Janji Sejahtera untuk Guru Honorer: Manis di Bibir, Pahit di Realita

Oleh: Rangga Yudha Leonspatra – 24410509

Mahasiswa Program Studi Hukum Program Sarjana Reguler Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan guru merupakan salah satu isu yang sering diperbincangkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena profesi guru dilihat sebagai suatu pekerjaan yang memiliki nilai dan status sosial yang tinggi, serta mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari dari segi ekonomi. Namun, pada kenyataannya, kondisi tersebut belum dirasakan oleh para guru honorer (Siahaan & Meilani, 2019). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012, para guru honorer dikategorikan sebagai bagian dari tenaga honorer. Dalam Pasal 1 peraturan ini, dijelaskan bahwa guru honorer adalah individu yang diangkat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau pejabat lainnya dalam pemerintahan untuk melaksanakan tugas tertentu dalam instansi pemerintah. Pendapatan atau gaji mereka pun menjadi beban pada anggaran APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) atau APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) (E-ujian, 2024).

Dalam sebuah platform berita online, diungkapkan bahwa guru honorer belum memiliki hak yang setara dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik dari sisi gaji, tunjangan, maupun jaminan sosial. Salah satu perbedaan paling mencolok antara PNS dan honorer adalah soal gaji. Hal ini menciptakan kesenjangan yang nyata dalam besaran gaji yang diterima oleh guru honorer dibandingkan dengan guru yang berstatus PNS. Gaji PNS telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2023 yang mengatur tentang Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil, sementara gaji honorer masih belum adanya standarisasi regulasi yang memberikan jaminan kesejahteraan dan gaji yang pasti sehingga cenderung berbeda tiap wilayah, sekolah, dan jenis pekerjaan. Sebagai ilustrasi, gaji PNS golongan I-A pada tahun 2023 berkisar antara Rp1.685.700 hingga Rp2.901.400 per bulan, sedangkan nasib guru honorer tergantung pada daerah tempat mereka mengajar, jumlah jam mengajar, dan alokasi anggaran dari pemerintah. Diketahui bahwa guru honorer di kota besar seperti Jakarta bisa mendapatkan gaji sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per bulan. Di sisi lain, di daerah yang lebih terpencil, seorang guru honorer  hanya menerima Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan. Ini menggambarkan betapa tidak stabilnya gaji yang diterima oleh guru honorer (Bimbel CPNS 2025, 2025). 

Berdasarkan hasil survei Lembaga Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Dompet Dhuafa, sebanyak 74,3% responden guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan. Dari kelompok tersebut, 20,5% di antaranya masih digaji di bawah Rp500 ribu per bulan. Muhammad Anwar selaku peneliti IDEAS menilai, upah tidak layak yang didapatkan mayoritas responden atau 74,3% itu sama seperti atau bahkan kurang dari Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) paling kecil se-Indonesia, yaitu Kabupaten Banjarnegara yang sebesar Rp2,03 juta. Hal ini menunjukkan bahwa di daerah dengan biaya hidup terendah sekalipun para guru terutama guru honorer masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (Santika, E, 2024). 

Ketidakpastian mengenai masa depan para guru honorer dipengaruhi tidak hanya oleh kondisi ekonomi, tetapi juga oleh sistem hukum yang ambiguitas dan saling bertentangan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen seharusnya menjadi fondasi hukum yang kokoh untuk menjamin kesejahteraan para pendidik. Pasal 14 Ayat (1) huruf a dalam undang-undang ini menyatakan dengan tegas bahwa setiap guru berhak menerima penghasilan lebih dari sekadar kebutuhan hidup minimum serta jaminan sosial. Pasal 1 Ayat 1 menjelaskan tentang “guru” berdasarkan fungsi mereka sebagai pendidik, terlepas dari status pekerjaan mereka. Dalam konteks idealnya, ini berarti bahwa jaminan kesejahteraan seharusnya berlaku untuk semua individu yang menjalankan tugas sebagai guru profesional dan memenuhi kriteria yang ada. Namun, janji ini hanya terpenuhi untuk guru yang berstatus ASN (PNS dan PPPK). Mengambil contoh dari kondisi kesejahteraan guru honorer di kota Semarang, guru yang berstatus PPPK mendapatkan jaminan sosial sesuai dengan ketentuan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Pasal ini menekankan bahwa PPPK berhak atas proteksi yang mencakup jaminan hari tua, jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, dan bantuan hukum. Di sisi lain, guru honorer di Kota Semarang hanya mendapatkan jaminan kesehatan melalui program pemerintah kota Semarang, yaitu Universal Health Coverage (UHC). Untuk jaminan sosial lainnya, seperti jaminan hari tua dan jaminan kecelakaan kerja, guru honorer di Kota Semarang tidak memiliki akses, dan untuk jaminan kematian, mereka hanya menerima kompensasi berupa uang kematian. Selain itu, jaminan perlindungan hukum bagi guru honorer diatur dalam kontrak kerja yang disepakati antara setiap guru honorer dan kepala sekolah, yang berada di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Kota Semarang (Safitri, R & Sonhaji, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa dengan perannya yang penting dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas, seharusnya guru honorer berhak mendapatkan jaminan kesejahteraan yang menyeluruh, agar terciptanya ekosistem yang seimbang dalam dunia pendidikan. 

Pemerintah perlu berperan aktif dalam memastikan kesejahteraan para guru dengan cara mendistribusikan gaji secara adil dan merata. Gaji untuk seorang guru honorer sangat rendah, sehingga sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di zaman sekarang, terutama jika tidak memiliki pekerjaan tambahan (Amanah, S, dkk, 2022). Selain itu, pemerintah perlu meningkatkan dan menetapkan standar gaji dengan cara menyusun regulasi yang mengatur gaji minimum untuk guru honorer. Namun, penghasilan guru honorer harus disesuaikan dengan ketentuan Upah Minimum Regional (UMR) atau gaji yang berlaku di lokasi tempat mereka mengajar (Saputra, M, dkk, 2023). Dengan langkah ini, berinvestasi pada martabat, kepastian, dan kesejahteraan guru honorer bukanlah sekadar pengeluaran, tetapi merupakan hal yang sangat penting untuk membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas, adil, dan menyeluruh. Ini merupakan investasi strategis terpenting dalam mencapai tujuan luhur konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menggapai masa depan Indonesia yang lebih cerah.

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Tinggalkan Balasan