Superman vs Propaganda: Ketika Kebenaran Dikalahkan oleh Narasi

Oleh: Farros Ariq Nasandaputra – 21410231

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kisah fiksi dalam Superman (2025) sesungguhnya merefleksikan realitas sosial-politik dunia, di mana tirani kekuasaan kerap menindas kelompok lemah melalui kontrol informasi dan manipulasi hukum. Film ini menampilkan bagaimana kebenaran dapat dibelokkan oleh mereka yang menguasai media, sehingga suara keadilan dibungkam dan identitas yang berbeda dianggap ancaman. Ancaman terbesar bagi masyarakat bukan lagi sekadar kekuatan fisik, melainkan penindasan yang hadir melalui propaganda, sensor, dan penghapusan hak untuk bersuara. Fenomena ini menggambarkan rapuhnya posisi kelompok lemah yang mudah dikorbankan demi kepentingan segelintir elit, sekaligus menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia sering kali terjadi bukan karena hukum absen, melainkan karena hukum dijadikan alat kekuasaan.

Film Superman (2025), yang disutradarai dan ditulis James Gunn serta diproduseri bersama Peter Safran, menandai arah baru bagi karakter Superman dengan menekankan nilai-nilai kemanusiaan dan moral. Kasih sayang dan kebaikan menjadi inti narasi, sebagai respons terhadap versi sebelumnya yang lebih kelam dan keras (Kompas, 2025). Dikisahkan, Clark Kent seorang jurnalis dari planet Krypton yang dikenal sebagai Superman dibesarkan oleh keluarga Kent di Kansas setelah planet asalnya hancur. Ia tumbuh dengan nilai moral kuat, berusaha menjadi pelindung umat manusia sekaligus simbol harapan (Cummings, 2025).

Film ini memperlihatkan konflik batin Superman dalam menghadapi dunia modern yang penuh propaganda, ketidakpercayaan, dan manipulasi politik. Kekuatan dan idealismenya diuji ketika ia berupaya mempertahankan kebenaran di tengah pihak-pihak besar yang berusaha mengontrol narasi publik. Tekanan terhadap jurnalis dan media independen dalam film digambarkan melalui sensor halus hingga ancaman langsung, yang jelas bertentangan dengan prinsip kebebasan berekspresi sebagaimana dijamin dalam Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 19 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), serta Pasal 14 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UDHR Pasal 19; ICCPR Pasal 19; UU No. 39 Tahun 1999, Pasal 14).

Manipulasi informasi oleh pihak dominan dalam film ini mencerminkan praktik nyata di dunia, di mana pengendalian narasi publik menghalangi masyarakat memperoleh kebenaran objektif dan pada akhirnya melemahkan demokrasi. UNESCO dalam World Trends in Freedom of Expression and Media Development Report 2022 juga menegaskan bahwa pola semacam ini mempersempit ruang kebebasan pers sekaligus membuka peluang praktik represif yang berlandaskan opini publik yang telah dimanipulasi (UNESCO, 2022).

Film dibuka dengan aksi Superman yang mengintervensi konflik militer antara dua negara fiktif, Boravia dan Jarhanpur, tanpa mempertimbangkan konsekuensi politik. Aksi tersebut menimbulkan kontroversi global (Pop Culture Maniacs, 2025). Tokoh antagonis utama, Lex Luthor, digambarkan membangun pusat perang informasi digital yang mengendalikan media dan jaringan sosial dari markas rahasia. Ia secara sistematis memproduksi propaganda, bahkan menyusup ke Fortress of Solitude markas Superman  untuk memanipulasi pesan dari orang tua Superman, sehingga seolah Superman dikirim untuk mendominasi Bumi (ScreenRant, 2025).

Situasi ini paralel dengan realitas, misalnya kasus pemecatan Melissa Barrera dari film Scream VII setelah menyuarakan dukungan terhadap Palestina. Peristiwa tersebut memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat membungkam suara kritis melalui kontrol narasi publik mirip dengan strategi Lex Luthor dalam membungkam Superman lewat propaganda. Kedua kasus ini menunjukkan bahwa dukungan terhadap keadilan seringkali dibingkai sebagai ancaman oleh mereka yang menguasai informasi (Newsweek, 2023).

Dalam DC Universe versi James Gunn, korporasi seperti LuthorCorp dan LordTech digambarkan sebagai aktor besar yang mampu menentukan arah kebijakan publik dan mengendalikan media. Mereka tidak selalu digambarkan “jahat” secara inheren, tetapi beroperasi tanpa moral sesuai kepentingan dan ambisi pemimpinnya (West, 2025). Hal ini paralel dengan realitas dunia, misalnya perusahaan teknologi besar (Big Tech) seperti Meta, Google, dan Twitter/X yang kerap dikritik karena membiarkan disinformasi dan ujaran kebencian menyebar. Alih-alih berorientasi pada etika, keputusan mereka sering kali pragmatis demi trafik, keuntungan iklan, atau kerja sama dengan pemerintah otoriter dalam menyensor warganya. Sama seperti Lex Luthor yang memanipulasi opini publik untuk memperkuat legitimasi politik, korporasi digital ini juga berperan besar dalam membentuk persepsi masyarakat global, sehingga publik terjebak dalam narasi yang telah dimanipulasi (Freedom House, Freedom on the Net Report 2023).

Lebih jauh, film ini juga menyoroti isu xenofobia. James Gunn menempatkan Kal-El (Superman) sosok asing dari luar bumi  sebagai simbol harapan setelah berhasil berasimilasi dengan masyarakat manusia (Moura, 2025). Narasi ini menantang diskriminasi terhadap kaum “asing” dalam dunia nyata, misalnya krisis pengungsi Suriah dan pencari suaka Rohingya. Di banyak negara Eropa, pengungsi Suriah kerap dipersepsikan sebagai ancaman budaya atau keamanan, meskipun sebagian besar hanya mencari keselamatan. Hal serupa dialami etnis Rohingya yang melarikan diri dari genosida Myanmar; mereka sering ditolak atau dipandang sebagai “beban” di negara tujuan seperti Bangladesh, Malaysia, hingga Indonesia. Padahal, seperti Superman yang akhirnya menjadi sumber kekuatan moral bagi Bumi, kelompok minoritas ini juga berpotensi berkontribusi positif ketika diberi kesempatan berasimilasi. Narasi ini menegaskan bahwa xenofobia dapat dilawan dengan solidaritas dan pengakuan atas kemanusiaan bersama (UNHCR, 2023).

Film Superman (2025) karya James Gunn tidak hanya menghadirkan aksi superhero, tetapi juga memberikan kritik terhadap masalah sosial dan politik dunia saat ini. Lewat sosok Superman, film ini menekankan bahwa tantangan utama masyarakat modern bukan lagi kekuatan fisik, melainkan penyalahgunaan informasi, propaganda, dan kontrol cerita oleh pihak yang berkuasa. Ceritanya terasa dekat dengan kondisi nyata, seperti pembatasan kebebasan pers, dominasi perusahaan digital besar, upaya membungkam suara kritis, dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas. Diakhir, Superman (2025) menyampaikan pesan bahwa keadilan dan harapan hanya bisa terwujud jika kebenaran dijunjung tinggi, solidaritas dijaga, dan nilai kemanusiaan ditempatkan di atas kepentingan politik maupun ekonomi.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan