Mencuatnya Polemik di Tengah Masyarakat Berkenaan dengan Revisi UU Kejaksaan yang Termuat dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2025
Oleh: Rafael Mahesa Firdaus – 24410416
Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Dalam untaian silsilah kehidupan manusia, hukum menjadi sine qua non sebagaimana yang bermula dari istilah Latin untuk mencitrakan sesuatu yang penting, diperlukan, dan tak tergantikan. Merujuk pada sifatnya yang membatasi itu, acapkali hukum disebut sebagai necessary evil, yakni hal yang tidak menyenangkan tetapi dibutuhkan. Dengan demikian, terjelma sebuah determinasi bahwa hukum pada dasarnya menjadi perihal yang cukup fundamental dalam kehidupan bermasyarakat sebagai siasat untuk menjamin keadilan personal maupun sosial, meski membatasi ruang kebebasan tiap-tiap individu.
“Het Recht Hink Achter de Feiten Aan”, seyogyanya hukum dapat ditempatkan pada koridor yang cukup esensial guna terwujudnya keadilan bagi khalayak sebuah negara. Adagium yang berlaku universal tersebut mengilustrasikan jika hukum senantiasa tertatih-tatih mengejar perubahan zaman. Semua itu dikehendaki atas bagaimana runtutan realita yang tertangkap, sehingga hukum dituntut untuk selalu adaptif terhadap waktu yang terus bergerak, sebab ia tidak bekerja dalam ruang yang hampa. Bilamana dipersepsikan dalam ruang lingkup negara Indonesia, maka semua itu bermuara ketika lahirnya suatu produk hukum yang merupakan buah dari bentuk otoritas lembaga pembentuk undang-undang beriringan dengan kehendak, cita, dan aspirasi masyarakat yang tertuang di dalamnya.
Pembangunan hukum nasional yang ada di Indonesia menjadi bagian dari subsistem dari sistem pembangunan nasional. Karena perannya yang begitu vital, tentu perlu adanya suatu instrumen yang menentukan skala prioritas pembentukan undang-undang secara terencana, terpadu, dan sistematis. Semua itu termaktub dalam Program Legislasi Nasional yang secara operasional merujuk pada materi atau substansi terkait rencana pembentukan perundang-undangan yang dalam hal ini disusun berdasarkan metode parameter tertentu serta dilandasi oleh visi dan misi pembangunan hukum nasional. Meski substansi hukum hanya merupakan salah satu dari elemen sistem hukum, namun komponen inilah yang umumnya dinilai menduduki tempat terpenting lantaran merupakan landasan berpijak bagi berfungsinya hukum dalam masyarakat.
Program Legislasi Nasional 2025 kini telah diputuskan melalui Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke-8 Masa Persidangan 1 tahun 2024-2025. DPR menyetujui 176 Rancangan Undang-Undang (RUU) masuk dalam prolegnas 2024-2029, dan 41 RUU masuk prolegnas prioritas 2025. Akan tetapi, belakangan ini muncul sorotan yang cukup menuai pro-kontra di berbagai kalangan, khususnya para akademisi mengenai satu di antara RUU prioritas yang ada. Alih-alih ketika revisi undang-undang pada dasarnya berorientasi untuk menyesuaikan peraturan dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, namun hal ini justru terkesan menciptakan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan begitu kuat, sehingga berpotensi menimbulkan impunitas hukum. Mengenai hal yang dimaksud adalah RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI, ketika terdapat beberapa pasal yang dinilai cukup kontroversial dalam praktiknya.
Pertama, yakni Pasal 8 ayat (5) yang menyatakan “Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap Jaksa hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.” Pasal ini dinilai menimbulkan imunitas yang absolut bagi seorang Jaksa, sehingga pengendalian atas peran Jaksa sulit untuk dilakukan. Imunitas memang diperlukan selama Jaksa menjalankan tugasnya, namun jika seorang Jaksa melakukan tindak pidana, maka tidak ada alasan lagi terhadapnya untuk diberikan perlindungan hukum, sejalan dengan izin yang diberikan Jaksa Agung. Pasal ini juga terkesan bertentangan dengan prinsip equality before the law, lantaran memberikan perlakuan khusus daripada aparat penegak hukum lainnya.
Kedua, Pasal 8B yang menyatakan “Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, Jaksa dapat dilengkapi dengan senjata api serta sarana dan prasarana lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Barangkali hal ini justru berisiko membuat seorang Jaksa bertindak sewenang-wenang apabila tidak disertai mekanisme pengawasan yang tepat, yang mana tidak ada kejelasan lebih lanjut dalam undang-undang tersebut mengenai urgensi bagi seorang Jaksa untuk dilengkapi senjata api.
Ketiga, Pasal 11A ayat (1) dan (2) terkait rangkap jabatan di luar instansi Kejaksaan. Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa Jaksa ini merupakan aparatur penegak hukum, bukan “palugada” yang tidak membatasi kewenangannya dalam berperan maupun bertindak, sebab bukan hal yang tidak mungkin ketika justru dapat mengganggu integritas tugas utamanya.
Lebih dari itu, seiring dengan pembaharuan undang-undang yang ada di Kejaksaan, terdapat pula salah satu pasal yang termuat dalam RUU KUHAP yang bersinggungan langsung dengan peran Jaksa dalam tindak pidana, di mana cukup menimbulkan silang pendapat ketika secara garis besar dalam Pasal 12 ayat (11) memberikan kewenangan bagi Jaksa untuk mengambil alih penyidikan. Hal ini jelas begitu mengganggu tatanan sistem peradilan pidana, kewenangan Jaksa yang begitu luas tidak mencerminkan prinsip check and balances dalam sistem hukum modern, seakan perluasan wewenang ini berkedok asas dominus litis atau pengendali perkara yang dimiliki Kejaksaan.
Patut untuk digarisbawahi di sini, kewenangan pengendalian perkara bukan ihwal mengenai kekuasaan absolut satu lembaga saja tetapi harus ada pembagian proporsional sebagaimana yang merupakan pengejawantahan asas diferensiasi fungsional. Wacana akan perluasan kewenangan ini seakan menggambarkan tumpang tindih tugas antara Penyidik Kepolisian dan Kejaksaan yang berpotensi menimbulkan ego sektoral dan ketegangan antara dua institusi penegak hukum tersebut, hingga dapat merugikan proses peradilan sendiri apabila sudah mengarah pada persaingan yang tidak sehat. Sudah sepatutnya, setiap peraturan perundang-undangan yang ada mencerminkan bentuk perwujudan pembangunan hukum nasional, bukan untuk menjadi pintu masuk dalam penyalahgunaan kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Binawan, A. (2022). Empat Problematika Filosofis Hukum dalam Dinamika Hubungan Keadilan dan Kepastian. Jurnal Masalah-masalah Hukum.
Budiman, Y. N. (2025, March 14). Menimbang Penguatan Asas Dominus Litis dalam Rancangan KUHAP. Retrieved from hukumonline: https://www.hukumonline.com/berita/a/menimbang-penguatan-asas-dominus-litis-dalam-rancangan-kuhap-lt67d31a16a4868/
dkk, A. S. (2023). Program Legislasi Nasional. Journal of Social Science Research, 9163-9177.
Hadjar, A. F. (2025, January 21). Kaji Ulang Pasal Kontroversial UU Kejaksaan. Retrieved from Rmol.id: https://rmol.id/politik/read/2025/01/21/653093/kaji-ulang-pasal-kontroversial-uu-kejaksaan
Nasozaro, H. O. (2018). Peranan Hukum dalam Kehidupan Berdemokrasi di Indonesia. Jurnal Warta Edisi: 58.
Prabowo, I. (n.d.). Paradigma Peraturan Mahkamah Agung: Modern Legal Positivism Theory, Teori Hukum Progresif dan Urgensi Kodifikasinya.
Rancangan Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana. (n.d.).
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. (n.d.).
Yozami, A. (2024, November 19). Ini 41 RUU yang Masuk Prolegnas Prioritas 2025. Retrieved from hukumonline.com: https://www.hukumonline.com/berita/a/ini-41-ruu-yang-masuk-prolegnas-prioritas-2025-lt673c52dc1bcb0/
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!