Sertifikat Nikah

Gagasan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan (Menko PMK) Muhajir Effendy untuk “lebih” memformalkan pembinaan bagi pasangan yang akan melangsungkan perkawinan patut didukung. Mengingat kegiatan semacam pembinaan bagi pasangan yang hendak mencatatkan perkawinan sudah dilakukan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di lingkungan Kementerian Agama lewat praktek bimbingan pranikah, walaupun dalam prakteknya banyak calon pengantin yang tidak memenuhi bimbinga ini. Pembekalan yang diprogramkan oleh Menko PMK ini akan diusahakan untuk dapat dilaksanakan pada tahun 2020. Yaitu program pembekalan pranikah bagi mereka para peserta yang akan melangsungkan perkawinan yang kemudian akan diberikan sebuah sertifikat keikutsertaan pembinaan. Menariknya, program ini akan dibuat dalam model online maupun offline untuk memudahkan akses bagi para peserta pembinaan agar dapat fleksibel mengikuti kegiatan tersebut sehingga peserta yang notabene calon pengantin dapat maksimal menerima materi pembinaan.

Respon masyarakat terhadap upaya pemberlakuan pembinaan ini pun bermacam-macam, sebagian masyarakat menganggap bahwa program ini akan memberatkan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan. hal ini timbul karena program pembinaan ini menghadirkan sebuah sertifikat diakhir program sebagai syarat administrasi untuk bisa dicatatkan perkawinannya dan  mendapatkan sertifikat menikah (akta nikah).

Konsep tentang persyaratan administrasi dalam perkawinan diatur pada pasal 2 ayat (2) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dimana pasal ini menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Kata “dicatat” pada pasal tersebut mengandung beberapa persyaratan, tentunya syarat itu berupa syarat administrasi. Sehingga perkawinan baru akan dicatat bila unsur administarasi telah dipenuhi calon pengantin. Seperti contoh yang saat ini diberlakukan syarat administrasi bagi calon mempelai seperti : surat keterangan dari kepala desa, pengantar kecamatan, keterangan mengenai nama, agama, pekerjaan, tempat tinggal, orang tua calon mempelai. Bagi mereka yang dibawah umur maka memerlukan izin tertulis dari orang tua atau bahkan dispensasi dari pengadilan. Bahkan untuk janda atau duda, mereka dituntut untuk menunjukkan surat keterangan kematian atau surat perceraian bila hendak melangsungkan perkawinan berikutnya. Artinya pemberian syarat administrasi dalam perkawinan dapat diberlakukan oleh pemerintah, dengan harapan syarat administrasi tersebut bermanfaat secara substansi untuk perkawinan, tidak susah untuk diakses, dan mudah untuk dipenuhi.

Program pembinaan perkawinan ini tentu dibuat untuk menjawab permasalahan yang timbul dalam suatu hubungan perkawinan yang terjadi di masyarakat. salah satu alasannya diungkapkan oleh Muhajir Effendy adalah untuk menekan angka perceraian di Indonesia. Menekan angka perceraian bukan perkara mudah, mengingat problem dalam perkawinan itu adalah problem yang kompleks. Problem tersebut terdiri dari faktor psikologis, ekonomi, lingkungan, hukum, kesehatan, dan agama. Dari beberapa faktor tersebut diambil contoh seperti perkawinan anak, perkawinan anak ini tidak akan pernah selesai sepanjang lingkungan mendukung ditambah dengan keadaan “darurat” yang menyertainya sehingga hukum ikut mengabulkannya melalui sebuah dispensasi perkawinan. oleh karena itu pembinaan ini sebaiknya ikut andil dalam memberikan wawasan bagi calon penganti baik itu mereka yang secara normal melakukan perkawinan maupun yang didesak karena keadaan darurat.

Program ini hendaknya memperhatikan keterlibatan dengan perguruan tinggi dalam pelaksanaan kegiatan. Sepatutnya pemerintah menggandeng kerjasama dengan perguruan tinggi dalam memberikan pembinaan, pembinaan perkawinan tidak hanya bernilai moral agama saja, melainkan perlu dititikberatkan pada urusan mental calon pengantin dari lembaga psikologi, kesehatan calon pengantin dari sisi kedokteran, serta hak dan kewajiban calon pengantin dari sisi hukum. Artinya pembinaan tidak hanya dilihat pada 1 atau 2 aspek saja melainkan pembinaan yang komprehensif. Oleh karena itu pelaksana program ini kedepan baik itu dinas catatan sipil ataupun kementerian agama melalui KUA atau siapa ditunjuk kedepannya sepatutnya dapat menyamakan persepsi, kurikulum, rencana pembelajaran yang sama bagi semua kalangan pemeluk agama untuk dapat diterapkan dalam pembinaan perkawinan supaya cita-cita negara dalam menekan angka perceraian dapat terwujud.

Harapannya pembinaan yang telah digagas untuk membentuk calon pengantin yang kredible ini dapat berjalan dengan baik di masyarakat sehingga wawasan akan tujuan, manfaat, akibat, serta konsekuensi dari perkawinan dipahami dengan baik oleh masyarakat indonesia, sehingga pembinaan ini juga dapat menjadi “saringan” bagi orang tua yang hendak menikahkan putra-putrinya.

Pernah diterbitkan di Media Massa di Yogyakarta
Penulis:
Umar Haris Sanjaya, S.H., M.H.

Dosen Muda FH UII yang juga sedang studi lanjut Program Doktor UNAIR