Bedah Buku Karya Dr. Idul Rishan Kebijakan Reformasi Peradilan
Taman Siswa (20/07) Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum (PSH FH) UII menyelenggarakan Bedah Buku Karya Dr. Idul Rishan, S.H., LL.M. berjudul Kebijakan Reformasi Peradilan. Kegiatan yang diselenggarakan Sabtu, 20 Juli 2019 pada pukul 08.30 WIB di Ruang  Sidang Utama Lt. 3 Gd. Moch. Yamin Kampus FH UII Jl. Taman Siswa No. 158 Yk. dihadiri lebih dari 100 peserta.
Disampaikan oleh Anang Zubaidy Ketua PSH FH UII bahwa terdapat beberapa permasalahan dalam sistem peradilan kita yaitu independensi dan imparsialitas, integritas dan akuntabilitas. Hal-hal tersebut sebenarnya sudah dicoba untuk diperbaiki dimulai dengan Amandemen UUD dimana dalam amandemen tersebut memperbaiki proses rekruitmen hakim. Selain itu juga dilakukan perubahan berbagai peraturan perundang-undangan di bidang kekuasaan kehakiman Namun demikian masih ada ketidakpuasan dari masyarakat misalnya dapat dilihat dalam survey indeks korupsi yang mana institusi pengadilan masih menjadi salah satu institusi yang disoroti ataupun putusan pengadilan yang kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Hal-hal tersebut merupakan salah satu dari beberapa fenomena ketidakpuasan terhadap institusi pengadilan. “Oleh karena itu buku karya Idul Rishan ini mencoba menghadirkan problematika sekaligus solusi untuk mengatasi problem tersebut. Dalam kesempatan ini”, tutup Anang Zubaidy dalam sambutannya.
Disampaikan pula oleh Bagya Agung Prabowo selaku Sekretaris Jurusan Hukum mewakili Dekan Fakultas Hukum UII bahwa salah satu kewajiban ilmuwan adalah menulis. Sehingga bagi dosen khususnya seperti Dr. Idul Rishan harus diberi apresiasi yang setingginya atas torehan karyanya dalam bentuk buku ini. Kata Bagya, “Orang boleh pandai setinggi langit namun jika ia tidak menulis maka akan tenggelam oleh zaman. Oleh karena itu kegiatan bedah buku ini patut diapresiasi.”
Dr. Idul Rishan selaku penulis menyampaikan bahwa, buku ini merupakan hasil riset penulis selama menyelsaikan riset Program Doktor di UGM. Penelitian serupa sebenarnya pernah dilakukan seperti penelitian yang dilakukan oleh Sebastian Pompee, Daniel S. Lev dan lain-lain. Dalam penelitian-penelitian tersebut dapat terlihat bagaimana konfigurasi politik bisa menentukan keberadaan sebuah institusi pengadilan. Penulis terdahulu menyoroti bagaimana perjuangan IKAHI untuk memperjuangkan Sedangkan penelitian yang dilakukan penulis lebih meyoroti bagaimana keberadaan institusi pengadilan dalam masa transisi politik. Buku ini menguraikan beberapa hal seperti gagasan reformasi peradilan dalam UUD, melakukan preskripsi analisis, menguraikan problematika dan tantangan serta penjabaran solusi.
Pelaksanaan kebijakan reformasi peradilan berjalan tanpa pola. Dari segi pelaksanaan yang kurang rapi karena masing-masing kubu seperti presiden, MA, DPR punya konsep sendiri-sendiri. Implementasi one roof system pada dasarnya merupakan keinginan dari independensi kekuasaan kehakiman. Namun yang terjadi di Indonesia kebijakan reformasi peradilan pasca reformasi tidak demikian. Banyak faktor yang melatarbelakangi hal tersebut. Oleh karena itu penulis mencoba memberikan solusi dalam bab terakhir buku ini.
Hadir dalam bedah buku ini tiga orang tokoh hukum dan salah satunya menghadirkan pejabat Komisioner Komisi Yudisial RI Sukma Violetta, S.H., LL.M. kedua pembicara lainnya adalah Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum., Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si.
Dalam pembahasannya Prof. Dr. Hj. Nâmatul Huda, S.H., M.Hum. menyampaikan bahwa buku ini pada dasarnya mengkritisi kebijakan one roof system dalam sistem peradilan di Indonesia terutama menyoroti keberadaan KY. Dari hasil penelitian dalam buku ini Masih ada bagian-bagian lain yang bisa diteliti misalnya tentang kinerja KY apalagi dengan maraknya OTT terhadap hakim sekarang ini, seolah-olah kinerja KY menjadi dipertanyakan.
Sedangkan Dr. Suparman Marzuki, S.H., M.Si. mengatakan bahwa dalam transisi politik dari negara egaliter menjadi negara demokrasi salah satu hal yang mengemuka pasti tentang lembaga peradilan. Hal ini menjadi pembahasan penting karena pengadilan merupakan fondasi penting bagi sebuah negara baru, negara demokrasi maupun perlindungan HAM. Tidak bisa dipungkiri kelahiran dari lembaga tersebut berasal dari pertarungan politik.
Konstitusi kita lahir dari politik yang kuat sekali. Dalam kelahiran ini terjadi pertarungan politik antara aliran idealis dan realis. Aliran idealis menghendaki supremasi hukum baru kemudian kekuatan politik. Sedangkan aliran realis menginginkan kekuatan politik diakomodir dahulu baru supremasi hukumnya.
Seperti yang disampaikan penulis, reformasi peradilan Indonesia berjalan dalam tidak punya road map yang jelas. Jika reformasi ini dikonstruksikan dalam bentuk bangunan, tidak ada sisi keindahannya, sama sekali tidak menarik karena road map nya tidak jelas.
Ada banyak kajian tentang reformasi keadilan. Kajian yng belum banyak disentuh ialah terkait prosedur birokrasi peradilan. Seolah-olah prosedur ini given. Padahal belum tentu demikian. Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut karena prosedur dan birokrasi merupakan pintu masuk keruwetan sistem peradilan. Hal ini sangat menarik untuk bisa dikaji oleh periset selanjutnya.
Buku ini lebih banyak mengkaji tentang regulasi dan implementasi serta problem yang ada di dalamnya. Seperti misalnya pengadilan-pengadilan di tingkat bawah masih banyak mengeluh tentang pelaksanaan sistem peradilan seperti fasilitas, kolusi dan nepotisme dalam perekrutan dan sebagainya. Namun demikian,
Sedangkan Sukma Violetta, S.H., LL.M. mengatakan “Saya teringat buku yang terbit dua puluh tahun lalu yakni karya Sebastian Pompe. Jika buku Pompe lebih banyak membahsa MA maka dalam buku Idul Rishan Hal terpenting yang sangat diapresiasi adalah pemberian basis teoritis tentang share responsibility hakim.”
Pengelolaan hakim (SDM) dimulai dari rekrutmen, kinerja, promosi, mutasi sampai pemberhentian. Dalam NUDOC, di negara-negara lain, kelembagaan peradilan tidak dikelola sendiri seperti di Indonesia tapi dikelola secara bersama-sama. Pengelolaan one roof system hanya diterapkan di Indonesia yang merupakan hasil dari amandemen UUD.
Buku ini mencoba mengkritisi konsep satu atas tersebut. Mempertanyakan apakah konsep tersebut akan bertahan dalam kedigdayaannya atau tidak, mengingat negara kita mengingat negara kita mengenal sistem check and balances.
Di awal pertemuan saya ditegur tentang kevakuman KY terutama di masa periode terakhir ini. Saya akui hal tersebut benar terjadi. Namun hal ini terjadi dengan beberapa alasan diantaranya ketidaksetaraan penempatan posisi antara dua lembaga negara yang kewenangannya sama-sama diberikan oleh UUD yaitu MA dan KY. KY tidak bisa melakukan eksekusi atas putusannya karena secara administrasi MA yang dapat melakukan eksekusi tersebut. Permasalahannya adalah pelaksanaan putusan hanya dapat tereksekusi ketika KY tidak berkonflik dengan MA. Namun ketika ada konflik maka akan menjadi sulit.
Hal yang ingin saya soroti dalam buku ini ialah terkait share responsibility hakim terutama terkait dengan rekrutmen dan pengawasan.
Terkait rekrutmen hakim MK ada 3 jalur. Jalur pemerintah menjadi sangat menarik. Zaman pemerintahan SBY, perekrutan dilakukan dengan membentuk pansel. Salah satu anggota pansel yang berasal dari KY menyarankan adanya cek integritas (rekam jejak). Yang melakukan adalah investigator dari KY.
Proses rekrutmen hakim MK yang melibatkan seluruh pemegang kekuasaan dalam mekanisme check and balances ikut terlibat. Oleh karena itu benar terbukti bahwa sistem share responsibility akan memberikan dampak yang baik.
Berkaitan dengan pengawasan, KY merasa bahwa pengawasan hakim yang utama ialah oleh KY. Namun demikian dalam undang-undang terdapat klausul pembentukan badan pengawas (BAWAS MA) yang juga memiliki kewenangan pengawasan. Hal ini menyebabkan kompetisi pengawasan yang dikahwatirkan menyebabkan impunity.