Ahmad Dhani, Once, dan Lembaga Manajemen Kolektif
Rendi Yudha Syahputra
Praktisi dan Pemerhati Hukum
Hak Cipta (copy rights) pada hakikatnya adalah hak yang diberikan kepada Pencipta untuk memonopoli ciptaannya dalam jangka waktu tertentu. Konsepsi Hak Cipta dapat dipersamakan dengan hak kepemilikan atas suatu benda pada umumnya, dimana pemilik suatu benda dapat melakukan apa saja terhadap benda yang dimiliki sesuai dengan kehendaknya. Termasuk didalamnya adalah seperti melarang (tidak mengizinkan) orang lain untuk mempergunakannya.
Disamping Hak Cipta, juga terdapat Hak Terkait (related rights) yang memberikan hak tersendiri kepada Penampil ciptaan untuk memonopoli pertunjukan, rekaman ataupun siarannya atas suatu ciptaan. Dalam dunia industri, hak ini diberikan kepada para Pelaku Pertunjukan, Produser Fonogram dan Lembaga Penyiaran. Namun yang perlu dipahami bersama adalah bahwa hak ini merupakan semacam “hak turunan” yang lahir dari adanya Hak Cipta dan berfungsi mengoptimalkan manfaat atas suatu ciptaan. Artinya, dengan teroptimalisasinya manfaat dari suatu ciptaan, maka teroptimalisasi pula kesejahteraan penciptanya.
Keleluasaan yang diberikan kepada Penampil ciptaan melalui Hak Terkait seharusnya tidak diartikan sebagai keleluasaan yang tidak terbatas, seperti misalnya dapat menggunakan ciptaan untuk kepentingan komersial tanpa izin terlebih dahulu dari Pencipta dan kemudian hanya memberikan imbalan (royalti) “ala kadarnya” saja kepada Pencipta. Jika Penampil diberikan keleluasaan untuk mengeksploitasi keuntungan dari sebuah pertunjukan, rekaman pertunjukan ataupun siaran pertunjukan atas suatu ciptaan yang dibuat dengan susah payah oleh Pencipta, maka Penciptanya pun seharusnya diberikan keleluasaan juga untuk “berdialog” mengenai royaltinya.
Persoalan dibidang Hak Cipta yang menyita perhatian publik belakangan ini adalah munculnya silang pendapat antara dua legenda hidup musik Indonesia, yaitu Once selaku penyanyi (penampil ciptaan) dengan Ahmad Dhani selaku pencipta lagu (pemilik ciptaan). Ahmad Dhani kurang lebih berpendapat bahwa penyelenggara acara (event organizer) yang menampilkan lagu ciptaannya dalam sebuah pertunjukan (dan dinyanyikan oleh Once), harus mendapat izin terlebih dahulu dari Ahmad Dhani. Sedangkan Once kurang lebih berpendapat bahwa lagu ciptaan Ahmad Dhani dapat dinyanyikan atau ditampilkan dalam sebuah pertunjukan tanpa harus meminta izin terlebih dahulu kepada Ahmad Dhani, namun dengan membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif.
Posisi Lembaga Manajemen Kolektif
Pasal 23 ayat (5) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC 2014) menyebutkan bahwa “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif”. Kemudian dalam penjelasannya dikatakan bahwa “imbalan kepada pencipta” adalah royalti yang nilainya ditetapkan secara standar oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Secara hukum positif, apa yang disampaikan oleh Once memang sama persis dengan bunyi Pasal 23 ayat (5) UUHC 2014. Namun bagaimanakah sesungguhnya makna dari Pasal tersebut?
Pertama-tama harus dipahami terlebih dahulu mengenai siapakah LMK itu. Dalam Pasal tersebut (berikut penjelasannya), LMK seolah-olah tampak seperti “lebih memiliki hak” ketimbang Pencipta, dimana dia dapat menentukan nilai royalti tanpa mendapat persetujuan terlebih dahulu dari penciptanya. Namun apabila merujuk pada Pasal 1 angka 22 jo Pasal 88 ayat (2) huruf b UUHC 2014, LMK sebenarnya adalah institusi berbadan hukum nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait untuk mengurus masalah royalti.
Dari ketentuan tersebut jelas terlihat bahwa LMK sendiri sebenarnya merupakan sebuah lembaga yang dimaksudkan sebagai kepanjangan tangan dari Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait dalam hal pengurusan atau “penagihan” royalti. Mungkin dalam bahasa lain bisa juga disebut sebagai “debt collector”-nya Pencipta, Pemegang Hak Cipta dan/ atau Pemilik Hak Terkait. Artinya, tanpa adanya kuasa dari Pencipta, LMK sama sekali tidak memiliki hak ataupun wewenang untuk bertindak mewakili Pencipta dalam pengurusan royaltinya.
Hubungan hukum tersebut menegaskan bahwa LMK sejatinya tidak dapat bertindak sepihak atau semaunya sendiri, karena apa yang dilakukan oleh LMK sebenarnya hanya sebatas menjalankan “perintah” dari Pencipta sebagaimana perjanjian penyuruhannya (lastgeving). Jadi, dalam menentukan nilai royalti atas suatu ciptaan, seharusnya didasarkan pada kehendak dari Pencipta juga. Bukan hanya didasarkan pada kehendak sepihak dari LMK. Oleh sebab itu, dalam menentukan nilai royalti, idealnya dibicarakan secara matang terlebih dahulu antara LMK dengan Pencipta, baru kemudian disepakati dan dituangkan dalam perjanjian penyuruhannya (surat kuasa).
Dari uraian tersebut di atas, maka maksud “dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif” seharusnya dimaknai “dalam hal Pencipta dan LMK sudah menyepakati nilai royalti berikut prasyarat lainnya” sehingga Pasal 23 ayat (5) UUHC 2014 tidak berat sebelah dan terasa lebih adil. Selama belum terdapat kesepakatan antara Pencipta dengan LMK terkait hal tersebut, maka penggunaan ciptaan harus tetap izin terlebih dahulu kepada penciptanya.
Perdebatan antara Ahmad Dhani dengan Once yang pada akhirnya melibatkan Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, sebenarnya tidak perlu terjadi jika LMK benar-benar memahami tugas dan tanggungjawabnya selaku kuasa dari Pencipta dalam pengelolaan royalti. Bagaimanapun juga seorang Pencipta adalah “Tuan” bagi LMK yang wajib dihormati serta diperjuangkan hak-haknya, dan bukan malah sebaliknya. Semoga dengan goresan pena yang tidak seberapa ini, dapat menggugah semua pihak untuk memaknai hukum hak cipta dengan “Cita Rasa Indonesia”.







Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!