Polemik Migrasi Global oleh International Refugee: Menyibak Praktik Xenofobia di Indonesia
Oleh: Rama Hendra Triadmaja – 22410456
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
United Nations High Commissioner for Refugee (UNHCR) telah mencatat setidaknya terdapat 37,9 juta pengungsi internasional (international refugee) dan 8 juta pencari suaka (asylum seeker) di seluruh dunia. Gelombang migrasi yang begitu masif oleh pengungsi dan pencari suaka ini tidak dapat dilepaskan dari absennya negara asal dalam pemenuhan kewajiban negara terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai contoh, persekusi dan perlakuan diskriminatif terhadap kelompok tertentu, konflik berkepanjangan, serta pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang mengancam eksistensi di negara asalnya. Salah satu negara yang menjadi tujuan migrasi tersebut adalah Indonesia. Berdasarkan data yang dirilis oleh UNHCR, jumlah pengungsi dan pencari suaka di Indonesia ialah sebanyak 11.735 jiwa. Hal ini tidak lepas dari letak geografis Indonesia yang berada di posisi silang dunia, yaitu di antara Benua Asia dan Benua Australia serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.
Arus migrasi antarnegara yang dilatarbelakangi oleh krisis manusia lambat laun menyita atensi publik internasional. Adanya kesadaran atas pengungsi internasional dapat dipahami sebagai bentuk universalitas humanis yang melintasi batas-batas negara dan menjelma sebagai persoalan internasional bukan lagi terlimitasi pada ranah nasional ataupun regional. Dasar pemikiran inilah yang menjadi spirit atas lahirnya Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 tentang Status Pengungsi.
Sayangnya di Indonesia, semangat kemanusiaan tersebut justru tercoreng dengan aksi penolakan terhadap pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar oleh masyarakat di beberapa wilayah. Puncaknya pada tahun 2023, sekelompok mahasiswa di Aceh memindah paksa pengungsi Rohingya yang semula berada di Gedung Balee Meuseuraya Aceh di Kota Banda Aceh menuju Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Aceh. Tidak sampai di situ, massa juga menuntut kepada otoritas berwenang untuk segera mendeportasi pengungsi Rohingya keluar dari wilayah teritorial Indonesia.
Praktik xenofobia ini ditandai dengan menjustifikasi stigma negatif kepada pengungsi Rohingya yang dideskripsikan sebagai sekumpulan orang-orang yang berpendidikan rendah, kotor, imigran ilegal, dan kriminal. Sebab lainnya ialah framing negatif yang dikonstruksi oleh media massa sehingga menimbulkan rasa ketakutan dan rasa ketidaknyamanan atas interaksi budaya asing yang dikhawatirkan mengancam keberlangsungan budaya lokal (cultural erosion).
Kondisi ini menyebabkan dikotomi di kalangan masyarakat mengenai polemik atas langkah apa yang tepat bagi pemerintah untuk menangani persoalan pengungsi tersebut. Sebab, jika persoalan itu tidak memeroleh keseriusan, maka akan mengakibatkan permasalahan multidimensional lainnya yang mana memengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat.
Pandangan pertama mengemukakan sebaiknya Indonesia tidak perlu menerima atau bahkan menolak pengungsi Rohingya itu. Lantaran, Indonesia belum meratifikasi Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 tentang Status Pengungsi sehingga tidak berkewajiban untuk menampung pengungsi dan pencari suaka. Argumentasi ini didasarkan pada doctrine of transformation yang dikemukakan oleh aliran voluntarisme atau dualisme bahwasanya hukum internasional tidak dapat berlaku dalam ruang lingkup hukum nasional kecuali telah ditransformasikan terlebih dahulu. Sebab, adanya perbedaan dua sistem hukum yang berlainan, maka perlu untuk mentransformasikan hukum internasional menjadi hukum nasional.
Sementara itu, pandangan kedua meyakini bahwa Indonesia berkewajiban untuk menampung pengungsi Rohingya semata-mata karena alasan kemanusiaan meskipun belum meratifikasi Konvensi Jenewa Tahun 1951 dan Protokol Tambahan Tahun 1967 tentang Status Pengungsi. Hal ini disandarkan pada prinsip non-refoulement yang terklasifikasi sebagai jus cogens atau norma
tertinggi yang menjelma dalam customary international law sehingga walaupun negara tersebut tidak meratifikasi suatu konvensi ia tetap terikat karena sifat universalnya. Pasal 33 Konvensi Jenewa Tahun 1951 tentang Status Pengungsi mewajibkan kepada negara untuk bertanggung jawab atas proteksi pengungsi dan pencari suaka untuk tidak menolak atau memulangkan kembali ke negara asalnya. Hal demikian dilatarbelakangi oleh kekhawatiran terhadap pengungsi dan
pencari suaka dalam memeroleh jaminan atas keselamatan dan pemenuhan hak-haknya di negara asal.
Dasar argumentasi lainnya ialah berpijak pada International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi oleh Indonesia di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik). Pasal 2 ayat (1) ICCPR mengamanatkan kepada setiap negara pihak untuk menjamin dan menghormati hak-hak setiap individu yang berada di dalam wilayahnya tanpa terkecuali. Hal senada juga dapat ditemukan dalam Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menyebutkan bahwa perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia adalah hak setiap orang.
Frasa ‘setiap orang’ diinterpretasikan berlaku umum kepada seluruh individu yang berada di dalam teritorial Indonesia, walaupun orang tersebut bukan berkewarganegaraan Indonesia.
Keadaan dilematis ini menuntut Pemerintah Republik Indonesia untuk segera mengambil langkah langkah yang tepat dan tegas dalam menyelesaikan persoalan migrasi pengungsi tersebut. Apabila persoalan ini tidak ditangani secara tepat, maka akan menimbulkan domino effect yang berimbas pada ketentraman dan ketertiban umum dalam masyarakat. Sebagai contoh, munculnya primordialisme dan etnosentrisme dapat meningkatkan risiko konflik horizontal antara masyarakat setempat dengan kelompok pengungsi. Dengan demikian, Soerjono Soekanto mengemukakan keadaan tentram yang dimaksud ialah ketika seseorang tidak merasa khawatir, tidak merasa terancam, dan tidak mengalami konflik batiniah.
Hemat penulis, political will Pemerintah Republik Indonesia sangat diharapkan dalam menjamin pemenuhan hak-hak pengungsi Rohingya. Kilas balik pada tahun 1975 hingga 1996, Indonesia telah berhasil menangani fenomena Boat People Vietnam sebagai imbas dari Perang Vietnam. Setidaknya tercatat terdapat 50.000 jiwa dari jumlah keseluruhan pengungsi yang terpusat di Pulau Galang.13 Kondisi ini menunjukan tidak meratifikasi Konvensi Jenewa 1951 beserta Protokol Tambahan 1967 tentang Status Pengungsi bukanlah alasan substansial untuk menolak pemenuhan hak pengungsi. Akan tetapi, yang perlu dikritisi ialah bagaimana pemerintah dengan instrumen hukumnya mampu untuk menciptakan integrasi sosial antara masyarakat setempat dengan pengungsi Rohingya. Oleh sebab itu, hukum tidak dapat dipandang sebagai social control belaka melainkan harus dilihat sebagai a tool of social engineering. Menurut penulis, selayaknya pemerintah tidak terpaku pada pendekatan konvensional yang cenderung positivis dan prosedural, akan tetapi harus dielaborasi dengan rekonsiliasi berbasis kearifan lokal. Selain itu, penting pula bagi pemerintah untuk bekerja sama dengan negara-negara lain dan organisasi internasional baik yang bersifat multilateral maupun regional untuk mewujudkan kesepakatan terhadap pemenuhan jaminan hak-hak pengungsi.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Sefriani. (2022). Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Rajawali Pers.
Shalihah, F., & Nur, M. (2021). Penanganan Pengungsi di Indonesia. UAD PRESS.
Soekanto, S. (2009). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Raja Grafiondo Persada.
Winarwati, I. (2016). Hukum Internasional. Setara Press.
Artikel Jurnal
Fitir, I, R, M., Yepese, J, I, B., & Arofah, M, G. (2024). Prinsip Non-Refoulement Penanganan Pengungsi dan Relevansinya dalam Perspektif Kebijakan Selektif Keimigrasian. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi 24 (1), 143-149.
Ramon, A, A, V. (2019). For Humanity: Indonesia’s Experience in Handling International Refugee. terAs Law Review: Jurnal Hukum Humaniter dan HAM 1 (1), 28-53.
Sihombing, H, Y. (2019). Kebijakan Indonesia dalam Perlindungan Pencari Suaka dan Pengungsi Pasca Kebijakan Turn Back the Boat Pemerintahan Tony Abbott, Journal of International Relations 5 (4), 599-608. https://doi.org/10.14710/jirud.v5i4.24823.
Tarigan, B. Y. A., & Syahrin, M, A. 2021. Conditions, Problems, And Solutions of Associates and International Refugees in Indonesia in The Perspective of National Law and International Law. Journal of Law and Border Protection 3 (1).
Website Internet
BBC News Indonesia. (2024). ‘Rohingya di Sidoarjo’, ‘Rohingya minta tanah’, ‘Menlu Retno usir Rohingya’ – Bagaimana narasi kebencian dan hoaks bekerja menyudutkan etnis Rohingya?. https://www.bbc.com/indonesia/articles/c03y7n3k12lo.
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia. (2023). Mahasiswa Usir Pengungsi Rohingya di Aceh; Senator Asal Yogyakarta: Siapa yang Memfasilitasi?. https://www.dpd.go.id/daftar-
berita/mahasiswa-usir-pengungsi-rohingya-di-aceh-senator-asal-yogyakarta-siapa-yang memfasilitasi.
Humas FHUI. (2022). Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia Oleh Heru Susetyo, S.H, L.L.M, M.Si, Ph.D. https://law.ui.ac.id/urgensi-penanganan-pengungsi-dan-pencari-suaka-di indonesia-oleh-heru-susetyo-s-h-l-l-m-m-si-ph-d/.
The UN Refugee Agency. (2025). Refugee Data Finder. https://www.unhcr.org/refugee-statistics. Peraturan Perundang-Undangan
International Covenant on Civil and Political Rights.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!