“Pembuktian 4.0” dan Penguatan Hak Saksi, Korban, serta Tersangka
Rendi Yudha Syahputra
Dosen FH UII
Hukum acara pidana pada dasarnya merupakan hukum pembuktian. Mengatur mengenai apa saja yang dapat dijadikan bukti, bagaimana cara memperoleh bukti, kemudian bagaimana mengonstantir atau mengakui kebenaran/ fakta berdasarkan bukti, hingga pada akhirnya membuat sebuah keputusan. Artinya, hukum acara pidana sejatinya diciptakan untuk membuktikan atau mengungkap kebenaran (materiil), lalu kemudian memberikan putusan hukum terhadap kebenaran tersebut.
Ketika bukti-bukti mudah diperoleh dan bukti-bukti tersebut mampu menggambarkan peristiwa yang terjadi di waktu lampau secara seksama, tentu tidak sulit untuk mengungkap sebuah kebenaran. Tetapi sebaliknya, ketika bukti-bukti sukar didapat atau ternyata bukti-bukti yang dikumpulkan tidak mampu memberikan gambaran secara jelas, maka kebenaran akan suatu peristiwa menjadi samar. Dugaan-dugaan atau prasangka yang muncul pun menjadi tidak cukup tervalidasi, sehingga kebenarannya patut diragukan.
Pada situasi sulit tersebut, skala eksplorasi terhadap bukti-bukti (yang tersedia) akan semakin meningkat berbanding lurus dengan upaya untuk mengungkap kebenaran. Kadang kala, peningkatan skala eksplorasi ini berubah menjadi panggung eksploitasi. Momen inilah yang sering menjadi awal mula konflik antara kepentingan penegakan hukum dengan perlindungan hak asasi manusia seperti hak saksi, korban ataupun tersangka. Jadi, disatu sisi penegak hukum berusaha mengungkap kebenaran, sementara disisi lain, saksi, korban maupun tersangka tidak ingin hak-haknya dilecehkan atau dilanggar secara semena-mena.
Metode Pembuktian Klasik
Pada metode pembuktian klasik, titik episentrum pembuktian bertumpu pada bukti kesaksian/ keterangan (testimony evidence) yang diperoleh dari saksi (termasuk korban) ataupun tersangka. Terungkap atau tidak terungkapnya kebenaran, sangat bergantung pada keterangan yang diberikan oleh saksi maupun tersangka. Ketika keterangan tidak lengkap, berubah-ubah, berbeda antara satu dengan yang lainnya atau malah tidak (bersedia untuk) memberi keterangan, maka tentu saja hal ini akan memicu peningkatan skala eksplorasi terhadap jenis bukti tersebut.
Pada titik ini, sangat mungkin terjadi pemeriksaan yang tidak sehat seperti muter-muter, berlarut-larut, intimidatif, disertai ancaman atau bahkan mengandung kekerasan. Pada situasi yang lain, kondisi ini juga berpotensi melahirkan tindakan-tindakan (upaya paksa) yang tidak efektif dan efisien, akibat minimnya atau tidak akuratnya bukti keterangan. Seperti kekeliruan dalam penyitaan benda/ barang bukti (real evidence), pemanggilan yang berulang-ulang, salah tangkap, penggunaan jangka waktu penahanan yang cukup lama, dan lain sebagainya.
Metode Pembuktian 4.0
Metode pembuktian 4.0 pada hakikatnya merupakan adaptasi dari perkembangan zaman. Pergeseran kebiasaan atau perilaku manusia di era industri 4.0 menjadi pijakan dalam penyusunan metode pembuktian 4.0. Laporan Digital 2025 Global Overview Report menyebutkan bahwa 98,7% masyarakat indonesia berusia 16 tahun ke atas menggunakan ponsel untuk mengakses internet.
Kemudian We Are Social tahun 2025, melaporkan bahwa pemakai internet di Indonesia mencapai 212 juta, atau sekitar 75 % dari total populasi. Selain itu, disebutkan juga bahwa rata-rata penggunaan internet masyarakat indonesia dalam satu hari mencapai 7 jam. Dari data-data tersebut dapat dikatakan bahwa kehidupan atau aktivitas manusia hari-hari ini tidak lagi berada dalam satu ruang saja (alam realita), melainkan juga berada dalam ruang yang lain (alam virtual).
Artinya, apabila suatu perbuatan manusia diasumsikan sebagai rangkaian dari aktivitas kehidupan manusia, tentu sebagiannya akan terekam atau terdokumentasi dalam ruang virtual dalam bentuk data elektronik. Data elektronik ini akan menjadi keping puzzle yang berharga dalam mengungkap kebenaran. Jadi, metode pembuktian 4.0 menawarkan cara pembuktian dengan pendekatan lain, yakni menjadikan bukti dokumentasi (documentary evidence) utamanya data elektronik, menjadi titik episentrum dalam pembuktian.
Pada pembuktian ini, proses mengungkap kebenaran akan dikembangkan dari bukti dokumentasi. Baru kemudian disusul dengan bukti-bukti jenis lain, yakni barang bukti maupun bukti keterangan. Artinya, eksplorasi terhadap bukti keterangan cenderung berkurang karena “sebagian kebenaran” (yang cukup akurat) sudah diperoleh dari eksplorasi terhadap bukti dokumentasi. Jadi, pemeriksaan terhadap saksi ataupun tersangka menjadi lebih sehat dan menyenangkan. Kemudian penggunaan tindakan-tindakan (upaya paksa) seperti pemanggilan, penyitaan, penggeledahan, penangkapan maupun penahanan pun menjadi lebih efektif dan efisien.
Instrumen Wewenang Penyidikan 4.0
Berbagai tindakan/ wewenang dalam penyidikan, pada prinsipnya diciptakan untuk memperoleh atau mendapatkan berbagai jenis bukti. Wewenang pemanggilan (berikut pemeriksaannya), penangkapan dan penahanan, pada dasarnya dibuat untuk mendapatkan bukti keterangan (saksi ataupun tersangka). Kemudian wewenang penyitaan, tindakan pertama di TKP, pada dasarnya diciptakan untuk memperoleh barang bukti. Artinya, wewenang atau tindakan dalam penyidikan sejatinya berfungsi untuk meraih berbagai jenis bukti.
Dalam penyusunan RUU KUHAP, Komisi III DPR RI dan Pemerintah mestinya juga harus memperhatikan kebutuhan wewenang yang berkaitan dengan perolehan bukti dokumentasi khususnya data elektronik, supaya tujuan hakiki dari hukum acara pidana yakni menemukan kebenaran (materiil) dapat tercapai. Jadi bukan hanya fokus pada tambal sulam pengaturan wewenang-wewenang klasik yang sudah ada..
Apabila Komisi III DPR RI dan Pemerintah betul-betul memiliki pemikiran yang progresif, setidaknya mereka akan menciptakan wewenang-wewenang baru yang berhubungan dengan eksplorasi bukti dokumentasi tersebut seperti wewenang pemeriksaan awal perangkat elektronik. Wewenang ini berupa tindakan untuk melakukan pemeriksaan awal pada perangkat elektronik dengan didampingi pemilik perangkat. Pengaturan rinci mengenai tindakan ini dapat diadaptasikan dari konsep Digital Evidence First Responder (DEFR).
Kemudian wewenang menyalin data elektronik. Wewenang ini berupa tindakan meminta dan menerima data elektronik dari penyelenggara sistem elektronik selaku penguasa data. Salah satu contoh tindakan ini adalah penggunaan layanan Law Enforcement Portal Request yang disediakan oleh penyelenggara sistem elektronik seperti facebook, whats app, instagram, tiktok dsb. Berikutnya wewenang penyitaan perangkat elektronik tertentu. Wewenang ini berupa tindakan mengambil alih perangkat elektronik tertentu yang memerlukan pemeriksaan digital forensik. Tindakan tersebut pada dasarnya merupakan tindakan awal dari rangkaian mekanisme Chain of Custody (COC).
Lalu yang terakhir wewenang mengakses sistem elektronik dengan cara apapun. Wewenang ini berupa tindakan untuk memperoleh data elektronik yang relevan dengan pembuktian yang terdapat dalam sistem elektronik, tanpa persetujuan dari pemilik/ penguasa data. Namun demikian, prosedur penggunaan wewenang-wewenang tersebut tetap harus diatur secara proporsional dan seimbang dengan memperhatikan hak atas data pribadi seseorang. Keberadaan wewenang-wewenang tersebut diharapkan mampu membantu perolehan bukti dokumentasi secara optimal, sehingga alternatif-alternatif untuk menyingkap kebenaran menjadi semakin terbuka lebar.
Berdasarkan uraian di atas, metode pembuktian 4.0 lebih memberikan jaminan perlindungan hak asasi manusia dibandingkan dengan metode pembuktian klasik. Disamping itu, metode pembuktian 4.0 juga memiliki pendekatan yang lebih relevan dengan perkembangan zaman dibandingkan dengan metode pembuktian klasik. Akhirul kata: Justitia Semper Reformanda Est!







Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!