungkinkan penerapan hukuman mati bagi koruptor dalam keadaan tertentu, namun pada realitasnya penerapan hukuman ini masih menghadapi berbagai kendala. Salah satu hambatan utama adalah interpretasi yang fleksibel terhadap istilah “keadaan tertentu”, yang tidak dijelaskan secara rinci dalam undang-undang. Ketidakjelasan akan batasan untuk menentukan suatu tindak pidana korupsi telah memenuhi “keadaan tertentu” ini menjadi pertanyaan besar bagi penegak hukum di Indonesia, yaitu siapa yang berwenang untuk menentukan kondisi “keadaan tertentu”? Secara hierarki dalam sistem peradilan, hakim memang menduduki posisi tertinggi dalam fungsi yudikatif, karena mereka memiliki kewenangan untuk melakukan interpretasi hukum. Kendati demikian hakim dalam memutus suatu perkara hanya dapat menginterpretasikan hukum dalam suatu perkara secara yuridis saja. Sedangkan unsur “keadaan tertentu” ini, merupakan aspek non yuridis yang bukan kewenangan hakim. Kesimpulannya adalah hukuman yang akan dijatuhkan pada para tersangka kasus korupsi PT Pertamina ini, akan sulit untuk dijatuhi hukuman mati, mengingat kendala yang ada serta melihat pada yurisprudensi sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 140.

Indonesia. (2001). Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara RI Tahun 2001 Nomor 134.

Indonesia. (2020). Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran COVID-19 sebagai Bencana Nasional.

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2010). Putusan No. 46/PUU-VIII/2010.

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. (2021). Putusan No. 29/Pid.Sus-Tpk/2021/PN.Jkt.Pst. Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Jurnal

Arianto, H. (2012). Peranan hakim dalam upaya penegakkan hukum di Indonesia. Lex Jurnalica, 9(3), 151-162.

Jupri, J. (2019). Diskriminasi hukum dalam pemberantasan korupsi politik di daerah. Dialogia Iuridica: Jurnal Hukum Bisnis Dan Investasi, 11(1), 114–131. https://doi.org/10.28932/di.v11i1.1997 

Sabila, N. I., Syadida Az Zahro, M. Q., & Putriga, B. R. (2023). Dilematika “keadaan tertentu” dalam penjatuhan sanksi pidana mati terhadap koruptor di Indonesia. Legitimasi: Jurnal Hukum Pidana dan Politik Hukum, 12(2). https://jurnal.ar-raniry.ac.id/index.php/legitimasi

Artikel 

Kompas.com. (2025, Februari 25). Korupsi Pertamina rugikan negara Rp 193,7 triliun, bagaimana awal kasus ini? https://www.kompas.com/tren/read/2025/02/25/144500565/korupsi-pertamina-rugikan-negara-rp-193-7-triliun-bagaimana-awal-kasus-ini 

Kompas.com. (2025, Maret 6). Soal hukuman mati tersangka korupsi Pertamina, Jaksa Agung tunggu hasil. https://nasional.kompas.com/read/2025/03/06/17335791/soal-hukuman-mati-tersangka-korupsi-pertamina-jaksa-agung-tunggu-hasil

Tempo.co. (2024, Februari 5). ICW catat sepanjang 2023 ada 791 kasus korupsi, meningkat signifikan 5 tahun terakhir. https://www.tempo.co/hukum/icw-catat-sepanjang-2023-ada-791-kasus-korupsi-meningkat-singnifikan-5-tahun-terakhir-57431

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan