Bersuaralah Asal Jangan Kritis: Menu Harian Rezim Baru
Oleh: Ahmad Harland Fadhilah – 24410398
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana (Reguler) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Kebebasan berekspresi adalah salah satu hak asasi manusia (HAM) yang telah diakui secara universal. Hak ini memungkinkan setiap orang untuk bersuara, tanpa ada rasa takut akan pembungkaman dari pihak yang dikritik. HAM sendiri merupakan hak paling mendasar yang diberikan oleh Tuhan pada manusia sejak manusia itu diciptakan. Di Indonesia sendiri kebebasan untuk menyuarakan pendapatan ataupun kritikan telah menjadi bagian penting dari panjangnya perjalanan demokrasi pasca-Reformasi tahun 1998. Akan tetapi di bawah rezim yang baru ini, tentunya kebebasan ini mendapat tantangan yang baru pula dan membawa kekhawatiran di kalangan masyarakat.
Sejarah HAM di Indonesia memiliki perjalanan yang panjang. Pada era Orde Baru, kisaran tahun 1970 sampai periode 1980an masalah terkait HAM mengalami kemunduran, karena kebebasan bersuara dibatasi oleh rezim yang ada kala itu dengan menggunakan berbagai instrumen hukum dan bahkan kekuatan militer untuk membungkam krtitik. Pada masa Presiden Habibie, Indonesia mengalami kemajuan yang signifikan dalam hal kebebasan berekspresi dengan adanya TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM dan disahkannya (diratifikasi) sejumlah konvensi HAM. Di era kepemimpinan Presiden Prabowo, kebebasan berekspresi Kembali menjadi sorotan. Meski Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM, praktik di lapangan menunjukan adanya upaya pembungkaman suara, terutama terhadap kelompok maupun individu yang dianggap terlalu mengkritisi pemerintah.
Beberapa kasus muncul sebagai bukti pembungkaman kebebasan berekspresi di era Presiden Prabowo Subianto. Mulai dari pelarangan lagu Sukatani yang berjudul Bayar Bayar Bayar, yang dianggap lirik lagunya terlalu mengkritik institusi kepolisian. Meskipun lagu tersebut sebenarnya mencerminkan suara hati banyak masyarakat yang muak dengan ketidakadilan, pihak berwenang justru memilih untuk membungkamnya dengan alasan bahwa liriknya dianggap menyinggung dan tidak pantas. Ada juga kasus lain seperti Pameran Lukisan Yos Suprapto yang Gagal Digelar di gedung Galeri Nasional Indonesia, dengan judul Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan. Lukisan-lukisan tersebut dianggap terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan isu agraria dan kedaulatan pangan. Alih-alih membungkam, pemerintah seharusnya merespons dengan dialog terbuka dan solusi konstruktif. Pembungkaman hanya akan memperkuat citra otoriter dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Secara konstitusional, kebebasan berekspresi dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Secara ideal sudah diatur dalam pasal diatas akan tetapi seringkali realitanya tidak sesuai dengan pasal tersebut. Dari perspektif HAM internasional, pembungkaman suara merupakan pelanggaran terhadap standar global yang diatur dalam Deklarasi Universal HAM pasal 19 yang secara eksplisit menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas”. Dan diatur juga dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politika, atau yang biasa dikenal dengan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dalam pasal 19 ayat 2 yang menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak atas kebebasan berekspresi; hak ini mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan gagasan apa pun, terlepas dari batasan, baik secara lisan, tertulis, atau tercetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain sesuai pilihannya.” Kebebasan individu untuk bersuara seharusnya tidak boleh dihalangi, yang harus dihalangi ialah kepentingan individu berbasis oligarki.
Pembungkaman kebebasan berekspresi memiliki dampak yang amat serius terhadap demokrasi negara kita. Pilar institusional demokrasi bisa tergerus, seperti kebebasan pers. pers yang bebas adalah penjaga demokrasi (the fourth estate). Ketika kebebasan pers dibatasi, fungsi kontrol terhadap pemerintah melemah, dan ruang untuk investigasi dan pelaporan isu-isu publik menjadi sempit. Dan partisipasi publik, pembungkaman suara menciptakan iklim ketakutan di mana masyarakat takut untuk menyuarakan pendapat mereka. Hal ini mengurangi partisipasi dalam diskusi publik, protes damai, atau bahkan dalam proses pemilihan, yang pada akhirnya melemahkan legitimasi demokrasi.
Mempertahankan kebebasan berekspresi di tengah tekanan politik dan sosial memerlukan langkah-langkah konkret dari berbagai pihak, yang paling utama adalah pemerintah harus menghentikan penggunaan undang-undang yang represif, seperti UU ITE dan pasal-pasal karet dalam KUHP, yang digunakan untuk membungkam suara kritis. Langkah ini penting untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak dikorbankan demi kepentingan politik jangka pendek. Selain itu, lembaga seperti Komnas HAM perlu diberikan kewenangan yang lebih besar dan independensi untuk menangani kasus-kasus pelanggaran HAM secara efektif, termasuk kasus pembungkaman suara. Tanpa dukungan struktural dan politik yang memadai, upaya Komnas HAM akan terus terbentur oleh keterbatasan. Di sisi lain, masyarakat sipil memainkan peran krusial dalam mempertahankan ruang demokrasi. Masyarakat harus terus meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya kebebasan berekspresi melalui kampanye edukasi, diskusi publik, dan advokasi media. Selain itu, komunitas internasional juga dapat memberikan tekanan dan dukungan kepada pemerintah Indonesia untuk mematuhi standar HAM global, baik melalui diplomasi, laporan HAM, maupun kerja sama teknis. Dengan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas internasional, kebebasan berekspresi dapat terus dijaga sebagai pilar penting demokrasi Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan:
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 mengatur tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Buku:
Gerung Rocky, Habis Dungu Terbitlah Bajingan Tolol Filsafat untuk Indonesia Selamat, Ctk.1, Komunitas Bambu, Depok, 2024.
Herdiawanto Heri, dkk., Kewarganegaraan dan Masyarakat Madani, Ctk. 1, PRENADAMEDIA GROUP, Jakarta, 2019.
Jurnal:
Julianja Sufiana, “Pembatasan Kebebasan Berkespresi dalam Bermedia Sosial : Evaluasi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Perspektif Hak Asasi Manusia”, Padjadjaran Law Review Volume 6, Desember 2018, hlm. 21. (https://jurnal.fh.unpad.ac.id/index.php/plr/article/view/387/271).
Berita:
Nurmalasari Titik, ”Sederet Kasus Pembungkaman Seni di Awal Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto”,
Web:
KOMNASHAM, “DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK MANUSIA”, (https://www.komnasham.go.id/files/1475231326-deklarasi-universal-hak-asasi–$R48R63.pdf).
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!