FH UII-UMY Gelar Seminar Nasional “Arah Kebijakan Hukum Pidana Indonesia”
Santika Hotel Yk (web.fh news) Fakultas Hukum Universitas Islam Idonesia (FH UII) kerja bareng dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammdiyah Yogyakarta (FH UMY) gelar seminar nasional bertemakan “ARAH KEBIJAKAN HUKUM PIDANA INDONESIA: ANALISIS TERHADAP SEJUMLAH KEBIJAKAN KRIMINALISASI KONTROVERSIAL DALAM RKUHP” bertempat di Ballroom Santika Hotel, Yogyakarta, Sabtu, (7/12/2019).
Dekan FH UII Dr Abdul Djamil, S.H,. M.H., dalam sambutannya memaparkan bahwa FH UII mendukung perubahan RKUHP menjadi KHUP yang baru. KUHP yang berlaku selama ini merupaka warisan kolonial Belanda. Beberapa hal di dalamnya sudah tidak sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia. Harapannya, seminar nasional ini merupakan salah satu bentuk dukungan untuk melakukan perbaikan dalam usaha penyempurnaan sejumlah pasal RKHUP. Karena dianggap saat ini RKHUP masih kontroversial, tentu saja seminar ini akan memberikan masukan bagi DPR RI dan pemerintah. Nantinya kami akan menyampakan hasil seminar ini kepada DPR RI dan pemerintah sebagai salah satu bentuk kontribusi FH UII dan FH UMY sebagai institusi pendidikan bagi kepentingan bangsa dan negara,” begitu paparnya.
Seminar ini menghadirkan Key Note speaker Prof Dr Barda Nawawi Arief SH, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro (Undip) dan beberapa perguruan tinggi hukum di Indonesia serta termasuk salah satu konsultan pemerintah dalam penyusunan RUU KUHP saat ini . Menurutnya KUHP yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan warisan Kolonial Belanda, Wetboek van Straftrecht vuur Nederlands Indie (WvSNI) yang sudah berumur lebih dari satu abad. Dan KUHP produk kolonial ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat. Selain itu, pasal-pasal pada KUHP ini tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Lebih lanjut Prof Barda menjelaskan bahwa “Belanda sendiri sudah melakukan perbaikan KUHP-nya sebanyak 455 kali. Sedang Indonesia yang baru sekali merancang perbaikan sejak tahun 1964 ditolak bahkan hingga saat ini belum disahkan dengan berbagai alasan. Padahal perubahan KUHP merupakan bagian dari semangat reformasi. Ini sangat memprihatinkan,” kata Prof Barda.
Keprihatinan Prof Barda ini juga berdasar kejanggalan-kejanggalan yang ditemuinya. Pertama, saat beliau bertanya kepada salah satu mahasiswa yang melakukan demonstrasi untuk menolak RKUHP ternyata belum membaca isi RKUHP tersebut. Kedua, anggota Panitia Kerja (Panja) RKUHP DPR RI setiap rapat dengan pemerintah tidak membahas materi RKUHP, bahkan tidak memahami isi RKUHP itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari pertanyaan-pertanyaan mereka yang tidak mencerminkan sebagai anggota Panja, karena mereka juga belum membaca RKUHP secara tuntas. “Mereka baru membaca beberapa sesaat sebelum rapat dan ini bisa dilihat dari pertanyaan-[pertanyaan yang diajukan dimana sangat tampak mereka tidak memahami isi RKUHP tersebut, sampai –sampai beliau menelusuri dengan mengumpulkan curriculum vitae (CV) mereka dan ternyata sebagian besar dari 30 anggota Panja adalah lulusan SMA. Dan kalau pun ada yang sarjana hukum, namun bukan dari hukum pidana. Karena itu, Prof Barda menyangsikan kemampuan Panja RKUHP DPR RI untuk menghasilan produk hukum yang berkualitas. “RKUHP itu disusun para pakar, guru besar dan hasil masukan dan kajian dari berbagai pihak. Namun, di DPR justru dibahas lagi bahkan kata per kata dan istilah-istilah hukum yang tidak mereka pahami,” begitu paparnya.
Prof Barda juga mengilustrasikan bahwa R-KUHP adalah Pembaharuan KUHP dan pembaharuan sistem hukum pidana/sistem pemidanaan secara menyeluruh. Yang ingin dilakukan adalah penataan ulang (rekonstruksi/reformulasi) ”Rancang Bangun” keseluruhan sistem hukum pidana nasional yg terpadu; tidak hanya membangun perumusan tindak pidana. Tindak pidana hanya salah satu bagian kecil atau sub dari sistem hukum pidana. Beliau mengutip pendapat Nils Jareborg, yang mengatakan bahwa membangun sistem pemidanaan sama dengan membangun the Structure of the Penal System (criminalization; sentencing; execution of punishment). Terkait dengan kodifikasi hukum dalam R-KUHP, beliau mengandaikan Wetboek van Straftrecht (WvS) yang diberlakukan di Indonesia sebagai ”rumah besar” yang sudah tua dan reot. Rumah besar ini perlu diperbaiki, direnovasi, dan diganti bagian-bagian tertentu. Bahkan tiang-tiang fondasi yang sudah keropos pun perlu dibuatkan tiang fondasi yang lebih baik. Karena itu R-KUHP adalah sebagai impian dari ”rumah baru” yang besar dan nyaman. Rumah besar yang baru ini tentu saja diperlukan menggantikan rumah besar yang sudah keropos tersebut. Jadi rumah besar yang baru ini diandaikan sebagai R-KUHP. Meskipun ada rumah besar yang baru, tetap memerlukan kamar-kamar yang ada di rumah besar ini.. Namun kamar-kamar tidak boleh mengganggu fondasi dari rumah besar yang baru ini. Kamar-kamar ini diandaikannya sebagai undang-undang pidana khusus, seperti Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Prof. Dr. Barda Nawawi Arief, S.H., Guru Besar Hukum Pidana Universitas Diponegoro Undip menyampaikan Key note Speaker dimoderatori Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H.(foto sari)